Dulu waktu orang bilang kesehatan itu mahal, kita nggak begitu mengerti maksudnya. Tapi pandemi yang kita alami sekarang mengajarkan makna “mahal” tersebut. Pertama, mahal dalam arti bisa fatal karena lalai menjaga kesehatan nyawa bisa menjadi taruhannya. Beruntungnya vaksinasi sudah mulai dilakukan, namun sambil menunggu giliran sebaiknya protokol kesehatan adalah yang terbaik untuk menghindari virus. Makna mahal yang kedua adalah terkait dengan biaya. Ketika kita terpaksa banyak interaksi dengan orang dan ingin memastikan kondisi kesehatan kita akan terus menerus melakukan tes baik swab atau rapid, tentu biayanya tidak murah.
Kejadian pandemi ini kemudian “memaksa” orang untuk mengubah perilakunya. Yang dulu sering kumpul-kumpul alias gaul, sekarang terpaksa banyak diam di rumah. Yang dulu kalau makan seenaknya saja, sekarang mulai mikir soal menu sehat dan jumlah kalori. Yang dulu nggak pernah olah raga, menjadi rajin rutin berolah raga. Mengapa mau berubah? Karena ingin lebih sehat dan lebih imun terhadap virus. Semua ingin hidup, nggak ada yang mau meninggal. Persis seperti yang Darwin sampaikan, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change”.
Lalu sebenarnya apa saja yang membuat seseorang bisa berubah perilakunya dan bagaimana kita bisa mengubah perilaku seseorang?
Selalu berangkat dari pertanyaan dasar “what’s in it for me?” dalam suatu proses perubahan. Seseorang mau berubah bila mengetahui ada manfaatnya. Adalah absurd mengharapkan seseorang berubah tetapi tidak bisa menggambarkan mengapa mereka harus berubah. Ini yang dikatakan John P. Kotter dalam 8 steps of leading change, tahap pertamanya yaitu creating sense of urgency. Ada urgensi sehingga seseorang atau organisasi mau berubah. Bahkan saking pentingnya urgensi dalam suatu proses perubahan, Kotter kemudian menulis satu buku khusus membahas mengenai topik tersebut. Jika sudah paham mengapa harus berubah, berarti sudah separuh perjalanan proses perubahan.hanya tinggal bagaimana melakukan perubahan. Misalnya ingin imunitas lebih tinggi? Upayanya minum suplemen, olah raga teratur, tidur yang cukup dan menjaga pola makan. Yang umumnyalebih sulit justru menemukan urgensi pada seseorang atau organisasi, sehingga kalau kalau sudah ada maka selanjutnya akan lebih mudah.
Jadi mengapa seseorang mau berubah? LifeHack menjelaskan ada tiga hal yang menyebabkan seseorang berubah: sudah lebih paham, sudah cukup lama menderita, dan sudah lelah akan hal yang sama. Orang sudah lebih paham mengenai manfaat dari kesehatan, sehingga mereka akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat. Orang sudah cukup menderita dengan penyakitnya, sehingga akan secara drastis mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat sehingga lepas dari penyakit yang dideritanya. Seseorang keluar dari pekerjaannya karena situasinya sudah unbearable, dia ingin lebih sehat secara batin sehingga lebih less pressure. Ketiga hal utama tersebut yang bisa mendorong seseorang untuk berubah.
Namun demikian, ada juga orang yang cenderung tidak mau berubah. Mengapa demikian? Henry Edberg menjelaskan faktor penyebab orang tidak mau berubah. Pertama, tidak berani berubah. Mereka takut akan resiko kegagalan. Namun seseorang harus berani mengambil resiko, dan terkadang meskipun hasilnya memang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun orang tersebut akan merasakan sensasi luar biasa karena sudah berani melangkah keluar dari comfort zone yang ada. Kedua adalah lingkungan yang kurang mendukung. Orang sungkan untuk memutus hubungan dengan lingkungan dengan lingkungan meskipun tidak mendukung. Namun berubah bukan berarti kemudian kita harus keluar dari lingkungan tersebut, cukup minimalisir interaksi dalam lingkungan tersebut. Ketiga adalah cepat menyerah setelah gagal. Biasanya setelah melakukan perubahan dan tidak langsung berhasil, seseornag dalam keraguan. Kawatir kalau gagal akan dicemooh sama orang lain. Pada saat itu sebenarnya kita sedang diuji keteguhan hati, sampai seberapa besar keinginan kita untuk berubah. Keempat adalah kita belum merasakan penderitaan yang sangat. Hal ini menyebabkan kita menyepelekan urgensi perubahan. Padahal kalau kita mau duduk sejenak melakukan refleksi serta mengambil pelajaran dari orang lain, urgensi tersebut akan terlihat. Terakhir adalah mau berubah tapi nggak tauk gimana caranya. Yang perlu dilakukan adalah cari orang yang sudah pengalaman. Ajak diskusi untuk menggali informasi. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Banyak buku atau artikel serta menonton video yang bisa memberikan informasi.
Jadi gimana? Mau duduk sejenak melakukan refleksi dan memikirkan urgensi perubahan nggak? Yuk lakukan sesering mungkin agar bisa menjadi manusia yang lebih baik di masa mendatang. Salam.
“Our greatest glory is not in never failing, but in rising everytime we fall” (confucius)