Karateristik utama dari milenial adalah mencari pengembangan diri. Tingkat kepuasan bekerja mereka banyak ditentukan dengan sampai sejauh mana dirinya berkembang dalam suatu pekerjaan atau perusahaan. Remunerasi merupakan hal penting, namun bukan menjadi yang terpenting. Sehingga apabila mereka merasa tidak berkembang setelah sekian lama dalam pekerjaannya, mereka akan berusaha mancari “jalan keluar’. Jalan keluar bisa berarti pindah ke unit kerja lain, bekerja di perusahaan lain, melanjutkan studi atau melakukan sabbatical leave[1] untuk mengembangkan diri.
Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Gallup, sebanyak 87% dari milenial mengatakan bahwa pengembangan diri dan karir adalah hal terpenting bagi mereka dalam bekerja. Jauh lebih besar dibanding dengan generasi lain yang hanya 47% menyatakan bahwa hal tersebut adalah teramat penting. Apabila demikian apa yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan?
Milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 dan 2000. Dengan demikian di angkatan kerja sekarang mereka sudah berusia antara 20-40 tahun. Ada yang baru lulus kuliah, sampai dengan sudah ada yang menjadi CEO di perusahaan 500 Fortune. Indonesia sendiri juga sudah menempatkan milenial di posisi penting. Menteri Pendidikan Nasional kita sekarang Nadiem Makarim lahir di tahun 1984. BUMN juga mulai memberi ruang untuk milenial, contohnya pada Fajrin Rasyid, eks presiden Bukalapak, menjadi Direktur Digital PT Telkom. Presiden Jokowi juga bahkan menunjuk Staf Khususnya dari generasi milenial.
Sedemikian pentingnya kedudukan milenial dalam angkatan kerja sekarang, dan sudah sewajarnya perusahaan atau organisasi memberikan perhatian lebih kepada aspirasi mereka. Sejalan dengan hasil survey yang dilakukan Gallup, konsultan PWC juga menyatakan dalam laporannya “millenials at work: reshaping the workplace in financial service” bahwa kebutuhan utama para milenial adalah pengembangan diri dan karir. Dengan demikian terdapat dua fokus utama bagi para praktisi pengelola sumber daya manusia di perusahaan, yaitu membuka ruang pengembangan kompetensi dan karir yang seluas-luasnya. Gagal dalam memberikan kesempatan ini dapat berakibat fatal, yaitu pegawai milenial akan mencari jalan keluar. Yang dikawatirkan mereka bukan hanya disenganged dari pelaksanaan tugas tetapi actively disengaged. Kondisi ini akan membawa dampak buruk pada suasana kerja perusahaan.
Dalam sebuah artikel di Harvard Business Review, dijelaskan ada empat karateristik jenis pimpinan terkait dengan pengembangan anak buah. Pertama Teachers Manager, yang mengembangkan anak buah berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dan terlibat langsung dalam memberikan feedback kepada anak buah. Yang kedua adalah Always-On Managers, yang mendedikasikan waktunya setiap saat untuk selalu mengembangkan anak buahnya setiap aspek pengetahuan yang dibutuhan. Connectors, yang tidak mengembangkan anak buah secara langsung namun menghubungkan mereka dengan orang yang ahli dengan subyek yang dibutuhkan. Cheerleader Managers, yang memberikan dukungan tetapi tidak memberikan feedback atau menghubungkan dengan orang yang ahli.
Sekilas kita menginginkan tipe yang Always-On Managers yang selalu menyediakan waktu untuk pengembangan diri kita. Namun berdasarkan hasil penelitian tipe pimpinan yang paling efektif adalah yang jenis connectors. Mereka tidak perlu selalu meyediakan waktu bagi kita atau harus memahami segala macam hal untuk mampu memberikan coaching kepada kita. Tetapi mereka cukup paham kepada siapa kita harus bertanya dan membuka jalan bagi kita untuk bertanya lebih lanjut tentang subyek yang ingin kita ketahui. Kita tidak butuh pimpinan yang “superman” mengerti segala hal, tetapi ternyata kita lebih butuh pimpinan yang gaul, paham siapa ahli apa dan juga mau membuka kesempatan bagi kita untuk belajar lebih banyak dengan yang “lebih ahli”. Syukur apabila kemudian mereka malah kemudian membuka diri untuk belajar dari kita mengenai subyek tersebut. Mari kita berhenti sejenak dari rutinitas, dan evaluasi pimpinan kita tipe yang mana mereka. Apabila kita tidak mendapatkan connectors dalam diri mereka, jangan putus asa, kita cari orang yang bisa menjadi connectors kita sepanjang mereka membuka diri untuk membantu pengembangan diri kita. Tetap semangat dan jaga kesehatan.
[1] The sabbatical definition is “a break from work” during which employees can pursue their interests, like traveling, writing, research, volunteering or other activities (or even rest). During that time, the employee is still employed at their organization, but they don’t need to perform their normal job duties or report to work.