Toxic Positivity

 “When positivity is used to silence the human experience, it becomes toxic. – Jamie Long, Samara Quintero (Author “Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes”)

Beberapa waktu lalu, salah satu teman saya tiba-tiba mencak-mencak di telepon kepada saya:

“Ini gimana sih? Setiap kali cerita ke circle gw klo gw kesel dan mau resign karena udah ga tahan sama lingkungan kantor yang toxic, jawabannya selalu “Udah sabar aja”, “Kurang bersyukur lu. Masih bersyukur punya kerjaan” atau “Positive thinking aja”. Ya itu ga salah si… Tapi bukan berarti gw ga bersyukur loh. Dan sekarang gw malah makin tambah kesel!!”

Nah, ini adalah contoh konkrit “toxic positivity” di kehidupan kita.

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah sikap positif berlebihan yang menekan atau menghindari perasaan negatif yang sebenarnya dirasakan, baik dilakukan oleh orang lain ke diri kita, ataupun kita ke diri kita sendiri. Toxic positivity itu berarti di setiap saat, apapun yang kita hadapi – mau terjadi tragedi sekalipun, kita harus selalu positif. Padahal hidup kita ini ga selalu semulus kulit artis Korea, kawans.

Berarti positive thinking itu jelek donk? Ga begitu juga. Positive thinking pasti ada baiknnya, tetapi segala sesuatu yang berlebihan, tentunya tidak baik.

Perasaan yang kita rasakan adalah respon natural dari seorang manusia yang tentunya otentik dan valid. Dan perasaan yang muncul adalah “teriakan” dari value yang kita yakini, atau cerminan dari hal yang kita anggap penting. Ga mungkin kita marah-marah kalau hal tersebut ga melanggar value yang kita pegang. Ga mungkin kita sedih kalau hal tersebut bukan hal yang penting. Kalau dikembalikan ke cerita teman saya, dia merasa penting untuk berada di lingkungan kerja yang baik.

Menurut Dr Susan David – pencetus konsep Emotional Agility dan founder dari Institute of Coaching at McLean Hospital of Harvard Medical School, perasaan negatif yang muncul dalam diri seseorang dapat dianggap sebagai data. Data dapat dipelajari untuk diketahui penyebab mengapa perasaan yang kurang enak itu timbul dan selanjutnya menentukan langkah konkrit untuk mengatasinya.

Dampak buruk dari Toxic Positivity

Dampak buruk dari toxic positivity bisa bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:

  1. Tidak sehat, berdampak buruk pada kesehatan mental
    Dengan mengenyampingkan respon otentik dan valid manusia dan berpura-pura bersikap positif atau berpura-pura kuat padahal sebenarnya di dalam diri sudah hancur lebur, ini sudah pasti tidak sehat. Apalagi dengan adanya tekanan dari lingkungan sekitar untuk selalu positif, sehingga ketika seseorang sedang merasa tidak positif – sedih, burn-out, marah, stress berat, dan lain-lain, muncul rasa bersalah dan gagal dalam diri seseorang karena tidak bisa memenuhi ekspektasi lingkungan. Hal ini dapat berujung kepada kecemasan bahkan depresi.
  1. Emosi negatif semakin kuat, masalah tidak selesai
    Ketika sesuatu yang otentik ditekan terus-menurus, lama-lama meledak. Masalah pun tidak selesai. Daripada ditekan, emosi negatif harus diterima dan direspon dengan tepat. Di masa pandemi COVID-19 ini, bahkan semakin mudah untuk merasakan emosi yang kurang baik. Menurut survey yang dilakukan oleh Campbell dan Gavett pada 1,500 orang di 46 negara “What COVID-19 Has Done to Our Well-Being”, 85% responden merasa general well-being telah menurun sejak pandemi – dengan penyebab utama di antaranya penurunan kesehatan mental, meningkatnya tuntutan pekerjaan, dan perasaan terisolasi.
  1. Less resilient
    Toxic positivity akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menghadapi kondisi di dunia ini sebagaimana adanya. Seseorang akan menjadi kurang resilient padahal resiliency adalah salah satu kualitas yang dibutuhkan oleh seseorang, khususnya seorang Leader/Pimpinan untuk menghadapi dunia yang semakin tidak menentu.

Bagaimana cara menghadapi Toxic Positivity?

Dalam sesi singkat TED, Dr Susan David menceritakan beberapa tips dalam menghadapi emosi yang kurang mengenakkan yang timbul dalam diri kita:

  1. Beri nama pada emosi negatif dengan jelas
    Kebanyakan dari kita kalau sedang merasakan emosi negatif, biasanya mengungkapkan dengan istilah umum semacam “Gw bete nih”. Emosi tersebut dapat diberi nama dengan jelas sehingga kita dapat mengidentifikasi penyebabnya dan mengaktifkan “readiness potential” – kemampuan dalam diri manusia untuk membuat perubahan yang konkrit untuk mengatasi itu.
  1. Beri jarak antara kita dengan emosi negatif
    Misal ketika sedang merasa burn-out, hindari mengucapkan “Saya burn-out”. Tetapi ganti dengan “Saya notice kalau saat ini saya sedang merasakan burn-out”. Menurut Dr Susan, hal ini memberi jarak antara kita dengan emosi kita – “We own our emotions. They don’t own us”. Hal ini membuat bagian dari diri kita untuk muncul, maju ke depan mengatasi emosi itu.
  1. Curahkan dalam tulisan
    Ketika tidak bisa bercerita ke orang lain, kita dapat mencurahkan perasaan negatif tersebut dalam tulisan. Kita berbicara jujur apa yang kita rasakan melalui tulisan.

Last but not least, masyarakat dan lingkungan juga memiliki peran penting dalam menghadapi toxic positivity karena sepertinya sudah menjadi norma di masyarakat untuk terus positif. We are human-being – yang sangat normal memberikan respon negatif ketika sesuatu yang kurang baik terjadi.

Kembali kepada cerita teman saya di awal, daripada memaksa dia untuk bersikap positif padahal sudah jelas dia sedang dalam kondisi kesal, bingung, dan sebagainya, respon lebih baik yang dapat dilakukan oleh circle-nya adalah mengakui bahwa apa yang sedang dirasakan dia adalah valid atau berusaha membantu. Misal “I’m listening” atau “Sepertinya ada yang salah dengan kantor kamu. Apa yang bisa aku bantu?”.

Pada akhirnya, masalah sebenernya bukan pada apakah seseorang memiliki emosi negatif. Tidak ada yang salah dengan seseorang yang merasa sedih atau burn-out. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang terjebak oleh emosi negatif tersebut dan berakibat buruk pada hidupnya dan lingkungan sekitarnya – keluarga, pertemanan, bahkan pekerjaan.

It’s Okay to Not Be Okay.

Tagged : /