Pemimpin dan Sosial Media

Film Wag The Dog karya Barry Levinson, tahun 1997, dengan pemeran Dustin Hoffman menyadarkan kita bahwa apa yang kita lihat belum tentu sebuah realita. Di dalam film tersebut pemerintah Amerika Serikat membuat film berita palsu untuk mempengaruhi opini publik. Ada juga teori konspirasi lama bahwa sebenarnya Neil Armstrong, Michael Collins dan Edwin Aldrin dengan Apollo 11 tidak pernah mendarat di bulan, tetapi dibuat di studio. Saat itu Amerika Serikat sedang membutuhkan dukungan moral karena kalah perang di Vetnam dengan Rusia, sehingga John F. Kennedy menggunakan keberhasilan mendarat di bulan untuk meningkatkan moral rakyat Amerika. Saat ini berita palsu atau hoaks sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, bahkan sudah sampai taraf mengganggu karena pihak yang bertikai sudah menggunakan buzzer dengan dana yang cukup besar. Pemerintah Indonesiapun menganggap pentingnya media sosial sehingga diberitakan memiliki anggaran untuk buzzer sebesar Rp. 90.45 Miliar sejak tahun 2107.

Sebenarnya seberapa pengaruh media sosial terhadap citra sebuah kepemimpinan? Egan Mosley mengatakan bahwa pengaruh media sosial kepada sebuah brand awareness mencapai 80% dan mampu meningkatkan engagement sebesar 65%. Ternyata sedemikian besarnya pengaruh media sosial kepada citra kepemimpinan seseorang. Saat ini seluruh pemimpin di negeri ini hampir seluruhnya memiliki akun media sosial, dan ini penting karena popularitas menjadi unsur penting keterpilihan atau kesuksesan menjadi pemimpin. Tidaklah mengherankan kalau banyak artis yang kemudian beralih menjadi pemimpin daerah atau anggota legislatif karena mereka sudah memiliki modal popularitas. Kitapun akhir ini disuguhkan drama menarik di internal salah satu besar negeri ini dimana ada kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi mulai disingkarkan dengan alasan lebih aktif di media sosial daripada di lapangan. Dulu ada juga kandidat pemimpin negeri yang tidak terpilih kemudian membuat kanal podcast sendiri sebelum menjadi menteri.

Media sosial saat ini menjadi syarat mutlak bagi kandidat pemimpin. Platform ini dinilai amat efektif dan murah untuk dapat langsung menyentuh rakyat. Influencer memegang peranan penting, karena dianggap bisa menggunakan medianya untuk mempengaruhi subscriber atau follower-nya. Hubungannya mutualisma, meskipun ada sisi negatifnya. Para pemimpin kemudian lebih peduli kepada popularitas, ketimbang pada program kerja. Pemimpin yang shortsighted tidak akan begitu peduli dengan jangka panjang, mereka hanya fokus di popularitas. Perhatian melulu kepada aktivitas sehari-hari atau karakter kandidat pemimpin yang direfleksikan dalam sebuah feed pendek, dan seperti film wag the dog bisa saja merupakan pencitraan dan bukan realita sesungguhnya. Kadang kita kemudian lebih perhatian kebaikan yang ditampilkan, bukan pada rencana kerja yang akan dilakukan selama periode kepemimpinan.

Yang celaka adalah kalau kandidat ini kemudian berhasil, dan kemudian selama periodenya hanya sibuk melakukan pencitraan. Meresmikian ini dan itu, sementara tidak punya keterikatan sama sekali dengan yang diresmikan. Latah ikut meramaikan program yang sedang trending, padahal kenyataannya yang dilakukan sebatas hanya untuk konten semata. Bisa dibayangkan bagaimana sekian banyak karyawan yang bekerja di bawahnya yang sudah bersusah payah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menghasilkan program atau kegiatan tersebut. Setelah diresmikan, tidak ada kelanjutan implementasinya.
Memilih pemimpin memang tidak mudah. Banyak sekali pertimbangannya. Ada yang ideal kapasitasnya, tapi tingkat penerimaannya rendah. Ada yang elektabilitasnya tinggi, tapi tidak memiliki visi. Bayangkan bila ada seorang pemimpin terpilih tetapi tidak punya kapasitas, integritas dan visi serta penerimaannya rendah, bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam lembaga tersebut. Semoga saja tidak terjadi di Indonesia.