Pandemi Covid memang belum diketahui kapan akan berakhir, mungkin khususnya di Indonesia. Saat kita melihat berita di New York sudah mulai pesta pora dengan selebrasi kembang api yang merupakan awal mula New Yorkers akan membuka kembali “pintu gerbang” kepada dunia dengan senyuman hangat dan tangan terbuka. Tentu saja hal yang berbeda terjadi di negara tercinta kita. Angka kasus positif yang meledak terus naik sampai awal Juli 2021.
Keadaan ini tentunya memberikan banyak pengaruh dan adaptasi terhadap kehidupan sehari-hari. Cara berinteraksi bermasyarakat, anak-anak kita sekolah, dan juga pastinya cara kita bekerja. Istilah work from home (WFH) bukan hal asing lagi selama pandemi ini. Konsep WFH lambat laun semakin bergeser menjadi hybrid working. Artinya konsep bekerja menjadi luas dan pengaturan cara kerja yang lebih fleksibel. Pegawai dapat mengatur jadwal bekerjanya sesuai dengan kebutuhannya. Mereka dapat memilih bekerja di kantor atau dimanapun lokasinya sesuai kenyamanan dan keamanan masing-masing.
Sebelumnya banyak orang memilki mindset bekerja adalah di kantor, tentunya dengan pandemi ini konsep tersebut menjadi tidak valid lagi. Bekerja bisa dilakukan dimana saja, tak harus di gedung kantor. Bekerja seharusnya bukan lagi dilihat secara fisik dimana kita melakukan kegiatan tersebut tetapi harusnya dilihat dari output yang dihasillkan sesuai target. Perusahaan luar tentu saja sudah lebih dahulu menerapkan konsep hybrid working, seperti Microsoft, Google, Facebook, dan Twitter. Nama-nama besar di bidang teknologi yang pastinya dukungan teknologi pendukung kerjanya sudah sangat amat mumpuni. Teknologi digital tentunya menjadi kunci utama dalam mendukung perubahan dan competitive advantage.
Lalu bagaimana dengan pendapat pegawai mengenai konsep WFH atau hybrid working ini? Apakah hal ini yang sebenarnya mereka inginkan dalam bekerja? Survei yang dilakukan McKinsey pada Desember 2020-Januari 2021 terhadap 5.043 pegawai tetap yang bekerja di sektor korporasi maupun pemerintah di kawasan Asia, Australia, Eropa, Latin Amerika, dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa lebih dari 50% pegawai menginginkan bekerja dari rumah setidaknya tiga hari bahkan lebih dalam seminggu.
Polling lainnya juga dilakukan oleh Gartner, Perusahaan Riset dan Konsultansi asal Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 48% pegawai cenderung akan memilih work remotely setelah pandemi covid ini. Angka ini tentu saja mengalami kenaikan sebelum covid, yang sebelumnya sebesar 30%. Hal ini menunjukkan bahwa covid dapat mengubah cara pandang dan preference pegawai terhadap cara mereka bekerja. Tentunya organisasi juga harus dapat menangkap fenomena tersebut dengan menentukan strategi yang sesuai.
Namun pada kenyataannya, survei yang dilakukan oleh McKinsey memberikan hasil bahwa 68% organisasi belum memiliki rencana dan visi yang jelas mengenai hybrid working ini. Lalu apakah kita siap melakukan pekerjaan dengan cara hybrid? Apa saja yang harus diperhatikan untuk memulai hybrid working ini? Dirangkum dari berbagai sumber, terdapat lima besar key factors yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan hybrid working:
- Communication
Dalam menyiapkan hybrid working, hal pertama yang harus disiapkan adalah strategi komunikasi yang akan digunakan, baik formal maupun informal. Komunikasi harus dapat tetap berjalan dengan lancar dimanapun pegawai bekerja dan semua pegawai dapat menerima pesan dan informasi yang sama. Bukan berarti sama sekali tidak ada face-to-face meeting, tetapi lebih diatur penjadwalannya dan mekanismenya.
- Culture
Budaya kerja yang baik berdasarkan transparansi dalam suatu organisasi tentu menjadi kunci utama dalam efektivitas bekerja hybrid. Hal penting lainnya adalah trust. Tentunya saja rasa percaya ini membutuhkan dua pihak. Organisasi tidak bisa mengharapkan pegawai untuk percaya bila organisasi tidak menciptakan budaya saling percaya terlebih dulu dan memperlihatkannya kepada pegawai. Dikutip dari agiledrop.com “by making trust one of your core values, you’ll be able to invest less on-going effort into things like daily checkups and micromanagement”.
- Leadership
Hybrid working menawarkan fleksibilitas pegawai mengatur jadwal pekerjaannya masing-masing. Tentu saja ini dapat menimbulkan pertanyaan bagi pimpinan, apakah anak buah saya akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk nonton Youtube atau mencoba resep baru dibandingkan menyelesaikan pekerjaannya? Kembali lagi ke poin sebelumnya, trust adalah yang utama. Setiap pimpinan dapat mengatur outcome-based objective dan membuat setiap anak buahnya bertanggung jawab akan penyelesaian target tersebut. Juga para pimpinan dapat memberikan dukungan dan alat kerja yang dibutuhkan pegawai agar efektif dalam bekerja. Tentu juga yang tidak kalah penting adalah, pimpinan harus memastikan kesehatan fisik dan mental para pegawainya. Bukan hanya menuntut kerja, kerja, dan kerja siang dan malam.
- Technology
Di era seperti saat ini tentu saja teknologi menjadi banyak jawaban atas resah dan gelisah penerapan hybrid working. Teknologi adalah kunci penerapan saluran komunikasi organisasi kepada seluruh pegawai. Teknologi juga pastinya digunakan dalam penyelesaian pekerjaan.
- Agility
Faktor terakhir kunci sukses kerja hybrid adalah embracing agility. Ini bukan berarti akan memilih dan tetap bekerja dengan cara yang sama secara terus menerus setiap saat, tetapi kita harus bisa beradaptasi dengan situasi terkini. Terlebih lagi, agility memberikan tambahan competitive advantage dengan selalu mengusung inovasi dan perubahan di masa depan.
Pandemi ini bagaikan blessing in disguise. Mau tidak mau “memaksa” kita untuk selalu beradaptasi dengan keadaan dan tidak kaku dengan rutinitas. Berubah dan beradaptasi untuk hal yang lebih baik, efisien, dan inovatif. Kalau mengingat lagi kutipan dari Charles Darwin, “Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu bertahan, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan”.
Sumber:
- McKinsey.com
- Gartner.com
- Envoy.com
- Agiledrop.com
- Detik.com