Dalam menjalankan bisnisnya, setiap perusahaan atau organisasi memiliki budayanya masing-masing. Beberapa perusahaan besar, seperti Amazon misalnya memiliki budaya hiper-kompetitif yang mengutamakan hasil dan menggambarkan situasi dimana “yang paling gigih dan berkinerja tinggi yang bertahan”. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pendekatan kompetitif terhadap budaya tempat kerja sungguh menarik karena memberikan suatu tekanan yang secara tidak langsung memotivasi, menyelaraskan dan meningkatkan kinerja karyawan. Akan tetapi, sebagian lain menyatakan bahwa budaya kompetitif dapat memberikan dampak negatif terhadap perusahaan dan tidak lebih baik dari budaya kolaboratif. Lantas, manakah budaya perusahaan atau organisasi yang terbaik?
Di samping dampak positif dari budaya kompetitif yang disebutkan di atas, sebenarnya tersimpan aspek negatif yang perlu menjadi pertimbangkan, seperti tekanan mental karyawan, potensi pelanggaran etika bekerja dan peningkatan risiko pekerjaan lainnya. Dengan adanya budaya kompetitif karyawan cenderung akan membandingkan kinerja antara satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan tujuan hingga prestasi, terkadang segala cara dilakukan agar mendapat “kemenangan”. Terdapat suatu potensi karyawan akan “menghalalkan segala cara” untuk bisa bertahan. Karena kompetisi antar individu, maka pendekatan seperti ini kurang mementingkan cara dan kepentingan terbaik dari rekan kerja atau organisasi secara keseluruhan.
Berbeda halnya dengan perusahaan berbudaya kolaboratif. Budaya ini memiliki pendekatan yang mendorong, individu, tim dan fungsi dalam organisasi untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Budaya kerja kolaboratif biasanya memiliki ciri-ciri seperti memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antar karyawan, organisasi memberdayakan karyawan dengan baik, konflik yang sehat dan produktif serta ada aspek pembelajaran dari setiap pekerjaan yang dilakukan karyawan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan konsultan bisnis, LSA Global, berjudul Top Employee Engagement Trend pada tahun 2018 menunjukan bahwa kolaborasi dan kerja sama tim memiliki dampak yang luar biasa bagi produktivitas karyawan dalam suatu perusahaan dan meningkatkan intensi karyawan untuk loyal bekerja pada perusahaannya.
Akan tetapi budaya kolaborasi ini tidak selalu menghasilkan dampak yang positif. Untuk bisa mencapai budaya kolaboratif yang sempurna, dibutuhkan waktu agar karyawan, tim atau fungsi bisa berjalan dengan seirama. Selain itu, bisa jadi budaya ini dirasa tidak menarik bagi orang yang berkinerja tinggi dan merasa terjebak dalam dinamika tim. Ketika tim bertambah besar, tingkat frustasi dalam menyelaraskan tim dapat berdampak negatif dan masif karena berbicara terkait banyak orang.
Lantas budaya manakah yang lebih baik?
Mungkin jawabannya tidak ada yang tepat dan sangat bergantung pada bagaimana suatu pekerjaan harus diselesaikan ketika menjalankan strategi. Bagi perusahaan yang memiliki strategi untuk memberikan keunggulan pada pelanggan seperti Amazon, misalnya, mungkin budaya kompetitif cocok untuk diterapkan. Namun, jika dalam strategi perusahaan memerlukan kerja tim di seluruh fungsi, persaingan antar individu justru dapat menghambat pencapaian atau strategi yang dijalankan oleh perusahaan.
Dalam dunia pekerjaan, produktivitas menjadi hal yang esensial. Suasana, lingkungan dan budaya kerja sangat berpengaruh dalam mendorong kinerja dan membangkitkan semangat bekerja. Suasana, lingkungan pekerjaan dan budaya kerja yang sesuai dengan strategi dan visi perusahaan dan nyaman bagi karyawannya dipercaya dapat meningkatkan produktivitas vice versa. Sebagai pemimpin suatu perusahaan, kita diharapkan untuk menciptakan keseimbangan yang tepat antara kebutuhan dan strategi perusahaan dengan kebutuhan dan karakteristik karyawan.