Kapan terakhir kali kita mendengar merk ‘Nokia’? Mungkin sudah lama sekali. Nokia merupakan sebuah merk dengan trademark yang kuat di industri telekomunikasi dan merajai pasar telepon genggam pada masanya. Pada saat berada di tahta kerajaannya, Stephen Elop yang merupakan CEO Nokia saat itu sangat yakin bahwa keberadaan Apple dan Google tidak akan pernah dapat menggeser posisinya. Stephen Elop dan CEO Microsot, Steve Ballmer, pada saat itu sangat yakin dan bahkan mengatakan tanpa ragu bahwa iOS dan Android tidak memiliki peluang untuk mengambil alih pasar smartphone. Secara perlahan tapi pasti, reaksi pasar membungkam keyakinan Elop dan Balmer. Nokia yang fokus mengembangkan sistem operasinya yang bernama Symbian tidak memberikan perbaikan dan hasil yang diekspektasikan. Akibatnya, hanya dalam enam tahun, nilai pasar Nokia terjun bebas. Posisi mereka sebagai pemimpin pasar berakhir menjadi sejarah. Mengapa ini bisa terjadi?
Pada kasus Nokia di atas, manajemen Nokia melihat iOS dan Android sebagai ancaman serius, namun keyakinan sekaligus ketakutan untuk mengambil keputusanmenghalangi mereka untuk melakukan perubahan. Keputusan yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan jangka panjang, seperti mengembangkan sistem operasi baru tidak pernah lahir. Manajemen justru memutuskan untuk mengembangkan perangkat telepon baru yang hanya membantu perusahaan dalam durasi yang pendek.
Freek Vermeulen, seorang professor strategi dan kewirausahaan di London Business School, menilai bahwa para eksekutif Nokia terjebak dalam sunk cost fallacy. Para eksekutif Nokia cenderung untuk terus mendorong usahanya karena takut kehilangan semua hal yang telah diinvestasikan di masa lalu seperti waktu, tenaga, emosi, biaya meskipun itu menciptakan ketidaknyamanan atau keadaan lebih buruk. Lantas, apa itu sunk cost fallacy?
Sunk Cost merupakan suatu istilah yang mungkin sudah dikenal oleh para mahasiswa ekonomi. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mungkin masih membingungkan juga, biaya/uang tenggelam? Sunk cost adalah segala usaha (effort) dan resources yang telah kita keluarkan yang bersifat unrecoverable atau tidak dapat kembali. Resources di sini bukan sekedar uang, tapi mencakup waktu, tenaga atau hal lainnya yang memiliki nilai. Untuk perusahaan, tentu hal ini sangat berbahaya karena resources yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Sehingga sunk cost fallacy atau pemikiran ketakutan terhadap potensi munculnya sunk cost terkadang muncul tanpa disadari. Ternyata sunk cost fallacy sering kita jumpai di aspek kehidupan kita sehari-hari, lho!
Apakah Anda pernah memaksakan diri menonton film di bioskop yang membosankan sekali sampai habis? Dalam benak Anda berpikir, “Duh, nanggung. Sudah setengah jalan.” Atau Anda bahkan tetap menonton karena merasa sayang sudah mengeluarkan uang untuk bayar tiket? Itu sunk cost fallacy!
Lebih memilih mempertahankan toxic relationship daripada mengakhirinya? Itu sunk cost fallacy!
Lebih memilih melanjutkan pekerjaan dengan lingkungan yang tidak sehat daripada mencari pekerjaan lain? Itu sunk cost fallacy! Perasaan kita yang tidak berani untuk keluar dari pekerjaan tersebut disebabkan karena merasa takut menyia-nyiakan tenaga, waktu, uang dan hal lainnya untuk dapat mencapai posisi saat ini? Padahal bisa saja kalau kita keluar dari pekerjaan tersebut, kita dapat menemukan pekerjaan yang lebih membuat nyaman dan puas.
Daniel Kahneman, seorang pemenang hadiah Nobel 2002 dalam ilmu ekonomi, dan temannya Amos Tversky menjelaskan bahwa alasan mengapa seseorang bisa terjebak dalam sunk cost fallacy adalah karena loss aversion di mana keinginan untuk menghindari rugi dan takut kehilangan lebih besar daripada keinginan untuk mendapatkan keuntungan.
Sangat berat bagi kita, sebagai manusia normal, untuk mengakhiri segala sesuatu yang telah kita korbankan untuk suatu hal lain, walaupun bisa jadi hal itu mungkin lebih bagus. Meskipun kita sebelumnya sudah berhati-hati dan menimbang saat mengambil keputusan, dalam hati kecil kita mungkin akan merasakan hal-hal sejenis ini:
“Kita sudah sampai tahap ini, sayang banget kalau…. “
“Berhubungan sudah 7 tahun, keluarga sudah saling kenal, sayang kalau putus…”
“Sudah investasi banyak, rugi kalau cut loss…”
“Sudah bekerja selama 5 tahun, sayang kalau harus keluar…”
Ketika ada perasaan seperti ini, ada baiknya kita mulai merefleksikan, apakah benar kita harus melanjutkan? Kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan ke dalam diri kita kembali, apakah kalau kita pertahankan bisa mengubah situasi atau justru keadaan buruk terus menimpa kita? Kita juga bisa menerapkan mindset : “Yang terjadi di masa lalu nggak akan bisa kembali”. Anggap resources yang kita sudah keluarkan layaknya kita lagi belanja dengan sistem no refund policy. Pertimbangkan kerugian yang akan diderita dengan peluang atau kesempatan yang ada di luar sana. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah keuntungan yang didapat ketika melanjutkan aktivitas itu sepadan?