Gaes, mau tanya ni.
Di organisasi kamu, apa ada risk register* terkait SDM (Sumber Daya Manusia)? Kalau ada, diset di level mana (low, medium, high)? Dari observasi saya, risiko SDM biasanya tidak diset sebagai top risk, apalagi jadi prioritas. Biasanya risiko SDM kalah dengan risiko yang terkait langsung dengan proses bisnis yang menghasilkan uang bagi organisasi.
Tapi gaes, di era yang semuanya bisa terjadi dan berdampak besar bagi organisasi, teknologi berkembang pesat dalam sekejap, serta kompetensi yang makin sengit, risiko terkait SDM sepertinya harus dilihat dan dikaji kembali.
Mengintisarikan cerita dalam tulisan Nalbantian “Navigating Human Capital Risk and Uncertainty Through Advance Workforce Analytics”, alkisah ada sebuah perusahaan bernama Digitt. Digitt terancam gulung tikar karena pendapatannya menurun sedangkan hutang makin bertambah. Harga saham menurun yang diperparah dengan berita yang beredar di masyarakat kalau top executive perusahaan itu tidak akur.
Digitt berada di market yang sangat terdampak dengan revolusi digital. Banyak pesaing baru masuk yang menawarkan produk dengan harga yang lebih rendah. Untuk merespon seluruh tantangan itu, Digitt meluncurkan produk baru, memperkuat layanan untuk mendukung produk baru, melakukan reorganisasi bisnis, bahkan meluncurkan re-branding dan memperkuat tim sales untuk meningkatkan penjualan.
Semua upaya ini keliatannya sudah benar kan? Tapi sayang angka berbicara lain. Hal ini tidak menolong Digitt.
Bisa tebak faktor penyebab utama kegagalan Digitt?
Kegagalan Manajemen melihat depresiasi dari SDM mereka sendiri – “depreciation in the value of its human capital” – dan mengantisipasinya. SDM Digitt ketinggalan dalam knowledge, skills, dan expertise yang dibutuhkan untuk bersaing dalam market yang bertransformasi cepat secara digital. Dengan kondisi SDM seperti itu, produk yang diluncurkan pun bisa dibilang ketinggalan. Pekerja tidak update dengan teknologi baru, tidak ada strategi pengembangan pegawai, kemudian diperparah dengan sistem reward dan performance management yang terus membiarkan hal ini terjadi dan membutakan bahwa sebenernya SDM Digitt sudah ketinggalan daripada mereka yang ada di luar sana. Ketika hal ini terjadi, Tim Manajemen Risiko Digitt sama sekali tidak ngeh dan tidak siap dalam menghadapi ini.
Ketika organisasi meluncurkan strategi organisasi, kebanyakan berfokus pada proses bisnis, finance, IT, marketing, tapi lupa dengan SDM-nya seakan-akan SDM akan secara ajaib “ngikut sendiri” dengan perubahan itu.
Dari cerita ini, yuk tengok lagi kondisi SDM di organisasi kita. Tengok lagi risiko SDM, implikasi kalau hal tersebut terjadi di dunia seperti sekarang ini, dan mitigasinya. Hal ini mungkin bisa jadi penentu hidup mati-nya organisasi
*daftar risiko yang organisasi mungkin akan hadapi, digunakan mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko hingga ke tingkat yang dapat diterima melalui proses peninjauan dan pembaruan.