Toxic Superstar
Bila kamu menemui seorang karyawan/pegawai/manajer/pimpinan yang luar biasa bagus kinerjanya, namun hampir seluruh rekan kerja/kolega di kantor tidak menyukai perilaku orang ini, maka dapat dipastikan dia adalah Toxic Superstar. Familiar bukan? Saya yakin kamu mulai membayangkan orang-orang di kantor yang seperti ini, ya kan?
Toxic superstar merupakan istilah yang digunakan bagi seorang pekerja yang high achiever (berkinerja tinggi), namun memiliki perilaku amat buruk di lingkungan kantor. Kebiasaan buruk tersebut bisa berupa merendahkan pegawai lain, menyalahgunakan kekuasaan, mengadu domba, melakukan fitnah, suka marah-marah, sombong, sukar menerima masukan, atau segala macam perilaku yang merusak suasana dan lingkungan kerja di kantor.
Toxic superstar ada di hampir seluruh organisasi atau perusahaan. Namun tidak semua organisasi paham tentang fenomena ini dan justru merasa keadaan di kantor baik-baik saja, bahkan banyak pemimpin perusahaan yang amat tergantung oleh toxic superstar sehingga enggan untuk melakukan tindakan korektif. Padahal toxic superstar bisa memicu kerusakan organisasi yang lebih besar pada jangka panjang dan mengancam eksistensi organisasi.
Lalu bagaimana solusi untuk menghadapi Toxic Superstar? Ada strategi yang disebut GPS. Pertama, GOAL, pemimpin dan pembuat keputusan harus jelas menetapkan tujuan/tindakan yang akan dilakukan terhadap toxic superstar, biasanya ada dua tujuan yang bisa dipilih:
- Menyingkirkan toxic superstar ini, tapi kinerja perusahaan jangan sampai menurun.
- Mempertahankan toxic superstar ini, tapi jangan sampai membuat karyawan/pegawai lain meninggalkan perusahaan atau resign.
Kedua, POSITION, pemimpin dan pembuat keputusan harus melihat secara “helicopter view” dimana posisi perusahaan saat ini, apakah sesuai dengan visi jangka panjang, apakah perilaku tertentu dapat ditolerir, apakah ada values/nilai-nilai dalam perusahaan yang perlu ditegakkan, apakah perlu ada mekanisme stick and carrot, dan sebagainya. Diagnostic seperti ini wajib dilakukan pemimpin bila ingin perusahaan/organisasinya tetap bertahan.
Ketiga, STRATEGY, tanyakan dan pastikan hal-hal ini sebelum pemimpin memutuskan mau berbuat apa terhadap toxic superstar:
- Apakah dia masih mampu belajar (learning)?
- Apakah organisasi/perusahaan masih punya waktu dan sumber daya untuk melatih orang ini?
- Apakah dia masih memiliki motivasi untuk berubah?
Bila jawabannya YA, pemimpin harus mengajari (COACH) toxic superstar tentang hal-hal yang ditolerir atau tidak dalam perusahaan, sehingga perilaku-perilaku buruknya tidak terulang. Dari berbagai kasus, tujuan kedua jauh lebih sulit dan lebih mahal untuk dilakukan karena toxic superstar kebanyakan memiliki kemampuan beradu argumen yang mahir, bahkan tidak jarang ketika toxic superstar diberi feedback, dia justru malah membalas memberi feedback.
Bila jawabannya TIDAK, maka pemimpin harus memecat (FIRE) toxic superstar, sembari mencari talent pengganti yang sepadan untuk perusahaan sebelum toxic superstar ini pergi. Bisa melalui profesional hire, atau knowledge transfer dari toxic superstar ke pegawai lain tanpa si toxic superstar tahu dia akan dipecat.
Source: