Sebagai pekerja kantoran mungkin tidak heran jika kita menghabiskan sebagian waktu kita di tempat kerja. Hubungan dengan atasan dan rekan kerja menjadi mempunyai banyak bentuk dan fungsi, seperti membantu pekerjaan kita, mengembangkan karir, memberikan dukungan emosional, dan tidak sedikit juga yang menjalin hubungan persahabatan. Jadi cukup masuk akal jika hubungan yang terbangun di tempat kerja dapat mencerminkan hubungan ditemukan dalam hubungan keluarga. Namun, keadaan ini juga tergantung bagaimana budaya organisasi yang tercipta.
Organisasi pastinya menginginkan pegawainya menghasilkan pekerjaan yang baik, dengan menambahkan budaya “keluarga” dan rasa memiliki mungkin tidak terdengar “jahat” pada awalnya, tetapi ketika digunakan untuk membina hubungan dengan harapan semua pegawai untuk bekerja sebaiknya-baiknya, maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Pimpinan harus paham bahwa “keluarga” memiliki makna yang bagi setiap pegawai. Tidak semua pegawai ingin memiliki hubungan yang lebih dalam dengan rekan kerja mereka, apalagi menciptakan ketergantungan pada organisasi. Dalam konteks profesional, seorang pegawai akan ingin menyimpan pribadi kehidupan pribadi mereka di luar pekerjaan. Berdasarkan artikel di Harvard Business Review, ketika sebuah organisasi menggunakan istilah keluarga, hal ini menciptakan budaya yang positif, memotivasi dan meningkatkan moral, di mana pegawai tidak melihat rekan kerja hanya sebatas hubungan professional, namun sebagai saudara. Hal ini menyebabkan pegawai dekat secara emosional dengan organisasi. Meskipun hal itu dapat mengurangi konflik dan perselisihan di dalam organisasi, rasa takut menyebabkan ketegangan dalam hubungan dengan pimpinan mereka, yang dianggap sebagai “orangtua”, dapat membuat pegawai merasa bahwa mereka harus membagikan informasi apa pun yang diminta dari mereka.
Hal ini bisa menjadi lebih menantang di lingkungan virtual atau hybrid. Penelitian menunjukkan ketika pimpinan tidak dapat “melihat” bawahan langsung mereka, mereka sulit untuk percaya bahwa pegawai mereka benar-benar bekerja. Hal ini mungkin mendorong pimpinan untuk melakukan micromanagement.
Rasa loyalitas yang berlebihan menjadi berbahaya
Ketika seorang anggota keluarga membutuhkan atau membutuhkan komitmen lebih, pastinya kita selalu bersedia. Ya, namanya juga keluarga, kan? Blood is thicker than water kalau kata orang-orang di dunia barat. Kadang loyalitas pegawai dapat disalahartikan pimpinan sebagai bentuk ekspektasi dan melewati batas untuk melakukan apa saja untuk menyelesaikan pekerjaan. Menurut buku Rob Goffee dan Gareth Jones, The Character of a Corporation, dalam budaya keluargaan, pegawai bersedia membantu sesama rekan kerjanya ketika dibutuhkan, atau bahkan secara sukarela “membantu sebelum mereka diminta” dengan cara yang paling tidak mementingkan diri sendiri, merupakan istilah yang dikenal dengan tata krama.
Banyak contoh dan penelitian menunjukkan bahwa orang yang terlalu setia lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam tindakan tidak etis untuk mempertahankan pekerjaan mereka dan juga lebih mungkin untuk dieksploitasi oleh pimpinan mereka. Pimpinan menjadi semena-mena untuk mendelegasikan tugas kepada “pegawai loyal.” Ketika pegawai bekerja di bawah mentalitas ini, hanya masalah waktu sampai kinerja dan produktivitas turun karena kelelahan. Jika terus dibiarkan, hal ini dianggap “biasa dan normal” dan pada akhirnya berdampak menurunnya produktivitas pegawai.
Masalah lain muncul ketika harus memberikan feedback atau coaching untuk pegawai. Dalam budaya “keluarga”, akan ada kecenderungan terasa lebih kepada aspek pribadi. Jika pegawai tidak melanggar kode etik organisasi dan mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya, apakah pimpinan akan tega melakukan “pemecatan”? Studi menunjukkan bahwa “budaya keluarga” sering gagal untuk melaporkan kesalahan apa pun ketika mereka merasa lebih dekat dengan pelaku. Perasaan takut akan kerusakan yang mungkin menyebabkan pelaku membuat sesama karyawan diam dan terlibat. Contoh lain mungkin tidak seekstrim “you got fire!”, hubungan antara pegawai dan organisasi bersifat sementara, dan pada titik tertentu, harus berakhir, misalnya pegawai resign karena mendapat tawaran pekerjaan di tempat baru. Apakah pimpinan akan rela melepaskan “anaknya” begitu saja?
Hal yang penting adalah saling menerima dan paham akan hubungan sementara dan profesional dari pekerjaan ini. Kita harus realistis bahwa hubungan yang dibangun pegawai dengan pimpinan mereka di tempat bekerja adalah hubungan pekerjaan secara profesional. Sebagian besar tidak akan tinggal di perusahaan yang sama sepanjang karier mereka dan itu bukan masalah. Pindah kantor bagaikan “bajing loncat” sepertinya adalah hal yang lumrah bagi Milennial dan Gen Z. Pimpinan tidak bisa “menahan” dan memperlakukan pegawainya semena-mena. Bersikaplah jujur, terbuka, dan jelas mengenai harapan dan ekspektasi yang pegawai harus capai. Jika pegawai telah memutuskan untuk keluar dari organisasi, jangan tersinggung, marah, apalagi menahan-nahan. Akui kontribusi mereka, apresiasi, dan bantu mereka resign dengan hormat. Jika tidak membutuhkan keahlian mereka lagi, bantu pegawai menemukan posisi yang lebih cocok di departemen lain atau mungkin di organisasi lain. Budaya “keluarga” di organisasi dapat menimbulkan hubungan yang mengikat, apapun yang mengikat tidak ideal untuk pertumbuhan yang lebih baik . Jadi, masih ingin menjadikan kantor sebagai rumah keduamu?
Sumber:
- Harvard Business Review
- New York Times