Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kehidupan dalam pekerjaan tidaklah selalu berjalan mulus. Setiap orang yang bekerja, seringkali dihadapkan dengan berbagai hambatan dan kesulitan. Bahkan, seringkali kesulitan yang ada di tempat kerja sering berdampak buruk khususnya terhadap kesehatan mental dan kehidupan sosial karyawan. Salah satu isu yang sering menjadi bahan pembicaraan namun tidak cukup mendapat perhatian adalah terkait dengan isu pelecehan seksual atau sexual harassment di tempat kerja. Tanpa disadari, tindakan pelecehan seksual di kantor ternyata memiliki dampak yang serius terhadap kesejahteraan karyawan dan citra perusahaan atau organisasi.

Dalam perspektif psikologis, pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang dipandang sebagai bentuk ofensif atau mengancam kenyamanan seseorang. Apabila didefinisikan secara umum, pelecehan seksual dapat digambarkan sebagai sebuah tindakan yang tidak “diminta”, meliputi tindakan fisik, verbal dan non-verbal yang bersifat seksual dan mempengaruhi martabat wanita maupun pria. Begitu pula di tempat kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya berbicara bahwa korbannya hanyalah wanita. Studi UN Women pada tahun 2012, mengungkapkan bahwa baik pria maupun wanita menjadi korban pelecehan seksual, meskipun rasio perempuan yang menjadi korban jauh lebih besar.

Pelecehan di tempat kerja telah ada selama beberapa dekade dan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Berdasarkan artikel berjudul “Sexual Assault and Mental Health” yang ditulis oleh Mental Health America tahun 2019, tindakan pelecehan seksual di tempat kerja memberikan ketidaknyamanan kepada para korbannya baik secara fisik maupun mental. Sebuah tindakan pelecehan seksual saja dapat menyebabkan efek negatif jangka pendek dan jangka panjang pada korban. Hal Ini mengarah pada kondisi depresi dan stres pasca-trauma. Karyawan yang menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja mungkin dapat merasa terhina, kehilangan harga diri, dan banyak lagi. Seorang akademisi dari Walden University juga mengungkapkan bahwa tindakan pelecehan seksual ini juga dapat menyebabkan masalah di tempat kerja seperti turnover yang lebih tinggi, ketidakhadiran, kepuasan kerja yang lebih rendah, dan penurunan kinerja. Pada karyawan pria maupun wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual rata-rata merasakan emosi negatif seperti malu, takut dan depresi serta penurunan harga diri, kepuasan kerja, dan rasa nyaman mereka di kantor.

Apabila tidak direspon dengan cepat, tidak peduli seberapa besar atau kecil insiden pelecehan seksual akan banyak berpengaruh baik terhadap perusahaan maupun terhadap karyawannya. Respon yang terlambat dapat membuat korban berhenti dari pekerjaan mereka. Jika isu pelecehan seksual di tempat kerja diabaikan, citra perusahaan juga akan terganggu. Bayangkan apabila sebuah perusahaan dicap sebagai perusahaan yang kental dengan karyawan-karyawan yang suka melakukan pelecehan seksual. Tentunya akan menimbulkan persepsi yang buruk di mata masyarakat.

Agar dapat meminimalisir dan mencegah tindakan pelecehan seksual di kantor, manajemen perusahaan diharapkan memiliki kebijakan efektif dan dikomunikasikan dengan baik yang bertujuan untuk mencegah pelecehan. Kebijakan harus dipantau dan keberhasilannya ditinjau secara berkala. Manajemen juga harus mengambil kesempatan untuk mengingatkan karyawan tentang keberadaan kebijakan dan isinya, menyoroti pesan utama kebijakan – seperti kebijakan “tanpa toleransi” terhadap pelecehan dan bagaimana melaporkan pelecehan. Manajemen dapat mengomunikasikan kebijakan dan kontennya menggunakan, misalnya melalui buletin internal, papan pengumuman fisik atau digital, rapat staf, atau penyampaian informasi terkait meningkatnya risiko pelecehan kepada staf sebelum acara penting. Perusahaan juga dapat menyediakan layanan counceling atau kotak suara bagi para korban yang ingin menyampaikan kegelisahan atas tindakan pelecehan seksual yang dideritanya.

Selain itu, manajemen perusahaan harus secara proaktif berusaha untuk menyadari apa yang terjadi di tempat kerja. Apabila memerhatikan dengan benar mungkin ada tanda-tanda peringatan bahwa pelecehan sedang terjadi, di luar mengetahuinya dari laporan pengaduan informal dan formal. Misalnya, ada karyawan yang sering absen karena sakit, perubahan perilaku, komentar dalam wawancara (exit interview), penurunan kinerja, atau adanya aksi menghindar dari rekan kerja tertentu. Manajemen perusahaan harus memberi karyawan kesempatan untuk mengangkat masalah mereka.

Selain kebijakan secara perusahaan, korban pun harus turut aktif membuka dirinya dan berterus terang atas apa yang dialami. Hal ini agar dampak-dampak pelecehan seksual yang disebutkan sebelumnya tidak semakin besar dan tindakan pelecehan seksual dapat diminimalisir.