Saat ini dunia sedang mengalami krisis talenta.
ManpowerGroup melaporkan di tahun 2021 secara global 69% perusahaan mengalami “talent shortage” dan kesusahan dalam merekrut talenta – tertinggi dalam 15 tahun terakhir. The National Association of Business Economics juga melaporkan bahwa di akhir tahun 2021, setengah dari respondennya mengakui kekurangan “skilled workers”. Di regional Asia Pasifik, menurut Korn Ferry, fenomena kekurangan talenta bahkan diprediksi berpengaruh ke pertumbuhan pasar di regional tersebut sebesar $4.238 triliun (unrealized annual revenue).
Ada salah satu opsi solusi untuk menghadapi permasalahan tersebut. Perusahaan-perusahaan mulai membuka pintu bagi mereka yang berhenti bekerja untuk kembali masuk ke dunia kerja.
Mengapa?
Mengapa tidak.
Mereka memiliki pengalaman kerja yang cukup, skill yang dibutuhkan, pengalaman bekerja dalam tim atau memimpin tim, dan sebagainya. Cocok bukan? Bahkan biasanya mereka memiliki motivasi yang tinggi karena ingin kembali ke dunia kerja yang dimana kesempatan seperti itu terbilang sangat jarang karena masih dianggap aib apabila memiliki gap dalam pengalaman kerja.
Perusahaan menamakan program “return-to-work” ini dengan namanya masing-masing. Sebagai contoh, Goldman Sachs yang merupakan salah satu pionir dalam program “return-to-work” memberi nama “Returnship”. Credit Suisse dengan nama “Real Returns”.
Perusahaan yang merangkul orang-orang tersebut menganggap gap year yang terjadi bukan aib karena faktanya seseorang memilih berhenti kerja karena alasan yang kuat: ingin lebih fokus mengurus keluarga, mengurus anggota keluarga yang sakit, merasa terlalu jenuh dengan rutinitas kerja, butuh istirahat sejenak untuk kesehatan mental, dan sebagainya.
Sejarah
Program “return-to-work” pertama kali diinisiasi hampir 20 tahun lalu.
Di awal tahun 2000, Wall Street kekurangan populasi pekerja wanita karena banyak dari mereka memilih berhenti bekerja di tengah karirnya untuk lebih fokus mengurus keluarga. Hal ini sangat disayangkan karena mereka adalah valued-workers dengan pengalaman dan skill yang mumpuni. Di pertengahan tahun 2000, Lehman Brothers dan UBS memulai inovasi dengan merekrut kembali pekerja yang berminat untuk kembali bekerja dengan mereka. Diikuti oleh Goldmans Sachs dan Sara Lee di tahun 2008. Hingga akhirnya saat ini program “return-to-work” menjadi populer di Amerika.
Program “return-to-work” ini berdurasi dari 3-6 bulan dengan peserta mendapatkan gaji. Tidak cuma wanita yang bisa ikutan, pria pun juga bisa. Di era pandemic Covid-19, beberapa perusahaan khusus membuka untuk mereka yang terdampak Covid-19 seperti Goldman Sachs. Program ini tentu memiliki syarat umum sebagai berikut:
- Pengalaman kerja minimal 3 tahun
Walaupun terkadang ada yang membutuhkan 5-7 pengalaman kerja - Telah berhenti bekerja minimal 2 tahun
Bahkan di program “Return to Work” Morgan Stanley, ada yang sudah break berhenti kerja selama 12 tahun.
Selain persyaratan umum, kadang terdapat pula persyaratan khusus seperti peserta harus berasal dari kampus tertentu, misal Ivy League.
Di akhir program, peserta program “return-to-work” dapat ditawarkan posisi pegawai tetap. Menurut Harvard Business Review, rata-rata 80% peserta program “return-to-work” menjadi pegawai tetap. Program ini semakin relevan dengan populasi pekerja milenial yang mendominasi dunia kerja karena menurut survey ManpowerGroup, diprediksi 57% pekerja pria dan 74% pekerja wanita milenial akan melakukan career break untuk mengurus anak, mengurus orang tuanya, dan sebagainya.
Karena yang direkrut dalam program “return-to-work” bukan fresh graduate melainkan mid-career profesional ke atas, program ini berbeda dengan onboarding pegawai baru. Kurikulumnya didesain untuk mengembalikan kepercayaan diri dan membantu transisi dan ke dunia kerja, adanya mentor atau buddy yang menjadi tandem peserta, refreshment professional dan technical skills, on-the-job training, dan sebagainya.
Program ini selain menjadi talent pool perusahaan untuk mendapatkan pekerja yang mumpuni, tapi mendukung keberagaman dan inklusi (diversity dan inclusion) karena bisa mendapatkan pekerja yang beragam yang dipercaya mendorong terlahirnya lebih banyak inovasi.
Tips Sukses
Menurut Cohen dalam artikelnya “Return-to-Work Programs Come for Age”, kunci sukses dari program “return-to-work” antara lain adalah:
- Tunjuk champion dengan level eksekutif
Champion dengan level jabatan yang tinggi untuk mendapatkan buy-in saat program ini diluncurkan dan membantu keberlangsungan dari program.
- Tunjuk Program Manager
Program Manager adalah seseorang yang ditunjuk untuk memastikan kesuksesan dari program.
- Jangan labeli peserta dengan sebutan “anak magang”
Peserta adalah mid-career professional yang sudah memiliki jam terbang tinggi dan skill yang mumpuni. Sebutan tersebut akan menyinggung mereka.
- Gunakan konsep cohort
Peserta tidak direkrut satu per satu, tapi secara berkelompok (cohort). Hal ini agar mereka dapat saling bantu dalam angkatannya.
- Buat nama dan website
Pilih nama yang menarik untuk program “return-to-work” karena akan menjadi “trademark” perusahaan. Buat website untuk menjadi sumber informasi yang reliable bagi mereka yang memiliki kepentingan dalam program ini.
- Miliki database pekerja yang resign yang baik
Sumber talent tentunya adalah pekerja yang telah resign. Mereka adalah kandidat program yang baik karena sudah familiar dengan perusahaan dan memiliki kemungkinan besar untuk menerima tawaran pekerjaan dari kantor lamanya
- Rekrut melalui employee referral
Sumber lain dalam merekrut talent adalah dengan seseorang yang kita kenal karena cenderung tahu bagaimana kemampuan mereka dalam bekerja.
- Highlight cerita sukses
Cerita sukses harus diangkat untuk menginspirasi perusahaan lain dan menjangkau talent yang ternyata tersembunyi di ujung dunia sana.
Bagaimana dengan perusahaan kamu? Apakah sudah memiliki program serupa? Sharing yuk di kolom komentar.