Saat ini kondisi dunia kerja sudah menuju kesimbangan baru. Semakin banyak perusahaan/organisasi yang berani berpindah dari pola kerja kantoran yang konvensional menjadi pola kerja hybrid/WFH/WFA. Tantangan terbesar bagi perusahaan/organisasi yang mulai bertransformasi saat ini sebenarnya bukan pada pekerjaan jarak jauhnya (remote work), melainkan di kepemimpinan jarak jauh (remote leadership). Sekarangpun banyak tools, sistem dan perangkat teknologi yang memudahkan pegawai beradaptasi menghadapi perubahan ke remote working dengan biaya terjangkau. Namun kendala terbesarnya adalah adanya kebutuhan besar bagi para pemimpin untuk beradaptasi dengan praktek kepemimpinan jarak jauh. Bila tak dilakukan, maka transformasi remote working tidak akan berhasil.
Mari kita lihat salah satu contoh di lapangan, perusahaan yang memiliki aplikasi Customer Relationship Management (CRM) sudah seharusnya lebih mudah untuk sukses menjaring konsumen dan pangsa pasar, dibanding perusahaan tanpa CRM. Implementasi software-software CRM sebenarnya telah ada selama beberapa dekade terakhir, dan relatif mudah digunakan dan dipahami. Namun penelitian menunjukkan bahwa selama 13 tahun terakhir, antara 30 hingga 60% implementasi sistem CRM gagal total. Data menunjukkan bahwa alasan utama kegagalan tersebut adalah karena CEO tidak memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk membuatnya sukses.
Begitu pula inisiatif dalam remote working yang sudah pasti memanfaatkan aplikasi-aplikasi terkini yang lazim: seperti Zoom, Dropbox, Teamviewer, Hive, dll. Bila para pemimpinnya tidak menggunakan pendekatan kepemimpinan yang tepat, cita-cita remote working bisa jadi sebuah bencana dan buang-buang tenaga/waktu perusahaan. Peter Drucker yang dianggap sebagai bapak manajemen modern percaya bahwa orang menjadi pemimpin yang lebih baik jika mereka belajar mengelola diri sendiri, kemudian belajar mengelola tim, dan akhirnya belajar mengelola peluang. Mengelola diri sendiri mengacu pada penggunaan waktu dan keterampilan komunikasi. Mengelola tim mengacu pada disiplin membimbing tim menuju misi yang jelas, dan tujuan yang bermakna. Maka, jika seseorang pandai mengatur waktu, komunikasi, dan tim, maka mengelola peluang akan menjadi rutinitas yang sederhana.
Learning to Manage Yourself: Time and Communication
Kamu memenangkan tiket untuk mengobrol dengan Elon Musk. Kamu harus memilih apakah lebih suka bertukar pikiran melalui email dengan dia atau mengadakan pertemuan tatap muka sambil dia menggunakan papan tulis. Yang mana yang akan kamu pilih? Preferensi yang sama berlaku untuk individu di tim yang lebih memilih untuk mengadakan pertemuan tatap muka daripada menerima email. Komunikasi lebih efektif jika berbicara secara langsung, dan kurang efektif jika ditulis melalui email, apalagi informasi dengan teks cenderung terbatas dalam mengekspresikan emosi dan suasana kebatinan. Namun yang cukup menggelikan, mengapa CEO/pimpinan menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengirim email serta berkomunikasi via teks.
Tantangan komunikasi yang efektif adalah ketika kita meningkatkan efektivitas, waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya juga meningkat. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pertemuan tatap muka membutuhkan waktu jauh lebih lama daripada mengirim email. Elon Musk mungkin lebih suka mengirim email saja dengan beberapa pemikirannya, daripada menghabiskan satu jam waktunya untuk mempersiapkan dan menjamu kamu secara langsung. Scott Ambler, mantan kepala di IBM Agile, mengilustrasikan efektivitas komunikasi berbagai channel dimana efektivitas komunikasi serta waktu yang dibutuhkan berkorelasi positif. CEO/pimpinan mengirim email karena waktu mereka lebih sedikit.
Oleh sebab itu, pendekatan komunikasi yang tepat dan kesediaan meluangkan waktu oleh pimpinan kepada anggota tim disaat remote working harus menjadi prioritas. Remote working secara full time (full WFH/WFA) bukan merupakan opsi optimal. Manusia sebagai makhluk sosial tetap membutuhkan interaksi yang dekat agar dapat membangun kontekstual dan trust dengan sesama rekan kerja.Frekuensi 1-2 kali pertemuan tim strategis dengan tatap muka dalam 1 minggu normalnya sudah cukup untuk mengefektifkan komunikasi. Jadi, bagi perusahaan yang ingin mengadopsi remote working, melakukan rapat koordinasi/evaluasi strategis tatap muka 1-2 kali seminggu sepertinya angka yang ideal untuk dipraktekkan, sisanya, kamu dapat bekerja dari rumah/diluar kantor. Sedangkan pertemuan lain yang kurang strategis/cenderung teknis, dapat dilakukan dengan channel komunikasi lain non-tatap muka.
Learning to Manage a Team: Defining Parameters and Providing Leeway
Cobalah bertanya pada pegawai high performers suatu perusahaan mengenai praktek manajemen kerja terbaik, sebagian besar pasti menginginkan kondisi dimana ada parameter/ukuran yang jelas untuk pekerjaan mereka, dan disaat yang sama diberikan ruang kebebasan serta kepercayaan untuk mengeksekusi hal-hal yang masih dalam domain mereka. Pegawai yang baik pasti menginginkan kejelasan ekspektasi dari pimpinan tentang arah tujuan perusahaan mau kemana, kejelasan jalur karir, serta diberikan kewenangan tanpa harus terus dipelototin dan diajari terlalu sering oleh si bos.
Pada saat konsep remote working berjalan, para pemimpin harus mampu menggabungkan kemampuan untuk menetapkan aturan yang ketat (harapan dan parameter kerja) dengan kemampuan untuk memberikan otonomi dan kepercayaan (kemandirian bagi pegawai untuk membuat keputusan sendiri). Dengan kata lain, kepemimpinan yang efektif berkaitan dengan micromanaging parameter dan macromanaging eksekusi. Dengan adanya kejelasan tujuan dari pimpinan, serta akuntabilitas kerja yang baik, maka para pegawai yang sedang remote working dapat mencari solusi dengan kreatif, tanpa harus dimonitor terlalu intens oleh supervisornya yang terkadang malah kontraproduktif.