Komunikasi Efektif dengan Teknik Mirroring

Bagaimana rasanya berkomunikasi dengan orang yang sudah lama mengenal kita? Lebih nyaman bukan? Biasanya karena kita sudah mengenal satu sama lain, perasaan nyaman ketika berkomunikasi itu pasti akan didapatkan. Hal seperti itu tidak akan mudah tercipta ketika kita berkomunikasi dengan orang yang baru ditemui atau baru kenal. Tapi ternyata, ada sebuah teknik dalam berkomunikasi yang dapat membuat lawan bicara merasa nyaman dengan kita bahkan di awal pertemuan. Teknik itu dinamakan mirroring. Yuk, kenal lebih jauh tentang teknik ini!

Dalam kehidupan kita sering menemukan situasi dimana kita berkomunikasi secara nyaman dengan orang lain. Tidak hanya kita yang merasa nyaman, tapi lawan bicara kita pun merasa nyaman. Hal ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Kenyamanan dalam berkomunikasi dengan orang lain didapatkan ketika kita dan lawan bicara saling merasakan hal, pemikiran, ide atau kesukaan yang sama dengan kita. Semakin banyak hal yang berkaitan dengan diri kita, maka gap yang menghalangi proses komunikasi kita akan lebih kecil dan orang lain akan merasa nyaman dengan kita. Hal inilah yang kemudian membuat para ahli komunikasi kemudian menyimpulkan bahwa agar seseorang dapat memperkecil gap yang ada dengan lawan bicaranya, orang tersebut harus dapat memiliki “kesamaan” dengan lawan bicaranya. “Kesamaan” yang paling mudah terlihat bahkan di awal pembicaraan adalah kesamaan dalam hal gestur, pola berbicara, dan tingkah laku.

Berdasarkan buku yang ditulis T. L. Chartrand dan J. A. Bardgh tahun 1999 berjudul “The Chameleon Effect : The perception-behavior link and social interaction”, teknik itulah yang kemudian disebut dengan teknik mirroring atau teknik yang mengimitasi hal-hal nonverbal dari lawan bicara sehingga seseorang dapat bergestur, pola berbicara dan bertingkah laku yang mirip dengan lawan bicaranya. Seperti halnya Chameleon atau bunglon yang berubah warna menyesuaikan dengan lingkungannya, seseorang dengan teknik ini pun melakukan hal yang serupa.

Sebenarnya teknik ini seringkali kita rasakan secara tidak sengaja atau tidak sadar. Pernahkah bertemu orang asing yang tersenyum ketika melihat kita dan kita membalasnya dengan senyuman? Atau, ketika orang terlihat bingung, maka kita juga secara tidak sadar akan berekspresi kebingungan? Ada lagi saat kita sedang berbicara dengan seseorang yang banyak menggunakan gerakan di tubuhnya, kita secara tidak sengaja melakukan hal serupa. Ya, mirroring ini merupakan teknik yang memanfaatkan psikologis secara tidak sadar dari seorang manusia.

Ketika berkomunikasi, kita dapat melakukan teknik ini untuk menimbulkan bahwa kita berada pada banyak kesamaan dengan lawan bicara. Salah satu tokoh yang seringkali merlakukan teknik mirroring adalah mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Di setiap kesempatannya pada pertemuan dengan kepala negara yang lain, Barrack Obama seringkali melakukan teknik mirroring. Jika penasaran bagaimana Barrack Obama melakukan teknik mirroring, kita dapat menemukannya pada halaman YouTube dengan melakukan pencarian dengan kata “Barrack Obama Mirroring”.

Lalu, bagaimana agar kita menguasai teknik ini? Pertama, di setiap percakapan dengan orang-orang yang dekat dengan kita, perhatikan bagaimana mereka mencerminkan diri kita dan bagaimana kita mencerminkan mereka. Ini akan memberi kita panduan dasar yang dibutuhkan untuk memahami cara terbaik untuk mencerminkan orang lain. Kedua, untuk orang yang kita harap dapat menjalin hubungan baik, amati apa yang mereka lakukan dalam percakapan mereka dengan orang lain. Hal-hal macam apa yang mereka cerminkan kembali kepada orang-orang yang mereka ajak bicara? Tingkah laku, gerak tubuh, atau pilihan kata apa yang mereka tunjukkan yang dapat kita tiru secara otentik? Terakhir, latihan. Bicaralah dengan orang yang kita temui di depan umum, acara jejaring, lingkaran sosial, dll. Berlatihlah meniru dengan cara yang halus dan perhatikan apa yang terjadi saat kita melakukannya.

Tagged : /

Membangun Vocal Image

Selama ini mungkin sebagian orang berpikir bahwa penampilan adalah suatu hal yang penting untuk membangun personal branding. Orang-orang berlomba untuk berpenampilan rapi, mencolok, trendi serta melatih postur dan gestur untuk mendapatkan first impression yang baik dari lawan bicara atau orang lain yang ditemuinya dan menciptakan suatu personal branding yang diinginkan. Faktanya, memang manusia adalah makhluk visual. Sehingga, penampilan akan sangat penting bagi kita untuk menilai seseorang. Tapi ternyata, ada elemen lain yang harus menjadi perhatian kita juga ketika kita sedang membangun personal branding kita, yaitu cara kita berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain yang dapat menimbulkan persepsi terhadap diri kita. Hal inilah yang biasa disebut dengan Vocal Image. Sebelum menyelam lebih jauh untuk dapat memahami Vocal Image, mari kita memahami apa itu personal branding dan pentingnya membangun personal branding di kehidupan kita.

Menurut Farco Siswiyanto Raharjo dalam buku “The Master Book of Personal Branding” (2019), personal branding merupakan cara seseorang untuk mengambil kendali penilaian orang lain atas diri individu tersebut. Selain itu, membangun personal branding dapat diartikan juga sebagai proses pembentukan persepsi orang lain atau publik terhadap aspek yang dimiliki seseorang. Aspek ini meliputi kepribadian, kemampuan, nilai, serta persepsi positif yang ditimbulkan atau ada dalam diri individu. Pembentukan Personal branding dipengaruhi beberapa hal, yakni penampilan, tindakan, postur, gestur, dan yang tidak kalah penting adalah vokal dan cara berkomunikasi seseorang.

Vokal dan cara komunikasi kita ternyata sangat penting dalam menunjang pembentukan personal branding kita. Vinh Giang, salah satu guru dan ahli komunikasi di Amerika menyampaikan bahwa orang lain akan mulai membuat asumsi tentang kita dari momen kita mulai berbicara. Ia menyampaikan juga bahwa cara kita berbicara menunjukan kepribadian kita. Pernahkah kita melihat seseorang yang berbicara dengan cepat dan terburu-buru? Kita dapat berasumsi bahwa orang ini adalah orang yang seringkali tergesa-gesa dan serba cepat dalam melakukan sesuatu. Atau, pernahkah berbicara dengan orang yang berbicara dengan volume yang kecil? Kita dapat berasumsi bahwa orang ini adalah orang yang pemalu dan kurang percaya diri. Sedangkan orang yang berbicara dengan pelan, volume yang pas, terstruktur tegas dan tahu cara mengontrol jeda dalam berbicara, dapat kita asumsikan sebagai orang yang bijaksana dan pintar. Bukankah begitu?

Vokal kita memang dikaruniai oleh Tuhan yang tidak bisa kita tentukan atau tolak. Tapi kita bisa melatih vokal dan cara komunikasi kita sehingga kita bisa memiliki vocal image yang kuat dan kita inginkan. Salah satu caranya adalah dengan rutin melakukan reviu dari  vocal image kita secara terus menerus. Rekamlah kita berbicara selama lima menit tentang topik tertentu. Setelah rekamannya selesai, fokuskan diri kita untuk mendengarkan rekamannya. Persepsi yang kita dapat dari mendengarkan di rekaman itu adalah vocal image kita. Lakukan reviu dan perbaikan secara kontinyu. Tanyakan apakah volumenya cukup? Intonasinya sudah baik? Bagaimana dengan jeda berbicara? Apakah kita berbicara di nada atau pitch level yang enak didengar? Apakah masih banyak “em..” “aa..” “umm..” ketika kita sedang berbicara? Semua hal itulah yang harus terus diperbaiki sehingga kita memiliki vocal image yang diinginkan.

Memiliki vocal image yang kuat dan identik sangat baik untuk menunjang impression yang ingin kita ciptakan terhadap lawan bicara. Untuk menciptakan vocal image yang diinginkan, pertanyaan dasar yang harus ditanyakan adalah “Aku ingin dilihat seperti orang yang seperti apa oleh orang lain?” Jangan hanya memerhatikan penampilan, tapu latihlah terus vokal dan cara komunikasi kita, supaya personal branding yang kita inginkan dapat terbentuk.

Tagged : /

Sisi Lain dari Kegagalan

Berapa kali kita mendengar kata “gagal” selama hidup? Atau bahkan, bukan hanya mendengar tapi kita mengalami kegagalan. Tidak hanya sekali, mungkin beberapa kali. Biasanya, kegagalan selalu dikaitkan dengan konotasi negatif yang membuat kita merasa sedih, terpuruk atau ketidakmampuan diri kita terhadap suatu hal yang kita inginkan atau peroleh. Kegagalan merupakan sesuatu yang banyak orang “hindari” dan mungkin tidak diinginkan untuk terjadi dalam hidup. Di sisi lain, ada juga yang seringkali mengatakan bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Tapi, bagaimana cara kita mengelola dan mengolah suatu kegagalan menjadi dampak yang positif terhadap hidup kita? Mari kita bahas pada artikel kali ini!

Kebanyakan orang takut gagal

Takut akan kegagalan mungkin merupakan hal yang umum. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Linkagoal, sebuah perusahaan jejaring sosial, menyatakan hasil surveinya terhadap 1083 responden dewasa bahwa 31% ternyata takut akan kegagalan dalam hidupnya, sedangkan 30% lainnya takut kepada serangga khususnya laba-laba, 15% aktivitas atau pengalaman horor atau abnormal, dan 9% takut apabila di rumah sendirian. Dari studi juga ditemukan bahwa ternyata ketakutan akan kegagalan merupakan alasan nomor satu mengapa seseorang tidak memiliki goals atau mengapa seseorang enggan untuk mencoba hal yang baru.

Ketakutan akan kegagalan ternyata berpengaruh pada psikis seseorang. Seseorang yang takut akan kegagalan yang besar, akan menahan seseorang itu untuk berada pada zona nyamannya. “Saya sudah enak begini, mengapa saya harus mengambil Langkah yang berisiko tinggi untuk gagal?”, mungkin ini pemikiran yang sering sekali terdapat dalam pikiran seseorang hingga ketakutan itu terus menggulung pikiran dan membuatnya untuk tetap berada di kenyamanannya.

Melihat Sisi Lain dari Kegagalan

Semua orang ingin sukses. Siapa yang ingin gagal dalam menjalani hidup? Tentunya tidak ada yang menginginkan hal seperti itu. Dari kecil mungkin sebagian besar orang tua mengajarkan bagaimana anaknya untuk sukses. Akan tetapi, ternyata ada juga orang tua yang mengajarkan anaknya untuk mengalami kegagalan.

Dalam sebuah interview di program Steve Harvey, saat itu ada seorang wanita yang menceritakan bagaimana ia dapat melihat sisi lain dari kegagalan dan memiliki pola pikir yang berbeda akan konsep “kegagalan”. Wanita itu menceritakan bahwa dulu ketika kecil, ayahnya adalah seseorang yang mengajarkan anak-anaknya untuk merasakan kegagalan. Di setiap akhir jumat, Ayah wanita itu selalu bertanya pada anak-anaknya, “kegagalan apa yang kamu lakukan di sekolah dalam seminggu ini?” Ketika anak-anak itu tidak dapat menceritakan kisah kegagalannya, justru ayahnya akan kecewa. Alasan Ayahnya kecewa adalah apabila si anak tidak gagal akan sesuatu, berarti anaknya tidak mencoba atau melakukan hal yang baru, apabila si anak tidak memiliki kisah gagal berarti anak itu hanya menjalani hidup di zona nyamannya, apabila anak tidak mengalami kegagalan, berarti si anak tidak menemukan hal yang dapat membuat anaknya lebih mengerti dan berkembang ke depannya. Bagi keluarga si wanita itu, kegagalan-kegagalan yang dialami di masa kecilnya telah membawa kepada kesuksesan karena kegagalan itu merupakan guru terbaik dalam hidup keluarganya.

Failure is a wonderful teacher

Kegagalan adalah guru yang terbaik agar seseorang dapat menjadi sukses dan berhasil. Kegagalan merupakan proses yang dilalui untuk mendapatkan kesuksesan. Sangat sedikit kesuksesan yang didapat dengan mudah dan instan. Mungkin ada, tapi bisa jadi kesuksesannya tidak akan bertahan lama.

Jumlah kesuksesan mungkin tidak akan sebanding dengan kegagalan. Justru mungkin bisa lebih banyak kegagalan daripada kesuksesan. Michael Jordan, pemain basket professional terbaik pada masanya adalah contoh bagaimana beberapa kegagalan yang dia lakukan membawanya kepada kesuksesan. Pada saat masih menjadi pemain basket di SMA-nya, ia memiliki 946 kali kesempatan lemparan untuk membawa timnya pada kemenangan di tangannya. Tapi hanya 146 kali lemparan yang membawanya kepada kemenangan. Dia gagal lebih dari 700 lemparan kemenangan, tapi dia berhasil membawa timnya pada kemenangan sebanyak 146 kali.

Jika kita gagal, gagal dan gagal terus, yang kita harus lakukan hanya mempelajari kesalahan yang membuat kegagalan, mencoba terus dan cukup membuat satu kesuksesan dan semua akan berubah. Jangan mudah menyerah dalam menjalankan sesuatu apalagi ketika kita mengalami kegagalan. Yang harus dilakukan adalah terus mencoba dan kesuksesan akan datang pada waktu yang tepat.

Pentingnya Membaca Bagi Seorang Pemimpin

“Knowledge is Power”

Pernah mendengar kalimat itu? Banyak pendapat yang mengatakan bahwa semakin banyak kita mengetahui sesuatu, maka semakin banyak kekuatan yang kita miliki. Dari membaca, kita akan mendapatkan pengetahuan yang mungkin dapat membantu kita pada saat yang tidak terduga dan membuat pikiran kita untuk dapat mengenali peluang yang mungkin akan dilewati orang lain. Bahkan, dalam sebuah studi di Amerika menyatakan bahwa saat indeks membaca masyarakat berkurang pada satu tahun, berarti akan ada kekurangan pemimpin yang cakap untuk memimpin instansi, lembaga, perusahaan atau organisasi di Amerika. Sepenting itukah kebiasaan membaca bagi seorang pemimpin?

Sebut saja para pemimpin perusahaan terkenal di dunia, seperti Steve Jobs, Bill Gates hingga Elon Musk. Dari berbagai wawancara yang dilakukannya, mereka menyatakan bahwa membaca memberikan kesempatan dan kekuatan lebih bagi seorang pemimpin karena dapat membangun intelektual dan skill yang tak terduga dari hasil membaca buku. Beberapa pemimpin yang mungkin kita kenal juga, seperti Napoleon Bonaparte atau Vledimir Lenin mengakui buku sebagai sahabat dan rekan terbaik mereka dalam kehidupannya. Faktanya, Napoleon Bonaparte adalah seorang ‘gila baca’ yang memiliki pustakawan pribadi dan bertugas untuk membawa buku-buku favorit Napoleon ke medan perang. Seringkali Napoleon mengambil cuti saat membangun kerajaannya hanya untuk membaca buku yang bagus menurutnya. Sedangkan Vladimir Lenin, pendiri Uni Soviet, ternyata merupakan seorang sastrawan dan dikenal karena pengetahuannya yang luas dari hasil membaca. Segudang manfaat buku bagi seorang pemimpin, sebenarnya apa rahasia dan manfaat besar dari membaca buku?

Berkomunikasi Lebih Efektif

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa membaca dapat membuat seseorang menjadi pemimpin yang lebih baik, karena merupakan cara untuk memperoleh dan meningkatkan pengetahuan. Karena pengetahuan yang bertambah, seorang pemimpin akan diberikan manfaat kecerdasaran verbal yang bermanfaat bagi pemimpin tersebut untuk berkomunikasi dengan lebih efektif.

Selain itu, ketika kita membaca banyak buku dengan berbagai topik, kita menjadi mahir dalam menggunakan Bahasa dan akan berdampak pada saat kita berkomunikasi baik secara lisan (verbal) maupun tulisan. Salah satu cara seorang pemimpin yang hebat dalam memimpin adalah mahir dalam penggunaan kata-kata yang meyakinkan kepada para pengikutnya. Ketika kita banyak membaca, kita akan semakin banyak memperoleh pemahaman tentang kapan dan mana kata-kata yang sebaiknya kita pilih agar dapat mengkomunikasikan maksud kita secara efektif.

Mengajarkan untuk Lebih Sabar

Semakin kita mengerti banyak hal, semakin besar rasa simpati dan kebijaksanaan yang dimiliki. Keluasan pengetahuan dapat membantu seorang pemimpin untuk bertindak dengan penuh kesabaran, simpati dan pengertian. Hal ini dikarenakan, seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang baru membutuhkan waktu dan ketekunan, dan ini yang didapatkan dari seseorang yang membaca buku.

Menghasilkan Ide yang Baru dan Segar

Dengan banyak membaca, seorang pemimpin mendapatkan akses yang luar biasa dari ide, gagasan atau pemikiran. Tentunya hal-hal tersebut adalah hal yang penting untuk dimiliki seorang pemimpin. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seseorang yang membaca satu buku seminggu akan memiliki keuntungan yang lebih daripada seseorang yang hanya membaca satu atau dua buku dalam setahun. Hal ini dikarenakan, membaca lebih sering akan membuka akses ide, gagasan, informasi dan pemikiran lebih banyak daripada yang jarang membaca buku.

Menjadikan Kita Penulis yang Baik

Di setiap pekerjaan yang dilakukan, pemimpin dituntut untuk dapat menulis dengan baik. Mengapa kemampuan menulis menjadi sangat penting bagi kepemimpinan? Salah satu bagian penting dari kepemimpinan adalah penulisan laporan dan bagaimana mengkomunikasikannya secara efektif kepada manajemen dan anggota tim. Penggunaan penulisan kata menjadi penting agar pesan dapat tersampaikan secara akurat dan efektif. Sekali lagi, dengan banyak membaca seorang pemimpin akan mendapatkan kemampuan menulis secara tidak langsung.

Memotivasi untuk Melakukan yang Lebih Baik

Membaca biografi seorang pemimpin, atau kisah dari orang yang sukses dan berhasil tentunya akan memberikan dorongan juga kepada kita dalam berbuat sesuatu. Dengan membaca tentang bagaimana para pemimpin lain menghadapi situasi yang tidak mungkin dan bagaimana mereka mengatasi tantangan yang dihadapi, akan membuat kita semakin menyadari dan memotivasi untuk melakukan hal yang sama atau lebih baik. Dengan banyak membaca kisah atau pengalaman orang lain, akan menjadi pendorong bagi pemimpin untuk berusaha lebih baik.

Memudahkan Kita Mengingat Sesuatu

Pikiran manusia hanya berpegang pada hal-hal yang dianggap sangat penting ketika sedang bekerja atau menjalani hidup. Hal-hal lainnya dipindahkan dalam ingatan bawah sadar manusia. Ingatan ini tidak akan hilang, dan mungkin akan muncul sebagai referensi kita di masa mendatang. Jadi tak heran kalau hasil kita membaca kadang membantu kita pada saat-saat yang tidak terduga. Ketika kita membaca, kita sering diingatkan akan hal-hal yang mungkin dianggap kritis dalam hal karir atau kehidupan kita. Membaca secara teratur adalah cara paling efektif untuk mereviu kembali konsep-konsep penting yang kita pernah pikirkan untuk menjadi lebih baik.

Nah, ternyata membaca memberikan segudang manfaat untuk kita ketika diberikan tanggungjawab besar dalam memimpin. Selain hal-hal di atas, yang terpenting dari manfaat membaca adalah kita akan selalu menjadi merasa dunia dan kehidupan ini sangatlah luas begitu pula dengan peluang dan kesempatan yang bisa diraih. Jadi, sudahkah membaca buku hari ini?

Tagged : / /

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kehidupan dalam pekerjaan tidaklah selalu berjalan mulus. Setiap orang yang bekerja, seringkali dihadapkan dengan berbagai hambatan dan kesulitan. Bahkan, seringkali kesulitan yang ada di tempat kerja sering berdampak buruk khususnya terhadap kesehatan mental dan kehidupan sosial karyawan. Salah satu isu yang sering menjadi bahan pembicaraan namun tidak cukup mendapat perhatian adalah terkait dengan isu pelecehan seksual atau sexual harassment di tempat kerja. Tanpa disadari, tindakan pelecehan seksual di kantor ternyata memiliki dampak yang serius terhadap kesejahteraan karyawan dan citra perusahaan atau organisasi.

Dalam perspektif psikologis, pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang dipandang sebagai bentuk ofensif atau mengancam kenyamanan seseorang. Apabila didefinisikan secara umum, pelecehan seksual dapat digambarkan sebagai sebuah tindakan yang tidak “diminta”, meliputi tindakan fisik, verbal dan non-verbal yang bersifat seksual dan mempengaruhi martabat wanita maupun pria. Begitu pula di tempat kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya berbicara bahwa korbannya hanyalah wanita. Studi UN Women pada tahun 2012, mengungkapkan bahwa baik pria maupun wanita menjadi korban pelecehan seksual, meskipun rasio perempuan yang menjadi korban jauh lebih besar.

Pelecehan di tempat kerja telah ada selama beberapa dekade dan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Berdasarkan artikel berjudul “Sexual Assault and Mental Health” yang ditulis oleh Mental Health America tahun 2019, tindakan pelecehan seksual di tempat kerja memberikan ketidaknyamanan kepada para korbannya baik secara fisik maupun mental. Sebuah tindakan pelecehan seksual saja dapat menyebabkan efek negatif jangka pendek dan jangka panjang pada korban. Hal Ini mengarah pada kondisi depresi dan stres pasca-trauma. Karyawan yang menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja mungkin dapat merasa terhina, kehilangan harga diri, dan banyak lagi. Seorang akademisi dari Walden University juga mengungkapkan bahwa tindakan pelecehan seksual ini juga dapat menyebabkan masalah di tempat kerja seperti turnover yang lebih tinggi, ketidakhadiran, kepuasan kerja yang lebih rendah, dan penurunan kinerja. Pada karyawan pria maupun wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual rata-rata merasakan emosi negatif seperti malu, takut dan depresi serta penurunan harga diri, kepuasan kerja, dan rasa nyaman mereka di kantor.

Apabila tidak direspon dengan cepat, tidak peduli seberapa besar atau kecil insiden pelecehan seksual akan banyak berpengaruh baik terhadap perusahaan maupun terhadap karyawannya. Respon yang terlambat dapat membuat korban berhenti dari pekerjaan mereka. Jika isu pelecehan seksual di tempat kerja diabaikan, citra perusahaan juga akan terganggu. Bayangkan apabila sebuah perusahaan dicap sebagai perusahaan yang kental dengan karyawan-karyawan yang suka melakukan pelecehan seksual. Tentunya akan menimbulkan persepsi yang buruk di mata masyarakat.

Agar dapat meminimalisir dan mencegah tindakan pelecehan seksual di kantor, manajemen perusahaan diharapkan memiliki kebijakan efektif dan dikomunikasikan dengan baik yang bertujuan untuk mencegah pelecehan. Kebijakan harus dipantau dan keberhasilannya ditinjau secara berkala. Manajemen juga harus mengambil kesempatan untuk mengingatkan karyawan tentang keberadaan kebijakan dan isinya, menyoroti pesan utama kebijakan – seperti kebijakan “tanpa toleransi” terhadap pelecehan dan bagaimana melaporkan pelecehan. Manajemen dapat mengomunikasikan kebijakan dan kontennya menggunakan, misalnya melalui buletin internal, papan pengumuman fisik atau digital, rapat staf, atau penyampaian informasi terkait meningkatnya risiko pelecehan kepada staf sebelum acara penting. Perusahaan juga dapat menyediakan layanan counceling atau kotak suara bagi para korban yang ingin menyampaikan kegelisahan atas tindakan pelecehan seksual yang dideritanya.

Selain itu, manajemen perusahaan harus secara proaktif berusaha untuk menyadari apa yang terjadi di tempat kerja. Apabila memerhatikan dengan benar mungkin ada tanda-tanda peringatan bahwa pelecehan sedang terjadi, di luar mengetahuinya dari laporan pengaduan informal dan formal. Misalnya, ada karyawan yang sering absen karena sakit, perubahan perilaku, komentar dalam wawancara (exit interview), penurunan kinerja, atau adanya aksi menghindar dari rekan kerja tertentu. Manajemen perusahaan harus memberi karyawan kesempatan untuk mengangkat masalah mereka.

Selain kebijakan secara perusahaan, korban pun harus turut aktif membuka dirinya dan berterus terang atas apa yang dialami. Hal ini agar dampak-dampak pelecehan seksual yang disebutkan sebelumnya tidak semakin besar dan tindakan pelecehan seksual dapat diminimalisir.

Tujuh Dimensi Etos Kerja

Tujuh Dimensi Etos Kerja

Oleh : Aldi Firmansyah Rubini

Apakah Anda pernah bekerja dengan seseorang yang pintar dan berkemampuan tinggi tapi tidak dapat berbaur dengan Anda atau rekan lainnya di kantor dengan alasan “Kayaknya orang ini gak punya Work Ethic yang baik ya”? Sebenarnya apa itu work ethic? Dan, apa yang harus dimiliki seseorang dalam pekerjaannya sehingga dapat dinilai memiliki etos bekerja yang cukup?

Lingkungan pekerjaan saat ini tidak hanya serba cepat, tetapi juga sangat kompetitif. Agar suatu perusahaan atau instansi dapat mengimbangi hal tersebut dan tetap berada dalam posisi terdepan, perusahaan juga perlu berinvestasi pada tenaga Sumber Daya Manusia yang memiliki etos kerja yang baik. Selain dapat memberikan nilai tambah kepada perusahaan, SDM berkualitas yang memiliki etos kerja dapat menjadi nilai tambah untuk seseorang berpeluang dapat mencapai tingkat karir yang tinggi. Oleh karena itu, etos kerja wajib dimiliki agar dapat menunjang kehidupan karir seseorang.

Berdasarkan Journal of Managerial Issues, 22 (1) yang ditulis oleh akademisi bernama Raymond K., dan rekannya, konsep “etos kerja” terus berubah-ubah dan berevolusi seiring berkembangnya zaman. Dari mulai pekerja yang penurut, loyal, disiplin, rajin ke kantor dan bekerja keras disebut sebagai orang yang punya etos kerja yang baik, hingga pekerja yang asalkan dapat menyelesaikan tugas dengan benar walaupun bekerja dapat dimana saja dan berkomunikasi dengan rekan serta atasan kerja dengan baik dapat disebut sebagai orang yang memiliki etos kerja yang juga baik. Di jurnal tersebut juga menyatakan bahwa terdapat tujuh dimensi etos kerja yang dapat dilihat sebagai penilaian, yaitu Self Reliance, Morality/Ethics, Leisure, Hard Work, Centrality of Work, Wasted Time, dan Delay of Gratification.

Self Reliance berbicara tentang bagaimana seseorang dapat bekerja secara independent dan mandiri. Seseorang yang memiliki Self Reliance yang tinggi dapat bekerja dengan bertanggungjawab dan tidak akan mudah bergantung pada orang lain. Morality/Ethics merupakan salah satu dimensi yang penting. Morality/Ethics berbicara tentang karakter, kebiasaan dan etika dengan lingkungan sosial di sekitar tempat ia bekerja. Yang dapat ditanyakan terkait Morality/Ethics adalah apakah seseorang bekerja dengan perilaku yang baik atau buruk baik terhadap rekan sesama, bawahan maupun atasannya. Leisure merupakan dimensi yang berbicara tentang bagaimana seorang pekerja dapat berperilaku secara flexible di lingkungan kerja. Flexibel dalam hal ini berkaitan erat dengan keinginan seorang pekerja untuk berkontribusi dalam kegiatan non-pekerjaan yang sifatnya dapat mencairkan suasana dalam suatu lingkungan pekerjaan, seperti perayaan ulang tahun perusahaan, sharing knowledge, dan hal lainnya. Hard Work merupakan dimensi yang berkaitan erat dengan komitmen pekerja dalam melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh. Pekerja yang ditempatkan pada bidang yang sesuai, cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap tempat ia bekerja. Dimensi Centrality of Work berbicara terkait dengan tingkat fokus yang harus dimiliki seseorang. Fokus ini tidak harus selalu urusan pekerjaan, namun ketika ada kegiatan di luar pekerjaan ia pun dapat fokus untuk berkontribusi dalam kegiatan dimaksud. Wasted Time berbicara terkait bagaimana seseorang memiliki kemampuan time management yang baik untuk meningkatkan produktivitas dalam bekerja. Seorang pekerja yang sering tidak peka terhadap waktu pengerjaan tugas, akan dipandang sebagai seseorang yang tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Sedangkan dimensi yang terakhir, yaitu Delay of Gratification atau kemampuan seorang pekerja untuk dapat menolak keuntungan pribadi demi menjaga kredibilitas tempat ia bekerja.

Ketujuh dimensi ini dapat digunakan untuk melihat sejauh mana seseorang memiliki tingkat etos kerja yang baik. Apabila ketujuh dimensi ini dimiliki oleh seorang pekerja, maka ia dapat menjadi salah seorang pekerja yang beretos kerja baik. Namun, jangan lupa juga bahwa dalam bekerja harus selalu memiliki sikap simpati dan empati serta saling menghormati dan menghargai antar sesama pekerja agar pekerjaan dan produktivitas dalam bekerja dapat maksimal.

Menguasai Ketakutan saat Public Speaking

Pernahkah Anda mengalami momen dimana harus berbicara di depan umum tapi tubuh Anda merasakan kegelisahan hingga ketakutan seketika sebelum mulai berbicara? Jika ya, berarti Anda tidak sendiri. Berdasarkan estimasi para ahli, 77% populasi di seluruh dunia memiliki tingkat kecemasan dalam hal public speaking atau kemampuan untuk berbicara di depan umum. Sebagian orang mampu mengendalikan kecemasan ini, namun kebanyakan tidak. Apakah sulit untuk menguasai ketakutan ketika melakukan public speaking?

Glossophobia atau ketakutan terhadap public speaking merupakan hal yang cukup sering terjadi.  Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Lisa Fritscher pada situs Verywell Mind yang sudah mendapatkan reviu dari Steven Gans, seorang psikiatris dan pengajar di Harvard Medical School, Glossophobia merupakan bagian dari Social Phobia atau ketakutan atas situasi sosial. Namun, yang membedakan dari gejala social phobia yang lain adalah orang yang memiliki Glossophobia tidak takut untuk ketemu orang atau mempertunjukan sesuatu di depan orang-orang, seperti menyanyi atau menari asalkan tidak harus berbicara di depan umum.

Tidak hanya pada orang dewasa, anak-anak pun terkadang memiliki Glossophobia. Contohnya pada saat di kelas. Ketika guru menanyakan sebuah pertanyaan pada murid di kelasnya, rata-rata murid di sekolah tersebut pasti berharap untuk tidak dipanggil namanya untuk menjawab pertanyaan meskipun mereka tahu jawabannya. Hal ini dikarenakan mungkin diri kita ingin menghindari untuk menjadi “public attention”.

Ya, ketika kita berbicara di depan umum, kita akan mendapatkan atensi dari orang di sekeliling kita. Bagi kita yang tidak biasa menjadi pusat perhatian akan cenderung gelisah pada saat menjadi “spotlight” publik. Gejalanya mulai dari berkeringat, detak jantung berdegup kencang, mulut kering, sulit bernapas, pusing, hingga tiba-tiba merasakan ingin buang air. Bagi Anda yang sulit mengontrol ketakutan ini, ternyata dapat membawa dampak yang kurang baik, lho!

Faktanya, di lingkungan pekerjaan dan proses meniti karir, seseorang akan dituntut untuk memiliki tingkatan public speaking yang cukup. Berpartisipasi pada pertemuan, mempresentasikan ide atau laporan, atau tugas lainnya yang membutuhkan seseorang untuk mampu berbicara di depan kolega-koleganya. Jika belum dapat mengontrol ketakutannya, maka seseorang akan kesulitan untuk melakukan pekerjaannya. Kalau terus dibiarkan, bisa menghambat karir atau mungkin kehilangan pekerjaan. Lebih jauh lagi, risiko yang lebih besar kalau kita tidak bisa mengontrol ketakutan ini, kita akan mengalami depresi atau kegelisahan tiada henti.

Ada beberapa cara untuk melatih menghadapi ketakutan saat public speaking. Salah satunya adalah melalui Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Terapi ini bertujuan untuk mengganti pesan ketakutan yang sampai ke otak dengan narasi positif kepada diri sendiri. Melalui terapi ini, seseorang akan mempelajari bagaimana teknik relaksasi diri dan apa yang harus dilakukan saat menghadapi “panic attack”, seperti mengatur nafas, berpikiran positif dan mengatur ritme jantung sebagaimana yang kita biasa lakukan saat berolahraga.

Hal lainnya yang dapat membantu untuk menurunkan ketakutan kita terhadap public speaking adalah dengan rutin bergabung dalam grup kecil yang melakukan aktivitas dialog aktif antar anggotanya. Melalui kebiasan rutin berbicara di depan anggota grup, selain meningkatkan kemampuan public speaking seseorang, kegiatan ini juga dapat membangun kemampuan “critical thinking” yang nantinya melengkapi kemampuan berdialog seseorang.  Melalui cara ini, seseorang juga dapat meningkatkan kepercayaan diri, dimana rasa percaya diri sangat penting untuk menjadi modal dasar seseorang melakukan public speaking.

Bagaimana? Apakah sudah cukup membantu? Kita bisa memulai aktivitas rutin untuk mengontrol ketakutan kita ketika harus public speaking dengan cara-cara di atas mulai dari sekarang!

Tagged :

Apa yang Membuat Kita Menunda Pekerjaan?

Menunda-nunda pekerjaan atau biasa yang disebut dengan istilah procrastination seringkali terjadi dalam kehidupan kita. Procastionation ini dapat berupa menahan diri untuk memulai pekerjaan atau menunda untuk menyelesaikan pekerjaan. Procastinator atau orang yang suka menunda-nunda pekerjaan tidak dapat disamakan dengan orang malas sepenuhnya. Pemalas biasanya dengan mudahnya tidak akan melakukan pekerjaan dan merasa baik-baik saja. Seorang procrastinator sebenarnya memiliki keinginan untuk melakukan pekerjaannya hanya saja tidak dapat mendorong dirinya untuk memulai pekerjaan.  Beberapa orang merasa lebih dapat bekerja lebih produktif ketika memulai pekerjaan mendekati tenggat waktu atau deadline. Mungkin itu benar, tapi seringkali menunda pekerjaan akan membuat kita merasakan perasaan bersalah, tidak efektif dan memperpanjang rasa stres. Lalu, kenapa ada saja orang yang menunda pekerjaan?

Seorang akademisi dan penulis buku berjudul “The Feeling Good Handbook”, Dr. David Burns, menyatakan terdapat sepuluh alasan seseorang menunda pekerjaan. Pertama, procrastinator meyakini prinsip “Sebelum melakukan sesuatu harus merasa termotivasi”. Prinsip ini menjadi sebuah mindset yang mendorong seseorang untuk harus masuk di situasi atau mood yang memotivasi untuk melakukan pekerjaan. Beratnya adalah ketika situasi yang mendukung mood ini tidak kunjung datang. Kedua, procrastinator memudahkan segala sesuatu. “Tenang, ini gampang bisa dikerjakan cepat”, merupakan perkataan yang sering dikatakan oleh seorang procrastinator. Ketiga, ternyata seorang procrastinator sebenarnya takut menghadapi “real failure”. Jadi daripada dia merasakan kegagalan atas apa yang dikerjakannya, dia cenderung menghindarinya dengan cara menundanya. Keempat, ada procrastinator yang sebenarnya adalah seorang perfeksionis. Sebelum melakukan satu hal, orang ini akan berusaha untuk menyiapkan segala sesuatunya sampai sempurna sehingga tidak segera memulai pekerjaan yang seharusnya. Kelima, kurang tegas ketika menerima pekerjaan atau instruksi juga berpengaruh terhadap motivasi kita melakukan pekerjaan. Ketika ada pekerjaan yang dirasa tidak disukai, tidak setuju atau keberatan maka tegaslah untuk mengatakan tidak, karena apabila kita menyetujuinya kita akan dengan enggan melakukan pekerjaan tersebut.

Lima faktor penyebab procastionation lainnya dipengaruhi dari luar (external factor). Yang pertama adalah lack of rewards. Seseorang bisa menjadi procrastinator karena hal yang dilakukannya tidak diberikan penghargaan yang sesuai dengan usahanya. Selain itu, faktor berikutnya adalah adanya pernyataan “sebaiknya” bukan “seharusnya”. “Sebaiknya kamu lakukan A”, pernyataan seperti itu akan membuat seseorang melihat tugasnya menjadi tidak penting dan tidak urgent. Ketiga, apabila seseorang merasa tidak nyaman di lingkungan pekerjaannya atau tidak menyukai atasannya, maka dia menunda pekerjaan sebagai ekspresi ketidaksukaannya. Seorang procrastinator menunda pekerjaan sebagai bentuk pemberontakan dari standar, nilai dan ekspektasi yang didapatnya Misalnya seorang karyawan yang sudah bekerja dengan baik namun mendapatkan nilai yang buruk.

Sebenarnya, menunda pekerjaan bukanlah selalu hal yang baik. Hal ini dikarenakan, ketika kita menunda pekerjaan, kita justru menghabiskan waktu dan energi kita untuk dapat mengerjakan hal yang lebih berarti. Apabila kita ingin mengurangi kebiasaan menunda pekerjaan, kita harus bisa mengidentifikasi alasan atau faktor apa yang membuat kita menunda pekerjaan, merencanakan goal dan disiplin untuk menjalankan rencana tersebut dengan mengatur prioritas pekerjaan. Hargailah usaha yang kita lakukan dari setiap pekerjaan yang kita selesaikan dengan memberikan self-reward, seperti segelas kopi hingga reward lain yang lebih besar dari setiap pencapaian pekerjaan yang dilakukan untuk memotivasi kita.

Sunk Cost Fallacy

Kapan terakhir kali kita mendengar merk ‘Nokia’? Mungkin sudah lama sekali. Nokia merupakan sebuah merk dengan trademark yang kuat di industri telekomunikasi dan merajai pasar telepon genggam pada masanya. Pada saat berada di tahta kerajaannya, Stephen Elop yang merupakan CEO Nokia saat itu sangat yakin bahwa keberadaan Apple dan Google tidak akan pernah dapat menggeser posisinya. Stephen Elop dan CEO Microsot, Steve Ballmer, pada saat itu sangat yakin dan bahkan mengatakan tanpa ragu bahwa iOS dan Android tidak memiliki peluang untuk mengambil alih pasar smartphone. Secara perlahan tapi pasti, reaksi pasar membungkam keyakinan Elop dan Balmer. Nokia yang fokus mengembangkan sistem operasinya yang bernama Symbian tidak memberikan perbaikan dan hasil yang diekspektasikan. Akibatnya, hanya dalam enam tahun, nilai pasar Nokia terjun bebas. Posisi mereka sebagai pemimpin pasar berakhir menjadi sejarah. Mengapa ini bisa terjadi?

Pada kasus Nokia di atas, manajemen Nokia melihat iOS dan Android sebagai ancaman serius, namun keyakinan sekaligus ketakutan untuk mengambil keputusanmenghalangi mereka untuk melakukan perubahan. Keputusan yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan jangka panjang, seperti mengembangkan sistem operasi baru tidak pernah lahir. Manajemen justru memutuskan untuk mengembangkan perangkat telepon baru yang hanya membantu perusahaan dalam durasi yang pendek.

Freek Vermeulen, seorang professor strategi dan kewirausahaan di London Business School, menilai bahwa para eksekutif Nokia terjebak dalam sunk cost fallacy. Para eksekutif Nokia cenderung untuk terus mendorong usahanya karena takut kehilangan semua hal yang telah diinvestasikan di masa lalu seperti waktu, tenaga, emosi, biaya meskipun itu menciptakan ketidaknyamanan atau keadaan lebih buruk. Lantas, apa itu sunk cost fallacy?

Sunk Cost merupakan suatu istilah yang mungkin sudah dikenal oleh para mahasiswa ekonomi. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mungkin masih membingungkan juga, biaya/uang tenggelam? Sunk cost adalah segala usaha (effort) dan resources yang telah kita keluarkan yang bersifat unrecoverable atau tidak dapat kembali. Resources di sini bukan sekedar uang, tapi mencakup waktu, tenaga atau hal lainnya yang memiliki nilai. Untuk perusahaan, tentu hal ini sangat berbahaya karena resources yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Sehingga sunk cost fallacy atau pemikiran ketakutan terhadap potensi munculnya sunk cost terkadang muncul tanpa disadari. Ternyata sunk cost fallacy sering kita jumpai di aspek kehidupan kita sehari-hari, lho!

Apakah Anda pernah memaksakan diri menonton film di bioskop yang membosankan sekali sampai habis? Dalam benak Anda berpikir, “Duh, nanggung. Sudah setengah jalan.” Atau Anda bahkan tetap menonton karena merasa sayang sudah mengeluarkan uang untuk bayar tiket? Itu sunk cost fallacy!

Lebih memilih mempertahankan toxic relationship daripada mengakhirinya? Itu sunk cost fallacy!

Lebih memilih melanjutkan pekerjaan dengan lingkungan yang tidak sehat daripada mencari pekerjaan lain? Itu sunk cost fallacy! Perasaan kita yang tidak berani untuk keluar dari pekerjaan tersebut disebabkan karena merasa takut menyia-nyiakan tenaga, waktu, uang dan hal lainnya untuk dapat mencapai posisi saat ini? Padahal bisa saja kalau kita keluar dari pekerjaan tersebut, kita dapat menemukan pekerjaan yang lebih membuat nyaman dan puas.

Daniel Kahneman, seorang pemenang hadiah Nobel 2002 dalam ilmu ekonomi, dan temannya Amos Tversky menjelaskan bahwa alasan mengapa seseorang bisa terjebak dalam sunk cost fallacy adalah karena loss aversion di mana keinginan untuk menghindari rugi dan takut kehilangan lebih besar daripada keinginan untuk mendapatkan keuntungan.

Sangat berat bagi kita, sebagai manusia normal, untuk mengakhiri segala sesuatu yang telah kita korbankan untuk suatu hal lain, walaupun bisa jadi hal itu mungkin lebih bagus. Meskipun kita sebelumnya sudah berhati-hati dan menimbang saat mengambil keputusan, dalam hati kecil kita mungkin akan merasakan hal-hal sejenis ini:

Kita sudah sampai tahap ini, sayang banget kalau…. “

Berhubungan sudah 7 tahun, keluarga sudah saling kenal, sayang kalau putus…”

“Sudah investasi banyak, rugi kalau cut loss…”

 “Sudah bekerja selama 5 tahun, sayang kalau harus keluar…”

Ketika ada perasaan seperti ini, ada baiknya kita mulai merefleksikan, apakah benar kita harus melanjutkan? Kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan ke dalam diri kita kembali, apakah kalau kita pertahankan bisa mengubah situasi atau justru keadaan buruk terus menimpa kita? Kita juga bisa menerapkan mindset : “Yang terjadi di masa lalu nggak akan bisa kembali”. Anggap resources yang kita sudah keluarkan layaknya kita lagi belanja dengan sistem no refund policy. Pertimbangkan kerugian yang akan diderita dengan peluang atau kesempatan yang ada di luar sana. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah keuntungan yang didapat ketika melanjutkan aktivitas itu sepadan?

Budaya Kompetitif atau Kolaboratif?

Dalam menjalankan bisnisnya, setiap perusahaan atau organisasi memiliki budayanya masing-masing. Beberapa perusahaan besar, seperti Amazon misalnya memiliki budaya hiper-kompetitif yang mengutamakan hasil dan menggambarkan situasi dimana “yang paling gigih dan berkinerja tinggi yang bertahan”. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pendekatan kompetitif terhadap budaya tempat kerja sungguh menarik karena memberikan suatu tekanan yang secara tidak langsung memotivasi, menyelaraskan dan meningkatkan kinerja karyawan. Akan tetapi, sebagian lain menyatakan bahwa budaya kompetitif dapat memberikan dampak negatif terhadap perusahaan dan tidak lebih baik dari budaya kolaboratif. Lantas, manakah budaya perusahaan atau organisasi yang terbaik?

Di samping dampak positif dari budaya kompetitif yang disebutkan di atas, sebenarnya tersimpan aspek negatif yang perlu menjadi pertimbangkan, seperti tekanan mental karyawan, potensi pelanggaran etika bekerja dan peningkatan risiko pekerjaan lainnya. Dengan adanya budaya kompetitif karyawan cenderung akan membandingkan kinerja antara satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan tujuan hingga prestasi, terkadang segala cara dilakukan agar mendapat “kemenangan”. Terdapat suatu potensi karyawan akan “menghalalkan segala cara” untuk bisa bertahan. Karena kompetisi antar individu, maka pendekatan seperti ini kurang mementingkan cara dan kepentingan terbaik dari rekan kerja atau organisasi secara keseluruhan.

Berbeda halnya dengan perusahaan berbudaya kolaboratif. Budaya ini memiliki pendekatan yang mendorong, individu, tim dan fungsi dalam organisasi untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Budaya kerja kolaboratif biasanya memiliki ciri-ciri seperti memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antar karyawan, organisasi memberdayakan karyawan dengan baik, konflik yang sehat dan produktif serta ada aspek pembelajaran dari setiap pekerjaan yang dilakukan karyawan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan konsultan bisnis, LSA Global, berjudul Top Employee Engagement Trend pada tahun 2018 menunjukan bahwa  kolaborasi dan kerja sama tim memiliki dampak yang luar biasa bagi produktivitas karyawan dalam suatu perusahaan dan meningkatkan intensi karyawan untuk loyal bekerja pada perusahaannya.

Akan tetapi budaya kolaborasi ini tidak selalu menghasilkan dampak yang positif. Untuk bisa  mencapai budaya kolaboratif yang sempurna, dibutuhkan waktu agar karyawan, tim atau fungsi bisa berjalan dengan seirama. Selain itu, bisa jadi budaya ini dirasa tidak menarik bagi orang yang berkinerja tinggi dan merasa terjebak dalam dinamika tim. Ketika tim bertambah besar, tingkat frustasi dalam menyelaraskan tim dapat berdampak negatif dan masif karena berbicara terkait banyak orang.

Lantas budaya manakah yang lebih baik?

Mungkin jawabannya tidak ada yang tepat dan sangat bergantung pada bagaimana suatu pekerjaan harus diselesaikan ketika menjalankan strategi. Bagi perusahaan yang memiliki strategi untuk memberikan keunggulan pada pelanggan seperti Amazon, misalnya, mungkin budaya kompetitif cocok untuk diterapkan. Namun, jika dalam strategi perusahaan memerlukan kerja tim di seluruh fungsi, persaingan antar individu justru dapat menghambat pencapaian atau strategi yang dijalankan oleh perusahaan.

Dalam dunia pekerjaan, produktivitas menjadi hal yang esensial. Suasana, lingkungan dan budaya kerja sangat berpengaruh dalam mendorong kinerja dan membangkitkan semangat bekerja. Suasana, lingkungan pekerjaan dan budaya kerja yang sesuai dengan strategi dan visi perusahaan dan nyaman bagi karyawannya dipercaya dapat meningkatkan produktivitas vice versa. Sebagai pemimpin suatu perusahaan, kita diharapkan untuk menciptakan keseimbangan yang tepat antara kebutuhan dan strategi perusahaan dengan kebutuhan dan karakteristik karyawan.

Bekerja Lembur, Pilihan Positif atau Eksploitatif?

Bekerja overtime atau biasa kita kenal dengan istilah lembur merupakan salah satu istilah yang sering kita dengar dalam dunia pekerjaan. Faktor yang membuat seseorang kerja lembur sangatlah banyak, dari masalah pekerjaannya hingga masalah internal dalam diri yang dimiliki. Kalau dari sisi permasalahan pekerjaan misalnya karena proyek atau pekerjaannya membengkak di luar proporsi atau target yang seharusnya, deadline pekerjaan yang tiba-tiba mendesak atau desakan secara tidak langsung dari atasan atau pimpinan perusahaan untuk bekerja dengan lembur. Meskipun begitu, ada juga orang yang melihat lembur sebagai peluang atau sesuatu yang dilakukan secara sukarela demi mendapatkan kompensasi tambahan atau fleksibilitas jadwal yang lebih besar. Apakah lembur bisa menjadi pilihan positif bagi karyawan atau justru dilihat sebagai sesuatu yang berpotensi eksploitatif?

Di era pandemi COVID-19 ini, kita disuguhkan dengan opsi bekerja dari rumah atau bisa dikenal dengan work from home (WFH). Konsep WFH mungkin masih terasa asing di telinga kita sebelum pandemi menyerang, namun semenjak pandemi COVID-19 kita justru semakin dekat dengan kondisi bekerja dari rumah. Dengan kebijakan WFH ini, kita memang mendapatkan privilege dengan waktu bekerja yang lebih fleksibel. Namun, ternyata kebijakan WFH ini juga menyumbangkan fakta terkait kerja lembur di situasi saat ini, yaitu peningkatan waktu bekerja atau overtime yang tidak terukur.

Berdasarkan kajian World Economy Forum, ternyata terdapat kaitan antara WFH dengan kerja lembur. Dari survey yang dilakukan kepada 31 juta pekerja dari 21 ribu perusahaan, ternyata salah satu hasil kajiannya mengemukakan fakta bahwa banyak pekerja yang merasa waktu kerja jadi lebih panjang dan lebih terasa tereksploitasi. Di satu sisi kebijakan WFH memang memberi kesempatan bagi para karyawan untuk mengatur dan mengelola jadwalnya sendiri. Namun, di sisi lain terdapat semakin kaburnya ‘garis’ antara pekerjaan dan waktu hidup pribadi. Lantas apa saja manfaat dan dampak negatif dari lembur terhadap karyawannya?

Lembur menawarkan beberapa manfaat tertentu bagi pekerja. Meskipun di beberapa kasus yang ada lembur merupakan opsi, ada juga lembur yang diwajibkan. Tentunya kewajiban lembur ini apabila disandingkan dengan kompensasi yang baik pun masih dapat memberi manfaat positif bagi karyawan, seperti memberikan kesempatan karyawan untuk mendapatkan ekstra pendapatan berdasarkan perhitungan jam lembur yang dilakukan, menawarkan kesempatan untuk bekerja di jam-jam produktif seseorang yang mungkin baru dapat aktif bekerja di sore atau malam hari, dan tentunya memberikan keleluasaan dan fleksibilitas dalam bekerja. Apabila lembur ini mendapatkan kompensasi yang adil, mungkin bisa jadi pilihan bagi karyawan yang betul-betul membutuhkan. Dari berbagai manfaat yang ada, bagaimana dampak negatif dari lembur?

Tentu saja kerja lembur dapat berdampak signifikan terhadap karyawan, khususnya dari sisi kesehatan dan produktivitas. Bekerja berlebihan dapat menyebabkan kelelahan dan stres. Sehingga karyawan perlu memastikan bahwa ia mendapatkan waktu istirahat yang cukup apabila mengambil lembur terlalu banyak. Lembur juga sebenarnya bisa sangat membatasi produktivitas kita, karena kita bekerja berjam-jam dan tidak memberikan otak kita istirahat yang dibutuhkan untuk dapat bekerja dengan baik. Menghabiskan waktu terlalu lama di kantor pun dapat menyebabkan karyawan kehilangan motivasi dan menjadi kurang aktif. Jadi, bekerja lembur tidak selalu menjamin kualitas dari pekerjaan yang dilakukan meskipun sudah melakukan usaha ekstra.

Keseimbangan yang tepat antara pekerjaan dan kehidupan sangatlah penting. Apabila kita dapat menjaga keseimbangan tersebut kita juga dapat menjaga kesejahteraan dan motivasi kita dalam bekerja. Ketika kita terlalu banyak kerja lembur pun, berarti kita tidak dapat memprioritaskan kehidupan pribadi kita. Semakin banyak lembur yang dilakukan, semikin sedikit waktu yang dimiliki untuk bertemu teman, berinteraksi dengan keluarga dan semikin sedikit waktu yang dimiliki untuk bersantai. Padahal hal tersebut adalah hal yang penting untuk menjaga kesehatan mental kita.

Tagged : / /

Membuat Keputusan yang Tidak Biasa

Setiap hari kita membuat ribuan keputusan terhadap hidup kita baik yang memengaruhi hidup diri kita sendiri maupun hidup orang lain. Dari mulai membuat keputusan sederhana dari pertanyaan seperti, “apakah saya pagi ini membuat secangkir kopi atau teh?”, hingga dihadapkan dengan keputusan yang lebih kompleks dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan, seperti “apakah saya harus resign dari kantor?”. Banyak orang merasa kesulitan untuk membuat keputusan. Apalagi jika keputusan yang harus dibuat akan sangat berpengaruh terhadap masa depan dan perubahan besar dari kehidupannya saat ini. Banyak orang juga takut untuk memilih hal yang baru dan berbeda dari orang lain. Sehingga banyak orang yang cenderung memilih untuk membuat keputusan atas hal-hal yang dapat diketahui dampaknya daripada hal-hal yang belum pernah diketahuinya.

Di saat kita dihadapkan dengan suatu pilihan keputusan, otak akan memberikan beberapa faktor psikologis penting yang akan memengaruhi keputusan kita. Cindy Dietrich, seorang educational pshycologist dalam tulisannya mengemukakan bahwa faktor penting yang memengaruhi otak manusia dalam membuat keputusan, yaitu pengalaman di masa lalu, berbagai cognitive bias (kecenderungan pemikiran yang kita buat tanpa disadari), adanya komitmen dan kegagalan yang pernah dialami, perbedaan masing-masing individu dalam hal usia, status sosial ekonomi dan kepercayaan yang dimilikinya. Semua faktor tersebut biasanya muncul sebagai landasan berpikir kita ketika kita akan membuat keputusan.

Selain faktor-faktor penting di atas, terdapat satu istilah yang juga sangat memengaruhi keputusan kita terutama pada keputusan yang sangat penting dan berdampak terhadap kehidupan, yaitu status quo bias. Pernahkah kita berpikir untuk mengganti pekerjaan ketika sudah merasakan bahwa pekerjaan kita tidak memberikan kebahagiaan dan kenyamanan lagi? Apabila jawabannya tidak, faktor penghalang dari keputusan seperti inilah yang dinamakan dengan status quo bias. Kita cenderung untuk memilih sesuatu yang kita ketahui daripada sesuatu yang baru dan berbeda. Kita melihat pilihan lain sebagai suatu risiko atau bahkan permasalahan baru meskipun bisa saja pilihan itu lebih baik. Tanpa disadari, kita akan memilih untuk enggan berganti kepada hal lain.

Lantas, bagaimanakah agar kita dapat membuat keputusan untuk hal yang baru dan berbeda? Paul Arden dalam bukunya, “Whatever You Think, Think the Opposite” mengemukakan beberapa tips agar kita dapat membuat keputusan di luar kebiasaan. Yang pertama, mintalah “tamparan” dari orang lain. Jika kita memperlihatkan karya kita kepada orang lain dan berkata, “bagimana pendapatmu?” mungkin orang lain akan merespon dengan hal positif seperti, “bagus!” karena mereka tidak mau menyinggung perasaan kita. Lain kali, kita bisa meminta pendapat dengan cara menanyakan “apa yang salah?”. Hal ini akan membuka jalan kita untuk mendengar kritik yang jujur dari orang lain.

Jika kita menginginkan suatu keputusan yang berbeda dari orang lain, latihlah cara berpikir di luar kebiasaan (outside the box). Terkadang kita hanya memutuskan sesuatu karena orang lain juga memutuskan hal yang sama, kita tidak pernah berpikir bahwa ada pemikiran lain yang bisa menjadi dasar keputusan kalau kita sejenak melupakan pilihan kebanyakan orang. Prinsipnya, jika kita selalu memilih keputusan yang banyak orang pilih dan merupakan keputusan yang “safe”, jangan berharap keputusan itu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap apa yang kita harapkan.

Banyak orang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membuat keputusan yang sempurna dan menyenangkan bagi orang lain tapi hingga akhir tidak menjalankan keputusan itu. Daripada menunggu kesempurnaan sebuah keputusan, lebih baik jalani dengan faktor pendukung yang ada dan perbaiki dari waktu ke waktu.

Ingat dalam mengambil keputusan, apapun keputusan yang Anda ambil pada akhirnya, itulah satu-satunya keputusan yang dapat diambil. Jika tidak diambil, Anda akan mengambil keputusan yang lain. Apapun yang kita lakukan, kitalah yang memilih. Jadi apa yang harus disesali?

You are the person you chose to be.

Tagged : /

Apakah Leadership Diperlukan?

            Belakangan ini jagat Twitter diramaikan dengan sebuah cuitan yang isinya menyatakan bahwa kemampuan “leadership” atau kepemimpinan bukan merupakan skill yang esensial. Lanjut lagi cuitan tersebut menyatakan bahwa, tidak semua orang senang berada dalam posisi memimpin dan banyak orang yang lebih senang diberi tugas yang jelas untuk dikerjakan dibandingkan jadi pemimpin. Namun, banyak pula orang yang menyatakan bahwa leadership itu penting dan wajib dimiliki setiap orang. Apakah kemampuan leadership itu sepenting itu dan memang betul-betul diperlukan?

            Dari berbagai jurnal dan artikel yang penulis dapatkan, termasuk salah satunya adalah artikel berjudul “Importance of Leadership in Organizational Development”, menyatakan bahwa kemampuan leadership memiliki peranan penting dalam sebuah organisasi. Bahkan, suatu organisasi atau perusahaan sangat sulit untuk bekerja dengan efisien tanpa memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkemampuan leadership yang efektif. Leadership merupakan suatu kemampuan yang akan dibutuhkan dimanapun dan kapanpun.

            Seringkali “leadership” dipandang sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang dalam hal memimpin orang lain. Padahal konsep leadership sangatlah luas dan tidak terbatas hanya dalam hal kemampuan memimpin orang lain saja. Terdapat tiga tahapan atau level kemampuan leadership, yaitu self-leadership (leading yourself), team-leadership (leading team or entity) dan organization/business-leadership (leading business).

            Kemampuan memimpin tidak harus disandingkan dengan objek eksternal, seperti memimpin orang lain, bawahan atau karyawan. Tingkatan pertama yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk bagaimana ‘memimpin’ diri sendiri. Ketika berbicara mengenai konsep “leading yourself” artinya kita berbicara mengenai bagaimana berdamai dengan diri kita sebagai individu yang bekerja dan beraktivitas, baik secara fisik maupun emosional. Dalam tingkatan ini kita harus mampu mengontrol perasaan, komunikasi, empati hingga bagaimana mengelola pekerjaan yang diberikan dengan baik dan memiliki time management yang baik. Apakah seorang fresh graduate atau karyawan entry level bisa terlihat leadership-nya dalam tahap ini? Bisa, kita hanya perlu mengecek faktor-faktor di atas ketika berinteraksi dengannya.

            Setelah kemampuan ‘memimpin’ diri sendiri, tingkatan selanjutnya adalah kemampuan dalam hal memimpin tim atau kelompok. Di tingkat ini, faktor-faktor seperti kemampuan berkomunikasi yang lebih baik dan kemampuan mendelegasikan pekerjaan/tugas menjadi penting untuk dilihat. Empati dan kerendahan hati pun menjadi salah satu hal yang penting untuk dimiliki, karena tahap leadership ini adalah memerlukan kita untuk mendengarkan curahan hati rekan tim. Pemimpin dalam tahap ini juga harus memiliki visi yang jelas dan nyata, agar dapat mendapatkan trust dari rekan timnya. Di tahapan ini pun seharusnya sudah tidak ada lagi permasalahan dengan time management. Hal ini dikarenakan seharusnya kemampuan mengelola waktu sudah selesai pada tahap awal ‘memimpin’ diri sendiri. Oleh karena itu, pada level supervisor, manager atau first line management di banyak perusahaan atau organisasi, lembur sudah tidak dihitung karena pekerjaannya sudah dituntut untuk beres dengan time management issue.

            Tahapan yang paling tinggi yang dimiliki seorang leader adalah leading business. Ini merupakan suatu kemampuan yang lebih kompleks dan memiliki tanggung jawab yang tinggi. Hal ini dikarenakan, pada tahapan ini seseorang tidak hanya memimpin satu tim dalam sebuah departemen/bagian tapi memimpin lintas fungsi. Leading business merupakan kemampuan dalam mengintegrasikan berbagai fungsi dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Faktor kuat yang harus dimiliki seseorang pada tahap ini adalah kecerdasan/ketajaman dalam berbisnis/berorganisasi, decision making, memiliki visi yang semakin jelas dan kemampuan berkomunikasi di tingkat yang lebih advance.

            Ada aspek atau faktor yang selalu muncul dari ketiga tahapan leadership, yaitu komunikasi. Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dan seringkali menjadi penentu nasib seseorang dalam bekerja. Apabila kita tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, niscaya akan mendapatkan kesulitan pada saat berada di posisi ‘dipimpin’ ataupun ‘memimpin’.

            Leadership itu penting dan selalu akan dipakai dimanapun. Tidak perlu jauh-jauh, ketika kita memiliki asisten rumah tangga sebenarnya kita sudah berada dalam posisi menjadi pimpinan. Kemampuan kita dalam mengarahkan pekerjaan, membagi tugas, mengajarkan agar sesuai dengan standar dan kebiasaan orang rumah, memberikan fasilitas yang cocok bagi dia agar merasa ‘betah’ bekerja di rumah kita, merupakan bagian dari leadership. Jadi, masih merasa leadership itu tidak penting dan tidak diperlukan?

Tagged : /

Menghadapi Rasa Malas

Siapa yang tidak kenal rasa malas? Rasanya hampir semua orang pernah merasakannya. Bahkan orang yang terlihat rajin sekalipun, pasti terkadang merasakan rasa malas. Dari setiap kegiatan kita sehari-hari, selalu ada hal-hal yang membuat kita malas sehingga membuat keseharian kita menjadi kurang produktif.

Meskipun begitu, rasa malas merupakan hal yang sangat sulit untuk dihilangkan. Di saat rasa malas menghantui, seringkali kita selalu mengatakan pada diri sendiri “Sudah dong malas-malasannya,  yuk berhenti bermalas-malasan”. Padahal, menghilangkan rasa malas tidak sesederhana itu. Ibaratnya, menghilangkan rasa malas sesungguhnya sesulit memberitahu orang yang kelebihan berat badan untuk mengurangi berat badannya, pecandu narkoba untuk berhenti mengonsumsi narkoba secara instan, dan orang yang depresi untuk menjadi ceria dan semangat.

Stephanie Lee, penulis F*ck Yes! Saturday (FY!S), menyatakan bahwa kemalasan adalah hal alami yang dimiliki manusia dan seringkali disebut dengan “easy mode” dari kehidupan sehari-hari kita. Ketika seseorang menghadapi permasalahan atau harus memutuskan melakukan sesuatu, bisa jadi jalan yang dipilih adalah “easy mode” ini karena tidak melakukan sesuatu (do nothing) atau merasa aman (being really safe) untuk tidak melakukan sesuatu adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan. Jadi, kemalasan adalah hal yang datang dari diri kita sendiri yang bisa terjadi dikarenakan misalnya, karena kita terlalu banyak pilihan, terlalu banyak informasi sehingga membuat kita bimbang dan memikirkan segala hal, atau kita tidak tahu arah mana yang kita tuju, hingga  karena memang kita ingin menghindari pekerjaan yang berat.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghadapi rasa malas. Rata-rata kita menghadapi rasa malas dengan mengerjakannya dengan cepat. Misalnya, ketika diminta untuk mencuci piring dan kita dalam situasi yang sangat malas melakukannya. Yang mendorong diri kita untuk pada akhirnya mencuci piring biasanya adalah pikiran seperti “Saya akan mencucinya dengan cepat agar pekerjaan ini segera berakhir dan saya akan kembali ke kegiatan saya sebelumnya”. Padahal, solusi tersebut bukanlah hal yang baik, karena mengerjakan sesuatu dengan cepat hanya akan berakhir pada rasa malas yang terus berkelanjutan.

Agar dapat menghadapi rasa malas, kuncinya adalah mengelola ekspektasi. Ekpektasi kitalah yang seringkali membuat “tembok tebal” dalam diri kita yang akhirnya menimbulkan rasa malas. Sebagai contoh ketika saya memiliki cita-cita untuk menjadi kaya dengan ekpektasi mendapatkan uang dengan cara cepat dalam kurun waktu satu tahun agar orang lain melihat saya sebagai orang yang sukses. Saya memiliki beberapa cara dan sudah memahami bagaimana saya melakukannya. Namun pada akhirnya karena ekspektasi yang saya set sedemikian rupa, saya tidak melakukan apa-apa karena terhalangi bayang-bayang kegagalan, terlalu banyak hal yang harus dilakukan hingga cemas dan khawatir ketika akan menjalankannya. Karena hal-hal itulah, pada akhirnya kita akan memasuki “easy mode” dalam diri kita atau bermalas-malasan sehingga tujuan tidak tercapai. Nah, untuk mengelola ekspektasi dan mengurangi rasa malas, ada lima hal yang dapat dilakukan sebagai permulaan, yaitu :

  1. Keluarkan tujuan/goal yang diharapkan dari pikiranmu dan kalau bisa ditulis dengan menggunakan tulisan nyata.
  2. Cari tahu hal-hal yang bisa dilakukan saat ini, dimulai dari hal yang terkecil.
  3. Berkomitmen untuk melakukan hal atau kegiatan yang sedikit-sedikit.
  4. Terapkanlah pola pikir “harus” untuk menyemangati pikiran kita dalam menyelesaikan setiap pekerjaan.
  5. Temukan seseorang yang perhatian atau menemani kita di saat kita melakukan kesalahan atau kegagalan.

Kepuasan Kerja, Work-Life Balance dan Produktivitas Kinerja

Di dunia bisnis pada era globalisasi seperti saat ini, para perusahaan berlomba-lomba dalam persaiangan usaha yang ketat dengan menggunakan segala sumber daya atau resources yang dimiliki perusahaan. Persaingan usaha menjadi sesuatu yang sangat menjadi perhatian setiap perusahaan ditambah dengan kondisi dimana perusahaan harus bertahan dengan kondisi pandemi global yang sangat berdampak terhadap operasional dan performa perusahaan. Jangankan bersaing, banyak dari perusahaan yang kini harus menjalankan bisnisnya dengan memaksimalkan sumber daya yang terbatas namun harus tetap menghidupkan perusahaannya dengan baik. Di antara semua sumber daya yang menopang perusahaan, sumber daya manusia, dalam hal ini karyawan, memiliki peranan dan kontribusi yang sangat penting dan dominan.

Karyawan merupakan sebuah aset bagi perusahaan. Selain memiliki peran yang sangat penting, karyawan merupakan sumber daya yang dominan demi mencapai tujuan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Akan sangat sulit bagi perusahaan untuk beroperasi dengan lancar dan mencapai tujuannya apabila karyawannya tidak mampu mengeksekusi tugas dan fungsinya dengan baik. Terlebih lagi, masih banyak perusahaan yang menuntut karyawan dengan tekanan pekerjaan tanpa memerhatikan kepuasan kerja karyawannya. Padahal, banyak pendapat dan survei menyatakan bahwa untuk mempertahankan kinerja karyawan agar tetap produktif, perusahaan harus memerhatikan kepuasan kerja karyawannya yang tidak lepas dari beberapa faktor yang salah satunya adalah work-life balance.

Work-life balance merupakan sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendefinisikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti bernama Lockwood dalam risetnya berjudul “Work/Life Balance: Challenges and Solutions”, menyatakan bahwa keadaan seimbang pada dua tuntutan di mana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan menurut penulis jurnal lainnya, Greenhaus menyatakan bahwa work-life balance adalah sejauh mana suatu individu terikat secara bersama di dalam pekerjaan dan keluarga, dan sama-sama puas dengan peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarganya. Work-life balance menjadi hal yang sangat penting karena dapat berpengaruh kepada kepuasan kerja seorang karyawan dan bagaimana produktivitas seorang karyawan bekerja pada suatu perusahaan.

Seringkali karyawan dihadapkan pada porsi pekerjaan yang menuntut dirinya untuk bekerja melebihi jam regular tempat dirinya bekerja. Deadline tugas yang diberikan terkadang menuntut karyawan untuk menggunakan jam lembur (overtime) untuk menyelesaikannya. Rapat kerja yang diadakan hingga larut malam, serta perjalanan bisnis atau dinas ke luar kota yang akhirnya membuat kebutuhan dengan keluarga dan lingkungan terdekatnya hingga kebutuhan pribadi jadi terganggu juga turut menyertai tekanan perusahaan pada karyawannya. Karyawan dituntut untuk melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal namun seringkali perusahaan mengesampingkan keseimbangan kehidupan karyawannya. Tidak sedikit perusahaan yang memberikan jumlah tugas atau pekerjaan yang berlebihan yang mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja karyawan hingga kepuasan kinerja karyawan. Padahal, ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.

Di Singapura, pemerintahnya mendukung permintaan masyarakatnya yang menginginkan work-life balance dalam kehidupan bekerja. Hingga saat ini, sistem work-life balance mulai diterapkan di beberapa lembaga pemerintahan seperti waktu bekerja sesuai dengan porsi yang telah ditentukan. Setelah beberapa waktu kebijakan work-life balance ini diterapkan, hasilnya menunjukkan hal yang positif, seperti produktivitas kerja meningkat, pengeluaran berkurang dikarenakan angka keluar-masuk karyawan berkurang, angka ketidakhadiran atau absen semakin menurun dan komitmen karyawan kepada perusahaan pun semakin tinggi. Hasil ini kemudian menjadi catatan bagi jajaran perusahaan bahwa jika menerapkan work-life balance kepada karyawannya di tempat kerja maka perusahaan tersebut akan menjadi lebih menyenangkan, efisien, dan produktif.

Berbeda dengan di Indonesia. Berdasarkan salah satu survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia terhadap pengangguran yang ada di Indonesia, jumlah penganguran di negeri ini berkisar di angka 9 juta. Adapun sebesar 85% responden dari survei mengaku kalau mereka tidak memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh akademisi bernama Uki Yonda Asepta, belum banyak perusahaan yang melihat work-life balance sebagai isu. Namun dengan perkembangan jaman dan teknologi yang cukup pesat, Generasi Milenial (Gen Y) sudah mulai sadar akan isu ini. Kepentingan dan kebutuhan personal hingga keluarga seringkali memberikan dampak kepada bagaiman karyawan mengelola pekerjaan dan profesionalitasnya. Alhasil banyak karyawan yang mengalami kondisi burn-out dan tingkat turnover menjadi sangat tinggi. Bagi perusahaan, isu ini menjadi penting karena dapat menyebabkan turunnya produktivitas dan efisiensi kerja karyawan.

Melihat itu semua, perusahaan dan jajaran manajemen SDM perusahaan harus mulai memerhatikan work-life balance ini baik untuk karyawan maupun keberlanjutan bisnis yang dijalankan. Komitmen menjalankan work-life balance perlu dimulai dari dua belah pihak, baik jajaran manajemen perusahaan maupun karyawannya. Manajemen perusahaan bisa memulai dengan mendorong perkembangan budaya yang mengutamakan aspek kepercayaan dan respect dalam perusahaan. Perusahaan juga memiliki peran untuk mengetahui kebutuhan karyawan yang berbeda-beda dan mengadopsi pendekatan yang bisa mendorong work-life balance karaywan dalam perusahaan. Sebagai karyawan, kita juga harus aktif memberikan suara dan pendapat terkait dengan hal-hal yang sekiranya dapat memberikan kepuasan kerja terhadap karyawan dan dampak positifnya terhadap perusahaan.

Tagged : / /

Membangun Kepercayaan melalui Komunikasi yang Efektif

Pernahkah Anda memikirkan, kenapa perbuatan yang kita sangka benar namun orang lain dapat berpikir sebaliknya? Bagaimanakah suatu ucapan atau perbuatan bisa kita anggap sebagai sesuatu yang benar ataupun salah? Ternyata, benar atau salahnya segala sesuatu bisa berdasarkan pada kepercayaan yang kita miliki atas sebuah gagasan, pandangan, nilai, norma hingga perbuatan orang yang kita kagumi. Sebuah kepercayaan juga tidak terbentuk begitu saja, dibutuhkan proses dan waktu agar sebuah kepercayaan terhadap sesuatu dapat terwujud.

Kepercayaan merupakan hal yang esensial dalam kehidupan sosial setiap manusia. Manusia memerlukan kepercayaan terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, dirasakan hingga dialami di hampir setiap aspek kehidupan, seperti kepercayaan dalam agama, hubungan antar sesama, politik, kesehatan, gaya hidup dan lain sebagainya. Sebagai contoh, jika seseorang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter terhadap penyakitnya, maka orang tersebut tidak akan mendapatkan manfaat yang maksimal atas rekomendasi yang disampaikan dokternya. Contoh lainnya adalah dalam dunia pekerjaan, apabila para karyawan tidak memercayai pimpinannya maka pencapaian tujuan dalam bekerja akan semakin sulit hingga bisa tidak tercapai. Dengan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, seseorang dapat memaknai dan melakukan aktivitasnya dengan lebih optimis dan memberikan hasil yang maksimal.

Untuk memahami konsep dari kepercayaan, ada baiknya untuk kita memahami terlebih dahulu mengenai apa itu kepercayaan dan bagaimana suatu kepercayaan dapat memberikan dampak yang besar bagi seseorang.

Menurut Paul Richard Thagard yang merupakan seorang filsuf Kanada yang mengkhususkan diri dalam ilmu kognitif, filsafat pikiran, dan filsafat ilmu pengetahuan dan kedokteran, menyampaikan bahwa kepercayaan merupakan kumpulan perilaku yang bergantung terhadap sesuatu yang dapat memengaruhi seseorang dalam beraktivitas. Kepercayaan juga merupakan sebuah perasaan kepercayaan diri dan suatu konsep keamanan diri yang dapat menjadi pedoman hidup bagi seseorang. Dengan memiliki kepercayaan akan sesuatu, manusia secara tidak langsung akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang terkandung dari kepercayaan yang dia miliki.

Membangun sebuah kepercayaan dapat terwujud melalui komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan membangun kepercayaan sangat bergantung tentang bagaimana seseorang membangun hubungan dengan lingkungannya. Banyak dari Key Opinion Leaders (KOL) seperti publik figur, pemuka agama, politikus hingga pimpinan perusahaan  memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh dan percaya terhadap apa yang dilakukan dan disampaikan oleh KOL. Berikut ini adalah cara-cara yang tepat untuk membangun kepercayaan melalui komunikasi yang efektif.

Menurut akademisi Dr Katalin Illes dan Dr Martin Mathews, terdapat sepuluh cara untuk membangun kepercayaan melalui cara komunikasi yang efektif. Mendengarkan keinginan, pendapat dan suara dari lingkungannya merupakan cara yang pertama. Dengan mendengarkan dengan hati terbuka, Anda dapat mendapatkan peluang dan masukan yang tepat tentang bagaimana harus berucap, bertindak dan memutuskan sesuatu kepada para orang di sekitar, pengikut maupun bawahannya. Kedua, seseorang harus dapat mengatakan dan menunjukan secara jelas nilai atau kebiasaan yang genuine dan tulus dari dalam dirinya. Kedisiplinan dan komitmen dalam berkata dan berbuat sesuatu sangatlah penting untuk membangun kepercayaan. Ketiga, sampaikan sesuatu dengan transparan dan jujur hingga membentuk suatu budaya. Kepercayaan ditemukan dari nilai-nilai yang berasal dari hati yang berlandaskan kejujuran. Keempat, percayai orang yang menyampaikan kritik dan saran kepada Anda. Berdiskusi dan membentuk tim kompeten yang dapat membantu menyampaikan informasi yang diinginkan kepada orang di sekitar, pengikut maupun bawahan Anda.

Kehadiran merupakan hal penting yang diperlukan untuk membangun kepercayaan. Kepercayaan adalah hal yang personal dan komunikasi tatap muka adalah kunci penting untuk membangun interaksi sehingga kepercayaan pun lama kelamaan akan muncul. Seseorang juga harus fokus menyampaikan komunikasi secara terus menerus untuk membantu orang lain berada dalam kebiasaan yang diinginkan. Cara selanjutnya adalah mencintai orang di sekitar, pengikut atau bawahan Anda. Dengan mencintai mereka hingga mendapat respon yang positif, Anda akan dapat mudah masuk ke dalam suatu hubungan dan  meyakinkan mereka hingga membangun kepercayaan dengan mereka.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, membangun sebuah kepercayaan membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar. Membangun keterikatan dan hubungan atas dasar kepercayaan memerlukan komitmen dan disiplin diri. Oleh karena itu, jangan mengharapkan hasil yang instan untuk membangun sebuah kepercayaan dengan orang lain yang kekal!

Tagged : /

Transformasi Digital di Dunia Kerja

Transformasi Digital di Dunia Kerja

Sudah hampir setahun pandemi COVID-19 melanda berbagai negara di dunia. COVID-19 secara tidak langsung memberikan dampak yang luar biasa besar terhadap perubahan pola hidup masyarakat luas. Lembaga pendidikan ditutup dan memaksa para murid dan guru untuk berkegiatan belajar mengajar di rumah. Begitu pula dengan banyaknya perusahaan yang menerapkan kebijakan bekerja dari rumah, atau yang dikenal dengan istilaah Work From Home (WFH). Teknologi dan transformasi digital merupakan aspek yang dirasakan sangat penting demi menunjang kegiatan-kegiatan tersebut. Sudah banyak perusahaan yang menerapkan transformasi digital demi mendukung pelaksanaan pekerjaan para pegawainya demi mencapai tujuan perusahaan. Namun, tidak sedikit dari kebijakan perubahan pola kerja yang mengandalkan teknologi ini menimbulkan tantangan pada saat penggunaan, baik dirasakan oleh perusahaan atau pemberi kerja maupun pekerja yang menggunakannya.

Teknologi digital sangat memiliki peran krusial untuk mendorong efisiensi dan kecepatan pekerjaan. Akan tetapi, transformasi digital dalam suatu perusahaan tidak hanya tentang persoalan teknologi saja. Transformasi digital dengan dukungan teknologi yang modern juga memerlukan perubahan mindset atau pola pikir tentang bagaimana perusahaan memberikan nilai lebih bagi stakeholders dan konsumennya. Tanpa didukung dengan keterampilan para pekerjanya dalam menggunakan sistem digital, hal tersebut bisa jadi berjalan tidak seperti yang diharapkan.

Berdasarkan Digital Transformation Trends Survey di tahun 2018 dalam penerapan transformasi digital di beberapa perusahaan, tantangan terbesar yang dihadapi oleh perusahaan bukanlah terkait dengan perubahaan sistem atau teknologi yang diterapkan. Namun, sebesar 74% merespon bahwa hal yang tersulit dengan adanya transformasi digital dan proses bisnis adalah perubahan budaya perusahaan. Secara umum, manusia sangat sulit untuk menerima perubahan hingga merasa skeptis terhadap penerapan teknologi seperti ini. Hal inilah yang membuat sebagian orang berpikir dan merasa kesulitan dengan penerapan teknologi digital dalam bekerja. Selain hal itu, penerapan transformasi digital juga memberikan tantangan-tantangan lainnya, seperti banyaknya pekerja berusia lanjut yang sulit beradaptasi menggunakan teknologi, timbulnya gaya hidup baru yang menuntut perusahaan memberikan kenyamanan dan keseimbangan waktu kerja (work life balance), sulitnya mendapatkan pekerja yang berkemampuan digital yang baik, hingga hambatan dari sisi regulasi dan ketentuan yang menyulitkan penerapan transformasi digital.

Tantangan-tantangan tersebut sebenarnya bisa diminimalisir asalkan perusahaan dapat memberikan komitmen sepenuh hati terhadap penerapan transformasi digital kepada para karyawannya. Dalam hal ini, pimpinan perusahaan harus dapat menyampaikan visi, tujuan dan ekspektasi yang jelas kepada karyawannya terhadap penerapan transformasi digital di perusahaannya. Komunikasi dapat dilakukan dengan menyampaikan manfaat, kelebihan dan makna dari pekerjaan para karyawannya yang harus diubah secara digital. Pimpinan perusahaan yang terus berkomunikasi dan menerima feedback dari karyawannya serta terus menyempurnakan penerapan transformasi digital akan mendorong semangat bekerja pada karyawannya. Peran pimpinan untuk menjadi role model dalam proses implementasi transformasi digital adalah hal yang penting. Pimpinan harus berada di formasi paling depan dalam memakai teknologi baru yang akan diimplementasikan agar karyawan terdorong untuk ikut memakainya. Selain itu, pelatihan yang rutin sangatlah diperlukan khususnya bagi karyawan yang memerlukan perhatian khusus, seperti karyawan lanjut usia. Dengan memberikan pelatihan rutin, niscaya para pekerja akan termotivasi dalam menggunakan teknologi yang seharusnya banyak memberikan kemudahan dalam bekerja.

Perusahaan juga dapat terus meningkatkan employee experience dalam menggunakan teknologi. Berdasarkan penelitian IDC Market Spotlight di tahun 2020, employee experience mengacu pada bagaimana yang dirasakan dan dialami oleh karyawan saat bekerja dengan atasan, kolega dan ekosistem secara luas termasuk ekosistem digital yang diterapkan dalam perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan harus mampu untuk memahami karyawannya, baik dari segi keterampilan, pengetahuan, pengalaman dan hal yang disukai oleh para karyawannya. Dari pemahaman akan karyawan-karyawannya, perusahaan kemudian dapat memberikan alat, sistem atau solusi digital yang tepat pada orang yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Apabila perusahaan tidak dapat memberikan teknologi atau sistem yang tepat, kurang berjalan dengan baik dan cenderung kuno, karyawan justru tidak dapat bekerja secara produktif dan cepat. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat kebahagiaan karyawan dan motivasinya.

Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus dihadapi oleh perusahaan dalam menerapkan transformasi digital dalam perusahaan. Namun di samping itu semua, karyawan juga harus terus meningkatan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan terkait dengan kapasitasnya menggunakan teknologi digital. Oleh karena itu pula, literasi digital untuk saat ini menjadi hal yang penting untuk dimiliki seseorang yang bekerja pada perusahaan yang sudah menerapkan transformasi digital pada perusahaannya.

Communication Gap

Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Kemampuan pegawai dalam berkomunikasi sangatlah dibutuhkan, khususnya dalam menyampaikan dan menerima pesan atau informasi secara jelas. Pegawai yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam berkomunikasi, memiliki kecenderungan untuk bekerja lebih efisien karena dapat menerima arahan dan bekerja sesuai dengan tujuan dan obyektif dari perusahaan. Namun, pada kenyataannya masih banyak orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga dapat menyebabkan permasalahan yang besar. Salah satu hal yang menyebabkan proses komunikasi menjadi terhambat adalah karena adanya communication gap.

Communication gap merupakan istilah yang digunakan ketika terdapat perbedaan pemahaman arti pesan antara pengirim dan penerima pesan. Keith Davis, salah satu pencetus teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses interaksi yang terjadi saat pengirim pesan (sender) menyampaikan informasi dan penerima pesan (receiver) dapat menerima dan memahami informasi yang disampaikan. Communication gap dapat terjadi karena adanya gangguan (noise), perbedaan dan adanya ‘penghalang’ ketika proses penyampaian pesan atau informasi berlangsung.

“10% of conflict is due to difference in opinion and 90% is due to delivery and tone of voice”

Faktor gangguan yang dapat mengganggu proses komunikasi berupa suasana, ambiens, suara dan hal-hal eksternal lainnya yang terdapat disekeliling sender dan receiver. Selain meminimalisir gangguan melalui penentuan lokasi dan suasana komunikasi yang tepat, seseorang dapat melatih kemampuannya untuk dapat berkomunikasi dengan lebih rileks, fokus dan melatih konsentrasi untuk meningkatkan kemampuan yang disebut dengan inner silence. Di saat kita berbicara dengan orang lain, upayakan untuk selalu dalam kondisi rileks dan tidak tegang. Kurangi fokus terhadap permasalahan dan hal negatif dari pembicaraan, sehingga fokus dapat digunakan untuk mencari solusi atas permasalahan dan hal positif lainnya. Dalam posisi rileks dan fokus kepada pembicara, lama kelamaan diri kita akan terbiasa untuk membangun inner silence, yaitu kondisi dimana pikiran dan jiwa kita berada dalam situasi yang tenang dan dapat mengurangi gangguan komunikasi yang datang dari luar.

Selain faktor gangguan, proses komunikasi dapat terjadi dikarenakan adanya perbedaan antara sender dan receiver. Contoh konkritnya adalah saat seorang pimpinan perusahaan berkomunikasi dengan pegawainya yang terpaut jenjang usia yang cukup jauh. Tentunya terdapat tantangan dalam menyampaikan pesan dan arahan dikarenakan terdapat perbedaan-perbedaan, seperti cara pandang, pengalaman, umur, gaya bahasa, pemikiran dan nilai internal pimpinan tersebut dalam menyampaikan pesannya kepada pegawainya sehingga dapat mengakibatkan perbedaan pemahaman yang diterima oleh pegawai. Apabila kita tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam memahami hal-hal tersebut, maka kita akan sulit untuk memahami informasi dan menjawab ekspektasi yang disampaikan oleh lawan bicara. Kita dapat membiasakan diri untuk melatih kemampuan mengobservasi bahasa non-verbal dan deep listening dari lawan bicara kita.

The biggest communication problem is we do not listen to understand, we listen to reply”

Dalam berkomunikasi, kita tidak hanya memahami pesan yang disampaikan melalui verbal, namun juga bahasa non-verbal yang biasanya dikeluarkan dalam bentuk bahasa tubuh. Mimik muka, gerak bibir, mata dan anggota tubuh lainnya adalah bahasa yang paling jujur dan dapat menunjukkan maksud dan tujuan asli lawan bicara di saat berkomunikasi. Tidak hanya komunikasi non-verbal, seseorang harus dapat melatih kemampuan mendengarkan secara mendalam (deep listening). Ya, komunikasi bukan hanya soal berbicara, tapi juga bagaimana kita bisa mendengarkan lawan bicara dengan baik dengan mendengarkan setiap kata-kata yang disampaikan. Hal ini dikarenakan di setiap kata yang diucapkan lawan bicara, seringkali terdapat makna tersirat yang memerlukan pemahaman dan pendengaran yang mendalam agar mengerti arti sebenarnya.

Communication gap juga terbentuk karena adanya ‘penghalang’ yang menghalangi proses pengiriman pesan. Dalam dunia perkantoran biasanya faktor penghalang yang menjadi masalah adalah penghalang fisik, persepsi, emosi, bahasa, budaya dan hubungan interpersonal. Penghalang fisik seperti dinding, pintu yang tertutup, jarak antar pegawai dapat menyulitkan para pegawai untuk berkomunikasi dengan lebih santai dan baik. Selain penghalang fisik, setiap pegawai memiliki persepsi yang berbeda-beda sesuai dengan yang pernah dialaminya. Persepsi antar pegawai yang berbeda dapat disatukan melalui proses komunikasi yang rutin, seperti mengadakan rapat atau pertemuan secara reguler untuk menyamakan persepi. Selain itu, pegawai yang takut, tidak bahagia, tegang dan tidak percaya dapat membentuk adanya penghalang emosi dan berdampak pada tertutupnya lajur komunikasi yang jelas dari dalam dirinya. Penghalang lainnya tercipta dari bagaimana seseorang tumbuh dan berkembang, yaitu faktor bahasa, budaya dan interpersonal seseorang. Cara yang paling tepat untuk mengurangi halangan ini adalah dengan memahami latar belakang dari lawan bicara kita, termasuk bahasa, budaya dan nilai-nilai yang dipegang oleh lawan bicara kita.

Banyak yang mengartikan kemampuan komunikasi sama dengan kemampuan berbicara dan berinteraksi dengan sesama. Banyak pula yang memandang bahwa berkomunikasi itu mudah karena kita sebagai manusia sudah diajarkan berkomunikasi sejak kecil. Tetapi nyatanya, masih banyak hal yang perlu dilatih agar kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dan mengurangi communication gap yang terjadi.

Tagged : / /