Memiliki pimpinan yang dapat dipercaya dan diandalkan merupakan idaman semua karyawan saat bekerja. Begitu juga kesuksesan organisasi dapat terjadi apabila dapat menumbuhkan rasa saling percaya antara seluruh anggota tim. Suatu tim akan menjadi terarah dan memiliki motivasi yang lebih besar untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Kurangnya kepercayaan dalam tempat kerja bisa menjadi ‘virus’ yang menciptakan budaya kerja yang buruk. Biasanya dimulai dari para pimpinan dan akan menyebar melalui tim-nya, membuat siklus respon yang tidak sehat sehingga mempengaruhi engagement dan produktivitas dalam bekerja. Seringkali kurangnya kepercayaan pada pimpinan merupakan inti dari lingkungan kantor yang tidak kondusif, dimana untuk memperbaiki lingkungan yang negatif membutuhkan banyak waktu dan usaha.
Kepercayaan di tempat kerja berarti karyawan menikmati budaya kejujuran, adanya keamanan psikologis, dan saling menghormati. Karyawan akan bangga dan bersedia untuk bekerja extra-miles untuk organisasinya yang berujung pada rasa aman dengan pekerjaannya dan mengurangi turnover. Dari salah satu sumber disebutkan bahwa, hanya 1 dari 5 pimpinan percaya bahwa karyawannya sangat mempercayainya dan hanya 50% karyawan menyatakan bahwa pimpinannya dapat dipercaya. Rasa percaya sangat penting untuk ada di dalam tim, karena tanpa itu karyawan akan cenderung kurang termotivasi dan produktif.
Terdapat 3 arah kepercayaan yang dapat membuat lingkungan kerja menjadi sehat. 1) Leader trust: karyawan harus percaya pada pimpinan, 2) Team trust: pimpinan harus percaya pada karyawan/timnya, dan 3) Lateral trust: anggota tim harus saling percaya satu sama lain. Seringkali dianggap bahwa pimpinanlah yang perlu mendapatkan kepercayaan dari karyawan/timnya, namun banyak yang tidak menyadari pentingnya kepercayaan dalam dua arah lainnya. Karyawan yang tidak percaya pada pimpinannya cenderung akan bekerja seadanya, tidak mau melakukan inovasi-inovasi karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pimpinannya, dan berencana untuk keluar dari perusahaan tersebut kapanpun. Padahal kondisi ini bukanlah yang ideal agar organisasi dapat berkembang dengan baik.
Pimpinan yang tidak mempercayai karyawannya kemungkinan besar akan melakukan pekerjaan dengan cara micromanaging, menahan informasi untuk pribadi, bekerja sendiri atau dengan sekelompok orang tertentu saja. Kenyataannya kemampuan untuk mendelegasikan pekerjaan membuat pimpinan dan karyawan bertanggung jawab dan mencerminkan rasa saling percaya satu sama lain. Selain itu, apabila pimpinan mempercayai karyawan/timnya akan melatih dan membimbing skill serta tanggung jawab kepemimpinan, dimana akan menjadi bekal yang baik bagi pengembangan organisasi di masa depan.
Dalam interaksi sehari-hari, terkadang pimpinan tidak menyadari tindakan yang dilakukan yang kerap kali menimbulkan rasa tidak percaya pada pimpinan dan organisasi. Seperti hanya memberikan informasi kepada senior manajemen daripada ke seluruh tim sehingga menjadi rumor tanpa mengetahui mana yang informasi yang benar atau salah; membuat ‘tim’ dalam tim sehingga membuat beberapa karyawan merasa tidak dianggap atau persepsi adanya karyawan favorit dalam tim tersebut; kurangnya keselarasan antara tanggung jawab dan wewenang sehingga pekerjaan menjadi tidak jelas dan menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan; hingga menciptakan silo dalam organisasi sehingga mengganggu kerja tim antar bagian/departemen.
Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan pimpinan untuk mendapatkan kepercayaan dari karyawan. Misalnya dengan mempertahankan transparansi dan komunikasi sehingga karyawan bisa terbuka dan memberikan performa terbaiknya untuk organisasi. Ini juga harus didukung dengan memberikan arahan, dukungan, pembagian tugas yang adil dan merata, melakukan rotasi pada tugas/proyek, memfasilitasi rapat-rapat yang mendukung kinerja, sehingga akan menciptakan budaya kerja yang positif. Pertanyaannya apakah ‘rasa percaya’ sudah terbangun dengan positif di lingkungan kerja anda sekarang? Yuk coba kita refleksikan
Author: Amanda Dwyniaputeri
Yuk Kita Cuti!
Siapa yang disini jatah cuti tahunannya masih banyak? Atau jangan-jangan ada yang sudah minus alias ‘ngutang’ nih jatah cutinya karena sering digunakan. Nah kira-kira kenapa ya setiap perusahaan di dunia wajib memberikan hak cuti kepada karyawannya.
Cuti tahunan merupakan kesempatan penting bagi karyawan untuk istirahat sejenak dari tempat kerja dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Setiap negara memiliki aturan yang berbeda-beda terkait jumlah cuti tahunan. Namun pada umumnya setiap negara memiliki minimum cuti tahunan yang terdiri dari hari libur berbayar dan hari libur nasional. Sebagai contoh, negara Indonesia memberikan 12 hari untuk hari libur berbayar dan 15 hari untuk hari libur nasional per tahunnya sehingga cuti per tahun berjumlah 27 hari, Australia memberikan 20 hari untuk hari libur berbayar dan 10 hari untuk hari libur nasional per tahunnya sehingga cuti per tahun berjumlah 30 hari, rata-rata negara-negara di Eropa memberikan minimal 20-30 hari untuk hari libur berbayar diluar hari libur nasional (dengan Perancis paling banyak memberikan jumlah cuti tahunan dan Ireland paling sedikit memberikan jumlah cuti tahunan), sedangkan di Amerika tidak ada persyaratan nasional untuk hari libur berbayar atau paid sick days sehingga cuti ditentukan oleh masing-masing perusahaan. Menurut, Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika melaporkan bahwa 76% pekerja Amerika yang memiliki paid time off (PTO)/ hak untuk cuti hanya 5-10 hari per tahun.
Menurut salah satu studi yang dilakukan, cuti tahunan penting bagi kesehatan dan kesejahteraan karyawan. Dari sisi organisasi, mungkin banyak yang berpikir bahwa dengan tidak cuti, karyawannya dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dan menjadi lebih produktif. Kenyataannya malah sebaliknya, tidak mengambil cuti akan menyebabkan stress dan burnout yang menurunkan produktivitas. Dengan mengambil cuti tahunan membuat karyawan lebih ‘fresh’ dan bahagia, meningkatan mood, serta seimbang work-lifenya sehingga akan menjadi lebih termotivasi dan produktif lagi. Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh American Psychology Associaton, dengan cuti akan membantu mengurangi stress karena sejenak kita ‘meng-istirahat-kan’ diri dari tugas-tugas atau lingkungan pekerjaan yang secara tidak sadar menyebabkan perasaan stres dan kecemasan. Dimana ini dapat membantu kesehatan fisik dan mental termasuk mengurangi dampak stres seperti masalah pada perut, sakit kepala, atau kesulitan dalam berkonsentrasi, yang akan berpengaruh pada berkurangnya izin sakit karyawan.
Dengan mengetahui pentingnya menggunakan hak cuti tahunan, sudah sepatutnya organisasi memberikan kemudahan bagi karyawannya untuk cuti. Namun faktanya, rata-rata karyawan di Inggris hanya menggunakan 62% dari hak cuti tahunan mereka. Begitu juga di Jepang hanya 51,1% yang menggunakan hak cutinya. Ternyata banyak juga karyawan yang tidak menggunakan hak cutinya yang disebabkan oleh beberapa alasan seperti terlalu sibuk, beban pekerjaan yang tinggi, takut tertinggal dalam pekerjaannya, keinginan untuk naik gaji, ‘terlalu malu’ untuk meminta cuti, ingin terlihat memiliki kemauan untuk bekerja ekstra, serta tidak mempercayai orang lain untuk melakukan pekerjaannya. Padahal istirahat sejenak dari pekerjaan akan membuat seseorang kembali fokus dan mengembalikan energi yang berujung pada tercipatanya budaya kerja yang baik, employee engagement, dan produktivitas.
Munculnya fenomena ‘leaveism’ (seorang karyawan menggunakan cuti tahunan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan) telah menjadi lebih umum sekarang ini. Banyak yang menganggap istirahat dari pekerjaan tidak terlalu penting, padahal time-out sejenak memegang peranan penting sehingga seorang karyawan tidak berujung menjadi burnout. Burnout ditandai dengan kelelahan emosional, penurunan kinerja, pengambilan keputusan yang buruk, tingkat kesalahan yang lebih tinggi, dan cenderung kurangnya empati terhadap rekan kerja. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa manfaat jangka pendek yang dicapai dari kerja yang berlebihan dan penundaan cuti tahunan, akan menyebabkan efek jangka panjang dari hilangnya produktivitas, kesalahan dalam bekerja, dan karir yang singkat.
Quotes dari Alexander Babinets ini menggelitik saya: “I have never believed that vacations are luxuries. They are necessities-just like shelter, clothes and food, they make us feel like humans and not like animals that care only for survival.” Coba direnungkan ya dan ayo sekarang kita lihat kembali jatah cuti kita dan gunakan sebaik-baiknya.
Employee Turnover
Apabila saya menyebut kata ‘turnover’, apa yang pertama kali muncul di benak kalian semua? Perusahaan atau organisasi seperti apa ya yang membuat turn over menjadi tinggi?
Sebelumnya kita coba bahas sedikit ya pengertian turnover atau istilah dalam bahasa indonesianya yaitu perputaran karyawan.
Employee turnover merupakan tingkat atau jumlah karyawan yang keluar dari suatu perusahaan dan digantikan oleh karyawan yang baru. Turnover bisa terjadi dalam dua cara. Pertama, pergantian yang bersifat voluntary yang artinya karyawan berhenti dari pekerjaan/mengundurkan diri sendiri dari pekerjaannya. Kedua, yang bersifat involuntary atau karyawan yang dipecat.
Tingkat turnover yang tinggi memiliki implikasi yang besar bagi perusahaan manapun dan sebagian besar ditentukan oleh seberapa bahagia karyawan di tempat kerjanya sehingga menjadi enganged dengan perusahaanya. Dalam hal ini HR memiliki peran penting untuk menciptakan pengalaman dan lingkungan kerja yang positif dengan meningkatkan keterlibatan karyawan sehingga dapat menjadi salah satu komponen penting untuk menjaga tingkat turnover tetap rendah.
Turnover juga menjadi komponen penting dari profitabilitas suatu perusahaan secara keseluruhan. Karena untuk melakukan proses seleksi, rekrutmen serta training untuk karyawan baru membutuhkan uang yang tidak sedikit, belum lagi waktu yang dibutuhkan sebelum karyawan tersebut sudah siap dan dapat berkontribusi penuh pada tugas dan tanggung jawabnya.
Nah sekarang kira-kira bagaimana nih guys menentukan turnover suatu perusahaan tinggi atau rendah? Dari beberapa sumber, ada yang menyatakan bahwa high turnover terjadi apabila 28% karyawan baru di suatu perusahaan berhenti dalam 90 hari pertama kerja mereka. Atau banyak juga sumber yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat turnover untuk semua jenis pekerjaan adalah 3,5%. Walaupun ada beberapa industri yang memang rata-rata tingkat turnovernya tinggi seperti industri food service, seni, hiburan, konstruksi, dan sales, dimana tingkat turnovernya bisa sampai 6,1%.
Tingkat turnover dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Turnover rate (%) = (Jumlah karyawan yang keluar/Rata-rata jumlah karyawan)x100. Coba guys, kira-kira kalau kalian hitung-hitung turnover di perusahaan kalian bekerja masing-masing, hasilnya gimana? Hehe apakah termasuk dengan turnover tinggi atau tidak? Penyebab turnover yang tinggi ini sering kali disebabkan hasil dari pengalaman kerja yang negatif/pengalaman buruk yang membuat karyawan memutuskan berhenti. Apabila generasi anak muda jaman sekarang yang sangat berani untuk speak up dan mengambil risiko dengan meninggalkan pekerjaannya apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Seperti pertanyaan saya diawal, kira-kira perusahaan seperti apa sih yang membuat turnover karyawannya menjadi tinggi? Berikut rangkuman dari beberapa sumber:
1. Kurangnya peluang untuk mengembangkan potensi diri
2. Kompensasi (gaji dan benefit lainnya) yang tidak cukup/memadai
3. Manajemen perusahaan yang buruk seperti micromanagement, komunikasi yang buruk, tujuan/perencanaan perusahaan yang tidak fokus/tidak jelas
4. Lingkungan kerja yang penuh dengan ‘toxic’
5. Proses rekrutmen, training, promosi, mutasi yang buruk
Studi yang dilakukan oleh Harvard menemukan 2 variabel penting dalam employee turnover yaitu kepuasaan karyawan dengan pekerjaannya (seperti prestasi, pengakuan, kesempatan berkembang, tanggung jawab) dan tekanan lingkungan baik dari dalam/luar perusahaannya (seperti peraturan perusahaan, fasilitas, work-life balance). Dimana dari 2 variabel ini, dapat memperlihatkan 4 tipe/karakteristik karyawan dalam memutuskan untuk tetap berada di suatu perusahaan atau keluar.
Seperti yang kita semua tahu bahwa perusahaan dengan tingkat turnover yang tinggi juga membutuhkan biaya yang besar dan memberikan dampak negatif terhadap citra perusahaan tersebut. Sehingga sebaiknya SDM yang sudah ada diberdayakan sebaik mungkin sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan terus diberikan ruang untuk improvement agar merasa dihargai, puas dalam pekerjaannya dan akan enganged dengan sendirinya pada rolenya dan memberikan output yang maksimal bagi perusahaannya.
The Importance of Self-Love
“If you have the ability to love, love yourself first.” -Charles Bukowski
Hidup dengan banyak peran yang kita emban membuat terkadang kita lupa meluangkan waktu untuk diri sendiri, apalagi waktu untuk ‘mencintai’ diri sendiri. Apasih sebenarnya self-love itu? Mengapa menjadi penting?
Self-love adalah suatu keadaan penghargaan terhadap diri sendiri yang tumbuh dari tindakan yang mendukung pertumbuhan fisik, psikologis dan spiritual kita. Mencintai diri sendiri berarti kita menerima diri sendiri sepenuhnya, memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan rasa hormat, serta menumbuhkan kesejahteraan diri. Mencintai diri sendiri berarti sangat menghargai kebutuhan dan kebahagiaan sendiri, serta tidak mengorbankan kesejahteraan diri untuk menyenangkan orang lain. Cara setiap orang untuk mencintai dirinya sangatlah unik maka menjadi penting bagi kita untuk mencari tahu seperti apa cara yang paling tepat karena merupakan bagian penting dari kesehatan mental kita.
Menurut banyak studi psikologi, self-love dan self-compassion adalah kunci utama untuk kesehatan mental, kesejahteraan, menjaga depresi dan kecemasan seseorang. Dengan banyaknya tuntutan dan keinginan untuk menjadi sempurna dengan semua peran yang kita miliki terkadang kita menjadi terlalu keras pada diri sendiri dan memunculkan keinginan untuk unggul serta melakukan segala sesuatu dengan benar sehingga menjadi perfeksionis. Padahal penelitian menunjukkan bahwa perfeksionis berada pada risiko yang lebih tinggi dari beberapa penyakit, baik fisik maupun mental, dimana ini semua bisa dihindari apabila kita memiliki self-compassion. Oleh karena itu, perfeksionisme dan self-compassion terkait erat.
Neuroscientist juga menemukan hubungan langsung antara self-compassion, resilien, dan kesuksesan. Dengan kata lain apabila kita peka dengan kebutuhan diri kita, kita dapat lebih merasa bahagia dan fokus dengan hal-hal yang membuat diri kita menjadi lebih baik setiap harinya. Penilaian diri yang negatif dapat merusak kinerja pekerjaan dan meningkatkan stres, sedangkan self-compassion seperti perlakuan yang baik terhadap diri sendiri selama menghadapi tantangan dalam kehidupan, pekerjaan, dan kekurangan pribadi akan menjadikan alat pemicu untuk karir yang lebih baik ke depannya.
Mungkin banyak dari kita yang tidak tau bagaimana cara mencintai diri sendiri, berikut beberapa tips yang bisa dicoba:
– Memprioritaskan diri
– Percaya diri
– Jujur pada diri sendiri
– Memaafkan diri sendiri apabila kita tidak jujur atau tidak baik pada diri
Self-love berarti menerima diri apa adanya termasuk menerima rasa emosi yang dimiliki dan mengutamakan kesejahteraan fisik, emosional, dan mental kita. Mencintai diri menjadi fondasi kita untuk bersikap tegas, menetapkan batasan, dan menciptakan hubungan yang sehat dengan orang lain, mempraktikkan perawatan diri, mengejar minat dan tujuan kita, dan merasa bangga dengan siapa diri kita. Untuk melatih self-love ini mulailah bersikap baik, sabar, lembut, dan penuh kasih pada diri sendiri, seperti kita memperlakukan orang lain yang kita sayangi. Yuk mulai dicoba agar kita dapat semakin bahagia setiap harinya dan meningkatkan imun yang penting di masa pandemi ini 🙂
Sumber:
1. Forbes, How Self-Love Boosts Job Performance And Career Success, 2021
2. Brain & Behavior Research Foundation, Self-Love and What It Means, 2020
Work Stress
Apakah kamu sedang merasa stres atau banyak pikiran akhir-akhir ini? Terkait pekerjaan, urusan dirumah, atau hubungan dengan orang-orang disekitar kamu? Terlebih dengan pandemi yang belum juga usai tidak tau sampai kapan pastinya akan membuat kita sering cemas dan stres memikirkan banyak hal.
Jika kamu saat ini bekerja, pastinya tahu bagaimana rasanya stres di tempat kerja. Banyaknya pekerjaan dengan deadline yang bersamaan, rapat terus menerus, dan faktor pemicu stres lainnya. Nah sebelum bahas tentang stres di tempat kerja, kita bahas sedikit ya apa itu stres. Stres adalah reaksi tubuh terhadap tantangan atau tuntutan yang akan menguras diri kita baik secara fisik maupun emosional. Tingkat stres umumnya tinggi di tempat kerja dan karenanya perlu dikelola. Stres kerja berkembang ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkan serta dapat meningkat ketika kita merasa tidak mendapatkan dukungan penuh dari atasan dan rekan kerja atau merasa tidak dapat mengendalikan pekerjaannya. Berikut beberapa gejala stres yang mungkin bisa menjadi pengingat bagi kita untuk dapat segera kita identifikasi sendiri.
Secara alamiah, tubuh dan pikiran kita akan merespon terhadap pemicu stres yang ada di sekitar kita, dimana akan langsung ‘mengaktifkan’ reaksi fisik yang disebut respon fight or flight. Manusia mengembangkan respon rasa takut yang terkoordinasi ini untuk melindungi diri dari ‘bahaya’ di lingkungan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika kita menghadapi stres di tempat kerja setiap hari? Seiring waktu, stres kerja kronis dapat menyebabkan sindrom psikologis yang dikenal sebagai burnout. Tanda-tanda burnout seperti kelelahan yang luar biasa, sinisme, dan rasa tidak berdaya dengan pekerjaannya. Stresor terkait pekerjaan tertentu terkait erat dengan burnout, berikut pembagian stresor agar lebih mudah dipahami.
Work Content | Work Context |
Konten Pekerjaan (pekerjaan yang monoton, tidak bervariasi, tidak menantang, tidak berarti, tidak menyenangkan) | Pengembangan karir, status, dan gaji (gaji yang tidak memadai, ketidakadilan dalam pengembangan karir, ketidakamanan kerja, promosi yang kurang, sistem evaluasi/penilaian kinerja yang tidak jelas/tidak adil) |
Beban dan kecepatan kerja (terlalu banyak/sedikit pekerjaan, bekerja dibawah tekanan waktu) | Peran di organisasi (peran tidak jelas) |
Jam kerja (yang ketat, tidak fleksibel, panjang, yang tidak dapat diprediksi, sistem shift yang dirancang dengan buruk) | Hubungan interpersonal (kurangnya komunikasi antara rekan kerja, penindasan, pelecehan, kekerasan) |
Partisipasi dan kontrol (kurang partisipasi dalam pengambilan keputusan, kurang kontrol dalam metode kerja, jam kerja, lingkungan kerja) | Kultur organisasi (komunikasi yang buruk antar pegawai, kepemimpinan yang buruk, kurangnya kejelasan tentang tujuan organisasi) |
Home-work interface (ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang dianut di tempat kerja dan dirumah) |
Bagaimana stres kerja dapat mempengaruhi well-being seseorang?
Efek jangka panjang terhadap stres kerja dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Dalam suatu penelitian menghubungkan burnout dengan gejala kecemasan dan depresi, bahkan beberapa kasus sampai menjadi masalah kesehatan mental yang serius. Selain itu, dalam penelitian tersebut menunjukkan orang yang lebih muda yang secara rutin menghadapi beban kerja yang berat dan tekanan waktu yang ekstrim pada pekerjaan lebih mungkin untuk mengalami gangguan depresi berat dan gangguan kecemasan umum.
Tingkat stres yang tinggi di tempat kerja dapat memengaruhi kesehatan fisik juga. Aktivasi berulang dari respons fight or flight dapat mengganggu sistem tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Pelepasan berulang hormon stres kortisol dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kemungkinan gangguan autoimun, penyakit kardiovaskular, dan penyakit Alzheimer. Stres kronis juga dapat mempengaruhi kesehatan dengan mengganggu perilaku sehat, seperti olahraga, makan seimbang, dan tidur.
Dari sisi organisasi, stres kerja juga dapat merugikan organisasi. Burnout pada karyawan akan otomatis mengurangi produktivitas dan kinerja, meningkatnya ketidakhadiran (absen), meningkatnya turnover karyawan, tidak termotivasi dalam bekerja, berkurangnya komitmen untuk bekerja, serta memicu konflik antara rekan kerja sehingga membuat lingkungan kerja yang tidak nyaman yang juga memicu stres kerja. Selain itu, organisasi juga kecil kemungkinannya untuk berhasil dalam pasar yang kompetitif. Stres kerja merupakan masalah yang cukup serius bagi suatu organisasi apabila tidak dicegah atau ditangani dengan baik seperti memiliki manajemen yang baik sebagai bentuk dari pencegahan stres di organisasi.
Sekarang pertanyaanya apakah stres kerja dapat dikelola dan diatasi? Berikut beberapa keterampilan yang diajarkan dalam terapi perilaku kognitif yang dapat membantu mengelola stres kerja:
- Strategi relaksasi. Relaksasi membantu melawan efek fisiologis dari respons fight or flight. Contoh, duduk nyaman dengan mata tertutup. Tarik nafas selama 10 detik, lalu hembuskan selama 20 detik. Setiap kali Anda melepaskan ketegangan otot, pikirkan “santai” untuk diri sendiri. Keterampilan ini dapat membantu mengurangi gejala kecemasan.
- Penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah adalah strategi active coping dengan mengambil langkah-langkah spesifik ketika menghadapi masalah atau tantangan. Langkah-langkah ini termasuk mendefinisikan masalah, melakukan brainstorming untuk mencari solusi, memberi peringkat solusi, mengembangkan rencana tindakan, dan menguji solusi yang dipilih.
- Mindfulness. Mindfulness adalah kemampuan untuk memperhatikan keadaan saat ini dengan rasa ingin tahu, keterbukaan, dan penerimaan. Stres dapat diperburuk ketika kita menghabiskan waktu untuk merenungkan masa lalu, mengkhawatirkan masa depan, atau mengkritik diri sendiri. Dengan adanya sikap mindfulness membantu melatih otak untuk menghentikan kebiasaan berbahaya ini. Cara mudah dan simpel yang dapat dilakukan sendiri yaitu dengan meditasi atau berjalan santai, cara ini merupakan terapi berbasis kesadaran efektif untuk mengurangi gejala depresi dan kecemasan.
- Menilai kembali pikiran negatif. Stres dan rasa khawatir yang berlebihan dapat membuat seseorang mengembangkan pikiran alam bawah sadar untuk menafsirkan segala situasi secara negatif. Misalnya, selalu membuat kesimpulan negatif dengan sedikit atau tanpa bukti (contoh: “atasan saya berpikir saya tidak kompeten”) dan meragukan kemampuan dirinya untuk mengatasi stres (contoh: “Hidup saya akan berantakan jika saya tidak mendapatkan promosi”).
Saat ini, stres menjadi suatu masalah besar yang hampir dihadapi oleh setiap orang. Sehingga cara terbaik untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir stres dari kehidupan kita adalah dengan memahami penyebab stres dan kemudian mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya. Banyak sumber menyatakan bahwa beban kerja menjadi penyebab terbesar stres karena setiap profesi itu pasti ada kesulitan dan tantangan baru setiap harinya. Namun, bekerja menjadi hal yang tidak dapat kita hindari dan harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup.
Oleh karena itu, suatu organisasi harus fokus pada pengelolaan stres kerja karena karyawan adalah sumber ‘pendapatan’ dan sumber dayanya, sehingga menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi organisasi untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir. Ada banyak cara yang bisa dilakukan seperti melakukan interaksi antara atasan dan bawahan atau acara yang membangun kultur/atmosfer yang menyenangkan di lingkungan kerja. Karena seperti yang dikemukakan oleh Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya, kebutuhan aktualisasi diri seorang karyawan harus diperhatikan, yang diperlukan untuk setiap perusahaan, karena hanya bekerja dan bekerja saja tidak dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan, tetapi karyawan yang termotivasi pasti membawa dampak yang positif untuk perusahaan. Jadi, ayo lebih fokus pada manajemen stres daripada kerja terus menerus.
Sumber:
- Work Organization & Stress, Protecting Workers’ Health Series No.3, WHO, 2004
- Harvard Health Publishing, Harvard Medical School, 2019
- https://www.educba.com/stress-management-strategies/
Aktualisasi Diri dalam Dunia Kerja
Sebagai manusia kita memiliki banyak kebutuhan dalam hidup. Begitu juga dalam karier/dunia kerja, salah satu tujuan yang ingin dicapai setiap individu adalah aktualisasi diri. Sayangnya, masih banyak orang yang belum memahami secara utuh cara untuk mencapainya. Padahal mencapai hal ini merupakan salah satu kunci mencapai kepuasan kerja, bahkan beberapa ahli psikologi menyebutkan bahwa aktualisasi diri dapat menjadi salah satu faktor seseorang merasa meaningful di tempat kerjanya.
Sebelumnya kita bahas sedikit ya tentang teori aktualisasi diri. Pasti semua orang sudah sangat familiar dengan Hierarchy of Needs-nya Abraham Maslow, seorang Psikolog asal Amerika Serikat. Dalam ‘segitiga kebutuhan’ yang digambarkan oleh Maslow, aktualisasi diri berada di puncak dari pemenuhan kebutuhan seseorang, sehingga menurut Maslow tidak banyak manusia yang dapat memenuhi kebutuhan ini. Aktualisasi diri adalah keinginan seseorang dalam mencapai kebutuhan, dengan menggunakan semua kemampuan yang dimiliki. Dengan aktualisasi diri seseorang akan mengetahui cara terbaik untuk memanfaatkan kemampuan yang ada di dalam dirinya, lalu mengambil langkah-langkah untuk mencapai impian tersebut.
Untuk lebih mudahnya, berikut beberapa karakteristik individu yang menerapkan aktualisasi diri:
- Mampu menerima kekurangan orang lain dan diri sendiri, seringkali dengan humor dan toleransi. Tidak hanya menerima orang lain sepenuhnya, namun juga jujur pada diri sendiri daripada berpura-pura untuk mengesankan orang lain.
- Cenderung mandiri dan tidak bergantung pada faktor eksternal untuk mengarahkan hidupnya.
- Dapat memupuk hubungan yang dalam dan penuh kasih dengan orang lain.
- Cenderung memancarkan rasa syukur dan mempertahankan penghargaan yang dalam bahkan untuk berkat yang biasa dalam hidup.
- Mampu menganalisis situasi dengan cepat.
- Jarang bergantung pada lingkungan atau budaya mereka untuk membentuk opini mereka.
- Cenderung memandang hidup sebagai misi yang memanggil mereka untuk mencapai tujuan di luar dirinya.
Dengan mengembangkan karakteristik aktualisasi diri, kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita. Lalu bagaimana cara menerapkan aktualisasi diri di tempat kerja? Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan.
- Belajar menerima diri
- Kenali diri
- Belajar merasa nyaman dengan lingkungan sekitar
- Bersikap jujur
- Jangan terlalu mencemaskan pendapat orang lain
- Menghargai hal-hal kecil dalam hidup
- Mengembangkan rasa belas kasih
Mungkin terlihat mudah dan simpel untuk dilakukan, namun kita sebagai manusia harus ingat bahwa dengan aktualisasi diri tidak selalu membuat hidup kita berjalan mulus, pasti terdapat hambatan dan masalah yang akan dihadapi, hanya saja kemungkinan besar kita bisa melaluinya dengan baik.
Sekarang pertanyaannya, mengapa aktualisasi diri di dunia kerja menjadi penting? Menurut Gopinath, salah satu cara untuk meningkatkan kepuasan kerja seseorang adalah melalui aktualisasi diri. Dalam sebuah penelitian, aktualisasi diri dianggap sebagai keadaan motivasi tertinggi seseorang sehingga mampu mengekspresikan kemampuan/potensi terbaik yang ada di dalam dirinya. Dari penelitian tersebut, ditemukan 3 faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu lingkungan kerja, remunerasi, serta hubungan dengan rekan kerja dan atasan. Ketika atasan membantu karyawan untuk melakukan aktualisasi diri, maka kepuasan kerja dan komitmen pada organisasi akan meningkat.
Selain itu dari sisi organisasi, dengan memenuhi kebutuhan aktualisasi diri karyawannya berarti akan memaksimalkan potensi individu di tempat kerjanya, yang pada akhirnya akan membuat karyawan ingin melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan dalam posisinya dan termotivasi untuk sukses di karirnya. Seorang karyawan yang mengaktualisasikan dirinya akan merasa diberdayakan dan dipercaya, yang akan mendorong engagement terhadap organisasinya. Sebagai sebuah organisasi, salah satu kunci untuk memastikan kebutuhan ini terpenuhi adalah dengan memberikan kesempatan pada karyawan untuk dapat sukses di karirnya. Disinilah peran atasan untuk dapat melihat keterampilan dan kemampuan masing-masing karyawannya, dengan terlibat aktif membantu dan memberikan peran yang sesuai. Untuk merasa telah terpenuhi aktualisasi dirinya, seorang karyawan harus merasa tertantang di posisinya namun tidak kelebihan atau kewalahan beban kerja.
Sesuai dengan teori dan observasi yang dilakukan oleh Maslow, ia menyebutkan beberapa orang terkenal dari latar belakang pekerjaan, pendididikan, dan kehidupan yang memenuhi kriteria/karakteristik seseorang yang telah mencapai aktualisasi diri seperti Albert Einstein, Abraham Lincoln, Eleanor Roosevelt, dan Thomas Jefferson. Woow nama-nama orang hebat semua ya.. Nah siapa nih di sekitar kalian yang menurutmu sudah berada di puncak kebutuhan tertingginya? Apakah atasan kalian? Atau mungkin kalian? Atau kira-kira organisasi tempat kalian bekerja sudah membantu kalian untuk dapat mengaktualisasikan diri? Yuk coba kita resapi dan pikirkan dulu, agar jadi semakin semangat dan terpacu untuk melihat dan menggali potensi di dalam diri masing-masing? Yuk semangat!
Sumber:
- Prera, A (2020, Sept 04). Self-actualization. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/self-actualization.html
- Gopinath, R. (2020). An Investigation of the Relationship between Self-Actualization and Job Satisfaction of Academic Leaders. International Journal of Management, 11(8), 753-763.
- https://www.indeed.com/career-advice/career-development/maslows-hierarchy-of-needs
Pandemic Life?
Ada yang sudah pernah nonton film Contagion, The Flu, atau Train to Busan? Bagi yang sudah menonton ketiga film tersebut pasti tahu betul bahwa film tersebut memiliki kesamaan dengan situasi dan kondisi yang kita alami dan jalani sekarang selama kurang lebih 1.5 tahun. Penyebarann virus mematikan menyerang suatu negara hingga memakan banyak korban jiwa. Rasanya seperti skenario sebuah film ya keadaan kita sekarang? Jujur tidak pernah terlintas dibenak saya sedikit pun menjalani kehidupan seperti itu.
Kita (dan hampir seluruh manusia di belahan dunia) sudah menjalankan kehidupan ‘new normal’ selama ini. Seketika dunia dituntut untuk berubah dengan cepat dan manusia terpaksa melakukan kebiasaan baru. Sebenarnya apa saja sih hikmah dan pembelajaran yang bisa kita ambil dari pandemi ini bagi diri sendiri dan suatu organisasi?
Bagi diri sendiri tentunya ada dampak positif dan negatif yang kita rasakan. Kita bahas yang positif dulu ya.
1. Waktu dengan keluarga. Tentunya kita menjadi mempunyai lebih banyak waktu berkualitas dengan keluarga. Dulu banyaknya waktu yang terbuang untuk komuter rumah-kantor sekarang bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, misalnya seperti memasak, olahraga, bermain dengan anak, memandikan anak, dan lain-lain. Contoh nyata seperti sumber dari CNN pada Kamis (22/4/2021), Art Markman, seorang Professor di Departemen Psikologi University of Texas di Austin, mencatat bahwa beberapa orang telah menggunakan waktu mereka untuk berolahraga, yang selama ini dihabiskan untuk perjalanan sehari-hari mereka saja.
2. Hobi baru. Pasti banyak diantara kita yang juga ‘ikut’ memiliki hobi baru seperti kolektor tanaman hias, ikan cupang, bersepeda, atau memasak. Memang terdengar unik karena banyaknya waktu yang bisa digunakan dirumah disalurkan untuk hal yang positif dan membuat imunitas semakin baik.
3. Peka terhadap kesehatan dan lingkungan yang menjadi lebih bersih. Berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor dan pesawat dapat mengurasi emisi karbondioksida di lingkungan sekitar. Sehingga udara menjadi lebih bersih dan membuat semakin banyak orang yang mau berjalan kaki atau wisata ke alam untuk kesehatan fisik dan mentalnya. Selain itu, dikutip dari situs British Medical Journal, pandemi memberikan dampak positif pada perubahan perilaku manusia. Publik menjadi lebih serius dalam menanggapi pesan kesehatan masyarakat dan lebih peduli terhadap kesehatan.
Sedangkan dampak negatif virus corona yang hingga saat ini sedang dialami semua orang hampir di setiap negara, tak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya. Meningkatnya tingkat stress juga menjadi dampak tidak langsung yang dirasakan. Hingga kini belum diketahui kapan pandemi COVID-19 selesai, sehingga yang bisa dilakukan adalah menerapkan usaha pencegahan demi melindungi diri, keluarga, dan sekitar.
Banyaknya sektor-sektor bisnis yang harus lay-off, merugi, bahkan gulung tikar membuat ekonomi di Indonesia masih di jurang resesi. Sebagai suatu organisasi banyak yang bisa dipelajari dengan pandemi ini. Berdasarkan hasil survei Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang Naker) menyebutkan sebanyak 40,6% perusahaan mengatakan bahwa kondisi perusahaannya sangat merugi di masa pandemi Covid-19. Sementara 47,4% menjawab perusahaannya merugi.
Organisasi dituntut untuk dapat adaptif menghadapi situasi yang serba baru dan 180% berbeda dari biasanya. Seperti artikel dari McKinsey&Company, The Future of Work: Understanding what’s temporary and what’s transformative, menyatakan bahwa suatu organisasi harus dapat mengevaluasi 3 area kunci yang tidak hanya muncul karena adanya pandemi tetapi juga berkembang pasca pandemi. 1. Perubahan sementara pada sistem operasional karena merespon krisis pandemi. 2. Perubahan permanen pada cara bekerja sehari-hari. Suatu organisasi sekarang dituntut untuk dapat melakukan transformasi digital dan otomasi proses bisnis agar dapat ‘bertahan’ di era pandemi ini. 3. Jenis/tipe pekerjaan baru yang muncul karena pandemi.
Selain itu, data dari McKinsey Global Institute menyatakan bahwa 20-25% tenaga kerja dapat bekerja dari jarak jauh (remote) selama 3 hari atau lebih dalam seminggu di perekonomian yang maju. Banyak pekerja yang juga sependapat dengan data tersebut, termasuk saya, mengapa? Mengutip pernyataan Adam Grant terkait produktivitas adalah suatu tujuan dan proses, bukan suatu tempat. Yang didorong oleh mengapa dan bagaimana kita bekerja, bukan tempat dimana kita bekerja. Fleksibilitas yang menjadi kunci. Pekerja yang diberikan kesempatan atau dilibatkan untuk memberikan suara dalam proses pengambilan keputusan, akan lebih ‘attach’ pada organisasinya dan bekerja dengan produktif.
Jadi, apakah organisasi tempat anda bekerja sudah siap dengan perubahan besar yang akan terjadi pasca pandemi selesai? Pandemi covid ini menjadi turning point bagi organisasi untuk dapat adaptif dan agile. Dan apakah kita semua juga akan berubah tingkah laku dan kebiasaannya dalam menjalani kehidupan sehari-hari?
Working Mom
“Mother is the heartbeat in the home; and without her, there seems to be no heartthrob.” —Leroy Brownlow. Siapa yang setuju dan familiar dengan quotes diatas? Saya sebagai ‘newbie mom’ ingin mengacungkan jari setinggi-tingginya. Ibu menjadi pemeran utama bagi keluarganya dirumah. Mungkin bagi ibu-ibu diluar sana yang sudah mengemban tugas mulia menjadi seorang ibu akan paham betul maknanya.
Menjadi seorang ibu memiliki tanggung jawab, perjuangan, dan tantangan yang tak mudah dilalui dalam mendidik dan membesarkan anaknya, terlebih jika merangkap menjadi working mom atau ibu pekerja. Berbagai kewajiban dirumah yang harus dilakukan yang seolah tak ada habisnya dan tugas-tugas kantor yang juga menyita waktu dan emosi setiap harinya membuat ibu harus dapat membagi peran sebaik-baiknya. Dilema seringkali dirasakan bagi para working mom. Saat dikantor kepikiran anak dirumah, saat dirumah kepikiran deadline pekerjaan. Seakan ingin membelah diri berada di dua tempat secara bersamaan.
The International Labor Organization menyebutkan bahwa 70% wanita-wanita di negara maju telah terlibat dalam ekonomi global dan begitu pun di negara berkembang dilaporkan bahwa 60% wanita yang telah menikah dan memiliki anak mengambil bagian dalam perekonomian keluarga. Sedangkan di Indonesia, laporan dari BPS tercatat sebesar 35% partisipasi angkatan kerja wanita dan ibu pekerja menggunakan waktu mereka selama 40 jam per minggu selama lima hari dengan fasilitas dan kompensasi yang memadai.
Dari data-data diatas terlihat bahwa jumlah working mom cukup mendominasi hampir di seluruh dunia. Memilih menjadi seorang working mom bukanlah merupakan pilihan yang mudah. Memilih bukan berarti salah atau benar, melainkan adanya konsekuensi yang akan dihadapai baik bagi dirinya, anak, dan keluarga. Yuk yang pertama kita bahas, apa saja ya konsekuensi atau dampak dari working mom untuk anak-anaknya?
Working mom telah menghabiskan banyak waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas dari tempat kerja. Para working mom berusaha untuk melaksanakan kedua-dua peran (sebagai ibu dan pekerja) dalam satu interaksi keseimbangan peran agar dapat menghasilkan kesejahteraan (Nomaguchi et al, 2005). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, working mom memiliki pengaruh yang baik kepada anak-anak usia sekolah dengan membekali dirinya dengan sikap otonomi (kemandirian) dan kualitas merawat anak-anaknya dengan lebih baik. Selain itu, working mom juga akan memberikan pengaruh kesehatan mental yang lebih baik dan dapat memberikan keuntungan bagi anak-anak khususnya remaja karena adanya penghasilan tambahan dan stimulasi sosial dan kognitif sehingga mewujudkan interaksi yang lebih positif dan menjaga kualitas attachment dengan keluarga (Kalil& Siol-Guest, 2004).
Penelitian lain yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Development menunjukan bahwa anak dari working mom memiliki pencapaian akademis yang lebih tinggi, karier yang lebih sukses, serta menghasilkan skor kognitif yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan working mom memiliki kestabilan finansial yang lebih baik sehingga dapat memberikan fasilitas yang memadai untuk anak. Waktu yang terbatas dan tuntutan pekerjaan juga membuat working mom berusaha lebih efisien dalam mendampingi tumbuh kembang anak sehingga menajdi lebih sensitif dengan kebutuhannya. Working mom yang bisa menjadikan waktu keluarga sebagai prioritas dan berkomitmen untuk perkembangan anak mereka mampu membangun ikatan yang sehat dengan anak layaknya ibu yang tidak bekerja.
Begitu pula American Psychological Association, menganalisis dan menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari working mom tidak memiliki masalah perilaku, sosial, atau kesulitan belajar yang signifikan. Prestasi di sekolah pun tidak tertinggal. Para working mom tidak hanya membantu keluarga secara ekonomi, tetapi juga membantu diri sendiri secara profesional dan emosional jika melakukan pekerjaan yang disukai, serta membantu anak.
Namun dibalik adanya dampak positif working mom bagi anaknya, ada juga konsekuensi yang dirasakan oleh ibu sebagai individu. Working mom akan lebih rentan untuk merasa lelah dan tertekan karena adanya tuntutan untuk menyeimbangkan peran sebagai karyawan, ibu, dan istri. Dimana perasan stress ini dapat mempengaruhi hubungan dengan anak dan tingkah laku anak ke depannya. Rasa bahagia dengan peran sebagai working mom akan membantu ibu untuk bersikap positif dengan anak dan menghabiskan waktu yang berkualitas dengan mereka, tanpa terganggu dengan stres keseharian. Hal ini didukung oleh studi Milkie, et al. (2015), dimana ditemukan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan oleh orangtua dengan anaknya, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan emosi dan kognitif mereka. Waktu yang berkualitas lebih dibutuhkan, dibandingkan kuantitasnya.
Jadi apapun peran yang seorang ibu pilih tidak ada yang lebih baik satu dari yang lainnya, tetap ada konsekuensi masing-masing. Hal yang lebih penting adalah dukungan yang diberikan oleh lingkungan di sekitarnya agar ibu merasa bahagia dan berdaya dengan posisi yang mereka pilih. Dan bagi semua working mom diluar sana, pentingnya lingkungan kerja yang kondusif bagi wanita serta sejalan dengan peraturan pemerintah tentang perlindungan pekerja wanita di tempat kerja, agar hak-haknya dapat terpenuhi serta dapat efektif dan efisien membagi waktu yang baik dengan keluarga karena ibu yang bahagia adalah kunci kebahagiaan keluarga.