Feedback Sandwich: Yay or Nay?

Coaching dan memberikan feedback mungkin bukan hal yang asing dilakukan di lingkungan kantor. Di Baca Pikir juga sudah pernah membahas mengenai banyaknya manfaat dari coaching yang dilakukan dalam pekerjaan. Ternyata penyampaian feedback memiliki beberapa metode yang dapat diterapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 

Apakah sudah pernah dengar mengenai metode sandwich? Ada beberapa pakar yang menganggap ini metode kontroversial yang kurang tepat untuk dilakukan. Tapi ya pastinya suatu hal ada pro dan kontranya. Daripada penasaran, yuk kita bahas dulu, apa itu feedback sandwich ya! Tentunya tidak bikin lapar kok!

Feedback sandwich dipopulerkan pada 1980-an oleh Mary Kay Ash, pendiri Mary Kay Cosmetics, yang menyarankan para pimpinan untuk memberikan komentar kritis di antara lapisan pujian. Seperti namanya, sandwich alias roti lapis, feedback yang kita berikan dilakukan dengan berurutan. Layaknya roti atas, isian daging, dan roti bawah. Feedback sandwich-pun demikian; roti atas ibarat feedback yang positif sebagai pembuka, isian daging itu isi “sesungguhnya” bisa berbentuk kritik yang membangun untuk saran perbaikan dan roti bawah berisikan feedback positif kembali sebagai penutup. 

Sangat penting untuk memahami cara memberikan feedback sandwich agar menjadi yang paling efektif. Kita selalu ingin memulainya dengan setidaknya satu pernyataan positif tentang apa yang dilakukan dengan baik anggota tim. Kemudian, kita akan menyatakan umpan balik yang konstruktif, mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja anggota tim. Kemudian diakhiri dengan pernyataan penyemangat terakhir dan mengakhiri interaksi dengan nada positif.

Kelebihan metode ini adalah melembutkan dampak kritik bagi yang menerimanya, memungkinkan sesi coaching berakhir dengan nada dan suasana yang positif, dan membantu anggota meningkatkan penerimaan mereka terhadap kritik. Wah sepertinya ini cocok dengan budaya timur khususnya di Indonesia yang masih agak sungkan untuk memberikan kritik yang pedas dan tajam ya. 

Namun, seperti yang dilansir dalam Forbes.com tentu juga ada kekurangan dari penggunaan metode ini seperti inti utama feedback menjadi kurang jelas karena tidak to the point, feedback ini dirancang untuk membuat pemberi umpan balik merasa lebih nyaman daripada mencerahkan penerima umpan balik. Selain itu, tujuan pemberian feedback adalah untuk perkembangan anggota tim. Ketika kita tujuannya sudah jelas, sebaiknya menyampaikan feedback secara konstruktif daripada hanya sekedar “tidak enakan”. 

Terlepas dari apakah menggunakan feedback sandwich atau tidak, ada beberapa tips yang dapat dilakukan, yaitu: selalu spesifik dan langsung dengan cara seseorang dapat berkembang, sambil tetap tulus tentang pujian dan afirmasi positif. Saat memberikan kritik yang membangun bersama dengan pujian, lakukan dengan singkat, jelas, dan lugas. Tujuan saat memberikan feedback bukan untuk menyakiti perasaan atau membuat anggota tim merasa buruk tentang kinerja mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa ada cara untuk meningkatkan atau melakukan yang lebih baik. Apapun metode yang digunakan.

Sumber:

  1. Forbes.com
  2. Medium.com
  3. Fellow.app

Tidur Siang Ketika Kerja

Saya teringat ketika saya masih di bangku taman kanak-kanak mungkin sampai 2 SD, setiap pulang sekolah, Ibu saya menyuruh saya untuk tidur siang. Saya juga tidak tahu apa alasannya. Mungkin agar saya tidak loncat kesana kesini, sewaktu Ibu dan mbak yang membantu di rumah sedang masak dan beres-beres rumah. Atau mungkin saja agar saya tidak menonton TV dan punya banyak energi untuk mengerjakan PR di sore harinya. Entahlah, pokoknya saya sering menolak untuk tidur. Saya lebih memilih bermain atau malah nonton TV.

Setelah dewasa ini, ternyata salah satu hal yang saya rindukan adalah kebebasan waktu untuk dapat tidur siang. Memang sepertinya benar suatu hal akan terasa membuat rindu jika sudah tidak dapat kita dapati, seperti halnya tidur siang tanpa beban seperti yang saya dapati ketika masih anak-anak.

Tapi tahukah Anda bahwa tidur siang memiliki banyak manfaat loh! Tapi tentunya banyak yang menganggap ini hal yang taboo, apalagi kalau dilakukan di tempat kerja. Kesannya kok pemalas ya, tidur melulu. Kantor kan tempatnya kerja, bukannya tidur. Weits, kalau ada rekan kerja Anda atau bahkan atasan Anda memberikan komen seperti ini, sepertinya mereka jarang membaca deh ya.

Banyak studi yang mengemukakan tentang manfaat tidur siang ini. Dr. Sara Mednick, associate professor of psychology di University of California, mengatakan bahwa “Ketika orang mengalami penurunan konsentrasi atau lelah di siang hari, suhu tubuh kita akan menurun dan proses kognitif kita juga akan turun, dan ini yang menyebabkan rasa ngantuk. Dahulu, orang akan tidur siang, namun sekarang lebih banyak orang yang minum kopi. Kita semua masih memiliki ritme di dalam diri kita dan mengetahui manfaat dari tidur siang itu, namun sayangnya dengan kesibukan bekerja, tidak semua orang bebas melakukan hal tersebut.”

Dr. Mednick menambahkan bahwa, “Tidur siang memiliki manfaat yang sama besarnya dengan tidur malam penuh jika mereka memiliki kualitas tidur siang tertentu.” Saat kita tidur siang, kita memperbaiki keseimbangan antara sistem saraf aktif (simpatis) dan pemulihan (parasimpatis). Tidur meningkatkan sistem pemulihan, yang memberi kita bahan bakar untuk aktif. Tidur siang juga telah diikat dengan memperkuat kekebalan tubuh.

Tujuan dari power nap adalah untuk mendapatkan manfaat revitalisasi dari tidur dalam waktu paling singkat, yang bagi kebanyakan orang adalah 10 hingga 20 menit. Setelah bangun dari tidur siang Anda. Beberapa manfaat power nap adalah sebagai berikut: peningkatan konsentrasi dan kewaspadaan, ingatan memori yang lebih baik, mengurangi stress, meningkatkan stamina, dan meningkatnya keterampilan motorik.

Yuk, temukan spot tidur favorit Anda di kantor!

Sumber:

  1. Nytimes.com
  2. Spine-health.com
  3. Theguardian.com

Kepemimpinan ala Angsa

Mungkin ada yang pernah melihat ketika rombongan angsa terbang bersama? Mereka akan membentuk formasi seperti huruf V. Tentu ada alasannya mengapa demikian dan ternyata ada banyak pelajaran kepimimpinan dan kerja sama tim lho dalam formasi terbang tersebut. Eh gimana? Kok bisa? Penasaran? Yuk, kita terbang lebih lanjut.

Gerombolan angsa terbang bersama dengan formasi V tersebut akan menambah momentum 71% lebih besar dibandingkan dengan jika terbang sendirian. Inilah kekuatan dari kerja sama tim dan persatuan jika tim bekerja bersama-sama menuju tujuan organisasi. Semua akan berusaha, saling menyemangati, dan mendukung maju bersama. Tim yang hebat adalah tim yang dapat mengenali dan menggali kekuatan dan kelemahaan tiap anggota dan dapat memanfaatkan kekuatan yang ada dan membantu kelemahan yang lain. Bekerja sendiri mungkin akan lebih cepat, tetapi bekerja sama akan menghasilkan lebih banyak.

Jika ada salah satu anggota angsa yang “keluar” dari garis formasi, secepatnya angsa itu akan merasakan hambatan karena terbang sendirian dan akan segera kembali ke formasi untuk tetap menjaga keseimbangan dan flow terbang tim. Setiap kerja sama tim tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Banyak kepala, banyak ide. Jika ada satu anggota tim sedang tidak di dalam lingkaran kerja sama, tentu saja akan muncul risiko dan produktivitas akan terganggu. Hal yang harus dilakukan leader dan anggota tim yang lain adalah, cepat lakukan dialog kolaboratif atau coaching untuk mendiskusikan hal yang dialami anggota tersebut. Temukan solusi dan jelaskan bagaimana mereka dapat berkontribusi dan peran nyata dalam kemajuan tim.

Ketika pimpinan angsa merasa lelah, dia akan terbang di posisi belakang, dan salah satu angsa lainnya akan menggantikan posisi menjadi pimpinan terbang yang baru. Hal ini membangun trust dan kepercayaan diri semua anggota untuk secara bergilir melakukan tugas strategis, memimpin, dan mengambil keputusan. Sebagai seorang pimpinan, juga seharusnya trust kepada anggota timnya dalam melaksanakan tugas, dan melakukan persiapan regenerasi kepimpinan. Setiap anggota tim mempuinyai keterampilan, kemampuan, dan bakat unik masing-masing. Dengan pempimpinan yang percaya kepada semua anggota tim dengan berbagi tanggung jawab dan akuntabilitas, maka akan terbentuk tim yang lebih kuat dan saling mendukung.

Angsa terbang dalam formasi dan mengeluarkan suara seperti klakson untuk saling memberikan semangat, yel-yel, dukungan dan mendorong angsa di bagian depan untuk menjaga kecepatannya. “Klakson” ini artinya adalah pengakuan, pujian, feedback membangun untuk sesame anggota tim agar tetap saling semangat, menjaga phase kerja, komunikasi yang sehat, dan menciptakan suasana kerja yang kondusif karena komunikasi berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Ketika ada seekor angsa yang sakit atau kelelahan, dua angsa akan keluar dari formasi dan membantu angsa sakit tersebut keluar formasi dan istirahat. Dua angsa tersebut akan menemani, mendukung, membantu, dan menjaga angsa sakit tersebut. Mereka akan tinggal bersama angsa sakit sampai angsa itu sembuh dapat terbang kembali atau bahkan mati. Lalu mereka akan kembali terbang mengejar kawanan lama mereka. Tim hebat akan berdiri bersama dan saling mendukung bila menghadapi masalah. Saling membantu dan menjaga sesame anggota tim untuk tetap menjaga kekompakkan, kerja sama tim dan kesejahteraan satu sama lain.

Banyak hal yang dapat kita pelajari di sekitar kita. Hal yang dibutuhkan adalah perhatian dan lebih memahami situasi yang terjadi. Sebagai pemimpin atau calon pemimpin di masa depan, apakah teman-teman sudah lebih memerhatikan keadaan disekitarnya? Tetap belajar hal baru setiap hari ya tentunya agar kita semua bisa terbang lebih tinggi bersama-sama!

Sumber:

  1. Power Resource Center
  2. Leader Shift Project

Tempat Kerja Rasa Keluarga: Yes or No?

Sebagai pekerja kantoran mungkin tidak heran jika kita menghabiskan sebagian waktu kita di tempat kerja. Hubungan dengan atasan dan rekan kerja menjadi mempunyai banyak bentuk dan fungsi, seperti membantu pekerjaan kita, mengembangkan karir, memberikan dukungan emosional, dan tidak sedikit juga yang menjalin hubungan persahabatan. Jadi cukup masuk akal jika hubungan yang terbangun di tempat kerja dapat mencerminkan hubungan ditemukan dalam hubungan keluarga. Namun, keadaan ini juga tergantung bagaimana budaya organisasi yang tercipta.

Organisasi pastinya menginginkan pegawainya menghasilkan pekerjaan yang baik, dengan menambahkan budaya “keluarga” dan rasa memiliki mungkin tidak terdengar “jahat” pada awalnya, tetapi ketika digunakan untuk membina hubungan dengan harapan semua pegawai untuk bekerja sebaiknya-baiknya, maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Pimpinan harus paham bahwa “keluarga” memiliki makna yang bagi setiap pegawai. Tidak semua pegawai ingin memiliki hubungan yang lebih dalam dengan rekan kerja mereka, apalagi menciptakan ketergantungan pada organisasi. Dalam konteks profesional, seorang pegawai akan ingin menyimpan pribadi kehidupan pribadi mereka di luar pekerjaan. Berdasarkan artikel di Harvard Business Review,  ketika sebuah organisasi menggunakan istilah keluarga, hal ini menciptakan budaya yang positif, memotivasi dan meningkatkan moral, di mana pegawai tidak melihat rekan kerja hanya sebatas hubungan professional, namun sebagai saudara. Hal ini menyebabkan pegawai dekat secara emosional dengan organisasi. Meskipun hal itu dapat mengurangi konflik dan perselisihan di dalam organisasi, rasa takut menyebabkan ketegangan dalam hubungan dengan pimpinan mereka, yang dianggap sebagai “orangtua”, dapat membuat pegawai merasa bahwa mereka harus membagikan informasi apa pun yang diminta dari mereka.

Hal ini bisa menjadi lebih menantang di lingkungan virtual atau hybrid. Penelitian menunjukkan ketika pimpinan tidak dapat “melihat” bawahan langsung mereka, mereka sulit untuk percaya bahwa pegawai mereka benar-benar bekerja. Hal ini mungkin mendorong pimpinan untuk melakukan micromanagement.

Rasa loyalitas yang berlebihan menjadi berbahaya

Ketika seorang anggota keluarga membutuhkan atau membutuhkan komitmen lebih, pastinya kita selalu bersedia. Ya, namanya juga keluarga, kan? Blood is thicker than water kalau kata orang-orang di dunia barat. Kadang loyalitas pegawai dapat disalahartikan pimpinan sebagai bentuk ekspektasi dan melewati batas untuk melakukan apa saja untuk menyelesaikan pekerjaan. Menurut buku Rob Goffee dan Gareth Jones, The Character of a Corporation, dalam budaya keluargaan, pegawai bersedia membantu sesama rekan kerjanya ketika dibutuhkan, atau bahkan secara sukarela “membantu sebelum mereka diminta” dengan cara yang paling tidak mementingkan diri sendiri, merupakan istilah yang dikenal dengan tata krama.

Banyak contoh dan penelitian menunjukkan bahwa orang yang terlalu setia lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam tindakan tidak etis untuk mempertahankan pekerjaan mereka dan juga lebih mungkin untuk dieksploitasi oleh pimpinan mereka. Pimpinan menjadi semena-mena untuk mendelegasikan tugas kepada “pegawai loyal.” Ketika pegawai bekerja di bawah mentalitas ini, hanya masalah waktu sampai kinerja dan produktivitas turun karena kelelahan. Jika terus dibiarkan, hal ini dianggap “biasa dan normal” dan pada akhirnya berdampak menurunnya produktivitas pegawai.

Masalah lain muncul ketika harus memberikan feedback atau coaching untuk pegawai. Dalam budaya “keluarga”, akan ada kecenderungan terasa lebih kepada aspek pribadi. Jika pegawai tidak melanggar kode etik organisasi dan mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya, apakah pimpinan akan tega melakukan “pemecatan”? Studi menunjukkan bahwa “budaya keluarga” sering gagal untuk melaporkan kesalahan apa pun ketika mereka merasa lebih dekat dengan pelaku. Perasaan takut akan kerusakan yang mungkin menyebabkan pelaku membuat sesama karyawan diam dan terlibat. Contoh lain mungkin tidak seekstrim “you got fire!”, hubungan antara pegawai dan organisasi bersifat sementara, dan pada titik tertentu, harus berakhir, misalnya pegawai resign karena mendapat tawaran pekerjaan di tempat baru. Apakah pimpinan akan rela melepaskan “anaknya” begitu saja?

Hal yang penting adalah saling menerima dan paham akan hubungan sementara dan profesional dari pekerjaan ini.  Kita harus realistis bahwa hubungan yang dibangun pegawai dengan pimpinan mereka di tempat bekerja adalah hubungan pekerjaan secara profesional. Sebagian besar tidak akan tinggal di perusahaan yang sama sepanjang karier mereka dan itu bukan masalah. Pindah kantor bagaikan “bajing loncat” sepertinya adalah hal yang lumrah bagi Milennial dan Gen Z. Pimpinan tidak bisa “menahan” dan memperlakukan pegawainya semena-mena. Bersikaplah jujur, terbuka, dan jelas mengenai harapan dan ekspektasi yang pegawai harus capai. Jika pegawai telah memutuskan untuk keluar dari organisasi, jangan tersinggung, marah, apalagi menahan-nahan. Akui kontribusi mereka, apresiasi, dan bantu mereka resign dengan hormat. Jika tidak membutuhkan keahlian mereka lagi, bantu pegawai menemukan posisi yang lebih cocok di departemen lain atau mungkin di organisasi lain. Budaya “keluarga” di organisasi dapat menimbulkan hubungan yang mengikat, apapun yang mengikat tidak ideal untuk pertumbuhan yang lebih baik . Jadi, masih ingin menjadikan kantor sebagai rumah keduamu?

Sumber:

  1. Harvard Business Review
  2. New York Times

Manajemen dan Kepemimpinan

Manajemen dan Kepemimpinan adalah dua kata yang tentunya tidak asing di telinga. Atau bahkan overrated karena terlalu sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari di pekerjaan. Berbagai pelatihan mengenai dua hal tersebut juga tentunya sering diadakan untuk para professional. Sebenarnya apakah kedua hal tersebut sama? Atau malah berbeda? Atau saling berkaitan?

Mengutip Kotter dalam tulisannya yang berjudul “What Leaders Really Do” dalam Harvard Business Review, “Management and leadership both involve deciding what needs to be done, creating networks of people to accomplish the agenda, and ensuring that the work actually gets done. Their work is complementary but each system of action goes about the tasks in different ways.” Keduanya sama-sama dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan dan saling melengkapi tetapi tentunya dengan cara yang berbeda. Manajemen berkaitan sistem bekerja sedangkan kepemimpinan berkaitan dengan orang-orang yang melakukannya. Manajemen adalah mengenai menghadapi hal kompleks. Sedangkan kepemimpinan adalah mengenai menghadapi perubahan. Bagaimana menghadapi VUCA World yang sudah pernah juga diulas dalam artikel Baca Pikir.

Perencanaan atau Pemberian Arahan

Manajemen mengatasi hal rumit dengan melakukan perencanaan dan penganggaran biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut. Hal ini dirancang untuk hasil yang sistematis dan teratur. Kepemimpinan mengatasi perubahan dengan pemberian arahan. Hal mendasar dalam kepemimpinan adalah pemberian arahan yang jelas kepada anggota tim. Pimpinan mengumpulkan berbagai informasi dan data dan melihat pola, hubungan, dan saling mengaitkannya. Proses ini tentunya bukan menghasilkan sebuah rencana, karena yang dilakukan pimpinan adalah menciptakan visi dan strategi. Visi dari pimpinan juga tidak harus super canggih dan “fancy”, yang terpenting adalah visi tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh seluruh anggota tim, menyasar langsung untuk pegawai dan stakeholders, dan juga mudah diimplementasikan dan terukur.

Mengatur atau Menyelaraskan

Manajemen mengatur dan membangun sistem kepegawaian dengan menerapkan sistem yang tepat dan efisien seperti struktur pekerjaan, struktur organisasi, pegawai yang sesuai dengan kualifikasi pekerjaan. Sedangkan kepemimpinan melakukan penyelarasan pegawai dengan berkomunikasi dengan sebanyak-banyaknya pegawai. Komunikasi ini bertujuan agar pegawai paham dengan arahan dan target yang pimpinan berikan dan sama-sama berkomitmen untuk mencapai target tersebut.

Mengatur atau Memotivasi

Proses mengorgisir membentuk organisasi untuk mencapai target dan menjaga proses agar tetap berjalan sesuai rencana, memastikan kualitas tetap terjaga dan mengetahui langkah korektif yang harus diambil bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai. Sedangkan sebagai pimpinan, harusnya mampu untuk memastikan dan memiliki energi positif untuk membantu anggota timnya melewati kendala pekerjaan. Memberikan motivasi dan menginspirasi anggota tim tidak dengan tidak memaksa kehendak untuk menimbulkan sense of belonging, recognition, dan self-esteem dari anggota timnya.

Apakah pimpinan di tempatmu bekerja sudah mencerminkan hal-hal tersebut?

Sumber:

  1. What Leaders Really Do – Kotter
  2. Asana.com
  3. Forbes.com

Psychological Safety

Pernah ngerasa enggak berani ngasih pendapat di depan bos karena takut pendapat kita berbeda dengan pendapat bos? Atau ga asing sama inside jokes “nanti mutasi ke Papua lho!” Lalu jadi was-was, ngelakuin apa aja jadi takut. Dalam bekerja memang benar kita harus berhati-hati sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku, tapi kalau ketakutannya menjadikan gangguan secara psikologis, enggak enak juga ya.

Jadi apa sih yang dimaksud psychological safety di tempat kerja? Mengutip dari website ccl.org, psychological safety adalah It’s a shared belief held by members of a team that others on the team will not embarrass, reject, or punish you for speaking up. Keadaan dimana setiap orang di organisasi tersebut mempunyai kesamaan nilai untuk tidak saling menjatuhkan, saling support, tidak menyalahkan, dan membuat setiap orangnya berani mengungkapkan pendapatnya. Keadaan seperti ini tentu saja tidak lepas dari peran pimpinan untuk menciptakan lingkungan bekerja yang aman untuk setiap anggota timnya.

Studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa keamanan psikologis memberikan beragam manfaat. Tim yang berisikan berbagai orang dengan sudut pandang dan keahlian berbeda akan menciptakan perspektif yang beragam. Perspektif ini dapat menimbulkan inovasi dan kreativitas. Namun, bila lingkungan kerja kurang aman untuk mengakomodir hal tersebut, misalnya anggota tim merasa bila idenya kurang sesuai, dapat menimbulkan potensi “berbahaya”, tentu saja iklim berani mengeluarkan pendapat, tidak akan terbentuk.

Dalam setiap organisasi, tentunya bentuk psychological safety yang ingin diciptakan beragam. Namun, terdapat tiga besaran yang dirangkum dari berbagai sumber.

  • Aman menjadi diri sendiri

Pemimpin dapat menciptakan keamanan psikologis agar anggota timnya terbuka dan berani menjadi dirinya sendiri tapi harus mencoba menjadi orang dan menutupi identitasnya, dan mencoba untuk fit in. Berpura-pura menjadi orang lain, tentunya dapat melelahkan secara emosional. Aman untuk mengungkap pendapat. Dengan menjadi diri sendiri dengan tetap menjadi profesionalitas dan bekerja di lingkungan yang supportive, menciptakan rasa inklusif, tanpa membedakan. Pemimpin dan semua anggota tim dapat terus sama-sama menciptakan sinyal positif, proaktif, dan komunikasi terbuka.

  • Aman untuk berbicara mengungkapkan pendapat

Keamanan psikologis juga dapat membantu pegawai lebih banyak dan berani berbicara mengungkap pendapatnya di tempat kerja. Ketika diperlukan untuk saling memberikan tantangan yang membangun untuk pengambilan keputusan. Banyak pegawai yang takut untuk berbicara tentang fakta yang terjadi karena takut dengan potensi efek yang akan terjadi setelahnya. Misalnya jadi kurang disukai atau merasa terancam.

  • Aman untuk mengambil risiko dan terjadi kesalahan

Keamanan psikologis menjadikan pegawai melihat tantangan sebagai peluang, berani mencoba hal baru. Dalam organisasi yang memiliki growth mindset culture, mengambil risiko didorong karena merupakan bagian pembelajaran dan berinovasi. Untuk menumbuhkan growth mindset, pimpinan seharusnya bukan hanya mempraktikkan growth mindset behavior, seperti membuka ruang kesalahan terjadi dan fokus pada progress, tetapi juga menjadi role model kepada anggota timnya untuk mendorong perilaku timnya secara luas untuk saling terbuka.

Apakah kamu sudah merasa aman secara psikologis di tempat bekerja?

It’s All About Your Attitude

Mendapatkan kesempatan untuk kembali ke bangku sekolah setelah 6-7 berkutat dengan pekerjaan kantor yang kadang menantang tapi tak jarang juga membosankan, bagaikan menghirup udara segar di pegunungan. Refreshing, namun juga campur aduk. Apalagi kesempatan belajar ini saya dapatkan di kota idaman saya sejak lama, New York City! Bersemangat tapi di sisi lain juga was-was. Takut.

Ada cerita yang ingin dibagi sedikit mengenai salah mata kuliah yang saya ambil di term ini, Leadership and Team Building. Mengutip leadership quotation yang dilontarkan oleh Professor saya di awal sesi. “Leadership and learning are indispensable to each other” yang merupakan kutipan dari John F. Kennedy. Kepemimpinan dan proses belajar adalah dua hal yang berkaitan dan saling memerlukan satu sama lain.

Bukan berarti, sudah menjadi pimpinan tertinggi di suatu posisi tertentu, membuat seseorang merasa puas dan berhenti untuk belajar, berkembang, untuk menjadi lebih baik. Dunia ini tidak berhenti berputar dan selalu ada perubahan perbaikan yang terjadi. Ya, sama halnya seperti dunia yang berputar seperti roda, memiliki siklus. Professor saya menjelaskan mengenai cycle of self-development. Mungkin ini hal yang sudah kita tahu tapi juga mungkin tidak kita sadari. We need the cycle keep alive! It’s continuous learning of life. 

Poin yang ini saya bahas kali ini adalah siklus pertama yaitu attitude. Bagaimana kita memiliki kecapakan emosional yang baik dengan mencerminkan sikap positif. Selalu merasa ingin tahu (in a positive way), haus akan belajar, berkembang, menggali ilmu sebanyak-banyak dari manapun dan siapapun. Berpikiran terbuka dan sikap positif untung menyerap ilmu dari sekitar. Don’t block your mindset!

Sebagai pimpinan yang sudah berada di pucuk tertinggi posisi tertentu, kadang memiliki sikap dan mindset yang paling tahu segalanya. Professor saya sempat bercerita di kelas. Dia pernah memberikan coaching class untuk senior leaders di suatu perusahaan. Terdapat leader yang merasa perusahaannya sudah menghasilkan billion dollars dan merasa sudah paham segalanya, untuk apa lagi berada dalam coaching class tersebut. Padahal mungkin saja kelas tersebut dapat membantu untuk menghasilkan lebih dari billion, tambah Professor saya sambil tertawa.

Positive attitude juga bukan hanya berpengaruh ke dalam diri seseorang. Aura ini juga dapat terpancar keluar dan memepengaruhi sekitar. Sebagai pimpinan yang memiliki positive attitude, suasana dan lingkungan kerja kepada bawahan juga lebih menyenangkan, komunikasi lebih lancar dan cair, produktivitas yang digadang-gadang dalam pekerjaan juga lebih mudah dicapai. Sebagai anak buah, saya juga lebih senang berdiskusi dengan pimpinan yang hangat dan bersikap terbuka dengan masukan dan aspirasi anak buahnya.

Hal ini juga yang dapat saya ambil. Konteksnya tak hanya sebagai leader, tapi juga sebagai individu. Bagaimana sikap dan ketakutan saya belajar di negara orang. It’s all about the mindset and attitude, bagaimana saya menyikapi ketakutan saya masuk di dunia baru. Tidak apa banyak tidak tahu, ya namanya juga proses dalam self-development. Apalagi mendapatkan kesempatan belajar di kota yang kata Alicia Keys “concrete jungle where dreams are made of, and there’s nothing you can do”. Yup! There’s nothing you can do but please don’t forget to bring your positive attitude and mindset wherever you go!

Salam dari (Queens) New York City!

Millennial dan Tempat Kerja

Yup. Kata Millennials sepertinya terdengar overrated beberapa tahun ini. Buat saya yang juga masuk dalam generasi ini menjadi risih jika mendengar kata tersebut. Menurut hasil Sensus Penduduk 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), Millennials mendominasi pada posisi kedua sebesar 25,87% yang tentunya sudah memasuki usia produktif bekerja. Ledakan itu pula yang mungkin menyebabkan millennials menjadi buah bibir yang laris manis jadi perbincangan.

Begitu juga halnya di banyak tempat bekerja. Tak jarang Millennials menjadi “isu hangat” yang selalu menjadi topik bahasan di kalangan para pimpinan. “Organisasi kita diisi lebih dari 70% Millennials”, “Millennials harusnya lebih aktif dan memberikan idenya”, “Millennials tidak sopan ya kepada atasan atau yang lebih tua”, “Mengapa millennials sulit menaati peraturan?”, “Mengapa millennials begini, mengapa millennials begitu?”. Doooh kalau kata lagu Raisa, Serba Salah yaa.

Mungkin yang sering berhembus adalah stigma kurang menyenangkan yang dilabelkan kepada kaum anti ribet ini. Millennials katanya bebal, tidak loyal, dan bengal. Apa iya? Hal yang sering menjadi benturan antara millennial dan jajaran pimpinan adalah gaya bekerja dan komunikasi. Millennial menyukai hal dinamis, kebebasan, dan fleksibiltas. Tentunya berbanding terbalik dengan gaya pimpinan “era generasi dewasa” yang lebih menjunjung tinggi keamanan dan kestabilan. Tak usah jauh di dunia pekerjaan, hal simple yang sering terjadi di rumah bersama orang tua saya.

Setiap ada diskusi antara orang tua dan anak (saya dan adik saya), mengenai pindah tempat kerja, nasihat yang terucap oleh orang tua kami adalah “sudah enak kerja di tempat sekarang, pasti, dan kantornya jelas. Di kantor lain belum tentu kan, siapa tau bisa tutup”. Ya, stabil dan aman adalah yang utama. Berbeda dengan pemikiran adik saya yang sedang idealis tentang konsep bekerja. Inginnya bisa bekerja di tempat yang dapat memberikan kesempatan ruang berkontribusi memberikan ide-ide bombatis, aktualisasi diri, tidak terpaku pada aturan baku tertentu. Ya, dinamis. Tak ada yang salah. Hanya berbeda pandangan saja antar generasi.

Tapi apa iya millennial hidup sesuka hatinya saja? Sering jadi bajing loncat di dunia kerja jika bosan? Weits, jangan ngegas. Survei yang dilakukan Gallup selama COVID-19 kepada millennials yang bekerja secara remote. Hasil survei menunjukkan bahwa 75% millennial engage dengan tempat bekerjanya. Tunggu dulu, masih ada “tapi” yang besar! Tapiiii dengan lima kondisi. Namanya juga millennial, selalu ada aja celahnya. Hehe.

Kondisi pertama adalah remote work, dimana 40% millennials yang dapat bekerja dimana saja lebih engage dibandingan yang harus terpaku bekerja di kantor karena membuat mereka lebih leluasa mengatur pekerjaannya. Hal kedua adalah rencana kerja yang jelas. Millennial mengingikan visi yang jelas dari pimpinan mengenai tujuan dan target pekerjaannya. Bukan hanya memberikan perintah dan “pokoknya kerjakan saja”.

Selanjutnya adalah persiapan. Jangan hanya menuntut pekerjaan cepat selesai, namun “alat perang” juga seharusnya menjadi hal yang perlu disiapkan perusahaan. Informasi dan komunikasi yang jelas menjadi faktor keempat dalam hal ini. Millennial haus akan berita terkini terutama di tempat mereka bekerja. Kepo bisa aja nama tengahnya. Kontribusi apa yang sudah mereka berikan dari pekerjaannya untuk organisasi merupakan penghargaan untuk mereka. Last but not least adalah kepedulian organisasi atau pimpinan terhadap kesejahteraan dan kesehatan. Bukan hanya sekedar materi, tapi cakupannya terkait dengan kehidupan sosial, karir ke depan, dan dukungan moral.

Materi bukanlah segalanya dalam bekerja. Bagi kaum rebahan ini, hal penting yang menjadikan mereka engage adalah fleksibiltas dalam bekerja, trust dari atasan, dan keseimbangan antara bekerja dan kesesuaian dengan visi misinya “foya-foya”.

Sumber:

  1. Gallup.com
  2. Business.com

Employee Wellbeing: What and Why

Hampir dua tahun kita melakukan pekerjaan dari rumah dengan keharusan karena pandemi. Tentu saja ada pro dan kontra mengenai keadaan ini. Hal yang menyenangkan adalah pegawai bisa bekerja di rumah, fleksibel mengatur waktu mengurus keluarga, tidak perlu buang waktu di jalan karena ya macet jalanan. Kontranya tentu ada.

Tidak dapat dipungkiri pandemi menyebabkan kurangnya interaksi sosial secara langsung dengan teman dan keluarga, load pekerjaan yang berlebihan, jam kerja yang tidak ada batasnya, Hal ini dapat menimbulkan burnout atau kondisi kelelahan fisik dan emosional yang menyebabkan bingung, gelisah, hilangnya motivasi, dan tujuan. Menurut survei yang dilakukan oleh Gallup, 76% pegawai yang mengalami burnout dikarenakan oleh mismanagement, beban kerja berlebihan atau perlakuan tidak adil di pekerjaan.

Untuk menghindari terjadinya hal ini, langkah yang dapat menjadi perhatian pimpinan adalah employee wellbeing. Employee wellbeing saat ini bukan hanya sekedar kondisi pegawai yang jarang sakit secara fisik, namun sudah menjadi lebih luas.  Menurut e-days.com employee wellbeing terkait dengan kesehatan dan kebahagiaan pegawai yang artinya sudah bukan hanya mengenai Kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental.

Bahkan sebelum pandemi terjadi, menurut survei yang dilakukan oleh Zapier menyatakan bahwa sebagian besar pegawai terutama Gen Z dan Millenial – masing-masing 91% dan 85% – menyatakan bahwa perusahaan seharusnya memikirkan dengan baik wellbeing pegawai dengan memiliki mental health work policy di tempat bekerja.

Menurut Prowell Model, terdapat tiga besaran aspek yang harus diperhatikan dalam membuat program employee wellbeing – mental, fisik, dan sosial. Aspek mental – terkait dengan kognitif dan emosional pegawai. Selanjutnya aspek fisik – terkait dengan kebugaran, kesehatan raga, dan nutrisi gizi. Selanjutnya adalah faktor sosial – memiliki hubungan keseimbangan hidup antara kehidupan kantor dan sosial.

Karatina berkepanjangan tentu saja berimbas kepada kinerja pegawai dan dapat meningkatkan rasa bosan, jenuh, cemas, dan stres. Lalu mengapa memperhatikan employee wellbeing itu penting terutama ini saat pandemi ini? Alasannya adalah:

  • Mengurangi pegawai absen dan biaya kesehatan

Johnson & Johnson memperkirakan program wellness and wellbeing menghemat $259 juta untuk biaya perawatan Kesehatan selama lebih dari 10 tahun terakhir.

  • Meingkatkan employee engagement

Dengan memerhatikan kesehatan fisik dan mental, pegawai akan lebih merasa terhubung, kesehatan fisik dan kebahagiaan mental juga akan meningkat.

  • Meningkatkan produktivitas

Pegawai yang dapat mengatasi rasa stresnya dengan baik akan lebih sedikit kemungkinan mengalamin burnout dan akan lebih fokus menyelesaikan pekerjaannya.

  • Menarik dan mempertahankan pegawai

Persaingan talenta terbaik sangatlah kompetitif. Tentu saja kandidat berkualitas memiilki banyak banyak opsi untuk memilih perusahaan yang memberikan nilai lebih yang memikirkan kesehatan dan kesejahteraan pegawainya dengan baik

Sumber:

  1. Digitalhrtech.com
  2. Face2facehr.com
  3. E-days.com
  4. Semoscloud.com
  5. Innovativeworkplaceinstitute.org

Habis Covid, Muncul Kerja Hybrid

Pandemi Covid memang belum diketahui kapan akan berakhir, mungkin khususnya di Indonesia. Saat kita melihat berita di New York sudah mulai pesta pora dengan selebrasi kembang api yang merupakan awal mula New Yorkers akan membuka kembali “pintu gerbang” kepada dunia dengan senyuman hangat dan tangan terbuka. Tentu saja hal yang berbeda terjadi di negara tercinta kita. Angka kasus positif yang meledak terus naik sampai awal Juli 2021.

Keadaan ini tentunya memberikan banyak pengaruh dan adaptasi terhadap kehidupan sehari-hari. Cara berinteraksi bermasyarakat, anak-anak kita sekolah, dan juga pastinya cara kita bekerja. Istilah work from home (WFH) bukan hal asing lagi selama pandemi ini. Konsep WFH lambat laun semakin bergeser menjadi hybrid working. Artinya konsep bekerja menjadi luas dan pengaturan cara kerja yang lebih fleksibel. Pegawai dapat mengatur jadwal bekerjanya sesuai dengan kebutuhannya. Mereka dapat memilih bekerja di kantor atau dimanapun lokasinya sesuai kenyamanan dan keamanan masing-masing.

Sebelumnya banyak orang memilki mindset bekerja adalah di kantor, tentunya dengan pandemi ini konsep tersebut menjadi tidak valid lagi. Bekerja bisa dilakukan dimana saja, tak harus di gedung kantor. Bekerja seharusnya bukan lagi dilihat secara fisik dimana kita melakukan kegiatan tersebut tetapi harusnya dilihat dari output yang dihasillkan sesuai target. Perusahaan luar tentu saja sudah lebih dahulu menerapkan konsep hybrid working, seperti Microsoft, Google, Facebook, dan Twitter. Nama-nama besar di bidang teknologi yang pastinya dukungan teknologi pendukung kerjanya sudah sangat amat mumpuni. Teknologi digital tentunya menjadi kunci utama dalam mendukung perubahan dan competitive advantage.

Lalu bagaimana dengan pendapat pegawai mengenai konsep WFH atau hybrid working ini? Apakah hal ini yang sebenarnya mereka inginkan dalam bekerja? Survei yang dilakukan McKinsey pada Desember 2020-Januari 2021 terhadap 5.043 pegawai tetap yang bekerja di sektor korporasi maupun pemerintah di kawasan Asia, Australia, Eropa, Latin Amerika, dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa lebih dari 50% pegawai menginginkan bekerja dari rumah setidaknya tiga hari bahkan lebih dalam seminggu.

Polling lainnya juga dilakukan oleh Gartner, Perusahaan Riset dan Konsultansi asal Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 48% pegawai cenderung akan memilih work remotely setelah pandemi covid ini. Angka ini tentu saja mengalami kenaikan sebelum covid, yang sebelumnya sebesar 30%. Hal ini menunjukkan bahwa covid dapat mengubah cara pandang dan preference pegawai terhadap cara mereka bekerja. Tentunya organisasi juga harus dapat menangkap fenomena tersebut dengan menentukan strategi yang sesuai.

Namun pada kenyataannya, survei yang dilakukan oleh McKinsey memberikan hasil bahwa 68% organisasi belum memiliki rencana dan visi yang jelas mengenai hybrid working ini. Lalu apakah kita siap melakukan pekerjaan dengan cara hybrid? Apa saja yang harus diperhatikan untuk memulai hybrid working ini? Dirangkum dari berbagai sumber, terdapat lima besar key factors yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan hybrid working:

  • Communication

Dalam menyiapkan hybrid working, hal pertama yang harus disiapkan adalah strategi komunikasi yang akan digunakan, baik formal maupun informal. Komunikasi harus dapat tetap berjalan dengan lancar dimanapun pegawai bekerja dan semua pegawai dapat menerima pesan dan informasi yang sama. Bukan berarti sama sekali tidak ada face-to-face meeting, tetapi lebih diatur penjadwalannya dan mekanismenya.

  • Culture

Budaya kerja yang baik berdasarkan transparansi dalam suatu organisasi tentu menjadi kunci utama dalam efektivitas bekerja hybrid. Hal penting lainnya adalah trust. Tentunya saja rasa percaya ini membutuhkan dua pihak. Organisasi tidak bisa mengharapkan pegawai untuk percaya bila organisasi tidak menciptakan budaya saling percaya terlebih dulu dan memperlihatkannya kepada pegawai. Dikutip dari agiledrop.com “by making trust one of your core values, you’ll be able to invest less on-going effort into things like daily checkups and micromanagement”.

  • Leadership

Hybrid working menawarkan fleksibilitas pegawai mengatur jadwal pekerjaannya masing-masing. Tentu saja ini dapat menimbulkan pertanyaan bagi pimpinan, apakah anak buah saya akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk nonton Youtube atau mencoba resep baru dibandingkan menyelesaikan pekerjaannya? Kembali lagi ke poin sebelumnya, trust adalah yang utama. Setiap pimpinan dapat mengatur outcome-based objective dan membuat setiap anak buahnya bertanggung jawab akan penyelesaian target tersebut. Juga para pimpinan dapat memberikan dukungan dan alat kerja yang dibutuhkan pegawai agar efektif dalam bekerja. Tentu juga yang tidak kalah penting adalah, pimpinan harus memastikan kesehatan fisik dan mental para pegawainya. Bukan hanya menuntut kerja, kerja, dan kerja siang dan malam.

  • Technology

Di era seperti saat ini tentu saja teknologi menjadi banyak jawaban atas resah dan gelisah penerapan hybrid working. Teknologi adalah kunci penerapan saluran komunikasi organisasi kepada seluruh pegawai. Teknologi juga pastinya digunakan dalam penyelesaian pekerjaan.

  • Agility

Faktor terakhir kunci sukses kerja hybrid adalah embracing agility. Ini bukan berarti akan memilih dan tetap bekerja dengan cara yang sama secara terus menerus setiap saat, tetapi kita harus bisa beradaptasi dengan situasi terkini. Terlebih lagi, agility memberikan tambahan competitive advantage dengan selalu mengusung inovasi dan perubahan di masa depan.

Pandemi ini bagaikan blessing in disguise. Mau tidak mau “memaksa” kita untuk selalu beradaptasi dengan keadaan dan tidak kaku dengan rutinitas. Berubah dan beradaptasi untuk hal yang lebih baik, efisien, dan inovatif. Kalau mengingat lagi kutipan dari Charles Darwin, “Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu bertahan, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan”.

Sumber:

  1. McKinsey.com
  2. Gartner.com
  3. Envoy.com
  4. Agiledrop.com
  5. Detik.com

Tempat Kerja Bikin Bangga?

Masih bangga ga bekerja di tempat saat ini?”. Beberapa waktu lalu terlontar pertanyaan seperti ini, lalu sontak saya dan teman-teman saya sambil senyum-senyum mencoba menjawab dengan bijak. Pertanyaan simple dan lugas tapi kok ya berat sekali memberikan jawaban yang sesuai. Kalau kata lagunya Raisa, ya serba salah.

Jawaban yang diberikan cukup beragam. Ada yang jawab dengan lantang “Bangga banget lah! Masa enggak?”. Tak sedikit juga yang merespon “Hmm yaa mayan deh gitu.”, bahkan ada yang hanya menjawab dengan senyuman berjuta makna. Pertanyaan yang sama dapat menimbulkan reaksi yang berbeda. Kenapa ya? Kok bisa? Banyak faktor yang membuat pegawai merasa bangga ataupun tidak terhadap tempat mereka bekerja.

Jika pegawai tidak merasa bangga, bagaimana dengan kinerjanya? Apakah ada hubungan antara rasa kebanggaan pegawai dengan tingkat kinerja yang dihasilkan? Jawabannya saya dapati dari forbes.com. Employees who lack pride don’t feel a sense of ownership and are not willing to go the extra mile. Jelas disebutkan bahwa pegawai yang kurang bangga akan tempat mereka bekerja tidak akan merasa memiliki dan terikat atas organisasi tersebut. Diawali dengan ketidakbanggaan, lalu tidak merasa terikat, dan akhirnya berpengaruh dengan kinerjanya, tidak mau memberikan kinerja terbaiknya karena ya, buat apa?

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh pimpinan untuk meningkatkan rasa bangga pegawainya terhadap organisasi? Pertama adalah satisfaction dan engagement. Kedua hal ini merupakan saudara yang tidak dapat dipisahkan. Jika pegawai puas dengan organisasi dan pekerjaannya, maka tingkat engagement akan naik dan menghasilkan kebanggaan pegawai.

Kepuasan pegawai terhadap leadership pimpinan juga sangat berpengaruh. Pimpinan dapat membangun tingkat engagement pegawai dengan cara menginspirasi, mengapresiasi, dan memotivasi; mengomunikasikan visi dan values organisasi; membangun kerja sama tim dan kolaborasi; dan jadilah role model sesungguhnya, walk the talk.

Data survei Gallup dengan menggunakan CliftonStrengths assessment menunjukkan bahwa 67% pegawai yang engage sangat setuju bahwa manager mereka fokus terhadap strengths atau karakter positif mereka dalam bekerja. Data lain dari Gallup juga menyebutkan bahwa pegawai yang fokus dapat memaksimalkan strengths mereka dalam bekerja akan enam kali lebih engage.

Ketika pegawai diperlakukan secara adil di dalam organisasi, dipastikan kebanggaan akan muncul. Namun bila sebaliknya yang terjadi, sudah dipastikan apa yang muncul setelahnya. Ditambah lagi, rasa bangga bukan hanya mengenai bagaimana organisasi “memperlakukan” pegawainya tetapi juga bagaimana pegawai dapat melihat organisasi dapat memberikan dampak positif dan kontribusi terhadap lingkungan eksternal.

Faktor terakhir yang tidak dapat dipungkiri untuk meningkatkan kebanggaan pegawai adalah bagaimana organisasi peduli akan pengembangan karir dan peningkatan skill, pengetahuan, dan wawasan pegawai untuk bersama-sama mencapai tujuan dan target organisasi.

Mungkin bisa jadi checklist bersama, apakah organisasi tempat Anda bekerja saat ini sudah menciptakan faktor-faktor di atas? Mungkin ada yang sudah, tak banyak juga yang belum. Jadi, apakah masih bangga?