Remote Leadership

Saat ini kondisi dunia kerja sudah menuju kesimbangan baru. Semakin banyak perusahaan/organisasi yang berani berpindah dari pola kerja kantoran yang konvensional menjadi pola kerja hybrid/WFH/WFA. Tantangan terbesar bagi perusahaan/organisasi yang mulai bertransformasi saat ini sebenarnya bukan pada pekerjaan jarak jauhnya (remote work), melainkan di kepemimpinan jarak jauh (remote leadership). Sekarangpun banyak tools, sistem dan perangkat teknologi yang memudahkan pegawai beradaptasi menghadapi perubahan ke remote working dengan biaya terjangkau. Namun kendala terbesarnya adalah adanya kebutuhan besar bagi para pemimpin untuk beradaptasi dengan praktek kepemimpinan jarak jauh. Bila tak dilakukan, maka transformasi remote working tidak akan berhasil.

Mari kita lihat salah satu contoh di lapangan, perusahaan yang memiliki aplikasi Customer Relationship Management (CRM) sudah seharusnya lebih mudah untuk sukses menjaring konsumen dan pangsa pasar, dibanding perusahaan tanpa CRM. Implementasi software-software CRM sebenarnya telah ada selama beberapa dekade terakhir, dan relatif mudah digunakan dan dipahami. Namun penelitian menunjukkan bahwa selama 13 tahun terakhir, antara 30 hingga 60% implementasi sistem CRM gagal total. Data menunjukkan bahwa alasan utama kegagalan tersebut adalah karena CEO tidak memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk membuatnya sukses.

Begitu pula inisiatif dalam remote working yang sudah pasti memanfaatkan aplikasi-aplikasi terkini yang lazim: seperti Zoom, Dropbox, Teamviewer, Hive, dll. Bila para pemimpinnya tidak menggunakan pendekatan kepemimpinan yang tepat, cita-cita remote working bisa jadi sebuah bencana dan buang-buang tenaga/waktu perusahaan. Peter Drucker yang dianggap sebagai bapak manajemen modern percaya bahwa orang menjadi pemimpin yang lebih baik jika mereka belajar mengelola diri sendiri, kemudian belajar mengelola tim, dan akhirnya belajar mengelola peluang. Mengelola diri sendiri mengacu pada penggunaan waktu dan keterampilan komunikasi. Mengelola tim mengacu pada disiplin membimbing tim menuju misi yang jelas, dan tujuan yang bermakna. Maka, jika seseorang pandai mengatur waktu, komunikasi, dan tim, maka mengelola peluang akan menjadi rutinitas yang sederhana.

Learning to Manage Yourself: Time and Communication

Kamu memenangkan tiket untuk mengobrol dengan Elon Musk. Kamu harus memilih apakah lebih suka bertukar pikiran melalui email dengan dia atau mengadakan pertemuan tatap muka sambil dia menggunakan papan tulis. Yang mana yang akan kamu pilih? Preferensi yang sama berlaku untuk individu di tim yang lebih memilih untuk mengadakan pertemuan tatap muka daripada menerima email. Komunikasi lebih efektif jika berbicara secara langsung, dan kurang efektif jika ditulis melalui email, apalagi informasi dengan teks cenderung terbatas dalam mengekspresikan emosi dan suasana kebatinan. Namun yang cukup menggelikan, mengapa CEO/pimpinan menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengirim email serta berkomunikasi via teks.

Tantangan komunikasi yang efektif adalah ketika kita meningkatkan efektivitas, waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya juga meningkat. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pertemuan tatap muka membutuhkan waktu jauh lebih lama daripada mengirim email. Elon Musk mungkin lebih suka mengirim email saja dengan beberapa pemikirannya, daripada menghabiskan satu jam waktunya untuk mempersiapkan dan menjamu kamu secara langsung. Scott Ambler, mantan kepala di IBM Agile, mengilustrasikan efektivitas komunikasi berbagai channel dimana efektivitas komunikasi serta waktu yang dibutuhkan berkorelasi positif. CEO/pimpinan mengirim email karena waktu mereka lebih sedikit.

Oleh sebab itu, pendekatan komunikasi yang tepat dan kesediaan meluangkan waktu oleh pimpinan kepada anggota tim disaat remote working harus menjadi prioritas. Remote working secara full time (full WFH/WFA) bukan merupakan opsi optimal. Manusia sebagai makhluk sosial tetap membutuhkan interaksi yang dekat agar dapat membangun kontekstual dan trust dengan sesama rekan kerja.Frekuensi 1-2 kali pertemuan tim strategis dengan tatap muka dalam 1 minggu normalnya sudah cukup untuk mengefektifkan komunikasi. Jadi, bagi perusahaan yang ingin mengadopsi remote working, melakukan rapat koordinasi/evaluasi strategis tatap muka 1-2 kali seminggu sepertinya angka yang ideal untuk dipraktekkan, sisanya, kamu dapat bekerja dari rumah/diluar kantor. Sedangkan pertemuan lain yang kurang strategis/cenderung teknis, dapat dilakukan dengan channel komunikasi lain non-tatap muka.

Learning to Manage a Team: Defining Parameters and Providing Leeway

Cobalah bertanya pada pegawai high performers suatu perusahaan mengenai praktek manajemen kerja terbaik, sebagian besar pasti menginginkan kondisi dimana ada parameter/ukuran yang jelas untuk pekerjaan mereka, dan disaat yang sama diberikan ruang kebebasan serta kepercayaan untuk mengeksekusi hal-hal yang masih dalam domain mereka. Pegawai yang baik pasti menginginkan kejelasan ekspektasi dari pimpinan tentang arah tujuan perusahaan mau kemana, kejelasan jalur karir, serta diberikan kewenangan tanpa harus terus dipelototin dan diajari terlalu sering oleh si bos.

Pada saat konsep remote working berjalan, para pemimpin harus mampu menggabungkan kemampuan untuk menetapkan aturan yang ketat (harapan dan parameter kerja) dengan kemampuan untuk memberikan otonomi dan kepercayaan (kemandirian bagi pegawai untuk membuat keputusan sendiri). Dengan kata lain, kepemimpinan yang efektif berkaitan dengan micromanaging parameter dan macromanaging eksekusi. Dengan adanya kejelasan tujuan dari pimpinan, serta akuntabilitas kerja yang baik, maka para pegawai yang sedang remote working dapat mencari solusi dengan kreatif, tanpa harus dimonitor terlalu intens oleh supervisornya yang terkadang malah kontraproduktif.

Holacracy

Pernah lihat film the Intern (2015) yang dibintangi Robert de Niro dan Anne Hathaway? Bila kamu menonton, pasti ingat perusahaan retail pakaian bernama About the Fit yang sekilas terlihat amat menyenangkan. Seluruh anggota tim di perusahaan dapat berkomunikasi dengan luwes seakan-akan tiada sekat antara atasan dan bawahan. Kondisi demikian serupa dengan konsep Holacracy, yaitu sistem kerja yang memberikan kebebasan penuh kepada setiap individu untuk bekerja dan berkarya sesuai dengan kapabilitas semaksimal mungkin tanpa batasan yang signifikan dari atasan langsung, dengan demikian perusahaan diharapkan dapat berjalan secara lebih responsif dan berorientasi pada tujuan. Bahkan holacracy tidak memiliki struktur organisasi baku, namun sangat dinamis dan mudah berubah sepanjang waktu.

Setiap orang dalam organisasi holacracy bertanggung jawab penuh atas tugas dan target yang ingin dicapai tanpa perlu melapor kepada supervisor atau manager dan tidak perlu menunggu perintah pekerjaan. Lalu bagaimana bila tidak ada bos atau manajer yang mengarahkan? Jadi pada pendekatan Holacracy, perusahaan membentuk tim-tim kecil yang independen dan saling terhubung. Tiap tim punya otoritas mengambil keputusan sendiri: mereka diberi suatu target dan tujuan besar, lalu mereka memutuskan sendiri gimana caranya mencapai tujuan tersebut. Intinya yaitu tentang self-management. Dengan holacracy, tiap orang dan tim akan memiliki sense of belonging yang lebih tinggi ke organisasi tempat bekerjanya karena mereka merasa berkontribusi secara langsung atas keputusan penting perusahaan. Oleh sebab itu organisasi holacracy dapat mendorong inovasi pegawai, sense of community, memberdayakan pegawai apapun levelnya, serta meminimalisir proses bisnis dan berbagai meeting yang tidak penting.

Pada gambar diatas, seluruh komponen pegawai pada sistem holocracy dapat berkontribusi langsung terkait fungsi timnya. Bahkan seorang CEO pun dapat memiliki portofolio kerja. Sistem ini memang terdengar sangat sesuai dengan generasi millennials yang suka dengan kecepatan proses dan informalitas bekerja. Akan tetapi sistem holacracy masih sulit diterapkan oleh banyak perusahaan, baik startup atau konvensional karena membutuhkan perubahan mindset yang besar. waktu yang dibutuhkan untuk bertransisi juga cukup panjang karena tidak semua pihak dan perusahaan dapat menerima dan nyaman dengan konsep holacracy. Holacracy pada dasarnya cocok bagi organisasi yang fokus terhadap inovasi, ingin mengubah cara orang bekerja dan meningkatkan kinerja pegawai, mempercepat pengambilan keputusan, mencapai tujuan dengan resources terbatas, dan mengungkap bakat-bakat terpendam dan ide brilian dari para pegawai.

Namun layaknya pendekatan keorganisasian lainnya, holacracy bukan tanpa kekurangan. Beberapa isu masih harus diperhatikan, yaitu (1) kepemimpinan yang kurang terlegitimasi dapat menimbulkan risiko tim menjadi disorganized dan tidak efektif, apalagi bila ketua tim yang ditunjuk bukan orang yang tepat. (2) Pada holacracy tidak ada blame game atau saling menyalahkan, sehingga ada potensi pegawai menjadi free rider terhadap capaian tim. Merekapun tidak dapat ditindak karena memang tidak ada formal authority yang memintanya melakukan tugas tertentu secara langsung. (3) Holocracy cenderung sulit diimplementasikan karena pada dasarnya, manusia terbiasa hidup dalam hierarcy sosial, perubahan mindset pegawai agar self-managed tidak mudah diterapkan dengan cepat, namun butuh proses dan pelatihan yang panjang.

Nah, dunia kerja sudah semakin berubah bukan? Siapkah kamu melakukan revolusi besar terhadap sistem organisasi di perusahaan atau organisasi kamu?

Information Source:

holacracy.com, wrike.com, majalah.kliksaja.co, hbr.org, kumparan.com, ziliun.com

Planned Obsolescene

Sekitar seabad yang lalu, sekelompok pengusaha internasional terkemuka berkumpul di Jenewa, Swiss, untuk mengadakan konspirasi kartel yang tenar dengan nama “Phoebus”. Pesertanya adalah perwakilan tertinggi dari semua produsen bola lampu terbesar, diantaranya Osram dari Jerman, Philips dari Belanda, Compagnie des Lampes dari Prancis, dan General Electric dari Amerika Serikat. Kartel Phoebus merupakan organisasi/badan pengawas yang mengatur kebijakan pasar bola lampu pijar di seluruh dunia dan merupakan kartel pertama dalam sejarah yang memiliki jangkauan global.

Perusahaan-perusahaan ini ternyata berkolusi untuk merekayasa bola lampu pijar dengan masa pakai yang berkurang secara dramatis. Lampu yang biasanya mampu menyala sekitar 1500-2000 jam dibuat hanya bertahan hanya seribu jam, sehingga memungkinkan setiap perusahaan di dunia untuk menjual lebih banyak bohlam dan menaikkan harga. Praktek ini disebut juga PLANNED OBSOLESCENCE (Keusangan yang direncanakan), yaitu pengurangan umur produk secara sengaja untuk mempercepat renewal produk, agar konsumen lebih banyak repeat order/purchase. Prancis adalah negara pertama di dunia yang melarang praktik ini pada tahun 2015, dengan ancaman hukuman 2 tahun penjara dan denda mulai €300.000 hingga 5% omset tahunan.

Praktek Planned Obsolescence pun banyak terjadi di sekitar kita. Tidak perlu jauh-jauh, gadget yang kamu gunakan untuk membaca artikel ini (handphone/tablet/PC/Laptop) sudah pasti didesain oleh produsen untuk memiliki masa pakai maksimum. Bukan hanya itu, bagi kamu pengguna produk Apple, bila gadget kamu outdated, lalu kamu mengupgrade iOS, hampir pasti gadget kamu menjadi lebih lelet atau seringkali bermasalah, bahkan tidak jarang Apple mengancam penghentian support aplikasi pengguna gadget lama. Familiar bukan dengan kejadian seperti ini?

Bentuk planned obsolescence pun bermacam-macam, ada rekayasa fungsi, durabilitas, marketing, software, estetik, persepsi, serta mempersulit perbaikan produk. Bagi kamu pengguna mobil, kamu pasti paham bahwa hampir setiap tahun produsen mobil melakukan facelift dengan menambahkan fitur-fitur tertentu, dan terkadang melabeli dengan kalimat “All New”. Praktek ini pun disinyalir menjadi strategi planned obsolescence, membuat persepsi konsumen mobil lama berubah, merasa produknya ketinggalan jaman dan undesirable, padahal fungsi mobilnya masih bagus dan tidak ada masalah. Industri lain juga masih banyak lagi, contohnya edisi buku yang diupgrade setiap tahun, mode fashion yang berubah dengan melibatkan public figure, tinta printer yang sangat mahal bahkan kadang semahal printernya, dan lain sebagainya. Praktik planned obsolescence ini juga dianggap mengancam sustainability lingkungan karena mendorong overconsumption, dan mengakselerasi penumpukan limbah manufaktur/elektronik yang berbahaya.

Peraturan perlindungan konsumen di Indonesia mungkin belum sampai berfikir kesana, padahal di negara lain, perusahaan seperti Apple, Samsung, Microsoft, pun sudah kena denda jutaan dolar karena praktek planned obsolescence yang telah terbukti di pengadilan merugikan konsumen. Yah, di Indonesia jangankan sampai kesini, bahkan untuk kebijakan return policy konsumen saja belum selevel di luar negeri. Produsen lebih sering lepas tangan saat transaksi selesai. “Barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan”, “Penjual tidak menanggung segala kerusakan produk selain tertulis di garansi”,  familiar bukan dengan frase ini? Klausula eksonerasi seperti kalimat tadi di beberapa negara diilegalkan. Bisa jadi sistem perpolitikan dan perumusan kebijakan di Indonesia masih di dominasi interaksi yang kuat dengan asosiasi cukong/ pengusaha dibanding dengan asosiasi konsumen. Tapi itu mungkin bahasan bacapikir episode lain.

Nah, kembali ke Planned Obsolescence, apa sih solusinya agar praktik semacam ini bisa diminimalisir efeknya, baik ke konsumen maupun produsen. Produsen suka dengan praktik ini karena meningkatkan profit, efisiensi, dan menjaga going concern perusahaan dalam jangka panjang. Sedangkan konsumen tidak suka dengan praktik ini karena menurunkan value produk yang dibeli dan menurunkan daya beli.

Opsi solusi pertama: Regulatory Approach

  • Mengadopsi best practice standar minimum yang harus dipenuhi produsen, layaknya bidang penerbangan (alat pesawat) dan kedokteran (peralatan medis, obat-obatan), yang memiliki standar minimum kualitas, pengerjaan, material, redundansi, yang relatif ketat dan termonitor.
  • Memperkuat layanan purna jual sampai dengan jangka waktu usia pakai maksimal dari produk-produk tertentu, termasuk pengkinian software bagi produk elektronik.
  • Memberikan hak konsumen untuk memperbaiki/mengupgrade sendiri produk yang dibelinya dan mempermudah akses informasi tentang detail produk (manual produk, atau diagram skematik utk produk elektronik), yang selama ini banyak tidak transparan.
  • Memberikan insentif bagi produsen pada saat mendukung inisiatif-inisiatif yang ramah lingkungan, ramah konsumen. Insentif dapat berupa insentif perpajakan, permodalan, inovasi, dan kemudahan lainnya.

Opsi solusi kedua: Paradigm Shift

  • Mendorong perubahan mindset dan culture masyarakat untuk tidak mudah beralih/ mengupgrade produk selama produk masih berfungsi dengan baik.
  • Memperkuat dan mempopulerkan second hand market agar masyarakat terbiasa menggunakan produk tangan kedua.
  • Edukasi dan diseminasi informasi melalui berbagai media tentang cara upgrade/perbaikan produk dengan self-service.

Solusi untuk planned obsolescence memang tidak sesimpel yang dibayangkan meskipun praktik ini sudah awam dilakukan puluhan tahun, karena bentuk dan strategi perusahaan untuk mengeksploitasi pasar akan terus berubah sesuai perkembangan jaman, yang juga menuntut solusi permasalahan yang berbeda pula. Dari lingkaran yang lebih kecil, kita sebagai konsumen harus lebih aware dan jangan terbawa oleh arus corporate greed ya.

Source: appleinsider.com, bbvaopenmind.com, durabilitymatters.com, entrepreneur.com, euroconsumers.org, theparisreview.org, stopobsolescence.org, 9to5mac.com

Toxic Superstar

Toxic Superstar

Bila kamu menemui seorang karyawan/pegawai/manajer/pimpinan yang luar biasa bagus kinerjanya, namun hampir seluruh rekan kerja/kolega di kantor tidak menyukai perilaku orang ini, maka dapat dipastikan dia adalah Toxic Superstar. Familiar bukan? Saya yakin kamu mulai membayangkan orang-orang di kantor yang seperti ini, ya kan?

Toxic superstar merupakan istilah yang digunakan bagi seorang pekerja yang high achiever (berkinerja tinggi), namun memiliki perilaku amat buruk di lingkungan kantor. Kebiasaan buruk tersebut bisa berupa merendahkan pegawai lain, menyalahgunakan kekuasaan, mengadu domba, melakukan fitnah, suka marah-marah, sombong, sukar menerima masukan, atau segala macam perilaku yang merusak suasana dan lingkungan kerja di kantor.

Toxic superstar ada di hampir seluruh organisasi atau perusahaan. Namun tidak semua organisasi paham tentang fenomena ini dan justru merasa keadaan di kantor baik-baik saja, bahkan banyak pemimpin perusahaan yang amat tergantung oleh toxic superstar sehingga enggan untuk melakukan tindakan korektif. Padahal toxic superstar bisa memicu kerusakan organisasi yang lebih besar pada jangka panjang dan mengancam eksistensi organisasi.

Lalu bagaimana solusi untuk menghadapi Toxic Superstar? Ada strategi yang disebut GPS. Pertama, GOAL, pemimpin dan pembuat keputusan harus jelas menetapkan tujuan/tindakan yang akan dilakukan terhadap toxic superstar, biasanya ada dua tujuan yang bisa dipilih:

  1. Menyingkirkan toxic superstar ini, tapi kinerja perusahaan jangan sampai menurun.
  2. Mempertahankan toxic superstar ini, tapi jangan sampai membuat karyawan/pegawai lain meninggalkan perusahaan atau resign.

Kedua, POSITION, pemimpin dan pembuat keputusan harus melihat secara “helicopter view” dimana posisi perusahaan saat ini, apakah sesuai dengan visi jangka panjang, apakah perilaku tertentu dapat ditolerir, apakah ada values/nilai-nilai dalam perusahaan yang perlu ditegakkan, apakah perlu ada mekanisme stick and carrot, dan sebagainya. Diagnostic seperti ini wajib dilakukan pemimpin bila ingin perusahaan/organisasinya tetap bertahan.

Ketiga, STRATEGY, tanyakan dan pastikan hal-hal ini sebelum pemimpin memutuskan mau berbuat apa terhadap toxic superstar:

  1. Apakah dia masih mampu belajar (learning)?
  2. Apakah organisasi/perusahaan masih punya waktu dan sumber daya untuk melatih orang ini?
  3. Apakah dia masih memiliki motivasi untuk berubah?

Bila jawabannya YA, pemimpin harus mengajari (COACH) toxic superstar tentang hal-hal yang ditolerir atau tidak dalam perusahaan, sehingga perilaku-perilaku buruknya tidak terulang. Dari berbagai kasus, tujuan kedua jauh lebih sulit dan lebih mahal untuk dilakukan karena toxic superstar kebanyakan memiliki kemampuan beradu argumen yang mahir, bahkan tidak jarang ketika toxic superstar diberi feedback, dia justru malah membalas memberi feedback.

Bila jawabannya TIDAK, maka pemimpin harus memecat (FIRE) toxic superstar, sembari mencari talent pengganti yang sepadan untuk perusahaan sebelum toxic superstar ini pergi. Bisa melalui profesional hire, atau knowledge transfer dari toxic superstar ke pegawai lain tanpa si toxic superstar tahu dia akan dipecat.

Source:

https://mitsloan.mit.edu
https://www.idntimes.com
https://www.bizjournals.com
https://dan-kerber.medium.com
https://www.thirty30.com

Work From Anywhere

Work From Home (WFH) sih udah biasa ya, kalo Work From Anywhere (WFA) apa ya? Lebih keren lagi nih kayaknya. Kuy bahas biar bisa sotoy dikit-dikit depan mertua atau temen. Seperti makna bahasa inggrisnya, WFA artinya kita bisa bekerja dimanapun: di kafe, mall, restoran, gym, pantai, kebun binatang, atau ditengah hutan sekalipun, selama ada koneksi internet yang stabil. Asik kan, tidak terikat lagi oleh tempat (kantor) yang harus di datangi pagi-pagi, macet-macetan, absen, duduk, ngopi-ngopi, menatap kubikel, dsb.

Ceritanya gimana sih bisa muncul WFA. Jadi begini… Pandemi Covid-19 menyisakan duka mendalam untuk sanak saudara yang telah berpulang. Namun ternyata dibalik musibah selalu ada hikmah. Kehidupan masyarakat (terutama perkotaan) berubah bentuk menjadi lebih “digital”. Layanan online shopping, online food delivery, online teaching, work from home, menjadi rutinitas dan kebiasaan sehari-hari. Adaptasi dunia kerja di tahun pertama pandemi terasa amat berat karena seluruh generasi angkatan kerja, baik itu gen Z sampai dengan gen Baby Boomer “dipaksa” melek metode kerja masa kini, yaitu Work From Home (WFH).

Keharusan untuk WFH mengharuskan perusahaan meminimalisir biaya operasional yang tak lagi digunakan, seperti sewa ruangan kerja, kubikel, meeting room, listrik, membership parkiran, cleaning service, pajak, dll. WFH memberi prospek efisiensi yang masif dan feasible, dimana perusahaan dipaksa keluar dari zona nyaman dan mengakselerasi technological progress. Saat pandemi dianggap selesai, orang tidak lagi diwajibkan pemerintah untuk tinggal dirumah dan meminimalkan interaksi dan mobilitas. Namun perusahaan tidak bisa serta merta menyuruh seluruh pegawainya untuk masuk kantor serentak karena sudah terlanjur melakukan cut loss akibat covid-19. Pegawai yang sudah tidak betah berlama-lama di rumah akhirnya cukup nyaman bepergian kesana kemari, asalkan pekerjaan tetap diselesaikan dengan baik. Inilah awal mula ide WFA, bahwa kerja dimanapun sebenarnya tidak menjadi masalah asalkan bidang pekerjaan sesuai dan performa kerja tetap terjaga.

Dari sisi kinerja, sebuah studi dari Nicholas Bloom (Stanford University) menemukan bahwa ketika pegawai memilih kebijakan WFH, produktivitas mereka meningkat sebesar 13%. Ketika pekerja yang sama diberi pilihan antara tetap di rumah dan kembali ke kantor, mereka yang memilih dirumah mengalami peningkatan performa kerja lebih jauh: 22% lebih produktif daripada sebelum eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang mungkin harus menentukan sendiri situasi kerja yang cocok untuk karakter diri mereka, untuk beberapa orang, lokasi kerja tertentu bisa menjadi mood-booster yang ampuh dalam menyelesaikan tugas-tugas kantor. Setuju?

Selaksa data dan penelitian yang lain pun menyimpulkan bahwa praktik WFA membawa banyak benefit, beberapa diantaranya:

  • Meningkatkan produktivitas dan mood kerja pegawai
  • Menghemat biaya tempat tinggal, transportasi (commuting), dan makanan pegawai
  • Meningkatkan employee retention & engagement pegawai (Faktanya, 74% pegawai dari survei Owllabs mengatakan bahwa opsi WFA akan membuat mereka cenderung tidak ingin resign)
  • Mengurangi kegiatan rapat yang tidak penting
  • Mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota, dsb.

Di sisi lain, layaknya sebuah inovasi dengan berbagai risikonya, WFA juga dianggap memiliki efek negatif yang patut dipertimbangkan, beberapa diantaranya:

  • WFA mungkin tidak cocok untuk semua orang, pasti ada kelompok pegawai lain yang lebih suka ke kantor secara fisik
  • Mengurangi rasa kebersamaan, kolaborasi, dan kekompakan tim akibat minimnya sosialisasi antar pegawai
  • Risiko bocornya keamanan data pegawai dan data perusahaan
  • Kesulitan dalam penilaian kinerja, terutama menilai interpersonal skill dan leadership
  • Sulit menjalankan fungsi mentoring dari atasan ke bawahan
  • Kekhawatiran keberlangsungan karir bila pegawai jarang berinteraksi langsung dengan atasan, dll.

Melihat plus-minus penerapan WFA di tempat kerja, ada beberapa langkah dan kebijakan yang mungkin bisa dilakukan untuk mengadopsi (atau tidak) metode kerja WFA, yaitu:

  1. Mengidentifikasi karateristik organisasi beserta unit-unitnya, apakah WFA cocok atau tidak. Bisa saja pada organisasi/unit/fungsi tertentu dapat dilakukan WFA, sedangkan yang lain tidak. Selain itu diperlukan penghitungan nilai biaya dan menfaatWFA terhadap organisasi.
  2. Melakukan kebijakan transisi. WFA adalah sebuah keputusan besar yang menyangkut seluruh aspek operasional organisasi. Bilapun dilakukan, ada baiknya organisasi melakukannya secara bertahap, misalnya 2 hari dalam seminggu WFA, dan 3 hari tetap ke kantor, semakin lama frekuensi ke kantor dikurangi sembari dimonitor kinerja dan produktivitas pegawai.
  3. Membuat peraturan, panduan, atau SOP yang jelas mengenai remote working, bila perlu disertai enforcement yang kuat terhadap pelanggaran kedisipinan WFA, seperti pegawai yang menghilang (ghosting), bocornya data pegawai/perusahaan, ketepatan waktu hadir online, kebijakan perjalanan (travelling), dsb.

Kebijakan WFA memang menggiurkan saat ini. Namun jangan lupa, manusia adalah makhluk sosial, ada kebutuhan jiwa untuk terhubung dengan jiwa yang lain. Meskipun WFA diadopsi, regular meeting tetap wajib dilakukan secara rutin untuk membangun kolaborasi dan hubungan personal yang baik antar pegawai. Nah, siapkah tempat kerja kamu dengan WFA?

Golem and Pygmalion Effect

Menurut kamu, apakah ekspektasi seorang atasan terhadap bawahannya dapat memengaruhi kinerja bawahan? Kalau berdasarkan riset Rosenthal di tahun 1911, jawabannya Ya. Konsepnya sebenarnya sama seperti self fulfilling prophecy, jadi bila kita membayangkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa, maka besar kemungkinan kita akan mendapati dia berperilaku seperti yang kita bayangkan. Memang tidak terjadi di setiap situasi, tapi menurut riset setidaknya fenomena ini lebih sering kejadian di antara atasan ke bawahan.

Pada Pygmalion effect, harapan atasan yang tinggi terhadap bawahan disinyalir mampu meningkatkan kinerja bawahan. Nama “Pygmalion” sendiri berasal cerita Yunani tentang seorang pematung bernama Pygmalion, yang membangun patung seorang wanita yang begitu cantik sehingga dia jatuh cinta, dan patung itu kemudian hidup menjadi manusia asli. Dalam konteks kepemimpinan, bila seorang atasan cenderung memberikan lebih banyak kepercayaan, kebebasan, dan tanggung jawab kepada bawahan. Atasan akan cenderung bekerja lebih dekat dengan bawahan untuk mencari solusi masalah, daripada hanya memberi tahu mereka bagaimana sesuatu harus dilakukan. Efek positif dari pendekatan tersebut meliputi peningkatan produktivitas, tingkat komitmen dan motivasi bawahan yang lebih baik, mempermudah buy-in terhadap strategi dan tujuan organisasi, kepercayaan diri bawahan yang lebih baik, meningkatkan inovasi, dan lain sebagainya.

Sayangnya, hal sebaliknya ternyata bisa juga terjadi. Ini yang disebut Golem Effect. Dalam sebuah mitologi, Golem adalah makhluk yang dibangun dari tanah liat dan lumpur, dirancang untuk melayani tuannya, dan akhirnya membawa masalah dan kehancuran. Golem effect menggambarkan proses di mana atasan berekspektasi bawahannya akan berkinerja rendah, hal ini menyebabkan perilaku atasan men-justifikasi seluruh output yang mereka bayangkan dari bawahan. Atasan bisa saja menjadi acuh dan kurang memberi perhatian, serta tidak memberikan kesempatan dan kepercayaan lebih terhadap bawahan, atasan tersebut juga percaya bahwa bawahannya tidak memiliki keterampilan, potensi, atau kemauan untuk berhasil. Hal ini mengarah pada perubahan gaya kepemimpinan, di mana atasan akan cenderung menetapkan target dan deadline yang lebih strict, memberikan lebih banyak tugas rutin, terlalu sering memantau bawahan, dan memberikan tugas operasional daripada strategis.

Entah dikomunikasikan atau tidak, ketika dihadapkan dengan kenyataan ini, bawahan menjadi kurang termotivasi dan underperformed, sehingga ramalan dan bayangan si atasan di awal tadi justru menjadi realita. Efek lanjutnya, besar kemungkinan gaya kepemimpinan atasan menjadi arogan dan keras, lebih sering menggunakan power ketimbang empati. Tanpa disadari, konsekuensi negatif dari efek Golem sangat besar ke bawahan, yaitu kurangnya kepercayaan diri bawahan, kurangnya trust terhadap rekan kerja dan atasan, rendahnya produktivitas, kecenderungan bawahan berperilaku oportunis, kurang inovatif, dan yang paling buruk, bawahan akan minta dipindahkan atau bahkan resign. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan bila diamanahkan untuk memimpin sebuah tim. Rasanya kita setuju bila pygmalion effect itu bagus dan golem effect itu buruk. Untuk menghindari Golem effect resepnya cukup sederhana namun kadang sering dilupakan: kita harus terbiasa menghindar dari judgement terlalu dini sebelum melihat karakter dan potensi seseorang yang sesungguhnya. Seringkali kita menilai orang dari penampilan, posisi/jabatan, latar belakang orang tua, almamater, dan lain sebagainya. Padahal kita perlu ingat bahwa, one soul has its own universe, banyak cerita dari hidup seseorang yang tak mungkin bisa disimpulkan hanya dengan sekejap mata atau selantun cerita. Di banyak organisasi, hal-hal “remeh” seperti ini biasanya bukan menjadi isu untuk dibahas, kita terbiasa nyaman dengan stigma bahwa ketika seseorang naik menjadi pemimpin, dia akan otomatis mampu menjadi pemimpin yang adil, peduli terhadap bawahan, dan cenderung memiliki “pygmalion effect”. Padahal tidak seperti itu, bad leader/manager with golem effect problem really do exist, dan isu ini ada baiknya menjadi concern organisasi pada saat membuat program pembekalan kepemimpinan.

Affinity Bias

Kita mungkin cukup familiar dengan frase “nggih”, sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti “iya”. Atau “naon“ yang berarti “apa“ dalam bahasa Sunda. Di berbagai tempat kerja kita juga sering menemui karyawan/pegawai satu suku yang masih memakainya. Sebenarnya sah-sah saja dan tidak ada yang salah, jika memang untuk urusan personal dan bisa mempermudah komunikasi.

Namun yang cukup menggelitik, kebiasaan ngomong bahasa daerah asal menjadi habit di komunikasi resmi, bahkan ke jenjang pimpinan di Ibukota Jakarta yang notabene berlatar betawi. Ada kecenderungan seorang bawahan asal Jawa untuk menggunakan bahasa Jawa ke bos nya yang juga Jawa, begitu pula seorang bos yang berasal dari suku Padang, cenderung sering memakai bahasa Padang ke bawahannya yang orang Padang. Padahal dalam meeting, banyak karyawan disekitarnya yang bukan orang Jawa/Padang yang mungkin saja akan bengong sendiri, mati gaya, atau malah merasa bukan bagian dari tim.

Dalam situasi lain yang lebih krusial, misalnya dalam proses seleksi karyawan. Kita pasti sering menemui pewawancara yang memberi nilai lebih tinggi ke kandidat yang punya latar belakang sama dengan si pewawancara, bisa dari suku, agama, ras, atau interest yang sama, padahal bukan itu key criteria yang dicari oleh perusahaan. Alih-alih mencari kandidat terbaik untuk organisasi, interviewer malah terjebak memilih kandidat yang suboptimal hanya karena atribut personal yang tidak relevan bagi objektif perusahaan. Pewawancara seharusnya menggali informasi calon karyawannya apakah sesuai dengan kompetensi/pengalaman yang dibutuhkan, dan juga menggali kesesuaian dengan values perusahaan, sehingga tidak ada masalah cultural fit di tempat kerja.

Dua contoh kecil diatas merupakan fenomena yang disebut affinity bias, yaitu kecenderungan seseorang terhubung dengan orang lain yang memiliki latar belakang, kepercayaan, dan minat yang sama. Dan banyak contoh lainnya yang sering kita jumpai. Kita akan lebih cenderung berteman, mempekerjakan, atau bekerja bersama dengan orang-orang yang mirip dengan kita. Sekali lagi tidak ada yang salah dengan preferensi pribadi ke seseorang. Malah kita semua memiliki kecenderungan alami untuk berada di sekitar orang-orang yang dapat “connect” dengan kita sehingga membuat kita merasa nyaman. Dan jujur ​​​​saja, tidak ada seorang pun yang ingin dikelilingi oleh orang-orang yang membuat kita tidak nyaman bukan?

Namun demikian, affinity bias dapat menjadi sumber berbagai macam masalah bila kita tidak sadar telah melakukannya di situasi dan posisi yang tidak tepat. Affinity bias seringkali menjadi sumber diskriminasi dan ketidakadilan di tempat kerja. Affinity bias yang kronis dapat menutupi objektivitas kita dalam menilai seseorang sehingga kita akan sering berprasangka buruk dan stereotyping terhadap orang lain. Yang lebih parah, affinity bias juga sering menjadi pemicu terbentuknya “geng” di tempat kerja. Geng Jawa, geng Batak, geng Kristen, geng Islam, geng UI, geng UGM, dan lain sebagainya. Bukankah hal tersebut kita sadari sering menjadi sumber perpecahan yang tidak produktif bagi organisasi.

Dalam hal lain, affinity bias dapat membuat seseorang kesulitan untuk “connect” dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya, cenderung narrow-minded dan sulit menerima masukan positif dari orang yang berlatar belakang berbeda. Rasanya kita juga sepakat bahwa ide-ide cemerlang lebih sering datang dari tim yang diverse atau heterogen daripadatim yang homogen. Menghasilkan ide dan gagasan yang brilian adalah hal penting untuk survivability perusahaan dalam jangka panjang, apalagi perusahaan teknologi dan start-up masa kini yang amat tergantung dari inovasi. Oleh karena itu, kita akan sering menemui perusahaan teknologi dan start-up yang lebih inklusif dan diverse. Nah, bila inklusivitas merupakan salah satu values perusahaan Anda, maka meminimalisir efek affinity bias di lingkungan kerja merupakan salah satu prioritas yang harus dicermati.

Lalu bagaimana mengatasi atau paling tidak mengurangi affinity bias. Sejujurnya kita tidak akan bisa lepas dari affinity bias, namun me-manage sisi emosional dapat menjadi faktor kunci kapan affinity bias diperlukan atau tidak. Pertama, terbiasalah melatih diri dalam suasana dan lingkungan yang berbeda, Anda bisa jalan-jalan ke tempat/negara berbeda, berdialog dengan orang yang berbeda, berteman dengan bermacam-macam orang dengan latar belakang berbeda, dan lain sebagainya. Dengan membawa diversity ke inner circle, otak kita akan ter-hard-wired terbiasa menilai orang sesuai personality dan capacity yang dimiliki, bukan karena latar belakang dan informasi yang belum lengkap. Sehingga kita mampu sampai pada beberapa kesimpulan sederhana dalam hidup ini, bahwa tidak semua bule berbahasa inggris itu pintar, tidak semua orang kulit hitam itu bau, tidak semua orang Padang itu pelit, tidak semua orang Cina mata duitan, tidak semua orang Makassar itu kasar, tidak semua orang Jawa itu lembut, tidak semua orang baik itu harus sama seperti kita, dan berjuta contoh lainnya.

Pada lingkup organisasi, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi affinity bias sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap objektif perusahaan. Pertama, perusahaan bisa mengukur seberapa kuat affinity bias yang terjadi pada karyawan di tempat kerja. Alat ukur psikologisnya sudah ada dan tidak sulit untuk dilakukan. Dari sana, kita bisa melakukan tindakan preventif dan kuratif. Tindakan preventif dapat berupa pelatihan diversity rutin terhadap karyawan, baik pada level eksekutif, manajerial, maupun operasional. Sehingga awareness, understanding, acceptance, dan commitment terhadap keberagamandapat terbentuk. Sedangkan tindakan kuratif dapat berupa perbaikan SOP, sistem kerja, peraturan internal, serta mekanisme stick and carrot, guna mempromosikan inklusifitaspadasetiap divisi/tim.

Bagaimana dengan tempat kerja Anda, sudahkah inklusif dan jauh dari affinity bias?

Presenteeism

Kita mungkin familiar dengan istilah absenteeism, atau ketidakhadiran. Dalam dunia kerja kita pun paham dampak dari ketidakhadiran pegawai tanpa alasan yang jelas terhadap produktivitas. Namun, tahukah Anda ada ancaman yang lebih berbahaya bagi kinerja dan budaya organisasi/perusahaan Anda yang disebut presenteeisme?

Presenteeism didefinisikan sebagai penurunan produktivitas akibat pegawai yang tetap datang bekerja meskipun sedang memiliki masalah kesehatan dan/atau masalah pribadi yang tidak terekspose. Meskipun pegawai secara fisik hadir di tempat kerja, namun mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan tugas pekerjaan dengan optimal dan cenderung membuat kesalahan akibat sedang sakit (tidak fit) atau sedang stress.

Tidak seperti absenteeism, presenteeism lebih sulit untuk diidentifikasi oleh organisasi/perusahaan karena lebih tidak kasat mata dan cenderung sulit dilacak. Di kantor, sepertinya hampir tidak mungkin untuk mengetahui secara sekilas, mana pegawai yang benar-benar kerja produktif dan mana yang “tampak produktif” namun pikirannya sebenarnya lagi kemana-mana. Entah karena lagi punya penyakit, atau sedang stress/depresi. Tak jarang kan kita menemui pegawai yang bersikeras tetap ngantor meskipun sedang tidak enak badan, alasannya banyak, bisa dari pegawainya yang ambisius ingin dianggap berdedikasi tinggi, sungkan terhadap kolega kalau tidak hadir ke kantor, atau yang paling klasik: takut mengecewakan bosnya.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Willis Towers Watson Health & Benefit menemukan lebih dari setengah (51%) pekerja mengklaim tempat kerja mereka dipengaruhi oleh budaya penilaian negatif bila tidak hadir karena sakit. Selain itu, 54% mengklaim bahwa pegawai berada di bawah tekanan untuk kembali bekerja sebelum mereka pulih sepenuhnya dari penyakit atau cedera. Hal ini menunjukkan bahwa ada masalah struktural terkait dengan kebijakan HR atau proses bisnis yang menimbulkan insentif/disinsentif bila izin tidak masuk kantor.

Studi Harvard Business Review terhadap 29.000 pekerja menemukan bahwa kerugian produktivitas karena presenteeism mencapai lebih dari $150 miliar dolar per tahun. Pun studi oleh Statistics Canada menunjukkan bahwa produktivitas yang hilang karena presenteeism bisa 7,5 kali lebih besar daripada absenteeism. Bila ditambah lagi oleh riwayat stress, penyakit jantung, hipertensi, migrain, gangguan pencernaan, sakit punggung, atau penyakit lain, maka rasio kerugian produktivitas meningkat menjadi 15 kali lebih besar.

Studi tentang presenteeism memang relatif terbatas dibanding saudara kembarnya, absenteeism. Leksi presenteeism sendiri baru populer sekitar tahun 2000 dan sebuah studi menyebut hanya 14% perusahaan yang serius mempelajari atau menangani presenteeism. Meskipun demikian, masih ada kabar baik, yaitu banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan divisi HR sebuah organisasi atau perusahaan untuk membantu pegawai menangani hal-hal yang mengarah pada presenteeism sebelum lepas kendali dan merusak organisasi:

(1) Mereview dan mengubah praktik leadership dalam perusahaan atau organisasi. Banyak CEO atau pemimpin yang belum paham bahwa lebih lama dikantor bukan berarti lebih produktif. Sayangnya pemimpin kita masih banyak yang merasa kurang happy bila pegawainya sering sakit, bahkan ada yang hobi memindahkan pegawai sakit atau anti banget punya pegawai sakit.

(2) Memperbaiki kebijakan yang men-discourage ketidakhadiran karena sakit. Masih sering kan kita temui kebijakan penilaian kinerja dari pimpinan ke bawahan yang menggunakan track record jumlah absensi karena sering sakit atau cuti, daripada hasil kualitas pekerjaannya. Bila masih seperti itu, ada baiknya me-review lagi kebijakan penilaian kinerja pegawai.

(3) Menemukan keseimbangan beban kerja dan ritme kerja pegawai. Ini juga bukan tugas mudah bagi pimpinan dan manajemen organisasi, karena terkait dengan restrukturisasi organisasi yang lebih efisien, formasi pegawai, sampai analisa beban kerja. Padahal dengan ritme dan beban kerja yang seimbang, akan mengurangi fenomena parkinson law dan dapat membantu pegawai mengatur work life balance.

(4) Menyediakan channel bagi pegawai terkait kesehatan fisik dan pikiran. Dalam hal ini, perusahaan menyediakan fasilitas konseling psikolog bagi pegawai dan keluarganya. Selain itu, didukung pula oleh layanan telemedicine yang dapat memberi konsultasi kesehatan gratis. Dua jenis fasilitas ini harus independen dari divisi HR dan bersifat confidential, namun dapat memberi rekomendasi kepada pimpinan atau HR mengenai tindakan yang seharusnya dilakukan ke pegawai bersangkutan.

(5) Mempromosikan budaya healthy lifestyle dan work-life balance, dimana pimpinan sebagai role model. Tidak akan ada ceritanya anak buah work-life balance bila bos-nya hobi lembur tiap hari plus suka ngambek/marah-marah.

Nah, bagaimana dengan tempat kerja Anda? Adakah gejala presenteeism?

Karir dan Keahlian

Berapa banyak dari kita yang sering ditanya waktu kecil, cita-citanya apa? kalo udah gede mau jadi apa? Ada yang menjawab jadi dokter, jadi artis, jadi youtuber, dan lain sebagainya. Kebanyakan memang nggak kejadian. Ada yang ingin jadi dokter, tapi ujung-ujungnya jadi guru; ada yang kepingin jadi guru, tapi jadi pilot; ada yang mau jadi pilot, malah jadi driver ojol, dll. Ketika kita ditanya hal semacam itu, sebenarnya ada ekspektasi melekat dalam diri tidak disadari. Seiring bertambahnya usia anak-anak menjadi remaja dan dewasa, tentunya mereka sudah bisa menilai dan mengukur kemampuan dirinya untuk mengikuti atau malah mengubah ekspektasi masa depannya. Ada yang merasa kurang mahir matematika, akan sebisa mungkin menghindari jalur pendidikan dan karir yang banyak terkait matematika. Bukan karena benar-benar tidak bisa, tapi mungkin butuh effort lebih besar untuk memahaminya dibandingkan orang yang lebih naturally gifted. Alhasil, dia akan fokus ke bidang lain dimana dia akan lebih efisien dalam berpikir dan menghasilkan solusi, mungkin jadi ahli biologi, dokter, dan sebagainya.

Hal yang sama dapat kita temui dalam organisasi, ada pegawai yang jago berhitung, ada yang jago bernegosiasi, ada yang jago administrasi, ada yang jago marketing, dan ada juga yang jago memimpin. Yang sering menjadi masalah, sebagian besar pegawai tidak ditempatkan sesuai dengan minat dan bakatnya. Pegawai yang tidak mahir berhitung ditempatkan di unit kerja yang banyak perhitungan; pegawai yang tidak capable memimpin disuruh memimpin tim; pegawai yang tidak begitu paham berkomunikasi ditugaskan meng-handle humas dan stakeholders. Saya yakin bukannya tidak bisa, hanya saja akan tidak efektif dan efisien dalam proses kerjanya, bisa buang-buang waktu, tenaga, uang, ataupun reputasi organisasi. Bayangkan misalnya Anda pegawai senior yang sudah bekerja selama 15 tahun, Anda sangat paham serta passionate di bidang marketing, dan antusias meng-upgrade diri mengikuti perkembangannya setiap waktu. Suatu ketika Anda di pindahkan ke unit akuntansi dan pengadaan. Saya sih yakin Anda pasti bisa, kalau mau belajar lagi, namun apa iya akan sejago peers Anda yang sudah lama dan berpengalaman di tempat tersebut, tentunya tidak. Lebih penting lagi, apakah Anda masih punya energi, motivasi, dan waktu untuk mulai belajar dari nol. Tidak semua orang memiliki hal ini, bahkan bisa dibilang sangat langka.

Pada level pimpinan tinggi fenomenanya justru lebih menarik, misalnya seorang Direktur Compliance yang sudah expert selama 20 tahun dipindahkan menjadi Direktur Pemasaran. Kita bisa argue bahwa ini bukan perkara defisiensi kompetensi, sebab skill yang dibutuhkan di tingkat atas mungkin “hanya” kepemimpinan. Namun banyak yang tidak menduga bahwa amatlah sulit mendapat legitimasi dan pengakuan sebagai pemimpin bila tidak dipercaya oleh para bawahannya yang kemungkinan besar jauh lebih ahli dalam bidang pemasaran. Butuh extraordinary leader bila tim pemasaran ini ingin bekerja dengan optimal. Leader yang baru harus mau belajar dan berani bilang “Pengetahuan saya tidak begitu dalam tentang marketing, so I need help from all of you guys”. Bila tidak dilakukan, decision making si pemimpin bisa saja dipertanyakan oleh bawahannya, dan menimbulkan permasalahan demotivasi pegawai. Dengan kata lain, sang pemimpin harus bisa gain trust sebelum memberi komando sana-sini. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapat trust dari bawahan. Mungkin bisa kita bahas di artikel lainnya. Intinya di level pimpinan tetap bisa movement cross unit/expertise, tapi tidak mudah dan butuh orang yang benar-benar trushworthy dan exceptional leader.

Kita semua sepakat bahwa tidak ada seorang manusia pun yang menguasai dan paham semua hal. Sudah hukum alam bahwa setiap orang diciptakan dengan expertise dan peran masing-masing. Lalu bagaimana idealnya untuk sebuah organisasi me-manage karir dan keahlian?  Analoginya mudah, ingetkah Anda waktu remaja di sekolah kita belajar semua mata pelajaran dasar untuk kemudian diarahkan ke minat dan bakat IPS atau IPA. Atau seorang dokter yang pada awalnya belajar sebagai dokter umum sebelum menjadi dokter spesialis/sub-spesialis. Organisasi juga begitu, di masa awal seorang pegawai bekerja sebagai staf atau manajer, idealnya dia harus belajar dari seluruh unit utama, tidak perlu mendalam, namun dia harus tahu pekerjaan kolega-koleganya apa saja. Itulah mengapa kita sering menemui pegawai muda perusahaan/institusi modern yang setiap 2-3 tahun pindah-pindah unit. Kita menyebutnya generalis, alias orang yang kompeten pada banyak hal, meskipun tidak begitu mendalam. Pada saat level karir dan personality pegawai lebih mature, pegawai ini harus difokuskan ke satu bidang keahlian, atau disebut juga spesialis. Disaat yang sama organisasi harus terus membekalinya dengan kemampuan untuk memimpin dan me-manage pegawai dibawahnya. Ini juga yang amat sering dilupakan orang-orang HR.

Mengapa konsep generalist first, specialist later banyak lebih ideal. Pertama, biaya lebih hemat bagi organisasi untuk melatih banyak pegawai junior dengan skill-skill dasar, ketimbang melatih mereka dengan skill tingkat lanjut yang mahal. Kedua, organisasi akan sangat mudah mencari kader-kader pemimpin pada saat pegawai tersebut mencapai kedewasaan karir dan personality. Dengan menjadi Jack of All Trades, biasanya orang akan lebih fleksibel serta mudah melihat big picture dari sebuah permasalahan. Organisasi kemudian hanya perlu mengarahkan pegawai menjadi spesialis dan membekali pegawai-pegawai ini dengan pelatihan tingkat lanjutan sesuai minat dan bakat terbaiknya. Ketiga, fleksibilitas dan competitiveness di pasar tenaga kerja. Mencari pegawai yang bagus untuk di grooming oleh organisasi memang tidak mudah, namun bila organisasi Anda lebih fleksibel dan generalis dalam persyaratan, Anda akan dengan mudah menemukan pegawai yang extraordinary. Kadang kita terlalu sibuk fokus mencari orang dengan skill teknikal luar biasa sampai melupakan untuk melihat lebih dalam ke karakternya. Padahal kita sama-sama memperhatikan salah satu gejala sosial bahwa kebanyakan orang-orang  yang sukses dan besar, biasanya bukanlah orang yang waktu bersekolah ranking satu. Keempat, meningkatkan engagement pegawai. Menyediakan kesempatan jalur karir spesialis, atau menjadi Master of One saat pegawai beranjak menjadi pemimpin merupakan sebuah value proposition yang sangat menarik bagi pegawai. Dia akan lebih percaya diri di dalam dan luar organisasi dengan expertise yang dimiliki. Organisasi tidak perlu takut pegawai akan dibajak oleh employer lain, selama organisasi pintar me-manage motivasidan memonitor engagement pegawai. Kelima, membentuk pegawai versatilist, yaitu seseorang yang dapat menjadi spesialis untuk disiplin tertentu, sementara pada saat yang sama dapat beralih ke peran lain dengan mudah. So, bagaimana dengan tempat Anda bekerja, sudah kelihatan kah mau ke arah mana kebijakan karir pegawainya?

Vulnerability (Kerapuhan)

“Kau tak tahu betapa rapuhnya aku”

“Bagai lapisan tipis air yang beku”

“Sentuhan lembut kan hancurkan aku”

Diatas adalah sepenggal lirik dari lagu “Rapuh” yang dipopulerkan oleh Joeniar Arif di awal tahun 2000-an. Ada yang masih ingat atau pernah dengar? Hehe… Lucu juga ya, lagu rapuh tapi dibawakan oleh penyanyi pria maskulin yang tampak sangar. Namun bukan rapuh emosional yang akan kita bahas kali ini. Tapi berkaitan tentang membuat sebuah tim yang hebat dengan modal rapuh (vulnerable). Lho kok bisa? Ya memang bisa, apa yang tidak bisa di jaman sekarang yang serba cepat berubah. Malah sebuah artikel hangat dari Harvard Business Review oktober tahun lalu melansir bahwa pemimpin di era saat ini membutuhkan vulnerability, bukan bravado (sikap sok pahlawan).

Pasca puncak pandemi Covid-19, tatanan dunia baru sudah menuju new normal, bukan tatanan sunda empire ya, beda kalo itu. New normal yang dimaksud disini yaitu cara-cara baru dalam menjalankan aktivitas manusia sehari-hari. Yang paling kentara, orang-orang menjadi lebih perhatian dengan aspek kesehatan. Orang yang biasa kerja ke kantor, sekarang sudah terbiasa kerja dari rumah. Orang yang sering ke pasar, sekarang rajin belanja online. Orang yang biasanya ke ATM, mulai biasa internet banking, dan lain sebagainya. Transformasi digital di berbagai bidang pun menjadi lebih cepat akibat pandemi. Lambat laun, organisasi yang tidak responsif akan tertinggal dari kompetitor.

Kita semua paham bahwa kemajuan peradaban manusia adalah hasil dari implementasi collective knowledge multi generasi, bukan individual effort. Steve Jobs dan Dennis Ritchie meninggal di bulan dan tahun yang sama (Oktober 2011). Namun hanya sedikit orang yang tahu tentang Dennis Ritchie. Tanpa Steve Jobs (pendiri Apple), mungkin tak akan ada ipad, ipod, iphone, macbook, dan produk overpriced Apple. Tapi tanpa Dennis Ritchie (penemu C & UNIX), takkan ada windows, atau bahasa dasar programming, dan kita semua hanya akan melihat angka binary (1 dan 0) di layar monitor seperti film The Matrix.

Begitu pula Albert Einstein yang di gadang sebagai manusia tercerdas dengan menemukan kesetaraan massa dan energi E=MC2 sehingga menjadi dasar pembuatan bom atom. Namun hanya sedikit yang kenal dengan Marie Curie yang sebenarnya juga sangat krusial dengan penemuan riset mengenai radioaktivitas sehingga dia lazim disebut “The woman behind the bomb”.  Intinya, kemajuan peradaban manusia adalah hasil collective effort, meskipun ada beberapa figur yang lebih terekspose di mata publik.

Dalam sebuah organisasi yang agile dan adaptif terhadap perubahan, sudah pasti terdapat tim yang hebat di dalamnya. Sedangkan tim yang hebat, terdiri dari anggota tim yang mampu bekerja sama dengan baik. Lalu bagaimana sih bekerjasama dalam tim yang baik? Daripada ribet dengan konsep dan definisi abstrak, yuk kita coba ke jaman batu kala manusia masih primitif:

Bayangkan kita berada dalam sebuah suku (tribe) nomaden di hutan belantara. Saat waktunya berburu, biasanya ada yang memimpin, kadang kepala sukunya langsung, atau ksatria tangguh dengan kepemimpinan yang baik.

Untuk sukses mendapat buruan, tim pemburu ini harus bekerjasama satu sama lain. Ada tim pengintai (scout), tabib (physician/shaman), pemanah (archer), dan juga tentunya seorang ketua tim (chief). Untuk mengambil keputusan mau kemana, dia butuh pendapat tim pengintai/scout, untuk mendapat informasi kondisi anggotanya, dia butuh tabib, dan untuk mengeksekusi binatang buruan, dia butuh pemanah.

Situasi di dalam hutan tidak dapat diprediksi, kadang ada hewan buas, perubahan cuaca, atau bertemu musuh dari suku lain. Ketua tim hanya punya sepasang mata, dia tidak bisa mengamati keadaan di sekeliling timya dengan sempurna. Dia butuh seluruh anggota untuk berbicara pada saat ada ancaman datang, atau hal lain yang membuat tim efektivitas tim menjadi rapuh (vulnerable).

Seorang pemanah yang vulnerable karena tergigit ular, harus bilang ke tabib untuk diobati. Seorang scout yang vulnerable karena kesulitan memanjat pohon untuk melihat situasi dari ketinggian, harus bilang ke anggota lain untuk membantunya memanjat. Seorang tabib tua yang vulnerable karena terlalu lelah berjalan, harus bilang ke ketua tim untuk beristirahat sejenak. Seorang ketua tim yang vulnerable karena ragu membuat keputusan, harus minta pendapat/informasi dari anggota tim lain. Dengan begitu, seluruh komponen tim akan menutupi kekurangan masing-masing dan berburu dengan efektif dan efisien dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi.

Logikanya sama saja pada sebuah tim pada suatu organisasi. Setiap orang dalam tim tersebut harus mampu mengutarakan vulnerability mereka dalam bekerja, sehingga anggota tim yang lain akan dapat membantu mereka. Ketua tim juga tidak terkecuali, karena pada dasarnya menjalankan organisasi bukan one man show, tapi band of brothers. Namun Sebelum itu, kita tahu bahwa tidak semua orang nyaman mengutarakan vulnerability-nya. Ada yang takut di bully, atau dipandang inkompeten. Nah, kita harus aware kapan kita aman mengutarakan vulnerability sehingga kita dapat memperbaiki kekurangan kira dalam bekerja. Ada 3 syaratnya:

Pertama, pastikan pemimpin Anda terbiasa dan nyaman mengutarakan vulnerability-nya, sehingga kita tahu bahwa dia toleran terhadap kekurangan anggota tim dan bersedia membantu Anda dengan pengalaman, pengetahuan, maupun kebijaksanaannya. Akan susah bila Anda mendapati pemimpin yang merasa dirinya superman dan paham akan segala hal serta tidak mentolerir kesalahan. Bila Anda punya pemimpin jenis ini, sebaiknya Anda jangan menunjukkan vulnerability Anda.

Kedua, pastikan suasana kerja Anda embrace vulnerability, misalnya ada kolega yang baik dan dengan senang hati membantu Anda. Ada diskusi/chat di saat break atau weekend yang tidak melulu soal kerjaan, dan ada aktivitas bersama yang dilakukan untuk membangun kekompakan tim, seperti sering makan siang bersama, karaoke selepas jam kantor, pulang bareng, sepedahan bareng di akhir pekan, dan lain sebagainya. Intinya, segala aktivitas yang menumbuhkan trust di dalam tim.

Ketiga, pastikan Anda memiliki batasan dalam pikiran Anda sejauh mana kebutuhan mengutarakan vulnerability, jangan over-expose sampai ke permasalahan pribadi yang sebenarnya bisa Anda handle sendiri tanpa bantuan orang lain, atau terlalu fokus terhadap satu kolega saja, sehingga menganggap Anda sebagai beban/burden organisasi.

Jadi, vulnerability is good or not, tergantung dimana dan pada siapa Anda bekerja. Show trust to the right people, and it will amaze you how they will trust you back.

Tentang Loyalitas

Apa sih loyalitas? Kita sering mendengar tapi juga sering gagal paham artinya apa, maksudnya gimana, dan sebenarnya penting atau tidak buat kita. Umumnya, kata loyalitas sering bersanding dengan diksi kesetiaan, kepercayaan, kejujuran, dedikasi, dan sebagainya. Itu semua benar, karena memang dimensi loyalitas luas sekali. Mulai dari hubungan di antara dua orang manusia, sampai ke urusan loyalitas konsumen, ataupun antara pegawai dan organisasi kerja.

Dari lingkup kecil, jika anda setia dan berdedikasi pada seseorang atau sesuatu, maka anda adalah orang yang loyal. Orang yang loyal akan dapat diandalkan dan senantiasa jujur, kadang kejujurannya seperti pil pahit, namun kita tahu bahwa banyak obat bentuknya pil pahit, layaknya kritik tidak pernah ada yang enak didengar, meskipun datang dari orang yang paling loyal terhadap kita. Namun sebenarnya kita tahu bahwa kita butuh kritik membangun dari sudut pandang orang lain.

Loyalitas membutuhkan asas resiprokal untuk mempertahankan sebuah hubungan, artinya kita tidak bisa berharap pihak lain loyal sementara kita tidak loyal, vice versa. Kalaupun bertahan, hubungan itu hanya sementara dan dapat dengan mudah berakhir, layaknya unstable equilibrium dalam persamaan matematika, atau kelereng di ujung tanduk. Saat fakta disloyalitas diketahui pihak yang loyal, relasi akan berakhir dan kadang dengan ending yang dramatis.

Di sisi lain, loyalitas yang resiprokal ibarat stable equilibrium, atau seperti kelereng ditengah bejana lengkung (mangkok), meskipun kelereng terguncang naik dan turun, tapi akan tetap kembali ke titik tengahnya. Analoginya dalam sebuah hubungan, akan ada naik turun karena saling mengkritik dan mengutarakan ekspektasi, tapi kita tahu bahwa itu dilakukan dengan tujuan positif agar masing-masing pihak menjadi lebih baik. Loyalitas yang kuat akan mampu bertahan di tengah berbagai ujian, ujian yang paling sering ditemukan biasanya di kala salah satu pihak sedang dalam keadaan buruk. Pihak yang lain dituntut tetap di sisinya untuk membantu dan mendukungnya. Ibarat seorang sahabat yang tidak akan meninggalkan anda ketika anda terpuruk secara fisik ataupun psikis. Bila pihak itu justru memanfaatkan anda atau justru berbuat jahat, maka anda sebenarnya loyal dengan orang yang salah.

Lalu apa yang harus kita lakukan bila menghadapi sebuah relasi dengan loyalty mismatch. Hanya ada 2 solusi, pertama anda bisa mencoba mengubah loyalitas orang/pihak lain yang berbeda dengan anda, tentunya dengan keyakinan bahwa hal tersebut baik untuk orang/pihak tersebut, patut dicoba namun jangan kecewa dengan risiko diserang balik. Solusi kedua, anda sebaiknya menjauh (distancing) dari relasi tersebut. Tidak ada gunanya mempertahankan relasi dengan pihak yang memiliki values dan prinsip yang berbeda. Energi anda akan habis. Ujung-ujungnya anda akan rugi waktu dan tenaga yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membangun loyalitas dengan yang lain. Anda bisa saja berpura-pura baik dan memiliki values yang sama dengan orang/pihak tersebut untuk kepentingan pribadi jangka pendek, namun itu menjadikan anda lesser human being, karena tidak loyal terhadap values anda sendiri.

Analogi serupa juga sama untuk scope lebih luas, yaitu hubungan antara pegawai dengan organisasi tempat bekerja. Untuk memiliki pegawai yang loyal, organisasi juga harus loyal terhadap pegawainya. Ukurannya tidak hanya uang/salary, kalau hanya uang ya apa bedanya dengan bisnis prostitusi, tidak ada kekuatan hubungan, hanya sekedar transaksi and that’s it. Pegawai merupakan bagian dari organisasi dan ada kebutuhan untuk dilihat, didengar, dan dikembangkan, sehingga kualitas mereka meningkat sebagai manusia. Pegawai yang disloyal hampir selalu disebabkan oleh 2 hal: (1) Pegawai yang diperlakukan berbeda atau tidak adil, bisa dari kesalahan sistem organisasi, atau kesalahan manajemen (boss dan manajer), dan yang kedua karena (2) Bad cultural fit yang disebabkan perbedaan values antara pegawai dan organisasi.

Pegawai yang disloyal ciri-cirinya umumnya mudah diidentifikasi, mereka terlihat demotivasi, disengaged, tidak excited terhadap pekerjaan, suka komplain, suka bekerja sendiri, sulit fokus, dan suka mencari kesibukan atau kesempatan diluar. Lalu apa yang harus dilakukan organisasi menghadapi masalah loyalitas pegawai.

Pertama, organisasi harus memastikan bahwa seluruh sistem dan kebijakan internal organisasi dilakukan dengan intensi memberikan yang terbaik terhadap pegawai dan mengutamakan asas adil dan transparan, sehingga setiap pegawai mendapat opportunity dan perlakuan yang sama, tidak diskriminatif, apalagi atas dasar yang tidak jelas.

Kedua, organisasi harus menghilangkan toxic boss dan toxic manager yang memicu ketidakadilan di dalam sebuah tim. Toxic boss dan toxic manajer bukan cuma dongeng, penyakit ini hampir selalu ada di setiap organisasi. Yang jadi masalah bila toxic boss dan toxic manajer jumlahnya sangat banyak dan sangat powerful sehingga menjadi mata rantai culture organisasi itu sendiri.

Ketiga, organisasi harus membantu pegawai yang disloyal dengan masalah bad cultural fit, bekerja di tempat lain dengan values yang lebih cocok untuknya, bagaimanapun organisasi memiliki andil kesalahan ketika meng-hire pegawai tersebut dan seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama untuk memperbaikinya, tentunya dengan intensi yang baik ke pegawai tersebut, bukan hanya sekedar melepas/mengeluarkan pegawai begitu saja. Kadang dengan perlakuan yang baik, pegawai tersebut bisa saja sukses di tempat lain, dan kemudian dapat mendukung organisasi kita dari luar bukan.

“Loyalty is a decision. A resolution of the soul” – Pascal Mercier –

Think Positive

Seorang pria bernama Eric sedang berjalan-jalan di batas kota bersama anjingnya yang bernama Nova. Nova melihat seekor kelinci dan semangat mengejarnya hingga tali kekangnya lepas dari Eric. Nova berlari semakin jauh dan Eric tidak bisa mengejarnya lagi. Eric sudah berusaha mencari Nova, bahkan selama beberapa hari, namun Nova tidak lagi ditemukan. Eric begitu sedih karena dia sangat sayang dengan anjingnya. Setelah beberapa hari, seorang wanita cantik bernama Vanessa mengetuk pintu rumah Eric dan membawa Nova yang dia temukan dekat rumahnya. Berawal dari sini, Eric dan Vanessa kemudian bercengkerama, berkencan, jatuh cinta, dan kemudian akhirnya menjadi pasangan suami istri.

Di suatu hari pada saat mengemudi untuk menjemput Vanessa, Eric mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Dokter melakukan tindakan medis yang diperlukan dan CT scan bagian kepala Eric untuk mengecek trauma di kepala. Dokter memberi kabar ke Eric bahwa dia tidak mengalami cedera berat akibat kecelakaan itu, tetapi mereka menemukan tumor kecil di otaknya. Tumor itu berada pada tahap perkembangan sangat dini dan dapat dengan mudah diangkat. Eric merenung, di satu sisi dia mendapat berbagai kesulitan hidup, namun di sisi lain, kesulitan tersebut membawanya ke sesuatu yang lebih baik. Bila Nova tidak pernah hilang, mungkin dia tidak pernah bertemu wanita yang sekarang menjadi istrinya, bila Eric tidak mengalami kecelakaan, mungkin tumor di otaknya tidak akan ditemukan. Ini adalah kisah singkat “The Nova Effect” dari The Pursuit of Wonder.

Cerita ini mirip dengan kisah “The Chinese Farmer” oleh Alan Watts yang menceritakan tentang seorang petani Tionghoa yang suatu ketika kudanya kabur saat sedang menggembala. Semua tetangga yang tahu kabar tersebut datang untuk bersimpati. Mereka berkata, “Kami turut bersedih mendengar kudamu melarikan diri. Ini hal yang sangat disayangkan dan merugikan.” Petani itu membalas, “Mungkin.” Keesokan harinya kuda itu kembali dengan membawa tujuh ekor kuda liar ke sang petani, dan semua orang yang tahu kembali berkata ke petani, “Wah, demikian beruntung ya, sekarang kamu memiliki delapan kuda! ” Petani itu kembali berkata, “Mungkin.”

Beberapa hari kemudian, putra dari sang petani mengalami kecelakaan jatuh saat menunggangi kuda, dia terlempar dan kakinya patah. Para tetangga berkata, “Ya ampun, kami turut bersedih, itu kejadian yang sangat buruk” dan petani itu menjawab, “Mungkin.” Keesokan harinya petugas wajib militer datang ke rumah sang petani untuk mengambil para pemuda yang sehat agar menjadi tentara membela negaranya di medan perang, dan mereka menolak putra sang petani karena dia mengalami patah kaki. Semua tetangga pun datang dan berkata, “Ini berita bagus, putramu tidak jadi ikut perang dan bisa terus bersamamu” Sekali lagi, sang petani menjawab, “Mungkin.”

Dua cerita fabel diatas hanya beberapa contoh kecil dari berbagai fenomena yang dialami setiap orang, setiap hari. Dalam suatu masa, kita kadang mengalami berbagai hal yang diluar ekspektasi. Kita sering mengeluh bahwa ini adalah hal buruk, namun kita juga sering overjoyed dengan hal-hal yang menurut kita baik, padahal bisa saja itu adalah awal sebuah petaka.

Seluruh fase dan dinamika kehidupan adalah proses terintegrasi dengan kompleksitas yang sangat tinggi, dan sangat tidak mungkin untuk mengatakan apakah sesuatu yang terjadi itu baik atau buruk – karena kita tidak pernah tahu apa yang akan menjadi konsekuensi dari sebuah kemalangan. Begitu juga kita tidak pernah tahu apa konsekuensi dari sebuah keberuntungan. Respon yang optimal adalah, kita harus memilki awareness yang tinggi akan eksistensi diri. Melihat diri sendiri dari sudut pandang orang ketiga yang menarasikan cerita hidup kita, kadang kita mesti keluar dari bingkai rutinitas terkini, dan membaca timeline kehidupan personal dari masa lalu, saat ini, dan proyeksi masa depan. Harapannya, kita akan selalu postif menghadapi hal-hal terburuk dalam hidup, tidak patah asa, dan juga tidak berlebihan menikmati kesenangan hingga lupa diri akan tujuan yang lebih besar. Sayangnya menjadi aware terhadap eksistensi diri sendiri adalah hal yang esoterik, tidak semua orang mampu, dan tidak semua orang bisa konsisten melakukannya. Namun, langkah kecil yang mungkin mudah dilakukan adalah kita harus selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur bahwa kita “ada” di dunia ini untuk menikmati setiap momen bersama orang-orang tercinta yang peduli dengan kita. Jadi, yuk berpikir positif setiap waktu!

Kunci Bahagia

Sekitar 80% anak muda millennial berkata bahwa menjadi KAYA RAYA adalah hal terpenting yang harus diraih dalam hidup, 50% dari komunitas tersebut juga berpendapat bahwa menjadi TERKENAL merupakan hal yang sangat penting agar bisa bahagia, setidaknya itulah hasil sebuah survei dari Higher Education Research Institute. Bagaimana menurut Anda sendiri? Mampukah Anda memprediksi hal-hal apa yang harus dilakukan di HARI INI bila Anda ingin bahagia di hari tua, meskipun badai kehidupan menerpa?

Sebelum ke inti sari, yuk merenung sejenak bahwa setiap manusia memiliki 2 variabel untuk dihabiskan selama hidupnya, yaitu WAKTU dan TENAGA. Lalu 2 variabel ini sebaiknya kita gunakan seperti apa agar bisa bahagia. Ada yang mengatakan untuk dihabiskan dengan bekerja keras siang malam sampai kaya raya dan terkenal, ada juga yang mengatakan untuk dihabiskan beribadah agar mendapat kedamaian spiritual. Jawabannya tidak ada yang salah, karena memang setiap orang memiliki standar bahagia berbeda-beda. Anda pun pasti punya standar bahagia sendiri bukan?

Nah, sekarang coba yuk kita lihat dari sisi bukti empiris yang ada, dan belajar dari masa lalu. Sebuah riset dilakukan oleh Harvard University dengan mengamati sampel sebanyak 724 orang sejak tahun 1938 sampai dengan tahun 2000-an. Ini adalah riset sosial terlama dan terpanjang di dunia untuk sekedar mencari jawaban “what makes people happy”. Berbagai macam eksperimen dan pengumpulan data dilakukan dalam riset ini, antara lain wawancara, memberi kuesioner, memeriksa rekam medis, mengambil sampel darah, scan otak, dan lain sebagainya. Ilmuwan secara estafet mengamati kondisi 724 orang (sampel) dari masa remaja, dewasa produktif, hingga usia 90-an. Saat ini ada sekitar 60-an orang dari sampel tersebut yang masih hidup.

Salah satu hal yang menarik, riset menunjukkan bahwa pada saat kebutuhan finansial dasar terpenuhi, maka faktor kekayaan (wealth) tidak begitu berpengaruh pada level kebahagiaan hakiki seseorang, malah kadang kontraproduktif, ada yang makin kaya namun gaya hidupnya tidak sehat. Kita pun tidak pernah menemui orang yang dipenghujung hayatnya menyesali hidupnya karena dulu kurang sering masuk kantor mencari uang lembur ekstra. Begitu pula dengan ketenaran. Kebahagian yang semula didapat dari perhatian, lama-kelamaan bisa menjadi momok menakutkan akibat media intrusion dan kurangnya privasi.

Kesimpulan dari riset ini hanya satu, kunci kebahagian adalah HUBUNGAN BAIK, termasuk hubungan keluarga (pernikahan), hubungan pertemanan, maupun komunitas. Orang yang memiliki hubungan sosial yang baik terbukti LEBIH SEHAT, LEBIH BAHAGIA, DAN LEBIH PANJANG UMUR. Manusia by nature adalah makhluk sosial. Hubungan dan kerjasama sosial membuat manusia menjadi spesies tunggal yang menguasai dunia.

Di sisi lain, orang yang bermasalah dengan hubungan sosial atau “kesepian” cenderung mengalami penurunan fungsi otak, gampang lupa, rentan penyakitan, dan tidak bahagia di penghujung hidupnya. Saya yakin pasti diantara kita ada yang kadang merasa kesepian ditengah kerumunan, atau bahkan bisa “kesepian” dalam hubungan pernikahan. Mungkin masalahnya bukan pada jumlah teman yang kita punya, tapi kualitas pertemanan. Punya banyak teman, ya sekedar teman, tapi bukan sahabat. Atau bisa saja Anda terjebak dalam pernikahan, karena Anda belum membuka diri dan percaya sepenuhnya pada pasangan Anda untuk menceritakan kerapuhan & insecurity terbesar dalam hidup Anda. Bila tidak mampu ke tahap ini, kadang perceraian menjadi solusi yang lebih baik.

Dimensi masalah hubungan antar manusia bisa banyak sekali, namun solusinya hanya satu: Berikan WAKTU dan TENAGA yang Anda miliki untuk membangun hubungan yang baik, dengan siapapun yang Anda anggap orang paling berharga dalam hidup Anda.

Ngomong saja memang selalu mudah daripada melakukan. Menjaga hubungan baik itu sulit, bullshit kalo ada yang mengatakan sebaliknya. Menjaga hubungan baik butuh kesabaran, kemampuan mendengar yang baik, serta konsistensi sampai akhir hidup Anda. Kadang Anda harus rutin berkunjung ke rumah sahabat, mengalah demi kebahagiaan pasangan, mendengarkan keluhan & celotehan orang, memberi bantuan, meminjamkan uang ke seseorang yang butuh, atau sekedar bertanya “Apa kabar” pada teman lama yang sudah 15 tahun tidak pernah bertemu. Bukan perkara yang mudah bukan? Kita kadang lebih memilih asik sendiri dengan gadget, image media sosial, atau video games di handphone.

Hubungan yang baik bukan berarti tidak pernah berantem, perbedaan pendapat dan pertikaian pasti ada. Namun dalam hubungan yang baik, orang-orang yang berada dalam lingkaran terdalam kita, without a shadow of a doubt, akan selalu ada disamping kita dalam suka dan duka, dan bisa bergantung satu sama lain pada saat tekanan kehidupan datang silih berganti. Orang dengan hubungan sosial yang baik, meskipun mendapat penyakit berat di akhir masa hidupnya, mood-nya akan tetap happy dan lebih tenang secara emosional. Pada kasus tertentu, emosional yang sehat justru membantu kondisi fisiknya tetap fit. Sedangkan orang dengan hubungan sosial yang buruk, akan makin menderita secara emosional pada saat terkena penyakit berat di usia senja.

Orang yang paling bahagia di masa pensiun, adalah orang yang berhasil mengubah teman kerja menjadi teman main. Jadi, yuk mulai menyambung silaturahmi dan membangun hubungan baik dengan pasangan, keluarga, orang-orang di sekitar kita!

Universal Basic Income: Masa Depan Kita?

Teman, pernah nonton film animasi Wall-E yang rilis 2008 lalu? Menonton film tersebut sedikit banyak memberi gambaran tentang masa depan, dimana teknologi semakin canggih sehingga hampir seluruh kegiatan pendukung kehidupan manusia dilakukan oleh robot. Mulai dari proses produksi makanan, sampai dengan urusan bersih-bersih. Kebayang nggak bila misalnya dalam 10 tahun lagi kegiatan produksi barang-barang sudah minim menggunakan tenaga manusia dan digantikan oleh komputer dan robot? Dari labor-intensive ke capital-intensive. Gejalanya sebenarnya sudah mulai ada; pom bensin self-service, gerbang tol otomatis, rumah 3D-printed, mobil self-driving, masuknya teknologi robot di pabrik-pabrik produksi, dan sebagainya. Manusia yang sebelumnya menjadi kelas pekerja, dituntut untuk mengambil peran yang lebih strategis dalam strata sosial yang tidak dapat digantikan oleh perangkat berbasis teknologi, misalnya pengacara, guru, dokter, dan yang lainnya.

Lalu apa hubungannya dengan konsep Universal Basic Income (UBI). Saya yakin kemajuan teknologi suatu saat akan banyak menggantikan peran manusia, dan lapangan kerja formal akan semakin sedikit dalam beberapa dekade ke depan. UBI menjadi salah satu solusi untuk setiap orang menikmati kemajuan teknologi tersebut dan sejahtera. Gimana caranya? Sederhana. Setiap orang akan menikmati pendapatan bulanan (unconditional transfer) yang mendukung standar hidup minimalnya, terlepas apakah dia seorang pengangguran ataupun memiliki pekerjaan. Misalnya teman-teman menerima Rp5 juta setiap bulan bila sudah berusia 23 tahun keatas, atau lulus kuliah. Konsep yang sontoloyo kedengarannya, tapi apa iya ada negara yang pernah mencoba konsep ini? Jawabannya ada, meskipun skalanya kecil dan bersifat penelitian. Saat ini hanya ada 2 negara yang melakukan eksperimen UBI berskala nasional dan masih berjalan hingga saat ini, yaitu Kenya dan Iran. Konsep UBI sebenarnya sudah lama hadir dengar nama program beragam di setiap negara. Namun dalam 5 tahun terakhir ini populer lagi.

Di Jerman, ada program crowdfunded UBI Mein Grundeinkommen (My Basic Income) pada 2014-2019 sebanyak $1100/bulan, program private-funded UBI oleh Sanktionsfrei pada 2019 sebanyak $466/bulan, dan program UBI dimasa pandemi Covid19 yang dilakukan oleh The German Institute for Economic Research sebanyak $1430/bulan. Di Spanyol, ada program “B-MINCOME” pada 2017. Brazil, Finlandia, Iran, China, India, Jepang, merupakan beberapa negara yang pernah melakukan riset UBI ini. Hampir seluruhnya menggunakan metode yang sama, yaitu Randomized Controled Trial, dimana peneliti memberi treatment berbeda pada 2 kelompok. Satu kelompok di beri UBI, satu kelompok lagi tidak diberi fasilitas tersebut. Setelah periode riset berlalu, peneliti kemudian melihat berbedaan karakteristik pada masing-masing kelompok.

Apa saja key findings dari berbagai eksperimen UBI ini? Kita lihat dari sisi positif dulu ya: (1) Penerima dana UBI semakin sehat dan jarang berkunjung ke klinik/rumah sakit; (2) Penerima dana memiliki indeks kebahagiaan (happiness index) yang tinggi dan tingkat stress yang rendah; (3) Penurunan angka kriminalitas; (4) Menurunkan angka putus sekolah; (5) Menstimulus kegiatan ekonomi terutama sektor informal dan mendukung pengentasan kemiskinan; (6) Penurunan angka perceraian; (7) Peningkatan indeks kepercayaan terhadap institusi pemerintah; dan lain sebagainya.

Namun bila ditilik dari sisi negatif, beberapa contohnya yaitu: (1) UBI membutuhkan dana yang sangat besar sehingga dapat menciptakan disinsentive ekonomi dari kenaikan pajak; (2) Penerima dana UBI tidak termotivasi bekerja dan mudah puas; (3) Program UBI sangat mahal (costly) dan dapat mengganggu stabilitas fiskal sebuah negara bila belum siap; (4) Ketidaksetaraan (inequality), apakah semua orang berhak mendapatkan jumlah yang sama (si kaya tidak terlalu butuh dan si miskin sangat butuh); dan lain sebagainya. Penolakan akan konsep UBI ini sebagian besar disebabkan oleh kenaikan pajak pendapatan personal terhadap orang dengan kekayaan melimpah, dan juga dari pajak korporasi yang juga akan ikut naik bila konsep ini terealisasi.

Beberapa teori mengusulkan bahwa cara terbaik agar UBI menjadi program yang sukses di era kemajuan teknologi adalah mengimplementasikan pajak terhadap penggunaan teknologi dan komputer terutama pada proses produksi dan pekerjaan yang menggantikan peran manusia. Misalnya pabrik gula, yang normalnya menggunakan 100 orang pekerja, kemudian beralih menggunakan robot, sehingga total pegawainya hanya 10 orang. Maka perusahaan tersebut harus membayar pajak ekstra dari implementasi teknologinya di pabriknya. Namun tantangan yang tidak kalah sulit, yaitu bagaimana memetakan tingkat penggunaan teknologi pada sebuah unit usaha dan mengukur jumlah pajaknya. Konsep ini belum pernah dibuat atau diujicoba, meskipun sebenarnya feasible. Bagaimana dengan teman-teman? Suka atau tidak dengan konsep ini di masa depan?

Burn Out

Teman-teman, pernah ngga sih kalian ngerasain stress di tempat kerja yang terlalu sering, sampe-sampe tempat kerja kita rasanya udah “bukan gue banget”, pengen resign tapi masih butuh pendapatan yang stabil, tugas-tugas di depan mata juga entah mengapa udah ngga menarik lagi. Pokoknya segalanya terasa hampa di hati. Tau ngga kalo kondisi seperti ini istilah kerennya disebut juga “burnout”. Kalo di translate ke bahasa kita sih artinya “terbakar habis”. Tapi dari definisi umumnya, “burnout” artinya kehilangan passion dari sebuah pekerjaan, disertai rasa kelelahan mental, fisik, atau emosional, yang disebabkan oleh stress di tempat kerja secara terus menerus dan tidak terselesaikan. Pada 2019, World Health Organization (WHO) memasukkan fenomena “burnout” ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11), meskipun sebenarnya bukan penyakit medis. Riset WHO juga menyebut bahwa stress di tempat kerja melanda hampir 615 juta penduduk dunia dan menyebabkan kerugian $1 triliun per tahunnya karena produktivitas kerja yang menurun.  

Sebuah survei dari Gallup terhadap 7500 orang pekerja menemukan 5 penyebab utama “burnout” seseorang. Pertama, perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Siapa sih yang suka dengan ketidakadilan, kita sudah kerja banting tulang tapi yang dapat kredit justru orang lain; unequal opportunity; atau bisa juga benefit kerja yang kita dapat lebih rendah daripada peers kita. Kedua, beban kerja yang berlebihan. Setiap orang memiliki ambang batas stamina berpikir dan beraktivitas. Bila batas tersebut terlewati, maka kondisi fisik dan psikis akan menurun dan justru membuat kita tidak produktif dan stress. Jadi, jika pekerjaan kamu setiap hari mengharuskan kamu untuk kerja lebih dari 8 jam sehari bahkan lembur hampir tiap hari, mungkin ada baiknya mencari opsi pekerjaan di tempat lain. Ketiga, visi yang tidak jelas. Mencari arti dari sebuah pekerjaan bukan perkara mudah. Bila pemimpin perusahaan/organisasi di tempat kamu tidak mampu menunjukkan visi perusahaan ke depan mau seperti apa, maka kamu akan terjebak dengan rutinitas yang monoton. Mata kelihatan lesu padahal baru datang di pagi hari, dan setiap hari kita bekerja hanya untuk uang. Tidak lebih.

Keempat, kurangnya komunikasi dan dukungan atasan. Atasan yang merasa exclusive dan egosentrik dapat menurunkan morale bawahannya. Bagaimanapun, bawahan memiliki kebutuhan untuk mendapat feedback yang baik dan juga kredit/pujian/apresiasi atas prestasi kerjanya. Begitu pula atasan juga memiliki kebutuhan untuk memonitor bawahannya agar performa kerja menjadi prima dan sustainable dalam jangka panjang. Kurangnya empati dari supervisor dapat membuat bawahan semakin acuh dan merasa bukan bagian penting dari perusahaan. Kelima, tekanan deadline pekerjaan yang tidak masuk akal. Siapa sih yang suka ketika pulang kerja tiba-tiba dapat WA dari bos yang minta kita menyelesaikan tugas di rumah dan harus selesai malam ini atau besok pagi? Kalo hanya terjadi sekali dua kali setahun sih mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau terjadi di tempat kerja kamu hampir tiap minggu, itu tanda yang tidak sehat yang hampir pasti memicu stress dan depresi.

Kebanyakan orang merasa bahwa fenomena burnout disebabkan oleh pegawai yang bermasalah; dia tidak kompeten, dia tidak tahan banting, dia tidak pantas bekerja di sini, dia punya masalah mental, dia gila, dan lain-lain. Padahal tidak. Burnout adalah masalah organisasi. Ada dua sisi, satu adalah permasalahan menciptakan motivasi, dan kedua adalah permasalahan benefit fisik. Lingkungan dan sistem kerja yang mendorong motivasi bekerja harus dibangun oleh pemimpin perusahaan dan manajemen. Misalnya memberikan pekerjaan yang menantang, apresiasi atas pencapaian pegawai, kesempatan melakukan hal yang “meaningful” bagi orang lain, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perlakukanlah pegawai layaknya “owner”, dan mereka akan menunjukkan hebatnya kinerja mereka, bukan sebagai “tools” yang replaceable. Di samping itu, perusahaan juga harus mampu menyiapkan “physical” benefit yang cukup bagi kelangsungan hidup pegawai. Misalnya standar gaji dan bonus; fasilitas kerja, administrasi/kebijakan perusahaan yang fleksibel, akuntable, dan efisien; hubungan kerja dan pola komunikasi antar unit yang baik; serta keamanan di masa pensiun. Dua faktor ini adalah kunci bagi perusahaan untuk menghindari fenomena burnout para pegawainya dan me-retain talent-talent terbaiknya.

Toxic Leader

Boys and girls, pernah gak sih kalian ketemu bos-bos yang perilakunya gak layak dicontoh? Kalian juga  merasa tindak-tanduk bos-bos ini merusak suasana di tempat kerja? Gak enak kan punya bos kayak gini. Bos semacam ini lebih populer disebut Toxic Leader. Ciri-ciri Toxic Leader sebenarnya sangat banyak, yang paling sering ditemui biasanya berciri arogan, mudah tersinggung (baper), kurang empati, kurang berintegritas, diskriminatif, hipokrit, narsistik, dan manipulatif. Ciri-ciri tersebut tidak harus dimiliki semuanya oleh seorang Toxic Leader, perpaduan beberapa traits tersebut mungkin saja kita temui pada seorang Toxic Leader. Pola kepemimpinan Toxic Leader hampir selalu autokratik (top-down), pola kerjanya kebanyakan micromanaging (control freak), dan punya kebiasaan hypercritical (mengkritik bawahan secara berlebihan), namun ada pula yang hypocritical (enggan memberi kritik ke bawahan). Pakar leadership dan ex-CEO GE, Jack Welch, menyebut bahwa salah satu bentuk leadership terburuk adalah seorang pemimpin yang enggan mengkritik anak buahnya disaat mereka berbuat kesalahan, namun menghukum mereka pada saat periode penilaian kinerja.

Menurut beberapa penelitian ilmiah, lahirnya Toxic Leader dimulai dengan initial condition kurangnya kecerdasan emosional dan permasalahan psikologis seseorang. Sebelumnya banyak yang menduga bahwa kurangnya skill teknikal dan kognitif menjadi penyebab seorang leader menjelma menjadi Toxic Leader. Namun kenyataannya, banyak Toxic Leader yang justru sangat cerdas dengan reasoning skill yang tinggi. Nama Jeff Skilling mungkin agak asing di telinga kita orang Indonesia, bagaimana dengan Enron? Ya, dia adalah mantan CEO Enron di era 90-an yang menggemparkan dunia keuangan dengan keterlibatannya dalam salah satu kasus penipuan/fraud dan insider trading terbesar di dunia. Dari konteks leadership, Jeff Skilling “memanipulasi” para bawahannya bahwa kondisi perusahaan baik-baik saja, dan dia juga tidak segan menghukum pegawai yang tidak sejalan dengan dia. Para pegawai pun patuh dan menyembunyikan fakta perusahaan yang sebenarnya karena takut dipecat.

Toxic Leader sejatinya akan menumbuhkan benih-benih Toxic Culture di lingkungan kerja. Dan pada akhirnya, suasana Toxic Culture akan menciptakan lebih banyak Toxic Leader/toxic manager di dalam organisasi. Ibarat racun yang menyebar ke seluruh tubuh, Toxic Leader harus cepat disingkirkan. Ini akan mudah dilakukan bila kita menemukan Toxic Leader pada level mid-management. Chairman atau CEO bisa dengan mudah menyingkirkannya. Namun hampir tidak mungkin menyingkirkan Toxic Leader jika dia justru merupakan orang nomor satu (Chairman atau CEO) dalam sebuah organisasi. Kadang cara satu-satunya adalah meminta bantuan dari luar organisasi, bisa pemegang saham pengendali atau stakeholder lain. Untuk melakukan hal ini juga tidak mudah, banyak risiko yang dipertaruhkan, seperti reputasi organisasi yang tercoreng atau malah menyerang balik pegawai whistle blower sehingga dia kehilangan jabatan, nama baik, pekerjaan, atau dalam beberapa kasus ekstrim mengancam keselamatan pribadinya.

Setidaknya ada 3 mekanisme pada saat Toxic Leader semakin menghasilkan Toxic Culture. Pertama, ketidakmampuan mengelola prioritas. Leader yang efektif tahu apa yang menjadi tujuan terpenting dari organisasinya dan mampu meyakinkan bawahannya untuk mengikuti tujuan tersebut. Pada saat leader tidak mampu membuat prioritas, maka akan banyak rapat-rapat tidak produktif, yang mengurusi hal-hal pseudo-important, membuat goals terlalu banyak dan tidak fokus. Dampaknya, dapat membuat bawahannya menjadi kebingungan mana pekerjaan yang harus diselesaikan.

Kedua, persaingan tidak sehat. Persaingan adalah hal yang biasa dalam sebuah organisasi. Tapi terkadang seorang leader tidak sadar tentang pentingnya membangun lingkungan persaingan yang sehat diantara bawahannya. Sebabnya bisa bermacam-macam, Toxic Leader mungkin lebih prefer bekerja dengan seseorang yang dekat secara personal, kedaerahan, kesukuan, agama, atribut fisik, dan sebagainya, tanpa melihat kinerja sebenarnya. Serta tidak memberi kesempatan bawahan yang lain untuk menunjukkan kemampuannya, hanya karena malas reinvent the wheel melakukan coaching. Hal ini sering disebut favoritisme (lihat artikel Bacapikir.com tentang Favoritisme). Persaingan yang tidak sehat menurunkan trust antar pegawai, sehingga akan timbul demotivasi, perilaku self-protection dan bahkan self-interest yang semakin mengarah ke konflik dalam organisasi.

Ketiga, konflik yang tidak produktif. Konflik diantara pegawai atau unit organisasi adalah sebuah hal yang umum terjadi. Seorang leader yang baik harus mampu mengelola konflik dan menyelesaikannya dengan objektif. Namun seorang Toxic Leader justru menjadi bagian dari konflik tersebut. Perilaku yang seharusnya inklusif, tapi malah meng-exclusive kan diri dan merasa yang paling benar. Seringkali yang dipermasalahkan justru bukan goals utama organisasi, tapi justru perkara yang tidak produktif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok leader yang berkinerja tinggi, sebanyak 87% dari mereka mampu mengatasi konflik dan 82% bertukar feedback satu sama lain. Dan kelompok leader yang berkinerja rendah, hanya sebanyak 44% dari mereka yang mampu mengatasi konflik dan hanya 52% yang bertukar feedback satu sama lain. Hasil akhirnya sangat jelas, pada kelompok leader berkinerja tinggi akan memiliki tim dengan keterikatan pegawai (employee engagement) yang tinggi, yaitu 87%, sedangkan untuk kelompok leader berkinerja rendah, employee engagement timnya akan drop ke 45%.

Jadi, bagi organisasi yang ingin berbenah mencegah toxic leader menjadi toxic culture. Cara pertama adalah menyingkirkan toxic leader tersebut jika sudah tidak bisa berubah/diubah. Bila tidak bisa disingkirkan, maka cara lain adalah menciptakan sistem kerja (strategic management, human resources & culture management, performance management, dsb) yang tidak memungkinkan ketiga mekanisme diatas terjadi. Ya.. sembari berdoa semoga si toxic leader tidak ngutak-ngatik sistem kerja tersebut. 😊

High Performance Organization (Bagian 1)

Engagement pegawai yang rendah, turnover rate pegawai yang tinggi, struktur organisasi yang terlampau rumit (vertikal maupun horizontal), kinerja di mata stakeholders yang biasa-biasa saja, pengambilan keputusan strategis yang tidak konsisten dan transparan, dan nuansa inkompetensi dalam jabatan strategis. Ini adalah beberapa indikasi organisasi atau perusahaan Anda dalam kondisi sakit (poor performance). Sayangnya, banyak top level manager/eksekutif yang tidak menyadari bahwa organisasi dibawah komandonya sedang mengalami hal tersebut, sampai pada suatu titik kegentingan yang sudah irreversible dan berujung pada keruntuhan atau kebangkrutan.

Loyonya kinerja organisasi tidak terlepas dari banyak faktor penyebab. Yang paling umum dan biasanya paling kasat mata adalah permasalahan inkompentensi pegawai (bisa bawahan atau pimpinan) dan sistem pendukung yang kurang baik, seperti kebijakan Manajemen SDM yang tidak tepat, Manajemen Kinerja yang tidak adil & transparan, proses bisnis yang ruwet, dan sistem pendukung lain yang belum optimal. Secara umum, kinerja sebuah organisasi merupakan agregat dari kinerja seluruh pegawai didalamnya. Tidak mungkin sebuah organisasi berkinerja baik, namun para pegawainya justru berkinerja buruk, begitu pula sebaliknya, tidak mungkin sebuah perusahaan berkinerja buruk, namun para eksekutif dan karyawannya berkinerja baik.

Teorinya, kinerja seorang pegawai dapat diukur dengan rumus sederhana: PERFORMANCE = ABILITY x MOTIVATION, dengan kata lain, kinerja (performance) merupakan fungsi dari kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Seseorang yang tidak bekerja dengan baik hanya ada dua inherent cause-nya: yaitu masalah kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Orang yang belum mampu bekerja dengan baik, itu menunjukkan kalau dia butuh dilatih. Sedangkan orang yang belum mau bekerja dengan baik, menunjukkan kalau dia butuh dimotivasi. Tidak ada cara lain.

Mengukur kompetensi pegawai dan kebutuhan pelatihan pun bukan perkara mudah, banyak organisasi atau perusahaan yang salah kaprah mengelola talenta terbaiknya akibat pengelolaan SDM yang tidak becus. Di sisi lain, perkara membangun motivasi pegawai akan lebih luas lagi spektrum masalahnya, bisa saja akar penyebabnya berasal dari kultur perusahaan yang buruk, salary dan fasilitas yang tidak memuaskan, skema pengembangan diri dan jenjang karir yang tidak jelas dan menghilangkan antusiasme bekerja, atau justru memang dasar pegawainya saja yang nggak beres. Bisa macam-macam. Saya sendiri percaya bahwa pucuk pimpinan adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap organisasi yang berkinerja buruk. Seperti rumus yang tadi saya sampaikan, akar masalah bisa dari pemimpin yang tidak kompeten dalam memimpin, atau tidak punya motivasi untuk memimpin dengan baik. Dan ingat, menjadi pemimpin bukan perkara tentang menyuruh-nyuruh orang saja, tapi harus mampu bijaksana, berani berbuat adil, lebih banyak mendengar daripada ngomong, result oriented, siap dikritik dan disalahkan, tidak baperan, serta decisive pada saat anak buah membutuhkan arahan dan keputusan.