Speak up!

“Speak your mind even if your voice shakes.” -Maggie Kuhn

Sekarang saya baru paham kenapa Partner di tempat dulu saya bekerja selalu memaksa anak buahnya untuk bertanya atau berpendapat di setiap sesi apapun itu.

He said “There is no stupid question. The only stupid question is the one who has not been asked.” “Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Pertanyaan bodoh adalah pertanyaan yang tidak ditanyakan.” Kita sebagai orang timur kebanyakan tidak dibesarkan dalam lingkungan yang menyemangati untuk mengutarakan pendapat. Padahal manfaatnya banyak!

Hal yang kurang lebih sama dikatakan bekas Atasan saya sebelum saya berangkat kuliah ke Amerika. Beliau menasehati saya untuk berani speak-up di kelas. Orang bule yang belum tentu bener atau belum tentu bisa kerja aja berani buat speak-up.

Hasil observasi saya selama tinggal di negeri Paman Sam, apa yang dikatakan Atasan saya dahulu benar adanya. Orang di sini biasa untuk “ngomong” – mau salah, mau bener; mau receh, mau penting; mau panjang, mau pendek – yang penting “ngomong”. Padahal belum tentu orang yang “ngomong” itu beneran “jago” atau bisa kerja. Segitu pentingnya untuk “bersuara” di kelas, hal tersebut jadi salah satu komponen IPK di setiap mata kuliah (sekitar 10%).

Meanwhile, orang Indonesia yang sebenernya ga kalah dari sisi kualitas kerja, skill, dan lain-lain, ga berani-berani amat untuk speak-up. Kadang untuk speak-up aja perlu mikir ribuan kali: malu, takut salah, “receh ga ya pertanyaan gw?”, dan sebagainya. Kalian ngerasain hal yang sama?

Temans, let’s start to speak-up atau mulai menciptakan lingkungan yang kondusif buat speak-up!

Di dalam kelas, mengutarakan pendapat atau bertanya melatih kita untuk mengartikulasikan apa yang kita pahami – untuk mengecek apakah kita beneran paham akan sesuatu hal, apakah hal yang mau kita sampaikan beneran sampai dengan tepat kepada audience kita. Terdengar sepele ya? Tapi ini adalah dasar dari komunikasi yang baik.

Di lingkungan pekerjaan, punya anak buah atau kolega yang berpartisipasi aktif dalam memberikan pendapat dalam pembahasan pekerjaan akan meningkatkan kualitas deliverables pekerjaan. It drives innovation dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif. Selain itu, sebagai atasan, hal tersebut dapat menjadi indikator adanya trust di lingkungan yang Anda pimpin dan apakah anak buah Anda engage dan memiliki ownership atas pekerjaan yang dilakukan.

Kemampuan berbicara juga menjadi salah satu skill penting seorang leader. Leader memiliki banyak kesempatan untuk tampil  berbicara di depan umum. Kemampuan untuk berbicara penting bagi leader selain untuk membangun citra tetapi untuk meng-influence orang banyak ke arah yang lebih baik.

Kemudian, bagaimana cara kita berkontribusi?

First thing first, mulai dari lingkungan terdekat Anda. Kalau Anda sudah berkeluarga dan memiliki anak, encourage anak Anda untuk bercerita, mengutarakan pendapatnya akan sesuatu hal. Bahkan dalam situasi berdebat dengan anak pun, anak harus mendapat pesan bahwa mengutarakan pendapat dan berbeda pendapat adalah hal yang wajar. Jangan “shut-down” anak yang akan membuat trauma untuk speak-up. Kalau Anda seorang guru, semangati anak murid Anda untuk menyuarakan pendapatnya. Kalau Anda sudah jadi bos di kantor, ciptakan lingkungan yang sama. Semangati anak buah untuk berbicara – seremeh temeh apapun itu! Jangan permalukan mereka atau membiarkan koleganya untuk mempermalukan mereka.

Last but not least: do active listening. Ini yang susah. Karena orang biasanya maunya didengarkan tapi belum tentu mau mendengarkan. Ketika lawan bicara tahu kalau kita attentive dalam mendengarkan, hal itu akan membuat lingkungan atau lawan bicara lebih nyaman untuk speak-up.

Program Return-to-Work

Saat ini dunia sedang mengalami krisis talenta.

ManpowerGroup melaporkan di tahun 2021 secara global 69% perusahaan mengalami “talent shortage” dan kesusahan dalam merekrut talenta – tertinggi dalam 15 tahun terakhir. The National Association of Business Economics juga melaporkan bahwa di akhir tahun 2021, setengah dari respondennya mengakui kekurangan “skilled workers”. Di regional Asia Pasifik, menurut Korn Ferry, fenomena kekurangan talenta bahkan diprediksi berpengaruh ke pertumbuhan pasar di regional tersebut sebesar $4.238 triliun (unrealized annual revenue).

Ada salah satu opsi solusi untuk menghadapi permasalahan tersebut. Perusahaan-perusahaan mulai membuka pintu bagi mereka yang berhenti bekerja untuk kembali masuk ke dunia kerja.

Mengapa?

Mengapa tidak.

Mereka memiliki pengalaman kerja yang cukup, skill yang dibutuhkan, pengalaman bekerja dalam tim atau memimpin tim, dan sebagainya. Cocok bukan? Bahkan biasanya mereka memiliki motivasi yang tinggi karena ingin kembali ke dunia kerja yang dimana kesempatan seperti itu terbilang sangat jarang karena masih dianggap aib apabila memiliki gap dalam pengalaman kerja.

Perusahaan menamakan program “return-to-work” ini dengan namanya masing-masing. Sebagai contoh, Goldman Sachs yang merupakan salah satu pionir dalam program “return-to-work” memberi nama “Returnship”. Credit Suisse dengan nama “Real Returns”.

Perusahaan yang merangkul orang-orang tersebut menganggap gap year yang terjadi bukan aib karena faktanya seseorang memilih berhenti kerja karena alasan yang kuat: ingin lebih fokus mengurus keluarga, mengurus anggota keluarga yang sakit, merasa terlalu jenuh dengan rutinitas kerja, butuh istirahat sejenak untuk kesehatan mental, dan sebagainya.

Sejarah

Program “return-to-work” pertama kali diinisiasi hampir 20 tahun lalu.

Di awal tahun 2000, Wall Street kekurangan populasi pekerja wanita karena banyak dari mereka memilih berhenti bekerja di tengah karirnya untuk lebih fokus mengurus keluarga. Hal ini sangat disayangkan karena mereka adalah valued-workers dengan pengalaman dan skill yang mumpuni. Di pertengahan tahun 2000, Lehman Brothers dan UBS memulai inovasi dengan merekrut kembali pekerja yang berminat untuk kembali bekerja dengan mereka. Diikuti oleh Goldmans Sachs dan Sara Lee di tahun 2008. Hingga akhirnya saat ini program “return-to-work” menjadi populer di Amerika.  

Program “return-to-work” ini berdurasi dari 3-6 bulan dengan peserta mendapatkan gaji. Tidak cuma wanita yang bisa ikutan, pria pun juga bisa. Di era pandemic Covid-19, beberapa perusahaan khusus membuka untuk mereka yang terdampak Covid-19 seperti Goldman Sachs. Program ini tentu memiliki syarat umum sebagai berikut:

  1. Pengalaman kerja minimal 3 tahun
    Walaupun terkadang ada yang membutuhkan 5-7 pengalaman kerja
  2. Telah berhenti bekerja minimal 2 tahun
    Bahkan di program “Return to Work” Morgan Stanley, ada yang sudah break berhenti kerja selama 12 tahun.

Selain persyaratan umum, kadang terdapat pula persyaratan khusus seperti peserta harus berasal dari kampus tertentu, misal Ivy League.

Di akhir program, peserta program “return-to-work” dapat ditawarkan posisi pegawai tetap. Menurut Harvard Business Review, rata-rata 80% peserta program “return-to-work” menjadi pegawai tetap. Program ini semakin relevan dengan populasi pekerja milenial yang mendominasi dunia kerja karena menurut survey ManpowerGroup, diprediksi 57% pekerja pria dan 74% pekerja wanita milenial akan melakukan career break untuk mengurus anak, mengurus orang tuanya, dan sebagainya.

Karena yang direkrut dalam program “return-to-work” bukan fresh graduate melainkan mid-career profesional ke atas, program ini berbeda dengan onboarding pegawai baru. Kurikulumnya didesain untuk mengembalikan kepercayaan diri dan membantu transisi dan ke dunia kerja, adanya mentor atau buddy yang menjadi tandem peserta, refreshment professional dan technical skills, on-the-job training, dan sebagainya.

Program ini selain menjadi talent pool perusahaan untuk mendapatkan pekerja yang mumpuni, tapi mendukung keberagaman dan inklusi (diversity dan inclusion) karena bisa mendapatkan pekerja yang beragam yang dipercaya mendorong terlahirnya lebih banyak inovasi.

Tips Sukses

Menurut Cohen dalam artikelnya “Return-to-Work Programs Come for Age”, kunci sukses dari program “return-to-work” antara lain adalah:

  • Tunjuk champion dengan level eksekutif
    Champion dengan level jabatan yang tinggi untuk mendapatkan buy-in saat program ini diluncurkan dan membantu keberlangsungan dari program.
  • Tunjuk Program Manager
    Program Manager adalah seseorang yang ditunjuk untuk memastikan kesuksesan dari program.
  • Jangan labeli peserta dengan sebutan “anak magang”
    Peserta adalah mid-career professional yang sudah memiliki jam terbang tinggi dan skill yang mumpuni. Sebutan tersebut akan menyinggung mereka.
  • Gunakan konsep cohort
    Peserta tidak direkrut satu per satu, tapi secara berkelompok (cohort). Hal ini agar mereka dapat saling bantu dalam angkatannya.
  • Buat nama dan website
    Pilih nama yang menarik untuk program “return-to-work” karena akan menjadi “trademark” perusahaan. Buat website untuk menjadi sumber informasi yang reliable bagi mereka yang memiliki kepentingan dalam program ini.
  • Miliki database pekerja yang resign yang baik
    Sumber talent tentunya adalah pekerja yang telah resign. Mereka adalah kandidat program yang baik karena sudah familiar dengan perusahaan dan memiliki kemungkinan besar untuk menerima tawaran pekerjaan dari kantor lamanya
  • Rekrut melalui employee referral
    Sumber lain dalam merekrut talent adalah dengan seseorang yang kita kenal karena cenderung tahu bagaimana kemampuan mereka dalam bekerja.
  • Highlight cerita sukses
    Cerita sukses harus diangkat untuk menginspirasi perusahaan lain dan menjangkau talent yang ternyata tersembunyi di ujung dunia sana.

Bagaimana dengan perusahaan kamu? Apakah sudah memiliki program serupa? Sharing yuk di kolom komentar.

CHROs make great CEOs

Sebuah firma di Swiss yang ahli dalam merekrut C-Suite menemukan hal yang menarik dalam 2 dekade terakhir. CHRO yang dulu biasanya “diremehkan” dalam C-Suite, melapor ke CFO atau COO, sekarang memiliki posisi yang lebih strategis. Mereka menemukan kebanyakan CHRO saat ini melapor langsung ke CEO, memainkan peran sebagai penasihat utama CEO, dan lebih sering memberikan presentasi kepada BoD.

Firma tersebut juga mengatakan perusahaan saat ini mencari CHRO yang memiliki kemampuan kepemimpinan higher-level dan skill strategy implementation. Peran CHRO dirasa semakin penting dan strategis – a game changer, orang yang memiliki peran kunci dalam menyukseskan strategi bisnis – bukan sekedar peran support atau administrasi SDM.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang peran CHRO di dalam C-Suite, senior partner di firma tersebut bekerja sama dengan Dave Ulrich. Mereka membandingkan ribuan C-suite di dalam BoD – CEO, COO, CFO, CMO, CIO, dan CHRO, dan menemukan fakta menarik.

Dari sudut pandang kompensasi – tidak heran kalau CEO dan COO menempati posisi teratas. Tapi yang menduduki tempat ketiga adalah CHRO dengan kompensasi 33% lebih tinggi dari CMO yang menduduki posisi paling buncit. Ulrich mengatakan “Great CHROs are very highly paid because they’re very hard to find.”

Selain kompensasi, firma Swiss dan Ulrich mempelajari hasil assessment kepemimpinan yang dipakai firma Swiss dalam merekrut C-Suite. Mereka melihat 14 aspek kepemimpinan yang dibagi ke dalam 3 kategori – leadership style, thinking style, dan emotional competency, dan membandingkan aspek kepemimpinan tersebut di antara C-Suite. Hasilnya adalah, selain COO yang role dan responsibilities banyak beririsan dengan CEO, C-Suite yang memiliki aspek kepemimpinan mendekati CEO adalah CHRO.

Ulrich dan firma Swiss tersebut membuat kesimpulan “menarik” : Perusahaan harus melihat CHROnya terlebih dahulu untuk mengisi posisi CEO yang kosong.

Di ekonomi modern sekarang ini, menarik talenta terbaik ke dalam perusahaan, membuat struktur organisasi yang benar, dan menciptakan budaya organisasi yang tepat — penting untuk mencapai dan mendorong strategi perusahaan. Dan pengalaman sebagai CHRO tentunya memudahkan leader dalam pengerjaan tugas tersebut. Ulrich menambahkan tantangan bagi CHRO adalah memperkuat skill teknis dan finansial yang diperlukan untuk menduduki posisi CEO.

Beberapa CEO juga berpendapat bahwa saat ini, leader tidak hanya harus kuat di skill teknis, tapi juga memiliki people-skill untuk membawa sukses bagi perusahaannya.

(tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel Harvard Business Review edisi Desember 2014 dengan judul “Why Chief Human Resources Officers Make Great CEOs”)

Sumber gambar: FreePik

Lateral Move

Pergerakan karir itu ga selamanya ke atas. Ke samping juga bisa loh gaes. Namanya “lateral move”.

Tidak seperti promosi yang dimana pegawai naik level di tangga karir, dalam lateral move pegawai berganti pekerjaan dengan level dan gaji yang kurang lebih sama, baik di dalam atau di luar organisasinya, untuk mempertajam skill dan kemaampuan dan menambah pengetahuan.

Lateral move merupakan salah satu strategi organisasi dalam pengembangan pegawainya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Lateral move sejalan dengan konsep pembelajaran 70-20-10 yang dimana seseorang dapat belajar secara lebih maksimal melalui on-the-job (70%) dibandingkan dengan belajar di kelas (10%).

Pegawai dapat melakukan pekerjaan yang sama tetapi di departemen/divisi yang berbeda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pegawai untuk mempertajam skill yang dimiliki dengan menerapkannya di dalam kondisi dan tantangan kerja yang berbeda. Pegawai juga dapat pindah ke departemen/divisi yang benar-benar berbeda dari pekerjaan sebelumnya. Selain ini merupakan kesempatan untuk mempelajari  hal yang baru di dalam organisasinya, ini juga melatih kemampuan beradaptasi dan leadership. Sebagai contoh, enjiner yang biasa merakit mobil melakukan lateral move ke bagian desain mobil. Atau diplomat dengan keahlian di bidang politik berpindah tugas ke kantor Kairo setelah 3 tahun bertugas di kantor New York.

Organisasi jelas mendapatkan keuntungan dari lateral move. Sebuah studi menyebutkan bahwa lateral  move dapat meningkatkan retensi pegawai sampai dengan 62%. Sampai saat ini, isu retensi pegawai masih menjadi momok organisasi terlebih lagi di era Great Resignation yang dimana tingkat turnover pegawai meningkat secara tajam. Menggantikan pegawai resign pun sebuah proses yang mahal secara waktu dan biaya yang dapat menghabiskan biaya sampai dengan 2x gaji tahunan pegawai dan 42 hari untuk mengisi posisi yang kosong. Lateral move selain meningkatkan retensi dan engagement pegawai, juga memberikan keuntungan secara finansial lho! Sebuah riset membuktikan bahwa 81% organisasi yang berkomitmen tinggi kepada lateral move berhasil mencapai atau melebihi target pertumbuhan revenue.

Tidak hanya organisasi, pegawai yang melakukan lateral move pasti banyak dapat manfaat. Lateral move memberikan kesempatan pegawai untuk berkembang, mendapatkan kepuasaan dari professional challenge, menemukan career path baru, memperluas network, serta mempersiapkan pegawai untuk mengisi posisi kepemimpinan di masa depan.

Dengan segitu banyak manfaatnya, implementasi lateral move masih banyak tantangannya. Masih ada persepsi kalau lateral move adalah untuk “menghukum” pegawai dengan performa kurang baik. Tantangan lainnya adalah “talent hoarding”. Atasan langsung tidak mengizinkan anak buahnya untuk keluar dari departemen/divisinya untuk melakukan lateral move – khususnya pegawai yang memilliki performa tinggi – karena takut akan menurunkan performa departemen/divisinya. Kalau pegawai dikekep atau tidak diberikan kesempatan berkembang, pasti mereka akan mencari kesempatan di tempat lain. Hasilnya “talent loss”: organisasi akan kehilangan pegawai terbaiknya karena keluar dari organisasi. Hal ini semakin menantang karena milenial merajai komposisi pegawai hingga di angka 70-an persen dan mereka sangat mengapresiasi professional growth dan kesempatan pengembangan diri.

Kalau organisasi serius dalam pelaksanaan lateral move, harus didukung dengan resource yang ada di organisasi serta tantangan yang ada harus diminimalisir. Atasan langsung diberikan KPI pengembangan anak buahnya sehingga mengurangi mereka yang menghambat anak buahnya untuk berkembang melalui lateral move. Kinerja dan reward Atasan langsung tersebut didasarkan kepada performanya dalam pengembangan anak buahnya, salah satunya dengan mengikhlaskan anak buahnya mengikuti lateral move. Selain itu, lateral move juga dapat dikaitkan dengan promosi atau succession planning. Jadi, syarat pegawai promosi ke jenjang karir selanjutnya atau ke posisi kepemimpinan tertentu adalah dengan mengikuti lateral move misal sebanyak 2x. Terakhir, kalau promosi dirayakan, lateral move juga harus dirayakan, disebarluaskan ke seluruh organisasi, serta mendapatkan apresiasi khususnya dari level pimpinan untuk menghilangkan imej negatif dari lateral move dan yang terpenting untuk mendukung terciptanya budaya internal mobility di dalam organisasi.

Employee Value Proposition

Gaes, paham kan kalau Google punya salah satu kantor yang bikin mupeng semua orang? Desain gedungnya keceh, ada gym, salon, free-flow snack and food, ada dedicated space buat istirahat main game, ping pong, atau bahkan untuk bobo siang! Ada juga kantor yang bikin ngiri karena ngasih fleksibilitas ke pegawainya untuk kerja remote dari mana aja dalam beberapa hari dalam seminggu, dapet 15x gaji bonus tahunan, punya lingkungan kerja dan mekanisme tokcer yang dukung pegawainya buat tambah pinter (cek feed BacaPikir yang “Learning Wallet”, gaes), atau kantor yang ngasih kesempatan pegawainya untuk rotasi di berbagai cabang atau negara dimana perusahaannya beroperasi.

Contoh-contoh barusan itu bisa kita sebut Employee Value Proposition (EVP). EVP adalah janji yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya, hal-hal apa saja yang didapat pegawainya jika bekerja di perusahaan mereka. Di dunia jaman sekarang yang dimana perusahaan berebut untuk mendapatkan talenta terbaik di luar sana untuk masuk ke perusahaan mereka atau mempertahankan pegawai terbaik di dalam organisasi mereka supaya ga loncat ke organisasi lain, EVP bisa jadi salah satu faktor penting. EVP bisa banget menjadi faktor yang membuat suatu organisasi stand-out, membedakan perusahaan dengan kompetitornya atau dengan organisasi lain yang sejenis.

Jadi EVP itu penting ya, gaes. Kalau pakai data untuk menjelaskan seberapa penting EVP, perusahaan yang mengelola EVP dengan baik memiliki penurunan tingkat turnover pegawai sebesar hampir 70%. Kemampuan pegawai untuk menarik talenta potensial yang ternyata kebanyakan pasif bertambah sebesar 50%. EVP yang well-managed juga turut meningkatkan komitmen pegawai baru sebesar 29%.

Kalau lihat contoh EVP di atas, bentuk EVP bisa bermacam-macam. Namun CEB memiliki framework EVP dengan membaginya menjadi 5 bagian besar: rewards, opportunity, organization, people, dan work.

Menurut kamu, EVP yang tepat itu seperti apa? Menurut SHRM (Society for Human Resources Management), EVP harus disusun berdasarkan apa yang pegawai value, selaras dengan value dan tujuan organisasi. Perusahaan dapat melakukan survey internal untuk mengetahui keinginan pegawai dan melakukan benchmarking ke luar membandingkan EVP milik sendiri dengan perusahaan lain. Intinya, EVP jadi ga nyasar alias tepat sasaran. Jangan sampai pegawainya butuhnya A tetapi perusahaan kasihnya B. Jadi ga nyambung, ga efektif, dan bisa jadi buang uang. Last but not least, EVP harus dikaji secara berkala (misal: 1 tahun sekali) untuk mengetahui apakah EVP yang ada masih relevan dengan pegawai dan organisasi, plus masih kompetitif ga dibandingkan dengan organisasi lain. Menurut survey Gartner, top 3 yang diinginkan pegawai di EVP adalah compensation, work-life balance, dan stability.

Kalau di kantor kamu,  EVP-nya seperti apa? Share ya! =)

Human Capital Risk

Gaes, mau tanya ni.

Di organisasi kamu, apa ada risk register* terkait SDM (Sumber Daya Manusia)? Kalau ada, diset di level mana (low, medium, high)? Dari observasi saya, risiko SDM biasanya tidak diset sebagai top risk, apalagi jadi prioritas. Biasanya risiko SDM kalah dengan risiko yang terkait langsung dengan proses bisnis yang menghasilkan uang bagi organisasi.

Tapi gaes, di era yang semuanya bisa terjadi dan berdampak besar bagi organisasi, teknologi berkembang pesat dalam sekejap, serta kompetensi yang makin sengit, risiko terkait SDM sepertinya harus dilihat dan dikaji kembali.

Mengintisarikan cerita dalam tulisan Nalbantian “Navigating Human Capital Risk and Uncertainty Through Advance Workforce Analytics”, alkisah ada sebuah perusahaan bernama Digitt. Digitt terancam gulung tikar karena pendapatannya menurun sedangkan hutang makin bertambah. Harga saham menurun yang diperparah dengan berita yang beredar di masyarakat kalau top executive perusahaan itu tidak akur.

Digitt berada di market yang sangat terdampak dengan revolusi digital. Banyak pesaing baru masuk yang menawarkan produk dengan harga yang lebih rendah. Untuk merespon seluruh tantangan itu, Digitt meluncurkan produk baru, memperkuat layanan untuk mendukung produk baru, melakukan reorganisasi bisnis, bahkan meluncurkan re-branding dan memperkuat tim sales untuk meningkatkan penjualan.
Semua upaya ini keliatannya sudah benar kan? Tapi sayang angka berbicara lain. Hal ini tidak menolong Digitt.

Bisa tebak faktor penyebab utama kegagalan Digitt?

Kegagalan Manajemen melihat depresiasi dari SDM mereka sendiri – “depreciation in the value of its human capital” – dan mengantisipasinya. SDM Digitt ketinggalan dalam knowledge, skills, dan expertise yang dibutuhkan untuk bersaing dalam market yang bertransformasi cepat secara digital. Dengan kondisi SDM seperti itu, produk yang diluncurkan pun bisa dibilang ketinggalan. Pekerja tidak update dengan teknologi baru, tidak ada strategi pengembangan pegawai, kemudian diperparah dengan sistem reward dan performance management yang terus membiarkan hal ini terjadi dan membutakan bahwa sebenernya SDM Digitt sudah ketinggalan daripada mereka yang ada di luar sana. Ketika hal ini terjadi, Tim Manajemen Risiko Digitt sama sekali tidak ngeh dan tidak siap dalam menghadapi ini.

Ketika organisasi meluncurkan strategi organisasi, kebanyakan berfokus pada proses bisnis, finance, IT, marketing, tapi lupa dengan SDM-nya seakan-akan SDM akan secara ajaib “ngikut sendiri” dengan perubahan itu.
Dari cerita ini, yuk tengok lagi kondisi SDM di organisasi kita. Tengok lagi risiko SDM, implikasi kalau hal tersebut terjadi di dunia seperti sekarang ini, dan mitigasinya. Hal ini mungkin bisa jadi penentu hidup mati-nya organisasi

*daftar risiko yang organisasi mungkin akan hadapi, digunakan mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko hingga ke tingkat yang dapat diterima melalui proses peninjauan dan pembaruan.

Keberagaman di Tempat Kerja

Ketika datang di kota New York bulan lalu, saya terkesima dengan betapa diverse atau beragamnya kota megapolitan ini. Rasanya seperti semua orang dari seluruh dunia berkumpul di sini. Dari mereka yang berkulit putih pucat sampai dengan mereka dengan warna kulit mendekati RGB #000000. Berbagai macam bangsa dari berbagai benua, bahasa dan cara bicara, bentuk tubuh, gaya dan warna rambut, style pakaian, usia, agama, tinggi badan, orientasi gender, difabilitas, dan masih banyak variasi lainnya…

Tidak hanya tampilan luar, diversity dan keberagaman juga ada “di dalam”. Orang yang saya temui memiliki cara pandang yang beragam, memiliki cerita masing-masing mengapa mereka berada di kota New York, pengalaman hidup dan tujuan hidup yang berbeda-beda, dan sebagainya.

Keberagaman ini membuat kota New York hidup, berwarna, dan seperti memiliki segalanya.

Sama seperti kota New York, apabila keberagaman atau diversity dapat diterapkan di organisasi, organisasi akan mendapatkan manfaat. Contohnya keberagaman dalam organisasi antara lain: keberagaman skill, latar belakang, dan pengalaman dalam satu tim, keberagaman gender di C-suite, dan sebagainya. Manfaatnya apa saja? Cekidot ya!

1) Meningkatkan performa organisasi
McKinsey melaporkan organisasi dengan management yang diverse memiliki 35% financial return yang lebih tinggi dari rata-rata organisasi lainnya. Selain itu, analisa McKinsey menyatakan keberagaman gender di level eksekutif (komposisi pria dan wanita) akan membuat perusahaan mencetak keuntungan yang lebih besar. BCG pun memliki hasil analisa yang sama.

Dengan anggota tim yang beragam, setiap orang akan membawa perspektif dan kontribusi yang berbeda dalam pekerjaan sehingga menghasilkan deliverable dan keputusan yang lebih baik. Riset menunjukkan tim yang diverse memilliki kemampuan pengambilan keputusan 60% lebih baik.

2) Mendorong kreativitas dan inovasi
Keberagaman di tempat kerja tentunya mendorong inovasi. Kalau tim terdiri dari orang-orang yang kurang lebih sama, cara menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan akan begitu-begitu saja. Tapi ketika tim terdiri dari orang dengan pengalaman, skill, usia yang berbeda, input yang didapatkan akan lebih kaya dan dapat menghasilkan hasil yang kreatif dan inovatif.

3) Meningkatkan reputasi dan menjadi employer of choice
Buat anak jaman now, cari kerja bukan hanya melulu masalah gaji. Anak jaman now mencari perusahaan yang dimana mereka akan merasa diterima – bagaimanapun macam pegawainya. Berdasarkan hasil study Glassdoor, 76% pencari kerja mengatakan diversity dalam tempat kerja menjadi salah satu faktor penting dalam memilih tempat kerja atau tawaran pekerjaan.

Contoh lain, organisasi yang menerima teman-teman difabel sebagai pegawai dapat memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat. Sebagai imbal balik, masyarakat pun akan semakin “sayang” dengan organisasi tersebut.

Sekian tulisan singkat saya. Keberagaman menurut saya harus dirayakan, diembrace – bukan ditekan. Menurut kalian, kalau tempat kerja kalian memiliki pegawai yang lebih beragam, kira-kira akan seperti apa ya?

Yuk komen di kolom komentar.

Exit Interview

Exit interview itu bukan interview biasa.

Organisasi membuat kesalahan apabila hanya menganggap exit interview sebatas kegiatan operasional ketika pegawai resign. Exit interview memiliki peran strategis yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi sebagai competitive intelligence untuk membuat tempat kerja menjadi lebih baik dan bersaing dengan kompetitornya.

Make It Strategic

Exit interview bukanlah hanya “interview”. Tetapi sebuah program yang dirancang dengan seksama agar organisasi mengetahui tiga hal berikut: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Dengan exit interview program yang baik, organisasi dapat mengetahui what works what doesn’t, hidden opportunity and challenges, mendorong engagement pegawai, dan meningkatkan kemampuan mendengar para Pimpinan.

Berdasarkan maturity dari exit interview program yang dilakukan oleh organisasi, berikut tingkatannya:

Organisasi yang percaya bahwa exit interview program adalah hal strategis memiliki Pimpinan yang mau mendengar dan memastikan follow-up action dilakukan. Organisasi tersebut mempunyai strategic committee yang bertugas memantau desain, eksekusi, dan hasil dari exit interview program. Komite tersebutmelakukan meeting sedikitnya 1 tahun sekali. Selain itu, organisasi melibatkan para line manager dalam exit interview program.

Riset yang dilakukan oleh Spain & Groysberg ke ratusan organisasi (disampaikan dalam artikel “Making Exit Interview Counts”) menunjukkan bahwa kurang dari 1/3 organisasi menyampaikan hasil analisa ke Senior Leader. Data tersebut hanya disampaikan ketika diminta. Spain & Groysburg juga mencontohkan manfaat exit interview program di sebuah perusahaan yang memiliki maturity level yang baik.

Di salah satu bagian perusahaan tersebut, setengah dari pegawainya keluar – sebagian resign, sebagian pindah ke bagian lain. Exit interviewnya dipelajari dan didapat bahwa akar permasalahan terletak pada Pimpinan. Pimpinan di bagian tersebut memiliki leadership skill yang buruk, seperti kurang mengapresiasi anak buah, tidak mengomunikasikan visi dan strategi dengan baik, dan sebagainya. Tidak hanya berhenti di sini, Manajemen kemudian mengevaluasi sistem promosi dan menemukan kelemahan bahwa promosi mengutamakan technical skill daripada leadership skill. Dari sini, sistem promosi diperbaiki.

Seluruh proses ini juga memperlihatkan kepada pegawai eksisting bahwa Manajemen mendengar dan merespon hasil dari exit interview. Hal ini dapat meningkatkan engagement pegawai.

The Techniques

Kesuksesan exit interview program bergantung pada dampak positif yang dihasilkan. Untuk mewujudkannya, sumber data harus baik dan berkualitas. Berikut rangkuman teknik exit interview yang dapat dilakukan:

To Conclude

Organisasi harus mulai melihat exit interview bukan sebagai aktivitas HR biasa, tetapi sesuatu yang lebih strategis dimana organisasi bisa mendapatkan informasi berharga untuk kebaikan organisasi.

Exit interview tidak seharusnya menjadi diskusi pertama pegawai yang membahas uneg-uneg yang dirasakan. Diskusi seperti itu harus terjadi sebelum pegawai resign dan dilakukan secara berkala di keseharian pegawai untuk menangkap tiga objektif dari exit interview: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Apabila hal ini dilakukan secara rutin dan hasil diskusi ditindaklanjuti, organisasi bisa mempertahankan pegawai sebagai aset terbaiknya (retensi) dan membuat tempat kerja yang lebih baik lagi bagi pegawainya.

Tetap semangat dan salam sehat!

Tagged : / / /

Change Power Index: Seberapa mampu untuk berubah?

Di dunia yang konstan dengan perubahan, seberapa siap organisasi Anda menghadapi perubahan? Apakah organisasi Anda akan “menari” bersama perubahan, atau tergilas olehnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal yang harus dilakukan pertama kali oleh organisasi adalah memahami kapasitas diri sendiri untuk berubah. As Peter Drucker said, “You can’t manage what you can’t measure”. Namun, belum ada alat yang dapat mengukur kapasitas organisasi dalam beradaptasi menghadapi perubahan.

Dalam Harvard Business Review edisi Juli 2021, konsultan Bain & Company’s memperkenalkan sebuah metric yang dapat mengukur kemampuan organisasi untuk berubah yang dinamakan Change Power Index. Metric ini didapatkan setelah mempelajari inisiatif transformasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan selama satu dekade lebih. Dari risetnya, mereka menemukan 9 elemen Change Power yang dapat memprediksi kemampuan perusahaan dalam beradaptasi menghadapi perubahan (lihat tabel). Untuk mengetahui Change Power Index sebuah organisasi, pegawai mengisi survey mengenai ke 9 elemen di dalam organisasi mereka. Dari survey tersebut, organisasi akan mengetahui kekurangan dan kelebihan mereka di tiap elemen, mengetahui ranking/posisi Change Power mereka dibandingkan dengan organisasi lain dan kemudian menentukan langkah selanjutnya dalam transformasi.

Bain & Company’s mengetes metric tersebut untuk mengetahui hubungannya dengan performa organisasi. Mereka berkolaborasi dengan 2.000 pegawai dari 37 organisasi global dengan industri yang bervariasi dan menemukan bahwa Change Power Index berbanding lurus dengan performa organisasi. Organisasi dengan Change Power Index yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak profit, lebih cepat mengumpulkan revenue, memiliki Pimpinan dan budaya organisasi yang dinilai lebih baik oleh pegawai, dan memiliki lebih banyak pegawai yang engaged dan inspired.

Berdasarkan survey kepada 2.000 pegawai dari 37 organisasi tersebut, Bain & Company’s membuat 4 kategori besar dari kacamata kapabilitas organisasi untuk berubah yaitu:

Dengan mengukur dan memahami kapasitas organisasi sendiri untuk berubah melalui Change Power Index, organisasi dapat menentukan langkah selanjutnya maupun langkah perbaikan yang diperlukan untuk menjadi organisasi yang resilient di dunia VUCA.

Jadi, seberapa mampu organisasi Anda untuk berubah?

Photo credit: Freepik

Tagged : /

BTS Meal – A strong ARMY and what organizations can learn from them

Saya tahu BTS Meal diluncurkan tanggal 9 Juni dari IG Explore saya sehari sebelumnya (maklum, bukan ARMY XD). Tapi saya bener-bener tidak menyangka BTS Meal bisa bikin OJOL tumpah ruah di store McDonald’s sampai Polisi dan Satpol PP menyegel dan menutup store McDonald’s (FYI, BTS Meal memang diatur ga boleh dine-in ya temans, katanya untuk menghindari kerumunan ARMY di store). Kelanjutan dari “fenomena” ini, 32 store McDonald’s kena sanksi (sanksi tertulis atau sanksi pemberhentian operasi) dan kantong makanan BTS Meal yang ada logo BTS (kantong saja loh ya, tidak dengan makanannya) dijual di marketplace dengan harga fantastis hingga jutaan rupiah!

Whoa, ARMY! You got my attention!

Jadi kepo, ARMY sama BTS ini hubungannya seperti apa sih, kok ARMY bisa segitu militannya? Bahkan, Harvard Business School sampai membuat case study khusus tentang BTS.

Buat yang belum paham BTS, BTS merupakan boyband asal Korea yang ada sejak 2013 dan terdiri dari 7 member. BTS kepanjangan dari “Bangtan Sonyeondan” dan fans mereka menamakan dirinya ARMY “Adorable Representative M.C. for Youth”. BTS menjadi artis yang berhasil menjual lebih dari 500 ribu keping album pada tahun 2020 selain Taylor Swift. BTS memecahkan banyak rekor di Youtube maupun Spotify hingga masuk Guiness World Records 2020.

Sepanjang periode 2013-2020, terdapat 2.395.082.950 (2 miliar!) mention tentang BTS di media sosial dengan rata-rata 958.597 mention setiap harinya. Berdasarkan riset Hyundai Research Institute, BTS membantu perekonomian Korea Selatan sebesar $3,6 milyar US dolar dan 800 ribu wisatawan asing mengunjungi Korea Selatan karena BTS (70% dari total jumlah turis tahunan). Ketika perusahaan rekaman BTS (Big Hit Entertainment) go public, label tersebut bernilai $4 milyar US dolar dengan harga saham per lembar $115. Ga usah ditanya, ARMY pun berbondong-bondong membeli sahamnya.

Dari kacamata organisasi, fenomena global BTS ini seperti membenarkan teori atau konsep yang saya ketahui dalam pengelolaan organisasi. Cekidot!

1) Misi BTS yang genuine dan konsisten, serta role-modelling

Tidak sekedar bermusik dan mengusung lagu dengan tema umum percintaan, BTS memiliki misi untuk membawa perubahan di masyarakat, khususnya mengenai self-love, kesehatan mental, kepercayaan diri, dan sebagainya. Sejak 2013, BTS secara genuine dan konsisten menggaungkan hal tersebut dalam lirik lagunya maupun di dalam setiap kesempatan yang diberikan seperti ketika diundang untuk memberikan speech di kantor Perserikatan Bangsa Bangsa (catet: satu-satunya grup k-pop yang diundang untuk berbicara di PBB).

Tidak hanya omong doang, member BTS pun hidup sejalan dengan misi dan nilai yang mereka yakini (role modeling). Dengan orisinalitas, konsistensi, dan memberikan contoh, sungguh ini merupakan hal yang menular! ARMY dapat merasakannya, terkoneksi (relate) dengan misi BTS, dan mencontohnya. Member BTS “Suga” yang berhasil mengatasi rasa ketidakpercayaan diri, berhasil menyemangati ARMY untuk percaya diri. Member BTS yang dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi diikuti oleh ARMY dengan berdonasi di berbagai platform salah satunya ARMY Indonesia di KitaBisa.Com.

Organisasi tidak cukup hanya memiliki misi dan tujuan.  Misi dan tujuan organisasi harus secara genuine dan konsisten dihidupkan dan dirasakan oleh semua orang di dalam organisasi yang dimana Pimpinan memegang peranan penting di sini. Pimpinan dalam organisasi pun harus memberi contoh dengan menjadi role model sehingga misi dan nilai organisasi tidak hanya sekedar tulisan di dinding, “hiasan” di annual report, ataupun berhenti di ucapan.

Menurut Vicki Tenhaken dalam bukunya “Lesson From Century Club Companies: Managing for Long-Term Success”, perusahaan yang bertahan hidup lebih dari 100 tahun adalah mereka yang memiliki misi dan budaya yang kokoh. Bermodalkan ini, organisasi menjadi magnet bagi talent terbaik. Gallup mengatakan bahwa solidnya kesamaan visi berpengaruh terhadap engagement pegawai. Kalau gini, ya saya jadi ga heran kenapa OJOL pesanan ARMY bisa menuhin store McD.

2) Kompaknya member BTS

Walaupun anggotanya tidak sedikit alias 7 orang, member BTS solid, saling mendukung satu sama lain. ARMY melihat member BTS benar-benar peduli satu sama lain. Anggota termuda BTS “Jungkook” pernah berkata bahwa dia paling tidak bisa melihat kakak-kakaknya di BTS bersedih. Bayangkan kalau Pimpinan di organisasi kita sesolid dan sekompak member BTS, kompak memiliki satu visi, saling bersinergi, tidak saling menjatuhkan, dan tidak saling berantem, organisasi akan semakin dahsyat. Bawahan pun akan mencontoh, pegawai semakin solid.

ARMY arguably salah satu fandom tersolid di dunia. Di bulan Juni 2020, ketika BTS berdonasi sebesar $1 juta US dolar kepada gerakan ‘Black Lives Matter’. ARMY di seluruh dunia langsung mengikuti dengan melakukan crowdfunding yang berhasil mengumpulkan 1 juta dolar juga dalam waktu 24 jam dalam gerakan #MatchAMillion. WOW!!

Again, hal ini mengonfirmasi teori Gallup yang mengatakan bahwa engagement yang tinggi bersumber dari hubungan kuat dan asik di antara pegawai. Mengacu Change Model milik Kotter yang dimana langkah ke-4 adalah “Enlist a Volunteer Army”: Yes, this solid BTS ARMY is definitely a strong force for change!

3) BTS menjaga hubungan baik dengan ARMY

Tidak hanya solid sesama member, member BTS mempunyai hubungan baik dengan ARMY, salah satunya dengan rutin membuat konten sosial media agar terus connect dengan ARMY. Kalau member BTS kita analogikan sebagai Pimpinan tertinggi di organisasi, Pimpinan perlu secara reguler berinteraksi dengan para pegawai dengan cara yang efektif agar terus dirasakan kehadirannya, semangatnya, serta aspirasi pegawai tersampaikan (misal: blusukan, townhall meeting, BoD letter, dan sebagainya). Bagi Pimpinan di level tengah atau atasan langsung, hubungan yang baik dengan anak buah meningkatkan trust yang berdampak kepada kualitas dan kecepatan pekerjaan dan tentunya menciptakan suasana kerja yang nyaman (Forbes). Cara BTS berkomunikasi dengan ARMY mengonfirmasi teori Dale Carnegie dalam bukunya “How to Win Friends & Influence People” bahwa skill berinteraksi dengan orang lain menjadi ‘koentjie’ dalam meng-influence orang lain.

All in all, despite “the chaos” publicized during BTS Meal launching, I saw the positives. Dan saya pun ter-influenced! Di perjalanan pulang kantor tanggal 9 Juni itu, saking penasaran, saya ikut membeli BTS Meal via drive-thru di store McDonald’s dekat rumah yang kebetulan tidak ramai. Sambil menulis artikel ini pun, lagu-lagu BTS terdengar di telinga saya.

Sekian. Salam sehat. Dan BORAHAE!

Tagged : / / /

People Analytics

Jaman now promosi kerja masih pake cara “urut kacang”? Ketinggalan zaman!

Jaman now makin banyak organisasi yang pakai People Analytics untuk dapetin kandidat pegawai yang paling tepat dan terbaik untuk mengisi posisi tertentu. Dan People Analytics manfaatnya ga cuma ini aja, gaes. Masih banyak manfaat lainnya. Tapi sebelum kemana-mana, kita kenalan dulu yuk sama People Analytics.

People Analytics definisi singkatnya adalah penggunaan data pegawai (data-driven) untuk membuat keputusan bisnis yang lebih baik. Data pegawai yang multidimensional dianalisa untuk mendapatkan statistical insights yang dipakai dalam proses rekrutmen, evaluasi kinerja, promosi jabatan, kompensasi, kolaborasi antar pegawai, dan lain-lain, yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi dan menciptakan lingkungan kerja yang baik bagi pegawai.

People Analytics dikenal juga dengan nama lain seperti HR Analytics, Talent Analytics, atau Workforce Analytics. Muncul sejak satu dekade yang lalu, People Analytics semakin popular dalam 5 tahun terakhir dengan semakin populernya big data analytics, semakin tersedianya data SDM, semakin meningkatnya kemampuan komputasi komputer dan maraknya analytics tools, serta meningkatnya ROI (Return on Investment) dari pemanfaatan data analytics. Menurut Nucleus Research, ROI dari business analytics meningkat dari $10,66/dolar yang diinvestasikan (2011) ke $13,01/dolar yang diinvestasikan (2014) dan trend-nya semakin naik. DDI mengatakan organisasi yang memanfaatkan People Analytics secara optimal performanya berpotensi 3,1x lebih baik dibandingkan dengan peers-nya.

Contoh pemanfaatan People Analytics antara lain sebagai berikut: Pemanfaatan People Analytics tidak hanya akan menjawab berapa turn-over rate pegawai (rate pegawai resign), tetapi juga menjawab:

1) Apakah pegawai yang keluar adalah regretted loss bagi organisasi?

2) Mengapa pegawai memilih untuk resign?

3) Prediksi pegawai-pegawai yang berpotensi resign dalam 12 bulan ke depan.

Dengan mengetahui insight seperti ini, organisasi dalam melakukan perbaikan, membuat retention program yang lebih baik, atau melakukan mitigasi agar high-performing employees tidak resign. Salah satu kisah sukses pemanfaatan People Analytics adalah Project Oxygen milik Google yang meng-capture praktik para Manajer terbaik Google, kemudian diimplementasikan dalam sesi coaching yang berhasil meningkatkan performa pegawai berkinerja rendah.

Salah satu kunci sukses analytics adalah penggunaan model analytics secara disiplin (berdasarkan riset yang dilakukan dalam penulisan buku “The Power of People: Learn How Successful Organisations Use Workforce Analytics to Improve Business Performance” oleh Jonathan Ferrar). Di bawah ini adalah model analytics yang dikembangkan oleh Jonathan Ferrar – dinamakan “The Eight Step Model for Purposeful HR Analytics”. Selain itu, menurut salah satu artikel Harvard Business Review, sukses People Analytics dapat lebih dioptimalkan dengan tidak hanya menganalisa atribut pegawai, tetapi juga menganalisa interaksi yang dilakukan oleh pegawai (relational analytics) karena hasil riset menunjukkan bahwa kesuksesan pegawai tergambar dari interaksi/hubungan-nya dengan orang lain.

Wejangan terakhir, People Analytics tidak sesimpel penerapan teknologi, kemudian organisasi akan dengan sendirinya sukses. Tidak. Implementasi People Analytics sebenarnya adalah perubahan organisasi yang besar yang mengubah budaya, dari yang awalnya bukan data-driven menjadi data-driven. Apakah organisasi Anda sudah siap, misal, ketika promosi pegawai tidak lagi memakai mekanisme “urut kacang” atau tidak lagi berdasarkan kedekatan personal? Hal ini harus dipertimbangkan sebelum implementasi People Analytics. Bahkan Change Management pun dapat dilibatkan untuk mendukung suksesnya implementasi People Analytics.

Toxic Positivity

 “When positivity is used to silence the human experience, it becomes toxic. – Jamie Long, Samara Quintero (Author “Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes”)

Beberapa waktu lalu, salah satu teman saya tiba-tiba mencak-mencak di telepon kepada saya:

“Ini gimana sih? Setiap kali cerita ke circle gw klo gw kesel dan mau resign karena udah ga tahan sama lingkungan kantor yang toxic, jawabannya selalu “Udah sabar aja”, “Kurang bersyukur lu. Masih bersyukur punya kerjaan” atau “Positive thinking aja”. Ya itu ga salah si… Tapi bukan berarti gw ga bersyukur loh. Dan sekarang gw malah makin tambah kesel!!”

Nah, ini adalah contoh konkrit “toxic positivity” di kehidupan kita.

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah sikap positif berlebihan yang menekan atau menghindari perasaan negatif yang sebenarnya dirasakan, baik dilakukan oleh orang lain ke diri kita, ataupun kita ke diri kita sendiri. Toxic positivity itu berarti di setiap saat, apapun yang kita hadapi – mau terjadi tragedi sekalipun, kita harus selalu positif. Padahal hidup kita ini ga selalu semulus kulit artis Korea, kawans.

Berarti positive thinking itu jelek donk? Ga begitu juga. Positive thinking pasti ada baiknnya, tetapi segala sesuatu yang berlebihan, tentunya tidak baik.

Perasaan yang kita rasakan adalah respon natural dari seorang manusia yang tentunya otentik dan valid. Dan perasaan yang muncul adalah “teriakan” dari value yang kita yakini, atau cerminan dari hal yang kita anggap penting. Ga mungkin kita marah-marah kalau hal tersebut ga melanggar value yang kita pegang. Ga mungkin kita sedih kalau hal tersebut bukan hal yang penting. Kalau dikembalikan ke cerita teman saya, dia merasa penting untuk berada di lingkungan kerja yang baik.

Menurut Dr Susan David – pencetus konsep Emotional Agility dan founder dari Institute of Coaching at McLean Hospital of Harvard Medical School, perasaan negatif yang muncul dalam diri seseorang dapat dianggap sebagai data. Data dapat dipelajari untuk diketahui penyebab mengapa perasaan yang kurang enak itu timbul dan selanjutnya menentukan langkah konkrit untuk mengatasinya.

Dampak buruk dari Toxic Positivity

Dampak buruk dari toxic positivity bisa bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:

  1. Tidak sehat, berdampak buruk pada kesehatan mental
    Dengan mengenyampingkan respon otentik dan valid manusia dan berpura-pura bersikap positif atau berpura-pura kuat padahal sebenarnya di dalam diri sudah hancur lebur, ini sudah pasti tidak sehat. Apalagi dengan adanya tekanan dari lingkungan sekitar untuk selalu positif, sehingga ketika seseorang sedang merasa tidak positif – sedih, burn-out, marah, stress berat, dan lain-lain, muncul rasa bersalah dan gagal dalam diri seseorang karena tidak bisa memenuhi ekspektasi lingkungan. Hal ini dapat berujung kepada kecemasan bahkan depresi.
  1. Emosi negatif semakin kuat, masalah tidak selesai
    Ketika sesuatu yang otentik ditekan terus-menurus, lama-lama meledak. Masalah pun tidak selesai. Daripada ditekan, emosi negatif harus diterima dan direspon dengan tepat. Di masa pandemi COVID-19 ini, bahkan semakin mudah untuk merasakan emosi yang kurang baik. Menurut survey yang dilakukan oleh Campbell dan Gavett pada 1,500 orang di 46 negara “What COVID-19 Has Done to Our Well-Being”, 85% responden merasa general well-being telah menurun sejak pandemi – dengan penyebab utama di antaranya penurunan kesehatan mental, meningkatnya tuntutan pekerjaan, dan perasaan terisolasi.
  1. Less resilient
    Toxic positivity akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menghadapi kondisi di dunia ini sebagaimana adanya. Seseorang akan menjadi kurang resilient padahal resiliency adalah salah satu kualitas yang dibutuhkan oleh seseorang, khususnya seorang Leader/Pimpinan untuk menghadapi dunia yang semakin tidak menentu.

Bagaimana cara menghadapi Toxic Positivity?

Dalam sesi singkat TED, Dr Susan David menceritakan beberapa tips dalam menghadapi emosi yang kurang mengenakkan yang timbul dalam diri kita:

  1. Beri nama pada emosi negatif dengan jelas
    Kebanyakan dari kita kalau sedang merasakan emosi negatif, biasanya mengungkapkan dengan istilah umum semacam “Gw bete nih”. Emosi tersebut dapat diberi nama dengan jelas sehingga kita dapat mengidentifikasi penyebabnya dan mengaktifkan “readiness potential” – kemampuan dalam diri manusia untuk membuat perubahan yang konkrit untuk mengatasi itu.
  1. Beri jarak antara kita dengan emosi negatif
    Misal ketika sedang merasa burn-out, hindari mengucapkan “Saya burn-out”. Tetapi ganti dengan “Saya notice kalau saat ini saya sedang merasakan burn-out”. Menurut Dr Susan, hal ini memberi jarak antara kita dengan emosi kita – “We own our emotions. They don’t own us”. Hal ini membuat bagian dari diri kita untuk muncul, maju ke depan mengatasi emosi itu.
  1. Curahkan dalam tulisan
    Ketika tidak bisa bercerita ke orang lain, kita dapat mencurahkan perasaan negatif tersebut dalam tulisan. Kita berbicara jujur apa yang kita rasakan melalui tulisan.

Last but not least, masyarakat dan lingkungan juga memiliki peran penting dalam menghadapi toxic positivity karena sepertinya sudah menjadi norma di masyarakat untuk terus positif. We are human-being – yang sangat normal memberikan respon negatif ketika sesuatu yang kurang baik terjadi.

Kembali kepada cerita teman saya di awal, daripada memaksa dia untuk bersikap positif padahal sudah jelas dia sedang dalam kondisi kesal, bingung, dan sebagainya, respon lebih baik yang dapat dilakukan oleh circle-nya adalah mengakui bahwa apa yang sedang dirasakan dia adalah valid atau berusaha membantu. Misal “I’m listening” atau “Sepertinya ada yang salah dengan kantor kamu. Apa yang bisa aku bantu?”.

Pada akhirnya, masalah sebenernya bukan pada apakah seseorang memiliki emosi negatif. Tidak ada yang salah dengan seseorang yang merasa sedih atau burn-out. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang terjebak oleh emosi negatif tersebut dan berakibat buruk pada hidupnya dan lingkungan sekitarnya – keluarga, pertemanan, bahkan pekerjaan.

It’s Okay to Not Be Okay.

Tagged : /

The Jar of Life

Tidak seperti biasanya, Profesor kami hari ini membawa benda-benda yang tidak biasa ke dalam kelas. Beliau meletakkan seluruh benda tersebut di atas meja: sebuah wadah kaca yang cukup besar, beberapa batu, kerikil, pasir, dan segelas kopi.

“Mahasiswa semuanya, tolong perhatikan saya ya!” ucap Profesor dengan tersenyum cerah kepada mahasiswanya. Profesor memulai dengan memasukkan seluruh batu ke dalam wadah kaca dan kemudian bertanya kepada kami: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”. Seluruh kelas menjawab dengan kompak: “Sudaaah!”.

“Kalian yakin??” balas Profesor. Beliau kemudian lanjut memasukkan kerikil ke dalam wadah kaca dan menggoyang-goyangkan wadah tersebut sehingga kerikil bisa masuk ke dalam wadah kaca, berada di antara batu-batu. Profesor kemudian bertanya lagi: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”.

Sekarang kelas terbagi menjadi dua: Ada yang menjawab lantang sudah penuh, tetapi ada juga yang bilang belum. Profesor kemudian memasukkan pasir ke dalam wadah kaca. Sekarang dapat terlihat jelas bahwa wadah kaca penuh dengan batu, kerikil, dan pasir. Namun, Profesor tetap bertanya kepada kami: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”.

Profesor melihat muka kami yang mulai kebingungan. Beliau kemudian menuangkan kopi ke dalam wadah kaca, sedangkan kami menahan nafas apakah kopi tersebut masih bisa masuk ke dalam wadah kaca yang sudah terlihat sangat penuh itu. Dan kopi tersebut masih dapat masuk ke dalam wadah kaca!

Hampir seluruh dari kami bertepuk tangan dengan aksi Profesor hari ini.

“Ok, ok, cukup tepuk tangannya. Mari kita tarik pelajaran dari demonstrasi saya barusan.”

“Anggap wadah kaca ini adalah hidup kita.

Batu-batu besar ini adalah hal TERPENTING dalam hidup kita: keluarga, pasangan hidup, anak, kesehatan, passion, pencapaian goals, atau apapun itu yang kita akan appreciate di akhir hidup kita. Ketika semua hilang dan tinggal tersisa batu besar ini, hidup kita tetap berarti.

Kerikil adalah hal-hal lain yang berarti dalam hidup seperti pekerjaan, rumah, mobil.

Sedangkan pasir adalah hal-hal kecil yang mengisi waktu kita yang bisa kita anggap tidak terlalu penting.”

“Nah, kalau kita mengisi wadah kaca dengan pasir terlebih dahulu, batu-batu besar dan kerikil ini tidak dapat masuk ke dalam wadah kaca. Analogi ini sama dengan hidup kita.”

“Kalau kita menghabiskan waktu dan energi untuk hal kecil yang kurang penting seperti pasir itu, kita tidak akan pernah mempunyai cukup waktu dan energi untuk hal terpenting dan paling berarti dalam hidup kita. Ingat, waktu kita di dunia ini mungkin tidak lama.”

“Cari tahu hal terpenting dan hal yang paling berarti bagi hidup kita – “batu besar” kita. Menghabiskan quality-time bersama keluarga, menengok orang tua, mengejar passion atau impian yang membuat kita excited, berolahraga secara rutin, dan sebagainya. Tentukan “batu besar” kita di dalam hidup ini.”

Then put right things first. Tentukan prioritas. “Batu besar” kita menjadi prioritas utama. Sisanya dapat kita anggap sebagai kerikil dan pasir.”

Kemudian teman kami yang berbaju biru dengan semangat mengangkat tangannya bertanya, “Prof, saya lihat semua batu dan kerikil berhasil masuk ke wadah, sedangkan pasir tidak. Masih ada sisa pasir di meja Prof.”

It doesn’t matter, Mas Baju Biru. Mereka hanyalah “pasir” – hal-hal yang dapat kita anggap tidak terlalu penting dalam hidup kita. Kita tidak perlu memaksakan seluruhnya masuk ke dalam wadah kaca kita.” Mas Baju Biru mengangguk setuju.

Sebelum kelas break, salah satu dari kami yang masih excited dengan pelajaran hari ini, kemudian menyeletuk, “Prof, terus kopi maksudnya apa? Tadi Prof belum menjelaskan.”

“Hahaa… Ya, kamu betul. Saya belum jelaskan kopi itu maksudnya apa.”

“Maksudnya… Sesibuk apapun kita dalam hidup, masih bisa lah kita ngopi-ngopi sama temen kita. Ya ga?” Kemudian satu kelas tertawa.

Mengapa Sedikit Wanita di Pucuk Pimpinan?

Dari 270 juta penduduk Indonesia dengan perbandingan jumlah pria wanita yang seimbang alias 1:1, berapa banyak wanita yang menduduki posisi pucuk pimpinan? Mari kita lihat Kabinet Indonesia Maju. Dari total 38 menteri/setingkat, hanya ada 7 wanita dalam kabinet Presiden Jokowi tersebut. 18% saja. Berapa banyak wanita Indonesia yang kamu ingat menduduki posisi pucuk pimpinan perusahaan/organisasi di negara kita ini? Atau pucuk pimpinan di tempat kamu bekerja?  Sepertinya proporsi wanitanya belum banyak ya.

Skala global pun tidak kalah sedikitnya. Penduduk dunia sebanyak 7,6 miliar orang dengan perbandingan 1:1 antara pria dengan wanita, hanya 21 negara yang dipimpin oleh wanita dari total 193 negara (11% saja). Di Amerika, wanita menjadi penyumbang 47% tenaga kerja negeri Paman Sam tetapi proporsi CEO wanita hanya sekitar 5% pada perusahan Standard & Poor’s 500.

Apa karena wanita kalah secara kompetensi dibandingkan pria?

Berdasarkan artikel Harvard Business Review berjudul “Research: Women Score Higher Than Men in Most Leadership Skills”, wanita mengalahkan pria di hampir seluruh aspek kemampuan leadership. Kemampuan leadership wanita yang outstanding antara lain pengambilan inisiatif, orientasi pada hasil, serta integritas dan kejujuran yang tinggi.

Grameen Bank (The Bank for the Poor) berhasil membantu masyarakat Bangladesh keluar dari jurang kemiskinan dengan memberikan microloan kepada Ibu dari keluarga, bukan kepada Ayah. Mengapa? Karena pinjaman tersebut terbukti lebih efektif dan membawa lebih banyak kebaikan kepada keluarga ketika dipinjamkan kepada Ibu. Total peminjam Grameen Bank 97% wanita.

Berdasarkan riset McKinsey & Co dan Credit Suisse, perusahaan dengan lebih banyak wanita di posisi pimpinan mempunyai performa keuangan yang lebih baik. Bahkan ada selentingan di masa krisis finansial 2008 yaitu ”If Lehman Brothers had been Lehman Sisters, the financial crisis might have been averted.” Penanganan pemimpin negara wanita dalam krisis pandemi COVID-19 saat ini dirasa lebih baik dibanding dengan male counterpart-nya.

Nah, dengan kemampuan wanita yang ga kalah dengan pria, mengapa wanita masih mendapat porsi minim dalam posisi kepemimpinan? Banyak faktor yang mempengaruhi tetapi jika ditarik garis besar, terdapat 2 faktor yang sekiranya mempengaruhi: workplace (tempat bekerja) dan society (masyarakat).

Workplace & Society VERSUS Women

Di tempat kerja maupun di masyarakat, terdapat kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari merugikan wanita dalam mencapai posisi pucuk pimpinan.

Sebagai contoh: wanita dicap lebih memrioritaskan keluarga dibandingkan dengan pria sehingga diberikan kesempatan berbeda dengan pria di tempat bekerja. Hasil meta-analisa yang disampaikan dalam Harvard Business Review berjudul “What Most People Get Wrong About Men and Women?”, pria dan wanita memiliki prioritas yang sama terhadap keluarga. Selain itu, hasil meta-analisa juga menyatakan bahwa pria dan wanita sebenarnya memiliki ambisi, sikap, dan kemampuan yang setara dalam berkarir.

Atau ketika seorang wanita mendapatkan mentorship dari mentor pria karena populasi pimpinan pria lebih banyak dibanding wanita. Hubungan mentorship antara wanita dengan mentornya yang kebetulan seorang pria dapat disangka “aneh-aneh”. Hal ini membuat wanita merasa tidak nyaman. The same goes ketika mentor seorang wanita mempunyai mentee seorang pria.

Di bawah ini segelintir contoh kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari dapat mempengaruhi proporsi wanita menempati jajaran pimpinan:

  1. Ketika Wanita Melakukan Kesalahan Dalam Pekerjaan

Ketika wanita melakukan kesalahan dalam pekerjaan, wanita akan dinilai lebih kurang kompeten dan lebih rendah statusnya dibandingkan jika pria melakukan kesalahan yang sama. Sebuah riset di firma akunting besar menduga bahwa sedikitnya wanita di pucuk pimpinan disebabkan oleh wanita memilih untuk memrioritaskan keluarga, tetapi hasilnya menyatakan hal yang berbeda. Ketika pimpinan pria dan wanita di firma tersebut sama-sama mengatakan bahwa mereka akan menerima jabatan pimpinan apabila ditawarkan, pimpinan wanita memiliki kekhawatiran apabila mereka dinilai gagal dalam menjalankan tugas kepemimpinan tersebut, hal tersebut akan membahayakan karir mereka dan karir mereka akan sulit recover.

  1. Performance Appraisal

Dalam sebuah artikel Harvard Business Review diceritakan seorang Managing Director melakukan investigasi mengapa banyak wanita di perusahaannya memilih berhenti bekerja setelah melahirkan anak. Setelah ditelusuri penyebabnya adalah performance appraisal. Saat Pimpinan terpaksa menentukan performance rating anak buahnya dengan distribusi normal, wanita yang meninggalkan kantor untuk maternity leave mendapat nilai yang lebih rendah dibanding dengan peers-nya dengan alasan mereka bekerja tidak penuh selama setahun. Padahal ketika wanita tersebut bekerja, performance mereka sama baiknya atau bahkan lebih baik dari peers-nya yang mendapatkan performance appraisal lebih tinggi. Hal ini tentunya memperkecil kesempatan wanita untuk promosi dan menurunkan moral wanita dengan memberikan kesan bahwa menjadi seorang wanita tidak dalam posisi on-track untuk menempati pucuk pimpinan di tempat bekerja.

  1. Social Pressure

Society pressure is real on working women. Menurut Forbes, wanita bekerja harus berhadapan dengan cibiran ketika menyempatkan dirinya mengunjungi sekolah anaknya seperti: “Baru kelihatan ya selama ini”. Berbeda dengan pria yang bahkan akan dipuji ketika berkunjung ke sekolah anaknya. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa bersalah pada wanita bekerja karena dianggap tidak menjadi Ibu yang baik. Wanita bekerja tersebut melakukan additional effort (di luar tantangan pekerjaannya) untuk berhadapan dengan rasa bersalahnya and make peace with it.

Tidak sedikit hasil riset dan bukti nyata yang memperlihatkan bahwa keberadaan lebih banyak wanita pada jajaran pimpinan membawa lebih banyak manfaat, seperti performa keuangan yang lebih baik, membawa cara pandang yang segar di tengah-tengah pemimpin pria, dan sebagainya. Apabila organisasi serius untuk meningkatkan proporsi wanita dalam posisi pimpinan, kepercayaan, stereotyping, dan perlakuan yang ada di organisasi perlu dilihat kembali dengan hati-hati untuk melihat apakah merugikan wanita untuk mencapai posisi pucuk pimpinan. Wanita juga perlu diberi kesempatan yang sama dengan pria di tempat kerja. Kalau kesempatan saja tidak diberikan, bagaimana bisa membuktikan?

Selain itu, masyarakat tentu harus mendukung dengan cara sedikit demi sedikit mengubah cara pandang bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab seorang wanita/Ibu saja, tetapi tanggung jawab yang setara antara kedua orang tua.

Blockchain in HR

Gaes, pernah denger bitcoin kan? Kalo blockchain gimana? Pasti pernah denger juga ya.

Blockchain adalah teknologi yang mendasari infrastruktur cryptocurrency seperti bitcoin sehingga transaksi finansial berjalan dengan aman dan terpercaya tanpa kehadiran bank atau perantara. Saat ini ga cuma industri finansial loh yang pakai blockchain.

Blockchain memiliki sifat yang bermanfaat tidak hanya bagi industri keuangan tetapi juga bagi industri lain sehingga pemanfaatannya mulai merambah industri selain industri keuangan, tidak terkecuali Human Resource. Berdasarkan Mercer, saat ini pengguna teknologi blockchain di seluruh dunia baru mencapai 0,5% tetapi trend pemakaian blockchain terus meningkat dan diprediksi akan mencapai angka 80% pada 10 tahun mendatang. Yuk kita pelajari pemanfaatan blockchain dalam dunia Human Resource (HR).

Pertama-tama, kita bahas sedikit mengenai apa itu blockchain.

Blockchain secara simpel adalah sistem pencatatan data secara digital. Terus, apa yang special dari blockchain ini? Berikut karakteristik dari blockchain yang membuatnya berbeda dari pencatatan digital biasa.

Immutable and append only (tidak dapat diedit, hanya ditambahkan)

Data disimpan dalam sebuah block dan dicatat secara berurut menurut waktu kejadian membentuk rantai block (block chain). Setiap block saling berhubungan dengan block sebelum dan setelahnya secara kriptografi. Apabila terdapat perubahan data, block tidak diedit tetapi dibuat block baru di barisan paling akhir yang berisi perubahan data. Hal ini seperti ledger/buku besar dalam pencatatan keuangan.

Desentralisasi

Pencatatan tidak disimpan di satu tempat (sentralisasi) tetapi disimpan oleh seluruh komputer yang berada di dalam jaringan blockchain (desentralisasi). Data yang ada di satu komputer sama dengan data yang ada di komputer lainnya. Apabila terdapat komputer baru bergabung ke dalam sistem blockchain, komputer tersebut akan mendapat data yang sama dengan komputer lainnya (seluruh data dari awal sampai akhir).

Integritas data

Apabila terdapat data baru yang ingin dicatat, sebelum block baru ditambahkan ke dalam rantai block, soal kriptografi harus terjawab dan seluruh komputer yang terhubung dalam blockchain melakukan proses verifikasi. Mekanisme ini memastikan hanya data yang benar yang dapat masuk ke dalam blockchain.

Untuk mempelajari blockhain lebih jauh, bisa cek tiga video ini ya: https://youtu.be/6WG7D47tGb0 , https://youtu.be/3xGLc-zz9cA , https://youtu.be/o1ugNnMyeZc.

Nah, dengan fitur blockchain tersebut, pemanfaatannya di dunia HR seperti apa? Cekidot.

  1. Keamanan data

Seperti kita ketahui, data pegawai termasuk data yang sensitif karena terdapat data pribadi, data keuangan (rekening, gaji), data kesehatan, dan sebagainya. Dengan meningkatnya cybercrime, makin meningkat pula kemungkinan bahwa pihak luar berusaha mencuri data sensitif tersebut. Pihak internal pun juga dapat melakukan kejahatan seperti fraud.

Namun, mengingat karakteristik blockchain, kemungkinan fraud dan pencurian data semakin kecil karena data tidak dapat diubah (immutable and append only). Apabila terdapat usaha untuk mengubah data pun, akan dilakukan dengan susah payah. Karena blockchain berupa sistem yang terdesentralisasi, misalkan terdapat pencurian data di salah satu komputer, proses recovery data lebih mudah karena data tidak hilang, komputer lain masih menyimpan data dengan lengkap. Apabila terdapat komputer yang terkompromi oleh hacker, komputer tersebut dapat langsung diputus dari jaringan blockchain.

  1. Rekrutmen

Berdasarkan data Mercer, 75% dari Manajer SDM dapat mengidentifikasi kebohongan yang dituliskan di CV pelamar kerja. Blockchain dapat membantu Manajer SDM dalam hal memverifikasi kualifikasi yang ditulis oleh kandidat sehingga lebih terpercaya. Selain itu, blockchain dapat membantu background check yang biasanya memakan waktu cukup lama dan melelahkan. Saat ini recruiter merasa kesulitan merektur talent yang diinginkan, blockchain membantu talent matching. Tidak hanya recruiter yang dimudahkan, pelamar pekerjaan juga. Kualifikasi pelamar yang sudah terverifikasi di dalam sistem blockchain dapat digunakan kembali untuk melamar pekerjaan lain. Berikut adalah contoh blockchain-based system di area ini https://zinc.work/.

  1. Payroll

Blockchain memudahkan payroll dengan mengurangi kegiatan manual dan mengubahnya ke otomasi. Ketentuan payroll/pembayaran gaji ditambahkan ke dalam kode blockchain, kemudian blockchain yang akan berhubungan dengan seluruh sistem yang dibutuhkan, termasuk intermediary bank. Apabila ketentuan terpenuhi, blockchain menghitung dan dapat mencairkan gaji secara real-time. Departemen SDM tidak perlu berurusan dengan bank setiap bulan untuk melakukan pembayaran payroll terjadwal. Hal ini disebut “smart contract”. Silakan lihat video ilustrasi payroll sistem yang menggunakan blockchain yang ditawarkan oleh Etch https://youtu.be/mlEBmMrEhPU

Salah satu kelemahan blockchain saat ini adalah penerapan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, seiring waktu dan dengan banyaknya manfaat yang dapat ditawarkan oleh blockchain kepada dunia HR, di masa yang akan datang implementasi blockchain di dunia HR akan semakin luas. Kita jangan sampe ketinggalan ya.


Image by: freepik

Coward Boss

Hmmm… Pernah ga punya bos yang sering kabur-kaburan alias menghindar ketika harus ngambil keputusan sulit? Atau… Pernah ga punya bos yang ngelempar kesalahan ke anak buah padahal jelas-jelas dia yang salah? Kalau jawabannya iya, itu salah satu tanda kalau bos kamu “coward boss”. Kira-kira, suasana kerja enak ga ya kalau dipimpin sama “coward boss”? Nular ga ya perilaku “coward boss” ke anak buah kalau terus-terusan dilakuin?

Jika boleh memilih, sebagai bawahan, kita ingin mendapatkan figur Atasan yang dapat menjadi role model bagi kita, berani dalam memimpin dan mengambil keputusan, dan berperilaku yang menunjukkan bahwa Atasan kita pantas disebut pimpinan dan pantas mendapatkan remunerasi yang didapatkannya.

Tapi, kadang kita mendapat Atasan yang tidak ideal, bahkan ada yang mendapatkan Atasan yang pengecut (coward boss). Berikut beberapa ciri dari Atasan yang penakut:

  1. Tidak berani menetapkan visi dan “yes person”. Menetapkan sebuah visi membutuhkan keberanian dan tanggung jawab dan Atasan yang penakut pasti tidak berani melakukannya. Atasan yang penakut menunggu perintah dari Atasannya. Dan apa yang terjadi apabila Atasan yang penakut itu sebenarnya tidak sependapat dengan Atasannya? Apa mereka berani untuk berpendapat? Tentu tidak. They simply do not speak up untuk setidaknya mengutarakan hal apa yang dirasa tidak sependapat atau hal yang diyakini benar. They simply say yes.
  2. Menghindari keputusan sulit dan tidak suka perbedaan pendapat. Ketika diharuskan untuk memutuskan hal yang sulit, bos penakut menghindarinya. Ketika terjadi perbedaan pendapat dengan bawahannya, coward boss tidak membuka diskusi untuk membahas perbedaan tersebut. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk memutus karena “I am the boss”. Ketika banyak bawahannya tidak sependapat dengan coward boss, mereka bahkan bisa dengan sengaja menghindari face-to-face meeting untuk membahas isu tersebut secara bersama-sama dan menggunakan strategi divide and conquer dengan berbicara kepada masing-masing bawahannya. Coward boss tidak suka dikoreksi dan lupa bahwa dia sebenarnya tidak tahu segalanya.
  3. Melemparkan kesalahannya kepada orang lain. Ketika coward boss melakukan kesalahan, bukannya mengakui kesalahannya dan mengambil tanggung jawab, mereka akan melemparkan kesalahannya kepada orang lain untuk menutupi kesalahan mereka. Mereka tidak suka dicap gagal. Jadi, kalau bos kamu seperti ini, jangan harap mereka berani pasang badan buat kamu di depan orang lain ya kalau kamu melakukan kesalahan.

Sebenarnya, apa sih yang membuat seorang atasan menjadi penakut? Ada yang berpendapat karena mereka dibesarkan di lingkungan seperti itu sehingga ketika saatnya mereka menjadi Atasan, mereka berperilaku seperti itu. Ada juga pendapat Tom Kolditz – Direktur Leadership Development Program di Yale School of Management, yang mengatakan penyebab Atasan membuat ‘cowardly decision’ adalah mencari aman untuk diri sendiri. Cari aman di sini bisa bermacam-macam motivasinya, bisa karena alasan ekonomi (takut dipecat), bisa juga karena takut kehilangan posisi, dan lain-lain.

Pada akhirnya, yang akan dirugikan adalah organisasi. Behavior yang suka dianggap sepele ini sebenarnya merusak karena akan membentuk kultur organisasi, membuat suasana kerja tidak nyaman dan merusak team trust, mengurangi kualitas deliverable pekerjaan, dan masih banyak lagi dampak lainnya. Bawahannya akan mengadopsi kebiasaan buruk coward boss tanpa disadari sama sekali. Organisasi harus menaruh perhatian khusus terhadap behavior pimpinan seperti ini.

Pemimpin Jawara Masa VUCA

Thanks to COVID-19, dunia saat ini adalah dunia yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Dunia ketika memakai masker dan menjaga jarak bisa menyelamatkan nyawa. Dunia ketika interaksi dengan keluarga, teman, kolega, dan guru sekolah dilakukan dengan menatap layar sebuah gadget. Dunia ketika jutaan orang kehilangan pekerjaan,bisnis bertumbangan, dan ekonomi terpuruk dalam hitungan bulan.

Kemudian, setiap dari kita mungkin bertanya-tanya: Akan seperti apa kondisi dalam 6 bulan atau 1 tahun ke depan? Apakah pandemi COVID-19 akan sudah berakhir? Apakah bisnis yang saya rintis mampu bertahan? Apakah saya akan kehilangan pekerjaan? Kapan ekonomi akan pulih?

Dunia yang penuh ketidakpastian seperti ini tentunya membuat gelisah. Terlebih lagi bagi seorang Pemimpin. Tidak hanya harus mengatasi kegelisahannya sendiri, Pemimpin harus bisa memimpin organisasi dan orang yang ada di dalam organisasi tersebut menghadapi kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) seperti ini. Ibarat seorang nahkoda kapal yang menghadapi badai besar, nahkoda harus mampu memimpin seluruh awak kapal agar kapal tidak karam dan tentunya melewati badai yang entah kapan selesai dengan selamat.

Berikut adalah beberapa hal yang kami harap dapat membantu Pemimpin menghadapi kondisi dunia saat ini yang tentunya menjadi tantangan kita bersama:

1) Believe in yourself

Tidak seorang Pemimpin di dunia ini memiliki buku manual bagaimana menghadapi kondisi dunia saat ini. And leadership takes courage after all. Pemimpin harus memiliki keyakinan dan kepercayaan diri bahwa dirinya mampu memimpin dalam kondisi ketidakpastian, walaupun selangkah demi selangkah. Menurut Forbes, hal ini dinamakan “self-certainty” yang dapat dibangun dengan menanamkan dalam diri nilai-nilai seperti integritas, optimisme, keberanian, tujuan. Riset menunjukkan bahwa Pemimpin dengan “self-certainty” mampu menghadapi kondisi sulit dengan lebih tenang. Ketenangan semacam ini diperlukan karena berbanding lurus dengan kemampuan kognitif yang diperlukan untuk membuat keputusan yang rasional dan tepat sasaran dalam kondisi yang penuh tantangan.

Sebagai manusia yang pertama kali menginjakkan kaki di bulan, Buzz Aldrin tentunya paham betul bagaimana menghadapi sesuatu yang penuh dengan ketidakpastian. Dia berpendapat bahwa resep kesuksesan adalah percaya penuh kepada diri sendiri.

To succeed in any environment, you have to believe in yourself. You must have an unshakable confidence in your own ability to achieve your goals and get the job done.”

Buzz Aldrin

Kepercayaan diri seorang Pemimpin juga dapat didapat dengan memahami kelebihan dan kapabilitas diri, memahami kondisi dan tantangan yang sedang dihadapi, memegang teguh tujuan dan nilai organisasi, dan memiliki rencana yang jelas untuk bergerak maju dalam kondisi sulit.

2) Communicate well

Perlu diingat, Pemimpin menghadapi kondisi seperti ini tidak sendirian tetapi bersama-sama dengang orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin dapat berkomunikasi secara rutin, terbuka, dan penuh empati kepada pengikutnya tidak hanya untuk memastikan mereka mendapatkan informasi yang dibutuhkan tetapi juga dapat meminta kerja sama mereka dalam menghadapi kondisi sulit ini secara bersama-sama. Komunikasi seperti ini dibutuhkan untuk membangun sense of crisis dan trust yang dibutuhkan dalam menghadapi kondisi sulit.

Mari kita memakai analogi kondisi dalam pesawat terbang. Ketika pesawat mengalami turbulensi, Kapten pesawat segera memberitahukan melalui pengeras suara bahwa pesawat akan mengalami turbulensi dalam beberapa saat ke depan dan meminta kerja sama penumpang untuk tetap duduk di bangku dan memakai sabuk pengaman demi keselamatan bersama. Informasi yang diberikan sang Kapten membangun sense of crisis dan trust pada penumpang karena memberikan gambaran bahwa ke depan akan terjadi hal yang kurang nyaman dan memberitahukan bagaimana cara menghadapinya agar semua selamat. Penumpang menjadi aware, alert, sekaligus tenang karena mendapat the sense of how to navigate this uncomfortable situation. Kapten pun akan menginformasikan jika kondisi sudah kembali normal.

Coba bayangkan apabila terjadi turbulensi dalam pesawat tetapi Kapten pesawat tidak bersuara sama sekali. Ngeri ya..

3) Take good care of yourself

Ketidakpastian akan masa datang dapat menyebabkan kegelisahan (anxiety) pada Pemimpin yang dapat mengurangi efektivitas dalam kepemimpinan. Harvard Business Review menyebut kegelisahan yang tidak dikelola dengan baik sebagai “Shadow of Intelligence“.

Kegelisahan tidak perlu dihilangkan karena hal tersebut merupakan respon natural manusia yang merupakan mekanisme bertahan ketika menghadapi ancaman. Kegelisahan harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin sehingga Pemimpin bersemangat dalam menemukan solusi terbaik untuk menghadapi tantangan bersama dengan organisasi dan orang-orang yang dipimpinnya.

Overall, Pemimpin harus menjaga kesehatan dirinya – body, mind, and soul – dalam menghadapi dunia saat ini. Dan yang paling mengetahui bagaimana memelihara kondisi kesehatan diri adalah diri masing-masing. Ada yang dengan berolahraga, ada yang dengan sharing kepada orang yang terdekatnya, dan sebagainya. Penting juga untuk merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil untuk meningkatkan semangat.

—-

Ada yang mengatakan bahwa Pemimpin ditempa dalam kondisi krisis. Tentu saja. Dan Pemimpin tentunya akan diingat oleh banyak orang bagaimana dia bertindak dan merespon tantangan dan kesulitan yang dihadapi dalam kondisi krisis tersebut.

Dalam menghadapi kondisi VUCA saat ini yang disebabkan pandemi global, mari kita bersama-sama memiliki keyakinan bahwa kita pasti bisa melewati semua ini dan keluar sebagai individu dan masyarakat dunia yang lebih baik, lebih kuat. Mengintisarikan pidato Gubernur New York City Andrew Cuomo sebagaimana dikutip oleh Harvard Business Review: “We are New Yorkers, strong, smart, unified, and loving. We’ve been tested before and emerged triumphant. We will do the same again.”

And, thanks to COVID-19, true leaders will emerge out of this.

The Century Club

Januari 1995. Pukul 5 pagi. Kota Kobe dihantam oleh gempa 20 detik berkekuatan 7,3 skala Richter yang menewaskan 6.000 orang lebih, melukai 40.000 orang, membuat 300.000 orang kehilangan rumah, merusak jaringan transportasi, dan meluluhlantakkan gedung bertingkat. Namun, ternyata terdapat gedung yang dapat bertahan dari gempa catastrophic ini karena memiliki fondasi yang kuat dan tepat dalam menghadapi gempa: base isolation.

Lihat barang di sekitar Anda. Anda dapat menemukan produk yang diproduksi oleh organisasi yang berumur lebih dari 100 tahun: Coca Cola di kulkas Anda atau General Electrics (GE) di perangkat elektronik Anda. Kira-kira hal apa ya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang digolongkan “Century Club” sehingga mereka dapat bertahan hidup 100 tahun lebih? Mengacu kepada Harvard Business Review dan hasil penelitian satu dekade Vicki Tenhaken terhadap organisasi “Century Club”, berikut garis besarnya.

Faktor pertama dan utama, mereka serius dengan fondasi mereka: misi, visi, nilai, dan budaya organisasi. Mereka percaya dan mempraktikkannya dalam tindakan sehari-hari, terlebih lagi Pimpinan. Terkadang organisasi “Century Club” tidak memiliki misi, visi, nilai, dan budaya tertulis. Tapi bagaimana hal tersebut dapat diteruskan dari generasi ke generasi? Hal tersebut dikarenakan Pimpinan secara konsisten menekankan dan memperlihatkan bahwa fondasi mereka (misi, visi, nilai, dan budaya organisasi) adalah hal krusial dalam mencapai sukses organisasi.

Kedua, organisasi “Century Club” memiliki manajemen perubahan dan kemampuan beradaptasi yang baik dalam menghadapi segala perubahan dan tantangan yang terjadi dalam seratus tahun terakhir, to name a few: Perang Dunia, depresi ekonomi, pandemi, kemajuan pesat teknologi, bencana alam, dan sebagainya. Semua pengalaman tersebut makin mengokohkan mereka sebagai organisasi.

Terakhir, terletak pada hubungan organisasi “Century Club” dengan stakeholder-nya: pegawai, pelanggan, dan masyarakat sekitar. Organisasi “Century Club” melihat pegawai, pelanggan, dan masyarakat sekitar sebagai faktor penting kesuksesan mereka. Pegawai dikembangkan dan dipelihara dengan baik oleh organisasi. Pegawai  pun memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi kepada organisasi. Dengan pelanggan, organisasi “Century Club” memiliki hubungan yang saling suportif dan penuh trust, yang memungkinkan pembelajaran bagi organisasi. Dengan masyarakat sekitar, organisasi “Century Club” memiliki komitmen untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar, baik secara sosial maupun komersial.

Organisasi “Century Club” memiliki semua hal tersebut di atas, tidak berat ke salah satu aspek saja. Bagaimana dengan organisasi yang Anda kelola?

Team Trust VS Micromanagement

In discussing team trust, please allow me to draw it from a Korean drama “Itaewon Class”. Drama ini menceritakan perjalanan Park Sae-royi membangun bisnis dari kedai kecil hingga menjadi perusahaan industri makanan yang sukses hingga mancanegara. Kesuksesan Sae-royi dicapai dengan bantuan timnya yang percaya kepada Sae-royi dan sebaliknya.

Di awal kedai berdiri, Chef kedai memasak dengan tidak becus sampai Manajer kedai mengusulkan kepada Sae-royi untuk memecatnya. Apa yang dilakukan Sae-royi sebagai pemilik kedai? Sae-royi memutuskan untuk tetap mempekerjakannya karena percaya bahwa dia dapat memasak masakan yang enak.

Kepercayaan dari Sae-royi membangkitkan moral dan semangat Chef untuk terus menyempurnakan masakannya hingga berhasil membuat “signature dishes” yang lezat sehingga kedai ramai pengunjung dan terkenal. Chef tersebut bahkan mengalahkan Chef restoran terkenal No. 1 di Korea (Janga) dalam kontes nasional “Kedai Terbaik di Korea” sehingga banyak yang berminat untuk membuka franchise kedai tersebut.

Dari sini kita melihat bahwa rasa percaya dari atasan meningkatkan moral dan percaya diri dari anggota tim. Anggota tim menjadi percaya bahwa mereka memegang peranan penting dalam mencapai kesuksesan tim. Hal ini membuat mereka dengan sendirinya engage dengan tujuan yang ingin dicapai dan all out memberikan yang terbaik untuk mencapai tujuan.

Menurut Forbes, mustahil ada sukses tanpa rasa saling percaya dalam tim. Kepercayaan dalam sebuah tim menghasilkan produktivitas lebih tinggi, deliverable lebih berkualitas, pengambilan keputusan yang lebih cepat dan lebih baik, mendorong terjadinya inovasi, dan tentunya, at the end of the day, menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Siapa sih yang ga mau suasana kerja yang nyaman?

Buat yang jadi atasan, beware, ada behaviour atasan yang merusak trust dalam tim, namanya micromanagement. Dan seremnya, banyak atasan yang tidak sadar mereka melakukan micromanagement tersebut.

Ciri-cirinya seperti apa? Antara lain:

1) Control freak, sering mengecek status progress pekerjaan walaupun sebenernya tidak perlu-perlu amat

2) Sering mengurusi hal perintilan yang seharusnya sudah tidak diurus oleh atasan dengan level jabatan dan gaji tersebut

3) Marah apabila pekerjaan tidak dilakukan sama persis dengan cara yang biasanya dilakukan oleh atasan, dan banyak hal lainnya.

Micromanagement dilakukan atasan dengan alasan agar tidak gagal. While it seems okay for short term result tapi long term wise, behaviour ini merusak. Behaviour ini mengancurkan moral dan mempreteli rasa percaya diri anggota tim karena mereka sudah dicap tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan tidak bisa menghasilkan deliverables yang berkualitas.

Behaviour atasan seperti itu tentu tidak menunjukkan trust kepada anggota timnya sendiri dan tentunya anggota tim akan berlaku hal yang sama. Kalau dalam satu tim sudah tidak saling percaya, bagaimana mau mencapai sukses dan tujuan akhir yang besar? To conclude, considering all of those benefits by establishing trust within a team, why we opt for other option? Having trust within a team is A MUST!