Seorang teman mengatakan bahwa dia mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu. Hebat. Mengerjakan banyak hal dalam satu waktu dinamakan multitasking, sementara mengerjakan tugas secara fokus satu persatu dinamakan monotasking. Dalam dunia kerja yang amat berbeda dan dinamis, hal ini menjadi penting. Multitasking memiliki potensi berujung pada kelelahan fisik yang kemudian akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan mental.
Dalam satu studi dijelaskan bahwa dari keseluruhan populasi manusia, hanya 2.5% yang mampu melaksanakan tugas secara berbarengan dalam satu waktu. Studi lain juga menjelaskan bahwa otak kita tidak mampu melaksanakan dua tugas berat dalam waktu bersamaan. Sehingga multitasking menjadi suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Menurut Pubmed, hasil riset juga membuktikan bahwa multitasking menurunkan IQ dan juga menurunkan tingkat produktivitas sampai dengan 40%.
Dalam keseharian kita sebenarnya banyak melakukan multitasking. Kita makan sambil nonton TV, kita membaca atau belajar sambil mendengarkan musik atau mengobrol dengan teman sambil membaca pesan elektronis. Secara tidak sadar kita sudah melakukan dua hal berbeda dalam kesempatan yang sama. Namun ketika ditambah dengan hal lainnya kita menjadi kesulitan. Misalnya kita nonton drakor sambil makan dan kemudian sambil menjawab pesan elektronis. Walhasil kita pasti akan sering pencet rewind karena banyak dialog atau adegan yang terlewat.
Dalam buku 4 disciplines for execution penulis Covey, Chesney dan Huling menjelaskan bahwa ketika kita fokus terhadap satu tujuan, probabilita penyelesaian tugas dengan baik adalah 100%. Namun ketika tujuan ditambah, maka probabilita kesuksesan menurun. Kemudian sampai di suatu titik, dimana kita mengerjakan beberapa tugas menyebabkan tidak ada yang dapat diselesaikan dengan baik.
Para praktisi mindfulness juga amat mendorong kita untuk melakukan monotasking. Pekerjaan yang banyak dalam satu kesempatan menimbulkan kecemasan dan kegelisahan sehingga berdampak pada gangguan kesehatan mental. Sebaliknya dengan fokus mengerjakan tugas satu persatu, seseorang akan semakin kreatif dan sukses menyelesaikan tugas melebihi yang diharapkan.
Ketika sudah memahami monotasking lebih baik, apa yang perlu dilakukan untuk membentuk mindset monotasking? Bryant Adibe, Chief Wellnes Officer di Mount Saint Mary University Los Angeles memberikan 5 tips sebagai berikut:
1. Deep Work. Kita membiasakan diri bekerja lebih dalam daripada sekedar menyelesaikan tugas. Biasakan meluangkan 2-4 jam sehari untuk fokus pengerjaan satu tugas tanpa diganggu oleh apapun, termasuk emai, telepon, ngobrol dll).
2. Peak Performance Time. Tentukan waktu terbaik anda untuk fokus. Setiap orang berbeda, ada yang pagi, siang, sore dan bisa juga malam. Asal jangan audah melebih jam tidur, hal ini juga bisa mengubah pola kehidupan menjadi tidak baik.
3. Eliminate Distractions. Ketika memulai hari dengan 10 tugas yg perlu diselesaikan, fokus kepada hanya dua hal utama. Bukan yang lain tidak diselesaikan, tetapi ketika dua tugas utama diselesaikan dengan baik, maka psikologis anda akan meningkat.
4. Build Your Day Like a Skycraper. Setelah menentukan skala prioritas, atur waktu khusus untuk menyelesaikan hal lain seperti menjawab email, menelepon dll. Jangan membalas pesan elektronis setiap saat, hal tersebut akan mengganggu konsentrasi anda.
5. Create Negative Time. Maksudnya kita perlu menentukan waktu untuk kita tidak melakukan hal apapun. Istirahat. Ini diperlukan agar tubuh dan otak kita kembali fresh dalam mengerjakan hal lainnya.
Multitasking bukan hal yang buruk, namun seperti dijelaskan bukan untuk semua orang. Lebih baik kita fokus untuk mengerjakan tugas satu persatu sehingga hasilnya bisa optimal. Anda sendiri pebih cenderung monotasking atau multitasking?
Author: Rudi Susetyo
Emphatetic Leader
Studi global terakhir yang dilakukan oleh qualtrics memberikan fakta bahwa 46% pekerja telah mengalami penurunan kesehatan mental. Hal ini disebabkan beberapa hal: 67% merasakan peningkatan terhadap stress, 57% peningkatan anxiety, 54% mengalami peningkatan kelelahan mental, 53% mengalami peningkatan kesedihan, 50% merasakan peningkatan kemarahan dan 28% mengalami gangguan konsentrasi. Secara umum pekerja telah merasakan penurunan kesehatan mereka. Hal ini tentunya merupakan sinyal kuat kepada perusahaan untuk segera memberi perhatian. Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada kinerja perusahaan.
Fakta lain yang serupa disampaikan oleh Academy of Management Journal. Pegawai yang mengalami perlakuan buruk di tempat kerja, akan mengalami penurunan kinerja yang signifikan. Mereka juga menjadi cenderung menjadi lebih individualistis dan timbul perasaan tidak ingin menolong rekan kerja yang lain. Penelitian Georgetown University juga menambahkan bahwa perlakuan buruk selain menurunkan kinerja dan kolaborasi tetapi juga meningkatkan turnover pegawai.
Ketika masalah di atas sudah mengemuka, perlu dicarikan solusi. Suatu studi yang dilakukan oleh Catalyst terhadap 889 orang menyimpulkan sousinya adalah empati. Ketika pemimpin berempati dengan bawahannya kondisi kerja membaik. 67% menyatakan lebih inovatif, dibanding 13% yang tidak memiliki pimpinan yang empati. Sebanyak 76% lebih engaged kepada pekerjaan dibanding 32% yang tidak. Sebanyak 62% pekerja wanita menyatakan tidak akan pindah kerja, dibanding hanya 14% yang tidak. 86% merasakan keseimbangan antara hidup dan bekerja dibanding 60% yang tidak.
Apabila salah satu solusi terbaik dari penurunan mental adalah pemimpin yang empati, maka sudah seharusnya perusahan berusaha mengembangkan empati dari para pimpinannya. Empati sendiri oleh CCL diartikan sebagai “having the ability to understand the needs of others, and being aware of their feelings and thoughts”. Dalam banyak kasus empati bisa ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda, tapi anda bisa berlatih dengan beberapa cara, antara lain mendengar pendapat dan masukan bawahan, jangan berusaha menginterupsi bawahan ketika berbicara, hadir dan berkomunikasi di lingkungan kerja mereka, jangan mudah men-judge orang lain, memperhatikan bahasa tubuh mereka dan membicarakan hal personal dengan mereka.
Menurut Mindtools, ada tiga tahap dalam berempati:
1. Cognitive empathy: yaitu memahami kondisi emosi orang lain,
2. Emotional empathy: yaitu ikut merasakan dan berbagi emosi dengan orang lain, dan
3. Compassionate empathy: yaitu melakukan aksi untuk mendukung orang lain.
Yang perlu dijaga oleh anda dalam berempati adalah keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan bawahan. Anda telah ditunjuk sebagai pimpinan oleh perusahaan, sehingga harus memastikan target kerja tercapai. Namun sebagai pimpinan anda dituntut untuk memahami kondisi dan situasi yang terjadi pada anak buah anda. Kemampuan untuk berempati tidak terkait dengan karakter seseorang, namun bisa dilatih. Semakin anda berlatih, maka kemampuan anda untuk berempati semakin tinggi.
Di dalam situasi ketidakpastian dan kondisi yang terus berubah, kesehatan mental pegawai menjadi faktor penting dalam bekerja. Sudah sewajarnya perusahaan dan para pemimpin lebih serius untuk menerapkan empati di tempat kerja. Pada akhirnya para pemimpin dan perusahaan yang akan mendapat menfaatnya. Selamat mencoba.
NOKIA: dulu jagoan jadi nggak relevan
Sebagian besar dari kita tentu mengenal Nokia, bahkan menjadi pengguna produk pada masanya. Siapa yang tidak ingat “banana phone” keluaran Nokia yang sangat populer. Tahun 2007 adalah puncak kejayaan Nokia yang berhasil menguasai 51% pangsa cellphone di seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Apple saja sekarang hanya mampu menguasai 25% pangsa pasar, sehingga terlihat bagaimana Nokia bisa mendominasi pasar pada waktu itu. Nokia mengubah mindset bahwa cellphone juga dikaitkan dengan fashion sehingga mendapat respons yang luar biasa.
Namun demikian hanya dalam waktu enam tahun, Nokia kemudian hampir mengalami kebangkrutan, dan akhirnya diakuisisi oleh Microsoft seharga 7.2 miliar dollar. Ada apa dengan Nokia sehingga dalam waktu cepat bisa terlempar dari kompetisi cellphone pada waktu itu?
Kesalahan pertama Nokia adalah terlalu fokus kepada pembuatan hardware. Desain yang menarik tentu menjadi daya tarik pembeli, tetapi cellphone tidak bisa berfungsi ketika tidak memiliki sistem operasi. Sementara pesaingnya telah mulai mengembangkan sistem operasi android dan IOS, Nokia ketinggalan karena terus menggunakan Symbian sebagai sistem operasinya. Berbeda dengan symbian, android dan IOS sudah berbasis aplikasi.
Kesalahan berikutnya Nokia ketika pesaingnya seperti samsung, motorola, huawei sudah mengadopsi android ketika google memasuki pasar di tahun 2008, Nokia tetap bersikeras menggunakan sistem operasinya sendiri yaitu Symbian. Akhirnya Nokia menyerah, pada tahun 2011 mereka beralih menggunakan windows phone bekerjasama dengan microsoft. Keputusan tersebut fatal karena akhirnya windows phone gagal sehingga Nokia kehilangan dominasinya sebagai penguasa pasar. Android sendiri sudah terbukti sekarang digunakan 80% smartphone saat ini. Ketika akhirnyapada tahun 2014 Nokia memutuskan beralih ke android, semuanya sudah terlambat.
Nokia juga memiliki masalah dengan struktur organisasinya. Ketika memutuskan mengubah organisasi berdasarkan hirarki pada tahun 2004 menjadi organisasi matriks, ternyata keputusan ini bermasalah. Keinginan agar lebih inovatif dengan matriks organisasi, ternyata malah menimbulkan krisis. Dalam organisasi matriks manager memiliki beberapa kewenangan, dan ini menimbulkan konflik sehingga inovasi terhambat dan proses pengambilan keputusan juga menjadi lama. Sebagai perbandingan, Apple sebagai pesaing tetap menggunakan organisasi hirarki dimana Steve Jobs sebagai puncak hirarki tersebut.
Terakhir, Nokia tidak mampu mengantisipasi gelombang smartphone di awal tahun 2000-an. Ketika kompetitor mulai beralih ke smartphone, Nokia memilih fokus ke pembuatan cellphone yang berkualitas baik, murah, tahan lama dan menarik. Ternyata keinginan pasar berbeda, ketika Apple keluar di pasar, semua orang menginginkan smartphone tersebut. Nokia gagal mengantisipasi kebutuhan pasar padahal pada waktu itu posisinya masih sebagai pemimpin pasar. Apple setelah mengeluarkan smartphone segera mengambil alih posisi sebagai pemimpin pasar hingga kini.
Ini adalah salah satu bukti bahwa yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan. Seperti Charles Darwin mengatakan “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one most adaptable to change”. Lingkungan perusahaan terus berubah, dan yang mampu mengantisipasi atau memanfaatkan perubahan tersebut yang akan mampu bertahan dan meraih kesuksesan. Teknologi berkembang sangat cepat dan demografi konsumen juga berubah. Generasi muda memiliki perilaku yang berbeda. Kekuatan ekonomi negara juga bergeser. Sumber daya alam menipis. Isu sustainability mengemuka. Pandemi belum ada tanda akan berakhir. Kesemua ini adalah dinamika yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Adalah tidak mungkin perusahaan tidak beradaptasi dan tetap mengharapkan hasil yang sama.
Bagaimana perusahaan di tempat anda bekerja? Semoga ikut beradaptasi mengikuti perubahan.
Coaching: Manfaat Bagi Atasan dan Bawahan
Hasil riset menunjukkan bahwa efektivitas pengembangan seseorang 70% ditentukan melalui on the job training, 20% dari hasil coaching dan 10% dari formal training. Hasil penelitian ini mengajak kita untuk mengubah cara pandang bahwa kita dikembangkan perusahaan apabila dikirim mengikuti program pelatihan atau pendidikan yang dilakukan oleh pihak eksternal. Ternyata efektivitas keikutsertaan dalam pelatihan formal hanya 10%, sementara biaya yang dikeluarkan cukup besar.
Pengembangan on the job training amat sesuai dengan karateristik milenial dimana mereka menghargai sebuah proses daripada dilakukan pendampingan. Mengalami kesulitan, mampu keluar dari masalah, sukses menyelesaikan tugas merupakan proses yang dinikmati para milenial dalam pelaksanaan tugas. Sudah sewajarnya bila perusahaan banyak menekankan pengembangan karyawannya dengan metode ini. Yang berikutnya adalah coaching. Namun pelaksanaan coaching menjadi masalah karena membutuhkan pihak selain karyawan yaitu atasan. Perlu dikaji apakah atasan paham tugasnya untuk memberikan coaching dan ketika paham mampu melakukannya. Hasil survey menunjukkan 52% dari atasan tidak pernah diberikan pelatihan menjadi mentor. Sementara 79% dari atasan mendapatkan informasi bagaimana menjadi mentor justru dari internet.
Wajar kalau kemudian milenial merasa tidak dikembangkan, karena perusahaan memang tidak pernah mempersiapkan atasan dengan kemampuan coaching yang baik. Di lain pihak, atasan juga menganggap proses coaching kurang penting, sehingga tidak merasa perlu melakukan proses tersebut dan apalagi belajar bagaimana menjadi coach yang baik. Ini adalah gejala umum di banyak perusahaan, sehingga pelaksanaan coaching tidak seragam dan dilakukan berdasarkan pemahaman atasan.
Dick Grote, pakar performance management, dalam artikelnya “every manager needs to practice two types of coaching” menjelaskan ada dua jenis coaching yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah calendar-driven coaching dan kedua adalah event-driven coaching.
Calendar-driven coaching dilakukan secara formal dan terstruktur di waktu tertentu seperti awal, pertengahan atau akhir tahun. Sesuai aturan seorang atasan akan menginisiasi diskusi dengan bawahan, dan mengisi formulir sesuai yang dipersyaratkan. Seorang atasan akan banyak melakukan pertanyaan untuk menggali masalah yang dihadapi oleh bawahan dalam bekerja. Pada akhir sesi atasan akan menyampaikan ekspektasi dan rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan oleh bawahan. Terkadang rekomendasi ini kemudian masuk ke dalam rencana pengembangan individu untuk kemudian dapat ditindaklanjuti secara formal.
Yang kedua, event-driven coaching, pelaksanaannya lebih informal dan bisa dilakukan kapan saja. Pihak yang menginisiasi coaching juga bisa dari bawahan dan tidak melulu harus dari atasan. Misalnya seorang bawahan setelah melakukan presentasi meminta feedback atasan terhadap materi dan cara komunikasi atau presentasi. Apa yang perlu diperbaiki, sehingga lebih baik di masa mendatang. Bisa juga seorang atasan dalam keseharian memanggil bawahan untuk kemudian secara langsung memberikan evaluasi dan masukan kepada bawahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Dengan demikian inisitiaf jenis coaching ini bisa dilakukan baik oleh atasan maupun bawahan.
Apabila calendar-driven coaching dilakukan di kantor, maka event-driven coaching bisa dilakukan dimana saja dan bahkan dapat dalam bentuk pesan teks tidak dharus dalam bentuk sebuah dialog langsung. Atasan yang baik akan dengan senang hati memberikan coaching, sebabnya ketika bawahan lancar atau mengerti dengan jelas ekpektasi atasan, maka penyelesaian tugas akan lebih lancar dan sesuai harapan. Dengan demikian, anda menjadi merugi ketika tidak meminta masukan setelah sebuah event. Hubungan atasan bawahan juga bisa terjalin lebih erat ketika anda melakukannya, karena atasan juga merasa dihormati dengan dimintakan masukan atau pendapat.
Milenial butuh pengembangan, atasan perlu pekerjaan lancar. Oleh karena itu kedua pihak perlu berinisiatif. Ketika manusia menjadi aset paling berharga, tentunya kita selalu ingin aset tersebut selalu berkembang. Sudahkah anda minta di-coaching belakangan ini?
Informal Leaders
Salah satu syarat perusahaan bisa bertahan dalam situasi ketidakpastian yang tinggi seperti sekarang adalah kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Perkembangan teknologi dimana seluruh aspek kehidupan kita sudah disentuh oleh digitalisasi, kita juga berada dalam masa transisi generasi X ke milenial, dan terakhir pandemi dalam dua tahun belakangan ini memaksa perusahaan untuk terus beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dalam proses perubahan, salah satu unsur terpenting adalah keberadaan informal leaders.
Informal leaders menurut business dictionary adalah “An individual within an organization that is viewed as someone worth listening to due to their perceived experience and reputation among peers. The informal leader does not hold any position of formal authority or power over the peers choosing to follow their lead but can influence the decisions of others”. Jadi informal leaders tidak harus memgang jabatan formal, mereka didengarkan dan berpengaruh kepada pegawai yang lain. Informal leaders inilah dalam suatu proses perubahan yang bisa menggerakkan orang lain dalam perusahaan untuk berubah. Oleh karena itu perusahaan harus mampu mengidentifikasi siapa saja informal leaders di dalam perusahaan.
Jon Katzenbach, Carolin Oelschlegel, and James Thomas dalam artikelnya di forbes menjelaskan ada 4 tipe informal leaders. Pertama adalah pride builders. Orang ini adalah motivator sejati dalam lingkungan kerja. Umumnya first line manager yang menjadi katalis perubahan lingkungan. Mereka paham dengan kondisi lingkungan kerja dan paham bagaimana melakukan perubahan yang diperlukan. Tipe kedua adalah exemplars. Mereka adalah para role model baik dengan perilaku, pengetahuan atau kompetensinya. Exemplars umumnya adalah di middle dan top management. Mereka amat dihormati dan merupakan influencers yang efektif bagi peer-nya. Tipe ketiga adalah networkers. Mereka adalah pusat informasi di dalam perusahaan. Tipe ini punya hubungan baik dengan semua pihak dan dapat berkomunikasi dengan baik secara terbuka. Ketika anda ingin ide perubahan dapat terkomunikasi dengan baik, tipe ini harus dilibatkan. Terakhir adalah early adopters. Mereka adalah orang yang memiliki antusiasme tinggi dengan hal baru misalnya teknologi, proses dan cara kerja. Sebaiknya ketika melakukan pilot project perubahan mereka harus dikutsertakan.
Karena perannya yang penting, apakah informal leader bisa dikembangkan? Bisa dan harus dikembangkan agar proses perubahan dapat berjalan dengan lancar. Hanya saja metode pengembangan mereka tidak dilakukan secara formal melalui training atau seminar, tetapi melalui sebuah social learning. Group coaching dengan mentor tertentu cukup efektif untuk dilakukan. FGD kecil diantara informal leaders untuk pembahasan topik tertentu bisa juga dilakukan dengan efektif Terakhir, menonton atau sharing video terkait dengan materi perubahan secara periodik juga bentuk pengembangan yang efektif untuk dilakukan. Dalam suatu proses perubahan, terkadang keberadaan mereka terabaikan, pada mereka menjadi garda terdepan dalam perubahan. Untuk itu para pelaksana program perubahan harus menaruh perhatian khusus kepada informal leaders.
Dalam proses perubahan, bukan berarti peran formal leaders tidak diperlukan, tapi kesuksesan perubahan banyak ditentukan oleh informal leaders. Mereka menjadi pemimpin diantara pegawai, okeh karena itu setiap pendapat dan tindakannya amat mempengaruhi lingkungan sekitar. Apabila perusahaan kamu sedang melakukan perubahan, coba identifikasi siapa saja informal leaders di perusahaan. Mulai berkomunikasi dengan mereka agar mendapat dukungan. Pertama agar mereka aware dengan rencana perubahan. Tahap selanjutnya mereka mengerti maksud dari rencana perubahan. Setelah mengerti tentunya diharapkan mereka bisa menerima perubahan dan akhirnya memiliki komitmen untuk mendukung perubahan. Apabila komitmen sudah diperoleh, anda tinggal menunggu perubahan akan bergulir dengan sendirinya. Selamat mencoba.
Favoritism (2)
Tulisan ini terinspirasi dari kekalahan Manchester United yang kesekian kali di musim ini. Hujatan dan permintaan manajer OGS dipecat marak kembali. Selain dianggap kurang memiliki kemampuan taktikal, OGS dianggap memfavoritkan beberapa pemain meskipun di musim ini bermain jelek. Sementara pemain lain dengan kualitas yang baik dan dibeli dengan harga mahal tidak dimainkan. Rumornya ini menjadi sumber konflik internal pemain sehingga mengganggu kebersamaan tim.
Favoritism sendiri diartikan sebagai praktek memberikan perlakuan istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang sehingga merugikan orang lain. Di dunia kerja hal ini merupakan hal yang biasa dimana hasil survei Georgetown University menjelaskan bahwa senior eksekutif melihat dalam proses promosi 92% dilakukan di dunia kerja dilakukan berdasarkan favoritism. Mereka juga menjelaskan bahwa 84% dilakukan oleh perusahaan mereka sendiri, dan bahkan sekitar 25% dari senior eksekutif ini mengakui bahwa mereka melakukan praktek tersebut.
Favoritism sendiri merupakan sesuatu yang wajar dan alami. Dari sekian baju yang kita miliki, tentu ada yang kita amat suka. Dari sekian banyak teman yang ada, tentu ada yang paling cocok. Demikian juga dengan anak buah. Pemimpin memiliki sekian banyak anak buah, tetapi dia merasa ada yang paling cocok. Hal tersebut tidak dapat dihindari, namun jangan sampai kemudian hanya memberikan kesempatan kepada anak buah tersebut dan tidak kepada yang lain. Boleh lebih cocok dengan seseorang, tetapi harus tetap adil dan profesional dalam hal pekerjaan dengan anak buah yang lain. Jangan sampai tugas yang menantang atau menarik hanya diberikan kepada seseorang saja secara berulang kali. Kesempatan ini harus diberikan juga kepada anak buah yang lain untuk menciptakan keadilan.
Kita juga harus mampu membedakan antara favoritism dengan penghargaan atas kinerja yang baik. Terkadang seseorang diberikan kesempatan bukan karena perlakuan istimewa, tapi memang bekerja keras dan mengerjakan tugas dengan baik melebih ekspektasi sehingga mendapat kepercayaan. Hal ini bukanlah favoritism karena diperoleh dari sebuah kerja keras. Akan tetapi bila perlakuan istimewa tersebut diperoleh dari hubungan keluarga, kesamaan asal daerah atau kedekatan personal maka itu bisa dikatakan favoritism. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati mendefinisikan suatu kondisi ke dalam favoritism.
Sebagai seorang pemimpin, seperri OGS di Manchester United, dia harus memberika kesempatan bermain kepada pemain yang lain. Apalagi ketika pemain inti sedang bermain buruk, atasan harus memberikan kesempatan yang lain untuk bermain. Jangan terus memaksakan pemain tertentu saja karena yang dirugikan akhirnya adalah tim atau perusahaan. Suasana kerja juga kurang kondusif, kepercayaan kepada atasan jadi rendah dan kinerja tim menjadi buruk. Tidak ada hal baik dari favoritism.
Apa yang bisa dilakukan ketika anda menemukan hal ini di kantor? Pertama adalah berusaha membicarakan hal ini dengan orang yang tepat. Kedua, berusaha memahami mengapa orang tersebut mendapat keistimewaan. Ketiga, tetap bekerja keras dan profesional serta tidak memusuhi orang yang mendapatkan keistimewaan. Keempat, tetap berfikiran positif dan bersabar dalam bekerja. Terakhir, terus mencari kesempatan untuk mendapat tugas yang menantang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi anda.
Favoritism adalah sesuai hal yang biasa, perlu diterima namun bukan menjadi halangan bagi anda untuk terus berkarya. Tetap semangat dan berkarya, karena kesempatan tersebut bisa datang secara tiba-tiba dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tetap semangat!
Death By Meeting
Kita semua tentu pernah merasa bosan waktu lagi meeting. Pikiran jadi kemana-mana, asyik lihat smartphone; asyik whatsapp dengan orang lain atau sibuk memperhatikan media sosial orang lain. Pemimpin rapat juga nggak peduli dan sibuk sendiri. Kita disconnect dengan jalannya rapat dan hadir hanya sebatas fisik tidak ikut kontribusi pada pembahasan topik. Bayangkan kalau sebagian besar rapat yang kita ikut amat membosankan, berapa banyak waktu yang kita habiskan percuma. Padahal statistik menjelaskan setiap hari ini dunia ini ada sekitar 11 juta meeting, sekitar 55 seminggu dan 220 juta meeting dalam sebulan. Berapa banyak waktu yang terbuang percuma ketika sebagian besar meeting yang diadakan tersebut membosankan bagi peserta.
Patrick Lencioni dalam bukunya “death by meeting” menjelaskan bahwa meeting yang membosankan merupakan salah satu masalah terbesar di kantor. Faktor utama yang membuat meeting menjadi membosankan adalah kemampuan dari pemimpin meeting. Pelaksanaan tidak boleh satu arah, harus dibuat menarik dan melibatkan seluruh peserta. Selain itu ada dua hal komponen penting sebuah meeting yang membosankan menurut Lencioni. Pertama lack of drama, dan kedua adalah lack of context or purpose. Sebuah meeting menjadi menarik apabila ada drama dalam pelaksanaannya. Drama tersebut diatur oleh pemimpin meeting. Drama bisa berupa topik yang kontroversial yang dapat memicu perdebatan dalam pembahasannya. Konflik antar peserta meeting yang sengaja dibuat agar terjadi perdebatan dalam pembahasannya. Namun semua masih dalam koridor yang ditentukan dan dapat dikendalikan oleh pemimpin meeting. Dengan demikian meeting masih berjalan dengan lancar dan menghasilkan suatu kesepakatan.
Hal kedua adalah lack of context or purpose. Banyak terjadi kita mengikuti meeting karena sebuah keterpaksaan atau kegiatan rutin, sehingga sekedar hadir dan tidak memiliki keinginan berkontribusi lebih jauh dalam pembahasan. Lagi-lagi dibutuhkan kemampuan pemimpin rapat untuk sejak awal menjelaskan mengapa meeting diadakan, apa saja yang akan dibahas dan keputusan apa yang diharapkan dihasilkan dalam meeting. Ketika kita idak paham dengan topik yang dibahas, kita cenderung menjadi pendengar dan setelah sekian lama berusaha mengikuti dan kemudian merasa tidak bisa mengikuti pembahasan, kemudian kita disconnect dengan pembahasan. Namun ketika sejak awal kita sudah paham topik yang dibahas dan peran yang diharapkan, kita akan berupaya mempersiapkan. Dengan demikian apabila semua peserta meeting melakukan hal yang sama, pelaksanaan meeting akan berjalan dengan lancar dan mampu menghasilkan sebuah kesepakatan.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ketrampilan pemimpin meeting menentukan kualitas dari sebuah meeting. Celakanya sebagian besar dari pimpinan tidak pernah diajarkan secara khusus bagaimana memimpin meeting dengan baik. Yang dilakukan adalah hasil sebuah proses keikutsertaan pada meeting sebelumnya. Padahal rapat-rapat yang diikuti sebelumnya belum tentu memberikan sudah sesuai dengan standar meeting yang baik. Yang lebih celaka adalah banyak pimpinan yang kurang suka melaksanakan meeting. Lencioni mengibaratkan mereka seperti seorang ahli bedah yang tidak suka melakukan bedah. Tugas seorang pimpinan adalah melakukan koordinasi bawahan, dan koordinasi tersebut dilakukan melalui meeting. Sehingga kalau pimpinan tidak suka melakukan meeting, bagaimana dia melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas di unit kerjanya.
Sudah saatnya perusahaan memberikan perhatian yang besar dalam pelaksanaan meeting mereka. Menyusun sebuah standar, template atau video yang bisa digunakan sebagai rujukan menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian seluruh karyawan bisa mendapat pemahaman bagaimana melaksanakan meeting dengan baik, dan tidak perlu merasakan kebosanan seperti yang Lencioni jelaskan dalam bukunya.
Tetap semangat.
Learning Wallet
Salah satu aspek yang diinginkan karyawan dari sebuah perusahaan adalah pengembangan diri. Hal ini sejalan dengan hasil survey bahwa 87% dari milenial percaya bahwa pengembangan dan pembelajaran merupakan aspek terpenting dalam pengelolaan SDM di perusahaan. Namun sayangnya statistik juga menjelaskan bahwa 29% tempat mereka bekerja sekarang tidak memiliki program pengembangan secara formal. Terdapat sekitar 59% karyawan saat ini merasa tidak mendapat pengembangan dari perusahaan dan ketrampilan yang mereka miliki merupakan hasil belajar sendiri. Bahkan 70% dari karyawan yang keluar dari perusahaan menyatakan alasan mereka karena mendapat kesempatan pengembangan diri yang lebih baik di tempat baru.
Sebagian perusahaan atau institusi telah menyadari pentingnya pengembangan SDM, dan kemudian membentuk unit sendiri seperti learning center atau corporate university. Namun sayangnya pengelolaannya belum dilakukan secara profesional dan dengan paradigma baru kebebasan memilih bentuk pengembangan. Pendirian unit tersebut tersebut belum dibarengi dengan alokasi anggaran yang memadai dan kebebasan memilih pengembangan diri oleh karyawan, sehingga anggaran dan pengembangan karyawan masih ditentukan secara sentral. Akhirnya selain kurang tepat sasaran, motivasi karyawan juga rendah pada saat mengikuti program tersebut. Namun kondisi ini juga selaras karena hanya 70% perusahaan yang berusaha mengukur efektivitas dari pelaksanaan program pengembangan yang mereka laksanakan.
Terakhir mulai populer yang dinamanakan konsep learning wallet. Konsep ini memberikan jawaban atas permasalahan yang disampaikan di atas. Di dalam konsep ini perusahaan memberikan alokasi anggaran pengembangan berdasarkan kinerja karyawan. Semakin baik, semakin besar alokasi yang diberikan. Setiap memiliki prestasi, karyawan mendapat insentif yang kemudian masuk ke dalam learning wallet atau dompet belajarnya. Uang ini bisa digunakan untuk mengikuti kegiatan pengembangan sesuai topik dan waktu yang diinginkan. Hal ini penting karena statistik menjelaskan 85% karyawan menginginkan pelaksanaan pengembangan disesuaikan dengan waktu mereka, sementara 33% mengatakan pengenbangan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan kebebasan memilih jadwal dan topik, karyawan tentu menjadi lebih termotivasi dalam mengikuti program yang dipilihnya.
Dalam pelaksanaannya bahkan kebebasan ini tidak berbatas, dimana perusahaan membolehkan karyawan memilih topik pengembangan yang tidak terkait dengan pelaksanaan tugas. Misalnya karyawan memilih pengembangan sesuai hobby yaitu fotografi. Ternyata berdasarkan hasil penelitian setelah menjalani pelatihan, kreativitas dan kepercayaan karyawan tersebut meningkat. Pelaksanaan tugas juga menjadi lebih baik dan kualitasnya meningkat. Sehingga perusahaan meyakini pengembangan diri dalam bentuk apapun akhirnya akan membawa manfaat bagi perusahaan.
Beberapa perusahaan di Indonesia sudah menerapkan konsep learning wallet. Salah satunya yang paling maju adalah Bank BNI. Kegiatan pengembangan dilakukan secara digital dan bisa dilakukan setiap saat. Hal ini merujuk kepada kecenderungan bahwa kegiatan pengembangan formal di kelas, semakin ditinggalkan dan 90% milenial lebih memilih pengembangan mobile-based training. Dengan demikian learning center atau corporate university lebih fokus untuk menyusun bahan pengajaran yang dapat di-upload dalam sistem, sehingga kapan saja bisa diakses oleh karyawan sesuai ketersediaan waktu mereka. Perusahaan memang akan sedikit effort di awal untuk menyiapkan infrastruktur, tetapi apabila sudah bisa berjalan, maka efektivitas pelaksanaan pengembangan akan jauh lebih tinggi. Monitoring dan evaluasi juga akan lebih mudah dilakukan karena semua akan dilakukan secara digital.
Sepertinya ke depan konsep learning wallet ini semakin populer di Indonesia karena lebih sesuai dengan kebutuhan generasi. Apalagi hampir tidak ada karyawan yang tidak memiliki smartphone, sehingga pelaksanaan mobile-based training lebih mudah dan inklusif. Perusahaan yang memiliki cabang di seluruh Indonesia tidak perlu kawatir tidak mendapat pengembangan, karena seluruh karyawan bisa melakukan pengembangan melalui smartphone mereka. Semoga.
Personal Branding
Pernah nggak kamu ngalamin waktu bos di kantor mau bikin presentasi pasti dia akan minta si A. Waktu mau bikin makalah pakai bahasa Inggris pasti yang disuruh si B. Waktu ada acara kantor, yang disuruh ngurus acara pasti si C. Ini artinya A, B dan C sudah punya personal branding sendiri di tempat kerja. Personal branding sendiri bahasa kerennya adalah “the conscious and intentional effort to create and influence public perception of an individual”. Jadi sebuah upaya yang dilakukan secara sadar dan disengaja oleh seseorang untuk menciptakan persepsi orang lain terhadap dirinya.
Apa sih pentingnya punya branding sendiri? Di dunia kerja yang semakin kompetitif seperti sekarang ini, penting bagi kamu men-differentiate diri kamu dengan orang lain. Dengan kata lain, kamu bukan orang biasa atau “just another face in the crowd”. Dengan personal branding, orang lain atau pimpinan langsung bisa ingat kamu pada saat dibutuhkan, atau merekomendasikan kamu kepada yang membutuhkan. Semakin banyak di perusahaan yang tauk kamu kompeten akan sesuatu dan punya perilaku yang biasa diandalkan, maka akan semakin baik bagi karir kamu di masa depan.
Yang perlu diingat membangun personal branding adalah sebuah proses. Proses yang dilakukan secara sadar dan disengaja, sehingga perlu persiapan. Perlu ditentukan hal apa yang akan menjadi branding kamu. Mau dikenal kompeten di suatu bidang atau punya perilaku yang bisa diandalkan orang lain? Setelah ditentukan, kembangkan kompetensi atau perilaku tersebut lebih dalam. Hal yang paling penting adalah tunjukkan dalam berbagai kesempatan. Orang Indonesia punya budaya sungkan, kamu perlu mengesampingkan budaya itu karena sedang membangun branding.
Namun demikian personal branding bisa juga terbentuk tanpa disengaja. Tapi karena tidak dilakukan secara sadar dan disengaja hasilnya bisa merugikan. Misalnya, kamu selalu diam dan tidak pernah berpendapat dalam meeting. Ini bisa saja diartikan kamu nggak kompeten atau nggak mengerti. Padahal belum tentu. Kamu hanya tidak terbiasa berpendapat atau terlalu malas untuk bicara. Bukan tidak mengerti substansi pembicaraan. Yang lain lagi misalnya setiap saat kamu selalu asyik dengan smartphone kamu, sehingga kurang banyak berinteraksi dengan teman kerja. Kamu dianggap sombong, padahal yang kamu lakukan dengan smartphone kamu adalah mencari informasi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh pimpinan.
Di jaman now sekarang, media sosial adalah hal yang umum digunakan. Hampir semua orang memiliki akun media sosial. Di seluruh dunia terdapat 3, 96 miliar akun atau 50 persen dari total penduduk dunia. Di Indonesia bahkan lebih dahsyat, terdapat 170 juta akun atau 62 persen dari total penduduk Indonesia. Untuk itu penggunaan media sosial semakin beragam, tidak saja sebagai platform komunikasi tetapi juga melakukan personal branding. Berdasarkan survei CareerBuilder 70 persen employer menggunakan media sosial sebagai salah satu tahap saringan. Sementara 43 persen kandidat yang ikut seleksi melihat media sosial employer untuk mengetahui lebih jauh value proposition yang ditawarkan. Oleh karena perkembangan tersebut, kayaknya kamu perlu lihat lagi akun kamu karena setiap postingan adalah bagian dari proses pembentukan branding kamu. Apabila kamu posting mengenai makan di luar, bisa diartikan sebagai orang yang easy going dan adventurous. Posting mengenai kegiatan ekstra kurikuler, bisa diartikan sudah paham bekerja dan melakukan koordinasi.
Karateristik milenial salah satu adalah mengutamakan career advancement, sehingga urusan personal branding menjadi penting. Nggak ada salahnya untuk berhenti sejenak menentukan branding apa yang diinginkan. Apakah saat ini sudah sejalan, atau masih banyak kesenjangan. Selamat mencoba.
Meaningful Work
Sebagian besar hidup kita habiskan di tempat kerja, tetapi apakah kita nyaman dengan pekerjaan dan suasana kerja? Banyak penelitian menjelaskan hubungan antara kebahagiaan di kantor menentukan produktivitas yang akhirnya menentukan tingkat kinerja. Dengan demikian setiap kita berangkat ketempat kerja, suasana hati akan menentukan kinerja. Sedemikian pentingnya sehingga Edward Deming mengatakan, “Management’s overall aim should be to create a system in which everybody may take joy in his work.” Namun sayangnya belum banyak yang menaruh perhatian kepada hal ini.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Achievers Work Institute, ditemukan fakta bahwa 59 persen alasan seseorang keluar dari pekerjaannya terkait dengan suasana kerja. Work-life balance, corporate culture, ketidakcocokan dengan peer kerja dan perbedaan antara corporate dengan personal values menjadi alasan yang utama. Sebanyak 36 persen memang masih mengatakan remunerasi menjadi alasan, tetapi remunerasi yang bagus saja tidak cukup untuk menahan seseorang untuk keluar dari pekerjaannya. Seseorang mungkin bertahan di suatu pekerjaan, tapi tidak merasakan “joy in his work” seperti yang dijelaskan Deming.
Bagaimana kita menjelaskan “joy at work”? Kalau diterjemahkan langsung adalah “kegembiraan di tempat kerja”. Seseorang merasakan hal tersebut apabila terkoneksi dengan “meaning” dan “purpose” pekerjaannya sehingga menghasilkan sebuah “success” dan “fulfillment”. Seseorang harus memahami tujuan dan makna dari kerja yang dilakukan, sehingga pada akhirnya bisa merasakan sebuah kesuksesan dan kepuasan bekerja. Ralph Waldo Emerson mengatakan, “The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well.” Dengan demikian kita berangkat kerja dan gembira bertemu dengan peer kita belum cukup, kita perlu memastikan waktu kita di tempat kerja bermanfaat, dihargai, diperhatikan dan juga mampu membuat suatu yang berbeda untuk suatu perubahan. Ada kebutuhan dalam diri kita bahwa yang kita kerjakan bermanfaat, mendapat apresiasi dan mengubah tempat kerja menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Dave Ulrich menjelaskan “An abundant organization enables its employees to be completely fulfilled by finding meaning and purpose from their work experience. This meaning enables employees to have personal hope for the future and create value for customers and investors. When we ask people how the feel about their work, we can quickly get a sense of how work helps them fulfill the things that matter most in their lives”. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Deming dan Ralph Waldo Emerson bahwa pekerjaan menjadi bermakna bagi seseorang ketika memberikan nilai tambah bagi tempat kerja atau peer kerja. Dengan demikian suasana kerja yang nyaman, peer kerja yang asyik, boss yang baik, meskipun menjadi dasar kita melangkah ke tempat kerja dengan suasana hati gembira, belum cukup untuk menjadikan hidup bermakna. Ketika suasana kerja yang nyaman kemudian mengantarkan kita untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan mampu mengubah suasana kerja atau kinerja di tempat kerja, baru kemudian hidup kita menjadi lebih bermakna.
Menghasilkan suatu perubahan tidak bisa dilakukan secara individu. Seorang pekerja, meskipun bisa cukup kreatif untuk melakukan inovasi dalam pekerjaannya, namun harus diberikan diberikan ruang oleh tempat bekerja. Di Indonesia dengan budaya paternalis yang kental, seorang atasan harus mampu tidak saja memberikan ruang untuk berkreasi tetapi juga harus menjadi teman diskusi yang baik untuk memastikan bahwa tugas yang dilakukan akan bermanfaat kepada tempat kerja. Atasan tersebut kemudian yang akan memastikan bahwa tugas yang telah diselesaikan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan kewenangannya.
Hal ini yang menjadi alasan milenial memilih untuk berwirausaha. Bukan semata karena probabilitas menjadi lebih kaya, tetapi mereka ingin melihat apa yang dikerjakannya membuat sebuah perbedaan, diakui dan mampu mengubah dunianya menjadi lebih baik. Yuk, bagi teman yang berkarir di tempat kerja untuk merenung untuk memikirkan bagaimana tugas yang dilakukannya menjadi lebih bermakna bagi hidup. Ketika peluang untuk membuat perbedaan tersebut ada, maka manfaatkan dengan baik. Namun ketika peluang tersebut minim, jangan ragu untuk keluar dari zona kenyamanan kalian. Hidup hanya sekali, jadikan penuh makna. Salam sehat.
Pemimpin dan Sosial Media
Film Wag The Dog karya Barry Levinson, tahun 1997, dengan pemeran Dustin Hoffman menyadarkan kita bahwa apa yang kita lihat belum tentu sebuah realita. Di dalam film tersebut pemerintah Amerika Serikat membuat film berita palsu untuk mempengaruhi opini publik. Ada juga teori konspirasi lama bahwa sebenarnya Neil Armstrong, Michael Collins dan Edwin Aldrin dengan Apollo 11 tidak pernah mendarat di bulan, tetapi dibuat di studio. Saat itu Amerika Serikat sedang membutuhkan dukungan moral karena kalah perang di Vetnam dengan Rusia, sehingga John F. Kennedy menggunakan keberhasilan mendarat di bulan untuk meningkatkan moral rakyat Amerika. Saat ini berita palsu atau hoaks sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, bahkan sudah sampai taraf mengganggu karena pihak yang bertikai sudah menggunakan buzzer dengan dana yang cukup besar. Pemerintah Indonesiapun menganggap pentingnya media sosial sehingga diberitakan memiliki anggaran untuk buzzer sebesar Rp. 90.45 Miliar sejak tahun 2107.
Sebenarnya seberapa pengaruh media sosial terhadap citra sebuah kepemimpinan? Egan Mosley mengatakan bahwa pengaruh media sosial kepada sebuah brand awareness mencapai 80% dan mampu meningkatkan engagement sebesar 65%. Ternyata sedemikian besarnya pengaruh media sosial kepada citra kepemimpinan seseorang. Saat ini seluruh pemimpin di negeri ini hampir seluruhnya memiliki akun media sosial, dan ini penting karena popularitas menjadi unsur penting keterpilihan atau kesuksesan menjadi pemimpin. Tidaklah mengherankan kalau banyak artis yang kemudian beralih menjadi pemimpin daerah atau anggota legislatif karena mereka sudah memiliki modal popularitas. Kitapun akhir ini disuguhkan drama menarik di internal salah satu besar negeri ini dimana ada kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi mulai disingkarkan dengan alasan lebih aktif di media sosial daripada di lapangan. Dulu ada juga kandidat pemimpin negeri yang tidak terpilih kemudian membuat kanal podcast sendiri sebelum menjadi menteri.
Media sosial saat ini menjadi syarat mutlak bagi kandidat pemimpin. Platform ini dinilai amat efektif dan murah untuk dapat langsung menyentuh rakyat. Influencer memegang peranan penting, karena dianggap bisa menggunakan medianya untuk mempengaruhi subscriber atau follower-nya. Hubungannya mutualisma, meskipun ada sisi negatifnya. Para pemimpin kemudian lebih peduli kepada popularitas, ketimbang pada program kerja. Pemimpin yang shortsighted tidak akan begitu peduli dengan jangka panjang, mereka hanya fokus di popularitas. Perhatian melulu kepada aktivitas sehari-hari atau karakter kandidat pemimpin yang direfleksikan dalam sebuah feed pendek, dan seperti film wag the dog bisa saja merupakan pencitraan dan bukan realita sesungguhnya. Kadang kita kemudian lebih perhatian kebaikan yang ditampilkan, bukan pada rencana kerja yang akan dilakukan selama periode kepemimpinan.
Yang celaka adalah kalau kandidat ini kemudian berhasil, dan kemudian selama periodenya hanya sibuk melakukan pencitraan. Meresmikian ini dan itu, sementara tidak punya keterikatan sama sekali dengan yang diresmikan. Latah ikut meramaikan program yang sedang trending, padahal kenyataannya yang dilakukan sebatas hanya untuk konten semata. Bisa dibayangkan bagaimana sekian banyak karyawan yang bekerja di bawahnya yang sudah bersusah payah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menghasilkan program atau kegiatan tersebut. Setelah diresmikan, tidak ada kelanjutan implementasinya.
Memilih pemimpin memang tidak mudah. Banyak sekali pertimbangannya. Ada yang ideal kapasitasnya, tapi tingkat penerimaannya rendah. Ada yang elektabilitasnya tinggi, tapi tidak memiliki visi. Bayangkan bila ada seorang pemimpin terpilih tetapi tidak punya kapasitas, integritas dan visi serta penerimaannya rendah, bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam lembaga tersebut. Semoga saja tidak terjadi di Indonesia.
Office Politics
Kita mulai artikel dengan definisi Merriam Webster dari politik kantor yaitu “aktivitas, sikap, perilaku yang digunakan untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan atau keuntungan di dalam sebuah perusahaan”. Bila diartikan demikian, tidak salah kalau kemudian konotasi dari politik kantor adalah cenderung negatif. Generasi milenial apalagi generasi selanjutnya yang amat independen dan transparan sehingga mereka pasti merasa nggak peduli mengenai politik kantor. Hal itu wajar saja, selama mereka tidak punya kepentingan terhadap kantor. Pergi, bekerja lalu pulang. Demikian setiap hari. Akhir bulan terima gaji. Simpel. Tapi ketika seseorang mulai berfikir bagaimana mendapat nilai kinerja yang bagus, bonus yang besar atau promosi yang cepat, mereka akan segera disadarkan dengan realita bahwa politik kantor ada dimana-mana dan tidak dapat dihindari.
Terdapat sembilan fakta penting mengenai politik kantor yang perlu dipahami[1]. Yang paling pertama, kita tidak bisa menghindar dari politik kantor. Dia ada dimana-mana. Kedua, orang harus paham bahwa peraturan yang tidak tertulis di dalam suatu perusahaan terkadang lebih penting daripada yang tertulis. Ketiga, peraturan yang berlaku akan selalu berubah mengikuti siapa yang sedang berkuasa. Keempat, adalah sebuah realita bahwa terkadang orang yang mendapat promosi bukanlah orang yang terbaik. Kelima, seluruh keputusan dalam perusahaan dipengaruhi oleh kepentingan orang yang sedang berkuasa. Keenam, ada lingkaran kecil orang di dalam perusahaan yang ikut memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam perusahaan. Ketujuh, kelompok kecil ini amat berkuasa dan sulit bagi orang lain untuk masuk ke dalam lingkaran ini. Kedelapan, pergantian pimpinan akan selalu mengubah budaya, aturan dan suasana kerja. Yang terakhir, seseorang tidak akan sukses apabila hanya bergantung pada talenta dan kerja keras. Untuk sukses seseorang harus punya hubungan baik dengan yang berkuasa. Asli nggak menarik, tapi itu adalah sembilan fakta yang harus diterima.
Dengan demikian jelas bahwa politik kantor akan ada kapan saja dan dimana saja. Mau tidak mau apabila kita punya “kepentingan” di kantor, maka kita harus mengetahui dan berkenalan dengan politik kantor. Apakah kita bisa menghindar? Bisa, sepanjang kita tidak memiliki “kepentingan” dengan pekerjaan atau perusahaan. Tetapi bila sebaliknya, kita harus mampu bertahan. Bagaimana cara supaya bisa bertahan? Ternyata ada 5 hal yang bisa dilakukan agar kita bisa bertahan dari politik kantor[2]:
Pertama, selalu bertindak profesional dalam bekerja. Selalu berfikir positif dan siap membantu kepada yang membutuhkan. Banyak mendengar dan memperoleh informasi dan memberi masukan bila diperlukan. Selalu berfikir sebelum berbicara.
Kedua, minta tolong kepada orang yang tepat. Identifikasi orang yang bisa membantu, komunikasi dengan jujur dan terbuka. Menahan diri untuk bicara banyak dengan terhadap orang tertentu. Selalu ingat apa yang dikatakan bisa diteruskan kepada seluruh pihak di dalam perusahaan.
Ketiga, cari tahu siapa orang penting di dalam perusahaan. Orang penting ini baik yang sifatnya formal maupun informal. Umumnya mereka paham apa yang terjadi di perusahaan. Berusahalah berhubungan dengan orang-orang ini.
Keempat, lindungi dan bela tim anda. Selalu lindungi teman dan anak buah anda dari serangan orang lain. Cegah perbedaan sedini mungkin sehingga tidak menyebar lebih luas.
Kelima, jangan tidak peduli politik kantor, tetapi berusaha memahami dan menerima. Politik kantor adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dalam bekerja. Tidak perlu resisten dan berusaha menerima serta bisa bertahan dalam perubahan situasi apapun.
Semoga dengan lebih memahami politik kantor kamu bisa lebih terbuka dan memahami serta berusaha bertahan dalam situasi apapun di lingkungan kerja kamu. Salam sehat!
[1] “The 9 Most Frustrating Facts About Office Politics”, Bonnie Marcus, Forbes, January, 2015
[2] “Office Politics is a Fact of Life—Here Are 5 Ways To Survive and Thrive in Even the Most Difficult Environment”, Peter Economy, Inc.com, June, 2018
Mencari “Connectors” Untuk Pengembangan Diri dan Karir
Karateristik utama dari milenial adalah mencari pengembangan diri. Tingkat kepuasan bekerja mereka banyak ditentukan dengan sampai sejauh mana dirinya berkembang dalam suatu pekerjaan atau perusahaan. Remunerasi merupakan hal penting, namun bukan menjadi yang terpenting. Sehingga apabila mereka merasa tidak berkembang setelah sekian lama dalam pekerjaannya, mereka akan berusaha mancari “jalan keluar’. Jalan keluar bisa berarti pindah ke unit kerja lain, bekerja di perusahaan lain, melanjutkan studi atau melakukan sabbatical leave[1] untuk mengembangkan diri.
Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Gallup, sebanyak 87% dari milenial mengatakan bahwa pengembangan diri dan karir adalah hal terpenting bagi mereka dalam bekerja. Jauh lebih besar dibanding dengan generasi lain yang hanya 47% menyatakan bahwa hal tersebut adalah teramat penting. Apabila demikian apa yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan?
Milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 dan 2000. Dengan demikian di angkatan kerja sekarang mereka sudah berusia antara 20-40 tahun. Ada yang baru lulus kuliah, sampai dengan sudah ada yang menjadi CEO di perusahaan 500 Fortune. Indonesia sendiri juga sudah menempatkan milenial di posisi penting. Menteri Pendidikan Nasional kita sekarang Nadiem Makarim lahir di tahun 1984. BUMN juga mulai memberi ruang untuk milenial, contohnya pada Fajrin Rasyid, eks presiden Bukalapak, menjadi Direktur Digital PT Telkom. Presiden Jokowi juga bahkan menunjuk Staf Khususnya dari generasi milenial.
Sedemikian pentingnya kedudukan milenial dalam angkatan kerja sekarang, dan sudah sewajarnya perusahaan atau organisasi memberikan perhatian lebih kepada aspirasi mereka. Sejalan dengan hasil survey yang dilakukan Gallup, konsultan PWC juga menyatakan dalam laporannya “millenials at work: reshaping the workplace in financial service” bahwa kebutuhan utama para milenial adalah pengembangan diri dan karir. Dengan demikian terdapat dua fokus utama bagi para praktisi pengelola sumber daya manusia di perusahaan, yaitu membuka ruang pengembangan kompetensi dan karir yang seluas-luasnya. Gagal dalam memberikan kesempatan ini dapat berakibat fatal, yaitu pegawai milenial akan mencari jalan keluar. Yang dikawatirkan mereka bukan hanya disenganged dari pelaksanaan tugas tetapi actively disengaged. Kondisi ini akan membawa dampak buruk pada suasana kerja perusahaan.
Dalam sebuah artikel di Harvard Business Review, dijelaskan ada empat karateristik jenis pimpinan terkait dengan pengembangan anak buah. Pertama Teachers Manager, yang mengembangkan anak buah berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dan terlibat langsung dalam memberikan feedback kepada anak buah. Yang kedua adalah Always-On Managers, yang mendedikasikan waktunya setiap saat untuk selalu mengembangkan anak buahnya setiap aspek pengetahuan yang dibutuhan. Connectors, yang tidak mengembangkan anak buah secara langsung namun menghubungkan mereka dengan orang yang ahli dengan subyek yang dibutuhkan. Cheerleader Managers, yang memberikan dukungan tetapi tidak memberikan feedback atau menghubungkan dengan orang yang ahli.
Sekilas kita menginginkan tipe yang Always-On Managers yang selalu menyediakan waktu untuk pengembangan diri kita. Namun berdasarkan hasil penelitian tipe pimpinan yang paling efektif adalah yang jenis connectors. Mereka tidak perlu selalu meyediakan waktu bagi kita atau harus memahami segala macam hal untuk mampu memberikan coaching kepada kita. Tetapi mereka cukup paham kepada siapa kita harus bertanya dan membuka jalan bagi kita untuk bertanya lebih lanjut tentang subyek yang ingin kita ketahui. Kita tidak butuh pimpinan yang “superman” mengerti segala hal, tetapi ternyata kita lebih butuh pimpinan yang gaul, paham siapa ahli apa dan juga mau membuka kesempatan bagi kita untuk belajar lebih banyak dengan yang “lebih ahli”. Syukur apabila kemudian mereka malah kemudian membuka diri untuk belajar dari kita mengenai subyek tersebut. Mari kita berhenti sejenak dari rutinitas, dan evaluasi pimpinan kita tipe yang mana mereka. Apabila kita tidak mendapatkan connectors dalam diri mereka, jangan putus asa, kita cari orang yang bisa menjadi connectors kita sepanjang mereka membuka diri untuk membantu pengembangan diri kita. Tetap semangat dan jaga kesehatan.
[1] The sabbatical definition is “a break from work” during which employees can pursue their interests, like traveling, writing, research, volunteering or other activities (or even rest). During that time, the employee is still employed at their organization, but they don’t need to perform their normal job duties or report to work.
Mengapa Berubah?
Dulu waktu orang bilang kesehatan itu mahal, kita nggak begitu mengerti maksudnya. Tapi pandemi yang kita alami sekarang mengajarkan makna “mahal” tersebut. Pertama, mahal dalam arti bisa fatal karena lalai menjaga kesehatan nyawa bisa menjadi taruhannya. Beruntungnya vaksinasi sudah mulai dilakukan, namun sambil menunggu giliran sebaiknya protokol kesehatan adalah yang terbaik untuk menghindari virus. Makna mahal yang kedua adalah terkait dengan biaya. Ketika kita terpaksa banyak interaksi dengan orang dan ingin memastikan kondisi kesehatan kita akan terus menerus melakukan tes baik swab atau rapid, tentu biayanya tidak murah.
Kejadian pandemi ini kemudian “memaksa” orang untuk mengubah perilakunya. Yang dulu sering kumpul-kumpul alias gaul, sekarang terpaksa banyak diam di rumah. Yang dulu kalau makan seenaknya saja, sekarang mulai mikir soal menu sehat dan jumlah kalori. Yang dulu nggak pernah olah raga, menjadi rajin rutin berolah raga. Mengapa mau berubah? Karena ingin lebih sehat dan lebih imun terhadap virus. Semua ingin hidup, nggak ada yang mau meninggal. Persis seperti yang Darwin sampaikan, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change”.
Lalu sebenarnya apa saja yang membuat seseorang bisa berubah perilakunya dan bagaimana kita bisa mengubah perilaku seseorang?
Selalu berangkat dari pertanyaan dasar “what’s in it for me?” dalam suatu proses perubahan. Seseorang mau berubah bila mengetahui ada manfaatnya. Adalah absurd mengharapkan seseorang berubah tetapi tidak bisa menggambarkan mengapa mereka harus berubah. Ini yang dikatakan John P. Kotter dalam 8 steps of leading change, tahap pertamanya yaitu creating sense of urgency. Ada urgensi sehingga seseorang atau organisasi mau berubah. Bahkan saking pentingnya urgensi dalam suatu proses perubahan, Kotter kemudian menulis satu buku khusus membahas mengenai topik tersebut. Jika sudah paham mengapa harus berubah, berarti sudah separuh perjalanan proses perubahan.hanya tinggal bagaimana melakukan perubahan. Misalnya ingin imunitas lebih tinggi? Upayanya minum suplemen, olah raga teratur, tidur yang cukup dan menjaga pola makan. Yang umumnyalebih sulit justru menemukan urgensi pada seseorang atau organisasi, sehingga kalau kalau sudah ada maka selanjutnya akan lebih mudah.
Jadi mengapa seseorang mau berubah? LifeHack menjelaskan ada tiga hal yang menyebabkan seseorang berubah: sudah lebih paham, sudah cukup lama menderita, dan sudah lelah akan hal yang sama. Orang sudah lebih paham mengenai manfaat dari kesehatan, sehingga mereka akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat. Orang sudah cukup menderita dengan penyakitnya, sehingga akan secara drastis mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat sehingga lepas dari penyakit yang dideritanya. Seseorang keluar dari pekerjaannya karena situasinya sudah unbearable, dia ingin lebih sehat secara batin sehingga lebih less pressure. Ketiga hal utama tersebut yang bisa mendorong seseorang untuk berubah.
Namun demikian, ada juga orang yang cenderung tidak mau berubah. Mengapa demikian? Henry Edberg menjelaskan faktor penyebab orang tidak mau berubah. Pertama, tidak berani berubah. Mereka takut akan resiko kegagalan. Namun seseorang harus berani mengambil resiko, dan terkadang meskipun hasilnya memang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun orang tersebut akan merasakan sensasi luar biasa karena sudah berani melangkah keluar dari comfort zone yang ada. Kedua adalah lingkungan yang kurang mendukung. Orang sungkan untuk memutus hubungan dengan lingkungan dengan lingkungan meskipun tidak mendukung. Namun berubah bukan berarti kemudian kita harus keluar dari lingkungan tersebut, cukup minimalisir interaksi dalam lingkungan tersebut. Ketiga adalah cepat menyerah setelah gagal. Biasanya setelah melakukan perubahan dan tidak langsung berhasil, seseornag dalam keraguan. Kawatir kalau gagal akan dicemooh sama orang lain. Pada saat itu sebenarnya kita sedang diuji keteguhan hati, sampai seberapa besar keinginan kita untuk berubah. Keempat adalah kita belum merasakan penderitaan yang sangat. Hal ini menyebabkan kita menyepelekan urgensi perubahan. Padahal kalau kita mau duduk sejenak melakukan refleksi serta mengambil pelajaran dari orang lain, urgensi tersebut akan terlihat. Terakhir adalah mau berubah tapi nggak tauk gimana caranya. Yang perlu dilakukan adalah cari orang yang sudah pengalaman. Ajak diskusi untuk menggali informasi. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Banyak buku atau artikel serta menonton video yang bisa memberikan informasi.
Jadi gimana? Mau duduk sejenak melakukan refleksi dan memikirkan urgensi perubahan nggak? Yuk lakukan sesering mungkin agar bisa menjadi manusia yang lebih baik di masa mendatang. Salam.
“Our greatest glory is not in never failing, but in rising everytime we fall” (confucius)
Effective Listening
Kita sudah banyak membaca artikel mengenai komunikasi. Sebagian besar mengatakan bahwa permasalahan komunikasi adalah mendengar bukan “mendengar”. Bahasa Inggrisnya people hearing without listening. Perbedaan sederhananya kalau hearing adalah mendengar menggunakan telinga, sedangkan listening adalah mendengar dengan menggunakan pikiran. Kita bisa mendengar banyak hal di sekeliling kita, tapi pikiran kita fokus dengan lawan bicara. Kita tidak berusaha menterjemahkan segala suara yang kita dengar, tetapi kita fokus berusaha memahami yang disampaikan oleh lawan bicara kita.
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa dari seluruh percakapan yang kita lakukan, hanya sekitar 25-50% yang kita benar-benar terlibat didalamnya. Sebagian besar kita hanya sekedar mendengar dan tidak berusaha memahami informasi yang disampaikan. Bayangkan bila kita sedang menjelaskan atau presentasi materi kepada pimpinan kita tetapi dia tidak “mendengar” atau bahkan sambil bermain gadgetnya. Pastinya apa yang kita sampaikan tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh mereka. Oleh karena itu John Keyser dalam artikelnya “Listening is a Leader’s most important skill” menjelaskan banyak pimpinan yang sekarang melakukan banyak diskusi dengan mendatangi meja bawahan karena dengan demikian bawahan akan merasa lebih nyaman dengan situasi dan mampu menjelaskan dengan lebih baik. Situasi ini menjadi amat penting ketika survei menjelaskan bahwa 40% dari pekerja merasa kurang dihargai oleh pimpinan, dan bahkan 70% ingin keluar apabila ada tawaran yang lebih menarik. Komunikasi tertulis lewat email juga kurang efektif, karena dengan mudah dapat disalahartikan mengingat umumnya pembaca tidak mengetahui tekanan dan intonasi yang digunakan dalam komunikasi tertulis tersebut.
Seorang pimpinan perlu memiliki kemampuan mendengar. Dengan banyak mendengar sebenarnya dia sedang banyak belajar dan juga menerima banyak informasi yang terkadang krusial sebelum melakukan pengambilan keputusan. Kebanyakan pemimpin hanya mau didengar tidak mau mendengar. Hal ini membuat anak buah juga merasa demotivasi karena tidak diberikan ruang untuk berkembang dan menyampaikan pemikiran. Sebaliknya anak buah juga perlu memahami arahan dan keinginan pimpinan, sehingga juga perlu memiliki kemampuan mendengar.
Jessica Johnson dari RBL Institute menjelaskan ada tiga tahap dalam mendengar, yaitu:
1) inward listening, 2) concentrated listening dan 3) comprehenisive listening. Pada inward listening kita mendengar apa yang disampaikan, tetapi ketimbang untuk memahami kita sibuk dengan pikiran kita sendiri untuk menyanggah apa yang disampaikan. Concentrated listening adalah situasi kita tidak sibuk berusaha menyanggah apa yang disampaikan, tetapi kita fokus untuk memahami yang disampaikan. Tidak ada kesibukan lain dalam pikiran kecuali fokus untuk memahami yang disampaikan. Pada comprehensive listening kita tidak hanya menggunakan pikiran tetapi kita menggunakan seluruh indera kita untuk memahami yang disampaikan. Misalnya seseorang menyampaikan kabar gembira, namun gesturnya tidak selaras. Sehingga kita akan berusaha menggali lebih lanjut dibalik apa yang disampaikan tersebut.
Kemampuan mendengar adalah sebuah keterampilan atau seni tersendiri. Penting sekali dalam berkomunikasi baik dengan atasan maupun bawahan. Bagaimana cara kita meningkatkan kemampuan mendengar? Melissa Daimler di Harvard Business Review menjelaskan tiga hal yang bisa kita lakukan.
Pertama, fokus kepada mata yang berbicara. Sehingga dengan demikian kita bisa meningkatkan intensitas kita dalam berusaha memahami yang disampaikan. Tutup gadget atau laptop anda dan fokus kepada mata pembicara.
Kedua, luangkan waktu anda sekitar 30 menit atau satu jam dalam sehari untuk berinteraksi dengan atasan, teman kerja atau bawahan sehingga bisa melatih kemampuan mendegar dan juga menerima informasi yang diperlukan.
Ketiga, mengajukan beberapa pertanyaan. Ketika ada yang minta pendapat, pahami dulu situasi dan kondisi dengan pertanyaan baru kemudian memberikan opini. Umumnya orang yang minta pendapat ingin validasi dari kita bahwa yang dipikirkan adalah benar. Sehingga penting bagi kita untuk memahami dulu pokok permasalahan.
Mendengar seperti hal yang sepele, namun memiliki dampak yang besar dalam kita berkomunikasi. Memahami beberapa jenis tingkat mendengar akan membuat kita paham sampai tingkatan mana ketrampilan mendengar kita. Kalau sudah paham pentingnya kemampuan untuk mendengar, yuk mari berlatih meningkatkan kemampuan mendegar kita. Kita mulai dengan orang di lingkungan keluarga, kemudian dilanjut dengan atasan dan bawahan di lingkungan kerja. Semoga sukses meningkatkan kemampuan mendengar anda.
Bos Ideal
Sebuah survey terbaru yang dilakukan oleh DDI menjelaskan bahwa mayoritas sebesar 57% keluar dari pekerjaannya karena bos mereka. Bahkan 14% dari 57% tersebut keluar tidak hanya sekali tetapi beberapa kali dari pekerjaan hanya karena masalah dengan bos mereka. Hanya 12% yang menyatakan tetap di pekerjaannya meskipun bermasalah dengan bos, dan sebanyak 32% baru mulai berfikir akan keluar.
Sebegitu dahsyatnya pengaruh seorang bos kepada keberadaan anak buahnya. Memangnya bos seperti apa sih yang diidamkan oleh mereka? Ada nggak sih bos yang ideal di dunia nyata? Pemain MU pasti mencari sosok pengganti Sir Alex Ferguson. Liverpool sedang menikmati masa bulan madu dengan Juergen Klopp. Klub basket San Antonio Spurs pasti khawatir kehilangan Greg Popovich.
Topik ini sudah ada sejak dulu kala, dan sudah banyak teori dan buku yang ditulis. Mulai dari Kurt Lewin dengan 3 gaya kepemimpinan otoriter, partisipatif dan delegasi, kemudian Jim Collins dengan Good To Great, sampai dengan Dave Ulrich dengan Leadership Code-nya. Semua teori tentu bagus disimak dan yang lebih penting lagi adalah mengambil pelajaran untuk diterapkan dalam keseharian kerja kita.
Memimpin dengan visi dan nilai tertentu. Seorang pemimpin harus memiliki visi, kemana arah tujuan pelaksanaan tugas. Dia harus mampu meyakinkan bahwa destinasi akhir misalnya adalah ke Bandung. Dengan demikian anak buah tidak ada yg berfikir tujuan akhir mereka di Medan atau Denpasar. Untuk bisa mencapai destinasi tersebut, seorang pemimpin harus memiliki nilai tertentu. Bahwa semua penumpang di bis menuju bandung tersebut perilakunya harus (misalnya) transparan, memiliki integritas dan bertanggung jawab. Dia adalah orang pertama yang harus menjadi contoh dari perilaku tersebut dalam perjalanan ke Bandung.
Mampu mengambil keputusan strategis. Tentu perjalanan ke Bandung tidak akan semudah yang kita bayangkan. Banyak keputusan yang harus diambil. Kendaraan apa yang digunakan. Ketika jalan tol ditutup, harus reroute lewat mana. Berapa pemberhentian yang akan dilakukan dan dimana. Mengambil tindakan kalau ada penumpang yang “nakal” tidak sesuai dengan nilai yang disepakati. Kesemua itu menuntut seorang pimpinan harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan. Mana keputusan yg boleh didelegasikan ke supir dan mana keputusan strategis yg harus dia ambil sehingga destinasi dapat ditempuh sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Mempersiapkan anak buah untuk menjadi pengganti. Seorang pemimpin harus mampu mengidentifikasi anak buah yang potensial yang akan menggantikan dirinya. Kita tidak mengetahui apakah sepanjang jalan kondisi pimpinan akan baik-baik saja, atau kurang sehat atau bahkan harus keluar dari bis karena ada keperluan lain. Pemimpin sudah mempersiapkan bahwa perjalanan harus tetap dilakukan dengan siapa menjadi pimpinan. Sang calon pengganti tidak bisa serta merta siap, namun harus sering diajak diskusi. Diberi penjelasan. Ditambah pengetahuannya. Diberikan cara untuk mencari jalan keluar apabila ada halangan. Dengan demikian, sang calon pengganti ini akan siap bila tiba waktunya di sepanjang perjalanan harus menggantikan. Jangan sampai malah sang pengganti mengubah tujuan tidak ke Bandung, malah ke Serang. Kemudian menyalahkan pimpinan yang lama karena mengambil tujuan ke Bandung.
Terus menerus belajar untuk memahami perkembangan di seputar dunia kerja. Sepanjang perjalanan ke Bandung pasti akan banyak dinamika. Ternyata ada opsi kendaraan yang lebih baik. Ada bis yang lebih nyaman. Kecepatan bis sebaiknya berapa agar lebih efisien. Alternatif rute baru sehingga bisa lebih efektif mencapai tujuan. Kesemua informasi itu tidak akan diperoleh apabila pimpinan tidak mau belajar atau mendengar masukan tentang hal yang baru. Ketika seorang pimpinan selalu merasa lebih benar dan lebih paham dari yang lain, maka sudah bisa diproyeksikan bahwa destinasi akhir tidak akan tercapai. Semua halangan dan semua tantangan selama perjalanan perlu didiskusikan bersama untuk memastikan perjalanan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Gagal untuk menerima masukan mengenai rute alternatif baru misalnya, akan membuat bis kita akan tertinggal dengan bis lain yang tujuannya sama.
Sekali lagi memang tidak ada rumus pimpinan yang ideal seperti apa. Tapi setidaknya berdasarkan survei, studi banding, riset akan diperoleh karakter umum seorang pemimpin. Karakter umum ini bisa berbeda setiap orang. Menurut kamu sendiri boss yang ideal kriterianya seperti apa?
Welcome Gen Z
Ini bukan Z dalam film Brad Pitt, World of Z, yang artinya Zombie. Ini penggolongan generasi yang dibuat oleh para sosiolog berdasarkan esai Mannheim, “The Problem of Generation” yang membagi generasi menjadi generasi era depresi, generasi perang dunia II, generasi paska perang dunia II, generasi baby boomer, generasi X, generasi Y (biasa disebut milenial), generasi Z yang lahir antara tahun 1995 sampai dengan 2010, dan terakhir adalah generasi Alpha yang lahir di tahun 2011 sampai dengan 2025. Jika kita melihat angka tahun kelahiran, berarti saat ini usia tertua generasi Z adalah 25 tahun. Usia tersebut sudah masanya memasuki dunia kerja, dan mungkin mereka sudah berada di sekitar kita sekarang.
Menggunakan data tahun 2010, bahwa saat itu jumlah Gen Z di seluruh dunia sudah mencapai 2.5 miliar orang, sementara di Indonesia jumlahnya mencapai 68 juta orang. Jumlah ini bahkan sudah mencapai hampir dua kali lipat generasi X yang merupakan orang tuanya. Generasi hidup dimana internet sudah ditemukan dan kemudian mereka tumbuh ditemani berbagai macam gadget yang memberikan akses ke internet, utamanya media sosial dan youtube. Lima tahun terakhir mereka juga sudah ditemani dengan berbagai macam program film blockbuster melalui Netflix, HBO, Showtime dan lainnya. Mereka juga melewati masa resesi ekonomi dunia pada tahun 2007, social justice dan sekarang covid-19. Mereka juga sudah terbiasa dengan segala macam e-commerce, online shopping dan transportation. Sementara generasi sebelum mereka masih relatif lebih aktif beraktivitas dan bersosialisasi secara langsung temu muka, mereka lebih banyak beraktivitas indoor dan berhubungan melalui media pada gadget mereka.
Dikutip dari business insider generasi ini memiliki sifat yang amat berbeda dengan orang tuanya. Independen, bebas, keras kepala, pragmatis, dan terburu-buru adalah ciri umum dari generasi ini. Pola pikir dan bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari banyak dipengaruhi tontonan mereka. Cara berpakaian, berbicara, berinteraksi banyak dipengaruhi budaya asing dari film dan youtube. Karena menganggap youtube menjadi sumber informasi utama, mereka kemudian banyak yang bercita-cita menjadi youtuber. Dengan teknologi yang semakin canggih dan tidak berbatas jarak, mereka lebih asyik berinteraksi secara virtual. Belajar kelompok yang dulu dilaksanakan di rumah atau tempat tertentu, sekarang mereka lakukan secara virtual dan bisa dimana saja. Dengan akses yang semakin mudah, mereka juga tidak ragu untuk berkomunikasi dengan orang di negeri lain, baik berkenalan maupun menghubungi bintang idola mereka. Bahasa Inggris sebagai dasar berkomunikasi sudah tidak menjadi kendala karena mereka sudah terbiasa dengan seluruh tayangan dalam bahasa Inggris. Bahkan sekarang dengan maraknya K-Pop dan Drakor, banyak juga dari mereka yang fasih berkomunikasi dalam bahasa Korea.
Generasi ini lebih mengutamakan self-learning melalui media yang dimiliki meskipun tetap ikut pola konvensional yang ditetapkan pemerintah. Pandemi yang sedang terjadi sekarang tidak menganggu proses belajar mereka. Aplikasi Skype, Zoom, Google Meeting dan lainnya menjadi sarana mereka menjalani proses belajar dan berinteraksi dengan guru mereka. Banyak juga aplikasi di gadget yang memberikan referensi sumber pengetahuan bagi mereka misalnya youtube, wikipedia, blinkist dan lainnya. Mereka memiliki perpustakaan yang luar biasa besar dan luas yakni dunia internet. Setiap ada hal yang tidak dimengerti, mereka ketik di gadget dan langsung mendapat jawaban. Acara televisi konvensional juga tidak digemari oleh mereka. Mereka lebih memilih untuk mengontrol apa yang akan ditonton, daripada menunggu waktu dan acara yang akan ditayang di televisi. Menonton di gadget atau browsing internet lebih menjadi pilihan mereka.
Keseluruhan kondisi dan lingkungan yang berbeda juga membuat sebagian besar dari mereka, sekitar 50-70%, memilih daripada bekerja secara birokrasi di kantor lebih baik memiliki startup usaha sendiri. Mereka meyakini bahwa kekuatan networking akan menjamin kesuksesan bisnis mereka. Kalapun bekerja di kantor, pilihannya bukan semata-mata yang memberikan penghasilan terbesar. Dalam sebuah survei di Perancis, 25% generasi Z lebih memilih bekerja di perusahaan yang “menyenangkan”, 22% di perusahaan yang “inovatif” dan mengejutkan adalah 21% dari mereka ingin bekerja yang menjalankan etika bisnis. Informasi yang tanpa batas menjadikan mereka lebih sensitif dengan isu ketidakadilan rasial, perusakan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Mereka tidak khawatir untuk berganti tempat bekerja ketika mereka melihat ada isu mengenai hal tersebut di tempat bekerja.
Demikian sekilas mengenai Gen Z. Karakteristik yang disampaikan di atas tentunya adalah secara umum, namun cukup membuat kita paham bagaimana harus berinteraksi dengan mereka. Dalam waktu singkat ke depan, mereka akan menjadi mayoritas komposi karyawan di lingkungan kita. Penting bagi kita untuk menyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan cara mereka, bukan cara generasi sebelumnya karena komunikasi yang terjadi tidak akan efektif. Selamat datang Gen Z di dunia kerja.
Favoritisme
Kita sudah bekerja sebaik mungkin, tapi nggak dapat kondite yang bagus. Kita sudah dedikasi waktu pikiran dan tenaga kepada perusahaan, tapi nggak dapat promosi juga. Kita terus melihat rekan yang lebih junior mendapat promosi lebih dahulu, padahal kerjanya biasa saja. Sampai kemudian kita mendengar bahwa rekan junior tersebut adalah satu almamater dengan atasan kita. Rasanya kesal banget, tetapi itulah dunia kerja. Hal itu biasa disebut dengan favoritism atau di Indonesiakan menjadi favoritisme. Seseorang mendapat kesempatan lebih besar dibanding yang lain, bukan karena kinerja tetapi hal di luar kinerja. Contoh lainnya adalah seseorang yang terus menerus mendapat tugas yang lebih menantang, padahal tidak sesuai dengan kemampuan dan kinerjanya sementara ada rekan lain yang lebih mampu tidak mendapat kesempatan. Berhubung kinerja terkit langsung kesempatan promosi dan bonus, maka favoritisme menjadi masalah penting dalam bekerja.
Favoritisme punya bentuk lain, yaitu nepotisme. Seseorang mendapat kesempatan tugas atau karir yang lebih baik dari yang lain karena hubungan keluarga. Ada sebuah survey di Amerika Serikat memberikan fakta bahwa 22% dari anak laki-laki akhirnya bekerja di perusahaan yang sama dengan ayahnya. Tentunya hasil suvey ini tidak selalu negatif, karena bisa saja anak yang direkrut memang memiliki kemampuan. Namun apabila dia direkrut melulu berdasarkan hubungan keluarga, maka termasuk kategori nepotisme.
Gimana praktek favoritisme dan nepotisme di Indonesia? Pada jaman orde istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) amat populer. Disilnyalir hampir semua pengusaha yang sukses di negeri ini ternyata memiliki hubungan dengan penguasa. Maka rumusnya mau sukses di Indonesia, maka jalinlah hubungan dengan keluarga pengusaha. Semua proyek menjadi lancar. Dunia pekerjaan juga tidak beda, penunjukkan seseorang menjadi seorang menjadi pejabat atau pemimpin BUMN harus terkait dengan penguasa. Di tingkat perusahaan, hal ini kemudian berlanjut dimana kita kenal istilah ABS atau asal bapak senang. Yang bisa menyenangkan atasan menjadi favorit dan merupakan kandidat utama menjadi pimpinan. Kompeten nggak? Nggak begitu penting. Oleh karena itu budaya KKN masih mendarah daging dan dipraktekkan meskipun di belakang layar.
Favoritisme dan nepotisme adalah hal yang biasa kita temukan di keseharian bekerja. Hal yang manusiawi namun memberikan dampak negatif yang luar biasa. Negara, khususnya Lembaga atau Perusahaan Negara tidak mampu berkinerja apabila masih ada praktek KKN. Apabila sebuah lembaga negara sangat penting bagi kehidupan rakyat banyak, maka bisa dipastikan karena ulah KKN ini maka rakyat yang akan menderita. Kaum pesimis akan mengatakan, “bangun bro, dunia tidak hanya hitam atau putih”. Benar, tetapi jangan ada toleransi untuk hal yang amat krusial seperti jabatan-jabatan penting di negeri ini.
Pratek ini tidak hanya terjadi di Indonesia tentunya. Kalau kita melihat film Jepang, Korea, Eropa dan Hollywood, favoritisme adalah hal yang biasa, dan selalu menjadi tema menarik dalam membuat film. Mari kita lihat hasil survey yang dilakukan oleh CBS mengenai favoritisme:
- Sebanyak 56% dari pimpinan sudah mengetahui siapa yang akan dipromosikan walaupun proses seleksi belum dilaksanakan;
- Setelah proses seleksi dilakukan 96% dari 56% kandidat tersebut mendapat promosi;
- Budaya favoritism sudah dipraktekkan dimana-mana. 75% dari reponden menyaksikan hal tersebut, dan bahkan 23% dari responden ikut mempraktekkan. Lucunya dari 23% yang mempraktekkan tersebut sebanyak 83% mengatakan bahwa praktek favoritism adalah buruk;
- Sebanyak 94% dari responden mengatakan bahwa perusahaan sudah memiliki sistem yang data meminimalisir praktek tersebut, namun dalam implementasinya berbeda;
Ada beberapa jenis dampak negatif dari praktek ini. Antara lain adalah demotivasi, penolakan, hilangnya pegawai yang potensial dan bahkan sampai tuntutan hukum. Apa yang harus dilakukan apabila kita dalam situasi seperti ini:
- Evaluasi keadaan, jika kamu tidak bisa menerima kondisi ini, sebaiknya segera cari alternatif pekerjaan di tempat lain. Jangan lupa kalau pindah kerja, jangan hanya besaran gaji yang ditanya, tetap suasana dan budaya kerja di perusahaan tersebut menjadi amat penting;
- Menerima keadaan sambil mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Barangkali situasi kantor akan berubah dan menjadi pebih baik ke depannya;
- Ikut berubah dan secara aktif ikut berusaha untuk menyenangkan atas. Tapi bukan berarti menyenangkan untuk hal-hal yang tidak terkait dengan pekerjaan ya bro. Buat atasan tergantung dengan kamu dalam hal pekerjaan, pasti kamu jadi orang paling favorit bagi dia.
Sudah ada alternatif pilihan. Kamu mau pilih yang mana?
Parkinson Law
“I’m young; I’m handsome; I’m fast. I can’t possibly be beat.” (Muhammad Ali)
Kata Parkinson dan quotes di atas mengingatkan kita kepada Muhammad Ali, The Greatest. Petinju terbesar sepanjang masa ini menghabiskan waktu tuanya bertarung dengan parkinson disease. Tapi kali ini kita tidak akan membahas mengenai parkinson pada Muhammad Ali, tetapi lebih kepada penyakit yang umumnya ada di organisasi. Parkinson law diartikan sebagai “work expands so as to fill the time available for its completion”. Jadi kalau manusia dikasih pekerjaan dan banyak waktu luangnya, dia akan kreatif mengisi waktu luangnya dengan akitivitas lain. Sayangnya aktivitas ini tidak terkait, dan ataupun bila terkait tidak menambah kualitas hasil. Ini menjadi alasan utama sebuah posisi perlu dihitung beban kerjanya.
Mengapa harus dihitung beban kerjanya? Karena beban kerja dengan alokasi yang tepat akan meghasilkan produktivitas yang optimal. Perhitungan beban kerja juga bisa dijadikan dasar alokasi jumlah manusia yang tepat untuk pelaksanaan tugas. Perhitungan beban kerja juga memberi informasi berapa waktu luang pada suatu posisi, sehingga organisasi bisa lebih mengetatkan beban tugas. Waktu luang berarti tambahan kerja yang tidak terlalu related sama pekerjaan, dan dalam jangka panjang malah membuat organisasi semakin besar dan inefisien. Kondisi Parkinson law ini terjadi di seluruh bentuk organisasi, namun umumnya ditemukan pada birokrasi. Struktur berjenjang dan rigid tidak memberikan fleksibilitas yang cukup untuk seseorang bisa berpindah tugas atau membantu pekerjaan di tempat lain.
Terdapat hubungan yang positif antara beban kerja dengan alokasi waktu yang diberikan. Semakin tinggi beban kerja, maka akan semakin banyak waktu yang dialokasikan. Namun pada suatu titik hubungan keduanya mencapai produktivitas optimal, dan setelah itu menurun. Oleh karena itu perencana organisasi yang baik akan lebih merekomendasikan memulai suatu organisasi dengan jumlah manusia yang sedikit, dan kemudian sambil berjalan beban akan dievaluasi sehingga diperoleh jumlah yang ideal. Permasalahan timbul ketika yang merencana organisasi mengakomodasi dan tidak memverikasi beban tugas berdasarkan masukan incumbent, hasilnya selalu waktu luang yang besar karena manusia biasanya selalu menghindari waktu kerja yang ketat. Sehingga secara total organisasi inefisien.
Bekerja dalam sebuah tim juga berpotensi besar mengalami kondisi parkinson law. Pertama, rencana kerja biasanya diberikan alokasi waktu luang. Kedua, setiap individu memiliki gaya bekerja yang berbeda. Dengan demikian dalam menyelesaikan sebuah kerja tim, ada orang yang memang memanfaatkan waktu dengan baik tetapi ada juga yang terlalu santai mengerjakan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Sehingga produktvitas tidak optimal. Atasan harus mampu menyusun alokasi waktu berdasarkan bawahan yang etos kerjanya baik, kalau tidak produktivitas akan menurun.
Kesimpulannya, menyusun sebuah organisasi bukanlah menyusun kotak-kotak jabatan saja, namun perlu juga dihitung beban kerja yang optimal. Perlu dihindari perhitungan atas dasar intuisi dan pengalaman saja, namun dilakukan secara ilmiah. Menyulitkan memang, namun dalam jangka panjang memberikan organisasi yang efektif dan efisien. Kecuali anda memang kurang peduli untuk bekerja efektif dan efisien, enjoy saja beban tugas yang rendah. Boleh asyik sendiri, tapi ingat jangan merugikan organisasi ya bro!
Budaya Kompetitif
Selesai menonton episode terakhir “The Last Dance” dipastikan banyak orang akan terinspirasi dan meniru Michael Jordan. Rasa kompetitif yang begitu tinggi menjadikan MJ sebagai pemain bola basket terbaik sampai dengan saat ini. Jangan hanya melihat kekayaan MJ yang sekarang mencapai 1.6 miliar dollar, namun perjalanan MJ untuk mendapatkan kekayaaan sebanyak itu amat menarik. MJ bahkan gagal masuk tim di SMA-nya tidak pernah putus asa dan terus berlatih, sehingga akhirnya bisa diterima dan kemudian mendapat beasiswa ke University of North Carolina (UNC). Kesuksesan tembakan di detik terakhir MJ menjadikan UNC menjadi juara NCAA. Tahun berikutnya setelah di-draft Chicago Bulls MJ menjadi rookie of the year, dan selanjutnya adalah sejarah. MJ memenangi kompetisi NBA sebanyak 6 kali. Seluruh episode “The Last Dance” menggambarkan betapa kompetitifnya MJ selama perjalanan karirnya, dan juga dalam menjalankan bisnisnya dengan Nike dengan brand “Jordan”. Tidak sedikit yang merasa kesal dengan arogansi MJ, namun mereka semua mengakui kehebatannya.
Cristiano Ronaldo juga demikian. Dikenal sebagai salah satu pesepakbola terkaya di dunia dengan kekayaan 460 juta dollar. Cristiano juga dikenal sebagai pesepakbola yang amat kompetitif, mnghabiskan waktu lebih lama dibanding teman satu tim. Dia sudah mulai berlatih satu jam sebelum waktu latihan bersama dan mengakhiri sesi dengan tambahan satu jam lagi untuk melatih tembakannya. Lima kali menjadi FIFA Player of The Year menjadi bukti kehebatannya, Apabila pesepakbola lain sudah memasuki usia pensiun pada usia 35, Cristiano masih berjaya dan menjadi andalan Juventus dalam merah scudetto Liga Italia. Disiplin dalam menjaga kebugaran menjadikan Ronaldo tetap fit dan bugar dalam usia sekarang. Cristiano juga dikenal sebagai sosok yang arogan, namun banyak yang mengagumi dan menjadikannya idola mereka.
Kita bisa melihat kesamaan antara Jordan dan Cristiano adalah kerja keras dan amat kompetitif. Cristiano tidak dikaruniai talenta yang luar biasa seperti Lionel Messi, tapi kerja keras menjadikannya lebih baik dari Messi. Banyak orang melihat mereka ketika sudah sukses, tetapi lupa untuk melihat proses mereka menjadi sukses dan menjaga kesuksesan mereka. Seperti kata Jenderal Norman Schwarzkopf, “success is sweet, but the secret is sweat”.
Bagaimana dengan budaya orang timur yang relatif malu dan tidak suka kompetisi? Mungkin ini menjadi masalah di dunia kerja di Asia dan Indonesia khususnya. Daripada mereka berupaya untuk bekerja keras dan berprestasi, yang dilakukan adalah menyenangkan pimpinan agar menjadi favorit sehingga karir menjadi lebih lancar. Hal ini sudah terjadi sekian lama, sehingga karyawan di perusahaan tersebut sibuk untuk melayani pimpinan saja. Setiap orang yang berfikir bahwa prestasi akan diikuti oleh karir akan kecewa dan demotivasi. Lebih parahnya apabila perusahaan masih memiliki ukuran keuangan sebagai sebuah indikator kesuksesan, namun tidak demikian dengan dunia birokrasi. Ukuran kinerja yang tidak jelas, membuat mereka tidak peduli dengan prestasi. Apabila terdapat ukuranpun kemudian dengan berbagai alasan dijustifikasi sehingga bisa diterima semua pihak. Pada akhirnya negara dan rakyat menderita dengan budaya yang demikian, karena tidak ada prestasi yang dihasilkan para pejabatnya.
Menteri negara BUMN yang baru, Erick Thohir, membawa perubahan. Beliau yang sudah dikenal sebagai pengusaha sukses tentunya tidak berniat mencari kekayaan lagi dari jabatannya. ET, panggilannya, melakukan reformasi di BUMN dan melakukan efisiensi dengan menghilangkan sekian banyak jabatan. Selain itu untuk kali pertama dalam sejarah menteri memiliki deputi di bidang human capital. Hal ini akan meningkatkan kinerja BUMN sehingga akan lebih kompetitif dan bersaing dengan perusahaan swasta. Seleksi kepemimpinan yang obyektif sesuai kinerja dan kompetensi akan memicu seluruh pejabat dan karyawan BUMN untuk berprestasi dan meninggalkan budaya menyenangkan atasan. Meskipun budaya tidak akan hilang dengan cepat, namun perjalanan sudah dimulai. Kita perlu dukung dan awasi bersama pelaksanaan tugasnya. Semoga kebiasaan pimpinan negeri ini untuk menitip akan semakin berkurang dan hilang. Semoga.
Organisasi Pembelajar
Salah satu karateristik milenial adalah mereka ingin selalu mendapatkan pengalaman dari yang yang dikerjakannya. Bila dalam proses penyelesaiannya mereka harus mengalami kesulitan, mereka tetap menikmati proses yang dijalani sampai selesai. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang perlu mendapat arahan pada setiap tahapan, mereka cenderung untuk melaksanakan tugasnya dengan cara dan jalannya sendiri. Saat ini milenial menjadi komposisi terbesar dari pekerja. Mereka sudah mencapai sekitar 60-70% dari total pekerja. Melihat karateristik milenial yang demikian, sudah saatnya organisasi juga menyesuaikan menjadi organisasi pembelajar sehingga memberi kesempatan kepada milenial untuk mengembangkan kompetensinya secara mandiri.
Saat ini sistem informasi sudah semakin canggih, oleh karena itu organisasi harus mampu menciptakan sebuah mekanisme dimana pengembangan talenta tidak lagi tergantung inisiatif organisasi, tetapi lebih banyak atas dasar inisiatif talenta. Setiap orang didorong untuk peka terhadap lingkungan yang memberi pengaruh kepada kinerja organisasi. Setelah itu mereka diharapkan menyumbangkan pemikiran atau gagasan bagaimana organisasi beradaptasi dengan perubahan lingkungan tersebut. Apabila mekanisme ini sudah terbentuk dan berjalan dengan baik, maka akan terdapat sekian banyak gagasan untuk perubahan sehingga menjadikan organisasi atau perusahaan mampu beradaptasi dengan lingkungan dan bahkan mampu berkinerja lebih baik.
Tidak hanya menciptakan organisasi yang dinamis terhadap perubahan, tetapi organisasi juga perlu memberikan kesempatan pengembangan secara mandiri kepada talenta yang dimilikinya. Salah satu contoh adalah menciptakan materi atau modul pengembangan yang dapat diakses secara online. Dengan demikian talenta organisasi dapat mengakses materi tersebut setiap saat. Organisasi juga memberikan fasilitas ruang diskusi yang memadai baik secara online maupun fasilitas fisik. Dengan demikian proses diskusi berjalan dengan baik, sehingga interaksi tersebut kemudian secara perlahan akan mengembangkan talenta yang yang dimiliki secara optimal. Pelaksanaan seminar atau webinar juga diperbankan sehingga mereka dapat melakukan perbandingan apa yang dilakukan dengan kesuksesan orang lain. Organisasi perlu memastikan baik narasumber maupun diskusi yang terjadi bukan melulu kepada pengetahuan teknis, namun juga aspek perilaku manusianya. Dalam satu tingkatan tertentu, talenta hanya perlu diberikan inspirasi untuk kemudian mereka memotivasi diri sendiri untuk menjadi lebih baik.
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pengmbangan mandiri tersebut, organisasi juga perlu melibatkan atasan melalui mekanisme mentoring. Ada beberapa alasan untuk melibatkan atasan, pertama atasan tentunya lebih berpengalaman dengan bisa menjadi narasumber. Selanjutnya atasan juga bisa sekaligus memantau proses diskusi apakah sudah selaras dengan kebutuhan organisasi. Terakhir, atasan juga bisa menjadi kepanjangan tangan organisasi untuk mengidentifikasi talent yang potensial untuk masuk ke dalam pool yang selanjutnya akan dikembangkan secara khusus dan sistematis oleh organisasi. Umumnya talenta akan lebih termotivasi apabila kegiatan yang dilakukannya mendapat perhatian atau dipantau oleh organisasi sehingga mereka akan berlomba-lomba untuk mengembangkan kompetensi mereka.
Kesalahan umum dalam pengelolaan talenta biasanya disebabkan oleh generation gap. Para pimpinan yang membuat keputusan berasal dari generasi sebelumnya yang memiliki karateristik dan pola pikir yang beda. Mereka berfikir dan kemudian membuat sebuah kebijakan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Sementara dunia sudah amat berubah, mereka lupa untuk menyesuaikan kebijakan yang disusun sesuai dengan obyeknya. Organisasi pembelajar salah satu jawabannya. Pelaksanaan pelatihan dalam kelas yang dilakukan secara masif sudah tidak sesuai lagi bagi milenial. Materi yang disusun secara terstruktur dan komprehensif juga bukan lagi masanya, setiap talenta harus diberikan kebebasan mengembangan diri sesuai dengan kebutuhannya, sementara kebutuhannya tidak selalu sama dengan kebutuhan organisasi.
Suksesi Kepemimpinan
Kinerja sebuah organisasi ditentukan oleh talenta yang dimilikinya. Untuk itu banyak organisasi yang kemudian fokus kepada upaya mendapatkan talenta terbaik di pasar tenaga kerja. Mereka menyusun strategi sebaik mungkin agar dapat menarik talenta terbaik. Strategi tersebut dapat berupa kesempatan karir, remunerasi atau suasana kerja, yang kemudian diramu menjadi sebuah “branding” organisasi yang menarik. Namun demikian banyak organisasi kemudian tidak mengelola dengan baik talentanya sehingga kinerja organisasi kurang optimal. Seluruh talenta terbaik yang dimiliki perlu dikelola dengan baik sehingga organisasi memiliki kader pemimpin yang mumpuni Untuk itu diperlukan sebuah pengembangan kepemimpinan berkesinambungan di dalam sebuah organisasi.
Perbedaan pengelolaan talenta dengan pendekatan sebelumnya adalah organisasi hanya fokus kepada sejumlah talenta tertentu yang dipersiapkan menjadi pimpinan organisasi. Dasar pemikirannya adalah teori pareto, dimana 70% kinerja perusahaan ditentukan oleh 30% talenta yang dimiliki. Oleh karena itu organisasi hanya perlu fokus untuk mengidentifikasi 30% talenta terbaik yang dimiliki, dan kemudian mengembangkan mereka menjadi kader pimpinan sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana dengan sisa 70% talenta lainnya? Unit pengelola talent harus mampu menciptakan sebuah sistem yang mampu melakukan pengelolaan secara mandiri. Pengelolaan yang mendiri akan memberikan kesempatan pada unit pengelola talent untuk fokus kepada pengelolaan talenta terbaik dalam rangka suksesi kepemimpinan.
Pelaksanaan suksesi kepemimpinan yang baik dimulai dari proses identifikasi 30% jabatan pimpinan yang akan menentukan 70% kinerja dari organisasi. Kemudian fokus pengelolaan unit pengelola talenta lebih kepada pemenuhan posisi penting tersebut. Proses identifikasi ini tidak mudah dan tantangan yang dihadapi seluruh jabatan pimpinan kemudian dianggap penting. Ada dua faktor yang menjadi penyebab, pertama adalah budaya timur yang sungkan untuk menyatakan satu posisi tidak lebih penting dari yang lainnya. Kedua, unit pengelola organisasi bias sehingga membutuhkan bantuan dari pihak eksternal untuk mampu lebih obyektif menilai jabatan mana yang lebih penting. Mampu menentukan jabatan penting merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang kemudian perlu diikuti dengan penyiapan talenta terbaik untuk menduduki posisi tersebut.
Umumnya ukuran yang digunakan adalah kinerja dan kompetensi. Berdasarkan dua hal ini organisasi akan mampu mendapatkan talenta terbaik. Namun menjadi talenta terbaik tersebut adalah terbaik untuk di posisinya yang dijabat saat ini, bukan untuk jabatan penting yang dituju. Untuk itu unit pengelola talenta harus mampu menilai potensi untuk jabatan yang dituju. Bagaimana menentukan tingkat potensi tersebut? Umumnya faktor yang digunakan adalah melakukan penilaian antara persyaratan kompetensi jabatan yang dituju dengan kompetensi yang dimiliki oleh talenta saat ini. Semakin kecil kesenjangan kompetensi yang dihasilkan, maka semakin tinggi potensi seseorang terhadap jabatan yang dituju. Kesalahan umum yang harus dihindarkan adalah menentukan kandidat tunggal pada jabatan yang dituju. Organisasi harus memiliki rasio tertentu, apakah berbanding 2 atau 3 sehingga seseorang tetap berkompetisi untuk mendapatkan posisi tersebut. Selama masa pengembangan talenta tersebut juga bisa tersingkir dan digantikan kandidat yang lebih baik, sehingga proses pengembangan untuk mendapatkan talenta terbaik terus berjalan.
Selanjutnya adalah proses pengembangan. Program pengembangan untuk mengisi kesenjangan kompetensi juga tidak melulu dalam bentuk pelatihan namun bisa berupa dalam bentuk penugasan pada suatu proyek tertentu atau keterlibatan pada tim atau kegiatan tertentu dalam organisasi. Kegiatan pengembangan juga tidak hanya terbatas pada kegiatan internal tetapi juga kegiatan eksternal sesesuai dengan persyaratan jabatan yang dituju. Keterlibatan seluruh pihak dalam organisasi menjadi faktor pendukung utama kesuksesan program pengembangan kepemimpinan organisasi. Unit pengelola bertindak sebagai fasilitator, namun pelaksana pengembangan adalah pimpinan saat ini yang bertanggung jawab mempersiapkan kader penggantinya.
Meritocracy VS Seniority
Globalisasi telah membawa arus perubahan besar kepada pengelolaan manusia. Dunia barat lebih menghargai merit dibanding senioritas. Cocok dengan kaum muda, karena mereka lebih termotivasi untuk berkinerja karena promosi tidak diberikan dalam waktu yang lama. Mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar ketika promosi. Namun demikian budaya di timur lebih mengutamakan senioritas. Negara seperti Jepang dan Korea memegang kuat tradisi timur dimana senioritas lebih memahami nilai dan budaya perusahaan. Mereka meyakini bahwa senioritas adalah pengalaman, sehingga semakin senior mereka dalam perusahaan maka semakin kompeten dalam pelaksanaan tugasnya. Manakah pendekatan yang terbaik? Sebelumnya kita memahami dulu pros and cons dari masing-masing pendekatan dan bagaimana sebaiknya penerapan di perusahaan kita?
Senioritas memberikan kepastian seseorang di dalam sebuah perusahaan. Pendekatan ini meyakini bahwa setiap manusia cukup fokus pada pelaksanaan tugasnya karena kesempatan promosi akan terbuka apabila ada senior yang pensiun atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendekatan ini juga memberikan kepastian, terlepas dari kinerjanya, bahwa seseorang pasti akan mendapatkan promosi pada waktunya. Namun di sisi lain, seseorang juga tidak akan terlalu motivasi untuk menghasilkan kinerja yang istimewa karena promosi tidak memperhatikan kinerja yang dihasilkan. Ada kemungkinan karyawan akan tidak optimal bekerja, sehingga secara umum kinerja perusahaan juga relatif biasa saja. Pendekatan ini disebut konservatif dan cenderung struktural dan birokratif.
Sebailknya merit memberikan motivasi kepada seseorang untuk berkinerja lebih baik. Mereka memahami bahwa dengan kinerja yang istimewa akan memberikan kesempatan karir yang lebih cepat dibanding yang lainnya. Apabila seluruh orang dalam perusahaan berfikiran demikian, maka pada akhirnya kinerja perusahaan juga akan terus meningkat. Di sisi lain kadang suasana dan budaya kerja terlupakan. Kinerja perusahaan yang baik tidak hanya bisa diperoleh oleh satu orang, tetapi melalui kerjasama yang baik. Suasana kompetitif dan ambisi yang tinggi terkadang membuat seseorang lupa untuk menjaga kerjasama tersebut, sehingga membuat pengaruh buruk pada suasana dan budaya kerja di dalam satu organisasi. Pada akhirnya tujuan akhir dan kinerja perusahaan tidak tercapai karena hal tersebut.
Idealnya memang perusahaan mampu memiliki karyawan yang senior dan berkinerja baik. Dengan demikian kata kunci sesungguhnya adalah menempatkan orang di jabatan yang paling sesuai dengan kompetensinya. Hal ini terlepas seseorang senior atau yunior. Mengutamakan kompetensi berarti yang senior harus tetap belajar dan mengembangkan diri, sementara bagi yang yunior kompetensi adalah sebuah kesempatan untuk menjadi kompeten sesegera mungkin dan mampu berkinerja sebaik mungkin. Kompeten bila dilaksanakan secara obyektif menjadi sebuah jawaban dari perdebatan senioritas dan meritokrasi. Perusahaan harus mampu membuat sebuah sistem yang handal yang mampu menjawab kebutuhan akan karyawan yang kompeten.
Salah satu solusi adalah melalui pengelolaan suksesi kepimpinan. Perusahaan harus mampu mengidentifikasi karyawan yang memiliki potensi terbaik, kemudian melakukan proyeksi masa depan kemana seseorang akan menduduki jabatan akhir yang krusial di perusahaan. Setelah itu perusahaan secara sistematis akan mengembangkan seseorang untuk siap dan kompeten di jabatan yang dituju. Perusahaan akan secara terus menerus melakukan monitoring dan evaluasi untuk memastikan kandidat pimpinan tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian pengelolaan suksesi ini membutuhkan dukungan luar biasa dari semua pihak dalam perusahaan agar bisa berjalan karena terdapat banyak gangguan dan hambatan dalam pelaksanaannya. Kita akan bahas mengenai hal ini dalam tulisan selanjutnya.