Universal Basic Income: Masa Depan Kita?

Teman, pernah nonton film animasi Wall-E yang rilis 2008 lalu? Menonton film tersebut sedikit banyak memberi gambaran tentang masa depan, dimana teknologi semakin canggih sehingga hampir seluruh kegiatan pendukung kehidupan manusia dilakukan oleh robot. Mulai dari proses produksi makanan, sampai dengan urusan bersih-bersih. Kebayang nggak bila misalnya dalam 10 tahun lagi kegiatan produksi barang-barang sudah minim menggunakan tenaga manusia dan digantikan oleh komputer dan robot? Dari labor-intensive ke capital-intensive. Gejalanya sebenarnya sudah mulai ada; pom bensin self-service, gerbang tol otomatis, rumah 3D-printed, mobil self-driving, masuknya teknologi robot di pabrik-pabrik produksi, dan sebagainya. Manusia yang sebelumnya menjadi kelas pekerja, dituntut untuk mengambil peran yang lebih strategis dalam strata sosial yang tidak dapat digantikan oleh perangkat berbasis teknologi, misalnya pengacara, guru, dokter, dan yang lainnya.

Lalu apa hubungannya dengan konsep Universal Basic Income (UBI). Saya yakin kemajuan teknologi suatu saat akan banyak menggantikan peran manusia, dan lapangan kerja formal akan semakin sedikit dalam beberapa dekade ke depan. UBI menjadi salah satu solusi untuk setiap orang menikmati kemajuan teknologi tersebut dan sejahtera. Gimana caranya? Sederhana. Setiap orang akan menikmati pendapatan bulanan (unconditional transfer) yang mendukung standar hidup minimalnya, terlepas apakah dia seorang pengangguran ataupun memiliki pekerjaan. Misalnya teman-teman menerima Rp5 juta setiap bulan bila sudah berusia 23 tahun keatas, atau lulus kuliah. Konsep yang sontoloyo kedengarannya, tapi apa iya ada negara yang pernah mencoba konsep ini? Jawabannya ada, meskipun skalanya kecil dan bersifat penelitian. Saat ini hanya ada 2 negara yang melakukan eksperimen UBI berskala nasional dan masih berjalan hingga saat ini, yaitu Kenya dan Iran. Konsep UBI sebenarnya sudah lama hadir dengar nama program beragam di setiap negara. Namun dalam 5 tahun terakhir ini populer lagi.

Di Jerman, ada program crowdfunded UBI Mein Grundeinkommen (My Basic Income) pada 2014-2019 sebanyak $1100/bulan, program private-funded UBI oleh Sanktionsfrei pada 2019 sebanyak $466/bulan, dan program UBI dimasa pandemi Covid19 yang dilakukan oleh The German Institute for Economic Research sebanyak $1430/bulan. Di Spanyol, ada program “B-MINCOME” pada 2017. Brazil, Finlandia, Iran, China, India, Jepang, merupakan beberapa negara yang pernah melakukan riset UBI ini. Hampir seluruhnya menggunakan metode yang sama, yaitu Randomized Controled Trial, dimana peneliti memberi treatment berbeda pada 2 kelompok. Satu kelompok di beri UBI, satu kelompok lagi tidak diberi fasilitas tersebut. Setelah periode riset berlalu, peneliti kemudian melihat berbedaan karakteristik pada masing-masing kelompok.

Apa saja key findings dari berbagai eksperimen UBI ini? Kita lihat dari sisi positif dulu ya: (1) Penerima dana UBI semakin sehat dan jarang berkunjung ke klinik/rumah sakit; (2) Penerima dana memiliki indeks kebahagiaan (happiness index) yang tinggi dan tingkat stress yang rendah; (3) Penurunan angka kriminalitas; (4) Menurunkan angka putus sekolah; (5) Menstimulus kegiatan ekonomi terutama sektor informal dan mendukung pengentasan kemiskinan; (6) Penurunan angka perceraian; (7) Peningkatan indeks kepercayaan terhadap institusi pemerintah; dan lain sebagainya.

Namun bila ditilik dari sisi negatif, beberapa contohnya yaitu: (1) UBI membutuhkan dana yang sangat besar sehingga dapat menciptakan disinsentive ekonomi dari kenaikan pajak; (2) Penerima dana UBI tidak termotivasi bekerja dan mudah puas; (3) Program UBI sangat mahal (costly) dan dapat mengganggu stabilitas fiskal sebuah negara bila belum siap; (4) Ketidaksetaraan (inequality), apakah semua orang berhak mendapatkan jumlah yang sama (si kaya tidak terlalu butuh dan si miskin sangat butuh); dan lain sebagainya. Penolakan akan konsep UBI ini sebagian besar disebabkan oleh kenaikan pajak pendapatan personal terhadap orang dengan kekayaan melimpah, dan juga dari pajak korporasi yang juga akan ikut naik bila konsep ini terealisasi.

Beberapa teori mengusulkan bahwa cara terbaik agar UBI menjadi program yang sukses di era kemajuan teknologi adalah mengimplementasikan pajak terhadap penggunaan teknologi dan komputer terutama pada proses produksi dan pekerjaan yang menggantikan peran manusia. Misalnya pabrik gula, yang normalnya menggunakan 100 orang pekerja, kemudian beralih menggunakan robot, sehingga total pegawainya hanya 10 orang. Maka perusahaan tersebut harus membayar pajak ekstra dari implementasi teknologinya di pabriknya. Namun tantangan yang tidak kalah sulit, yaitu bagaimana memetakan tingkat penggunaan teknologi pada sebuah unit usaha dan mengukur jumlah pajaknya. Konsep ini belum pernah dibuat atau diujicoba, meskipun sebenarnya feasible. Bagaimana dengan teman-teman? Suka atau tidak dengan konsep ini di masa depan?

Favoritisme

Kita sudah bekerja sebaik mungkin, tapi nggak dapat kondite yang bagus. Kita sudah dedikasi waktu pikiran dan tenaga kepada perusahaan, tapi nggak dapat promosi juga. Kita terus melihat rekan yang lebih junior mendapat promosi lebih dahulu, padahal kerjanya biasa saja. Sampai kemudian kita mendengar bahwa rekan junior tersebut adalah satu almamater dengan atasan kita. Rasanya kesal banget, tetapi itulah dunia kerja. Hal itu biasa disebut dengan favoritism atau di Indonesiakan menjadi favoritisme. Seseorang mendapat kesempatan lebih besar dibanding yang lain, bukan karena kinerja tetapi hal di luar kinerja. Contoh lainnya adalah seseorang yang terus menerus mendapat tugas yang lebih menantang, padahal tidak sesuai dengan kemampuan dan kinerjanya sementara ada rekan lain yang lebih mampu tidak mendapat kesempatan. Berhubung kinerja terkit langsung kesempatan promosi dan bonus, maka favoritisme menjadi masalah penting dalam bekerja.

Favoritisme punya bentuk lain, yaitu nepotisme. Seseorang mendapat kesempatan tugas atau karir yang lebih baik dari yang lain karena hubungan keluarga. Ada sebuah survey di Amerika Serikat memberikan fakta bahwa 22% dari anak laki-laki akhirnya bekerja di perusahaan yang sama dengan ayahnya. Tentunya hasil suvey ini tidak selalu negatif, karena bisa saja anak yang direkrut memang memiliki kemampuan. Namun apabila dia direkrut melulu berdasarkan hubungan keluarga, maka termasuk kategori nepotisme.

Gimana praktek favoritisme dan nepotisme di Indonesia? Pada jaman orde istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) amat populer. Disilnyalir hampir semua pengusaha yang sukses di negeri ini ternyata memiliki hubungan dengan penguasa. Maka rumusnya mau sukses di Indonesia, maka jalinlah hubungan dengan keluarga pengusaha. Semua proyek menjadi lancar. Dunia pekerjaan juga tidak beda, penunjukkan seseorang menjadi seorang menjadi pejabat atau pemimpin BUMN harus terkait dengan penguasa. Di tingkat perusahaan, hal ini kemudian berlanjut dimana kita kenal istilah ABS atau asal bapak senang. Yang bisa menyenangkan atasan menjadi favorit dan merupakan kandidat utama menjadi pimpinan. Kompeten nggak? Nggak begitu penting. Oleh karena itu budaya KKN masih mendarah daging dan dipraktekkan meskipun di belakang layar.

Favoritisme dan nepotisme adalah hal yang biasa kita temukan di keseharian bekerja. Hal yang manusiawi namun memberikan dampak negatif yang luar biasa. Negara, khususnya Lembaga atau Perusahaan Negara tidak mampu berkinerja apabila masih ada praktek KKN. Apabila sebuah lembaga negara sangat penting bagi kehidupan rakyat banyak, maka bisa dipastikan karena ulah KKN ini maka rakyat yang akan menderita. Kaum pesimis akan mengatakan, “bangun bro, dunia tidak hanya hitam atau putih”. Benar, tetapi jangan ada toleransi untuk hal yang amat krusial seperti jabatan-jabatan penting di negeri ini.

Pratek ini tidak hanya terjadi di Indonesia tentunya. Kalau kita melihat film Jepang, Korea, Eropa dan Hollywood, favoritisme adalah hal yang biasa, dan selalu menjadi tema menarik dalam membuat film. Mari kita lihat hasil survey yang dilakukan oleh CBS mengenai favoritisme:

  • Sebanyak 56% dari pimpinan sudah mengetahui siapa yang akan dipromosikan walaupun proses seleksi belum dilaksanakan;
  • Setelah proses seleksi dilakukan 96% dari 56% kandidat tersebut mendapat promosi;
  • Budaya favoritism sudah dipraktekkan dimana-mana. 75% dari reponden menyaksikan hal tersebut, dan bahkan 23% dari responden ikut mempraktekkan. Lucunya dari 23% yang mempraktekkan tersebut sebanyak 83% mengatakan bahwa praktek favoritism adalah buruk;
  • Sebanyak 94% dari responden mengatakan bahwa perusahaan sudah memiliki sistem yang data meminimalisir praktek tersebut, namun dalam implementasinya berbeda;

Ada beberapa jenis dampak negatif dari praktek ini. Antara lain adalah demotivasi, penolakan, hilangnya pegawai yang potensial dan bahkan sampai tuntutan hukum. Apa yang harus dilakukan apabila kita dalam situasi seperti ini:

  • Evaluasi keadaan, jika kamu tidak bisa menerima kondisi ini, sebaiknya segera cari alternatif pekerjaan di tempat lain. Jangan lupa kalau pindah kerja, jangan hanya besaran gaji yang ditanya, tetap suasana dan budaya kerja di perusahaan tersebut menjadi amat penting;
  • Menerima keadaan sambil mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Barangkali situasi kantor akan berubah dan menjadi pebih baik ke depannya;
  • Ikut berubah dan secara aktif ikut berusaha untuk menyenangkan atas. Tapi bukan berarti menyenangkan untuk hal-hal yang tidak terkait dengan pekerjaan ya bro. Buat atasan tergantung dengan kamu dalam hal pekerjaan, pasti kamu jadi orang paling favorit bagi dia.

Sudah ada alternatif pilihan. Kamu mau pilih yang mana?