Tidur Siang Ketika Kerja

Saya teringat ketika saya masih di bangku taman kanak-kanak mungkin sampai 2 SD, setiap pulang sekolah, Ibu saya menyuruh saya untuk tidur siang. Saya juga tidak tahu apa alasannya. Mungkin agar saya tidak loncat kesana kesini, sewaktu Ibu dan mbak yang membantu di rumah sedang masak dan beres-beres rumah. Atau mungkin saja agar saya tidak menonton TV dan punya banyak energi untuk mengerjakan PR di sore harinya. Entahlah, pokoknya saya sering menolak untuk tidur. Saya lebih memilih bermain atau malah nonton TV.

Setelah dewasa ini, ternyata salah satu hal yang saya rindukan adalah kebebasan waktu untuk dapat tidur siang. Memang sepertinya benar suatu hal akan terasa membuat rindu jika sudah tidak dapat kita dapati, seperti halnya tidur siang tanpa beban seperti yang saya dapati ketika masih anak-anak.

Tapi tahukah Anda bahwa tidur siang memiliki banyak manfaat loh! Tapi tentunya banyak yang menganggap ini hal yang taboo, apalagi kalau dilakukan di tempat kerja. Kesannya kok pemalas ya, tidur melulu. Kantor kan tempatnya kerja, bukannya tidur. Weits, kalau ada rekan kerja Anda atau bahkan atasan Anda memberikan komen seperti ini, sepertinya mereka jarang membaca deh ya.

Banyak studi yang mengemukakan tentang manfaat tidur siang ini. Dr. Sara Mednick, associate professor of psychology di University of California, mengatakan bahwa “Ketika orang mengalami penurunan konsentrasi atau lelah di siang hari, suhu tubuh kita akan menurun dan proses kognitif kita juga akan turun, dan ini yang menyebabkan rasa ngantuk. Dahulu, orang akan tidur siang, namun sekarang lebih banyak orang yang minum kopi. Kita semua masih memiliki ritme di dalam diri kita dan mengetahui manfaat dari tidur siang itu, namun sayangnya dengan kesibukan bekerja, tidak semua orang bebas melakukan hal tersebut.”

Dr. Mednick menambahkan bahwa, “Tidur siang memiliki manfaat yang sama besarnya dengan tidur malam penuh jika mereka memiliki kualitas tidur siang tertentu.” Saat kita tidur siang, kita memperbaiki keseimbangan antara sistem saraf aktif (simpatis) dan pemulihan (parasimpatis). Tidur meningkatkan sistem pemulihan, yang memberi kita bahan bakar untuk aktif. Tidur siang juga telah diikat dengan memperkuat kekebalan tubuh.

Tujuan dari power nap adalah untuk mendapatkan manfaat revitalisasi dari tidur dalam waktu paling singkat, yang bagi kebanyakan orang adalah 10 hingga 20 menit. Setelah bangun dari tidur siang Anda. Beberapa manfaat power nap adalah sebagai berikut: peningkatan konsentrasi dan kewaspadaan, ingatan memori yang lebih baik, mengurangi stress, meningkatkan stamina, dan meningkatnya keterampilan motorik.

Yuk, temukan spot tidur favorit Anda di kantor!

Sumber:

  1. Nytimes.com
  2. Spine-health.com
  3. Theguardian.com

The Importance of Self-Love

“If you have the ability to love, love yourself first.” -Charles Bukowski

Hidup dengan banyak peran yang kita emban membuat terkadang kita lupa meluangkan waktu untuk diri sendiri, apalagi waktu untuk ‘mencintai’ diri sendiri. Apasih sebenarnya self-love itu? Mengapa menjadi penting?
Self-love adalah suatu keadaan penghargaan terhadap diri sendiri yang tumbuh dari tindakan yang mendukung pertumbuhan fisik, psikologis dan spiritual kita. Mencintai diri sendiri berarti kita menerima diri sendiri sepenuhnya, memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan rasa hormat, serta menumbuhkan kesejahteraan diri. Mencintai diri sendiri berarti sangat menghargai kebutuhan dan kebahagiaan sendiri, serta tidak mengorbankan kesejahteraan diri untuk menyenangkan orang lain. Cara setiap orang untuk mencintai dirinya sangatlah unik maka menjadi penting bagi kita untuk mencari tahu seperti apa cara yang paling tepat karena merupakan bagian penting dari kesehatan mental kita.

Menurut banyak studi psikologi, self-love dan self-compassion adalah kunci utama untuk kesehatan mental, kesejahteraan, menjaga depresi dan kecemasan seseorang. Dengan banyaknya tuntutan dan keinginan untuk menjadi sempurna dengan semua peran yang kita miliki terkadang kita menjadi terlalu keras pada diri sendiri dan memunculkan keinginan untuk unggul serta melakukan segala sesuatu dengan benar sehingga menjadi perfeksionis. Padahal penelitian menunjukkan bahwa perfeksionis berada pada risiko yang lebih tinggi dari beberapa penyakit, baik fisik maupun mental, dimana ini semua bisa dihindari apabila kita memiliki self-compassion. Oleh karena itu, perfeksionisme dan self-compassion terkait erat.

Neuroscientist juga menemukan hubungan langsung antara self-compassion, resilien, dan kesuksesan. Dengan kata lain apabila kita peka dengan kebutuhan diri kita, kita dapat lebih merasa bahagia dan fokus dengan hal-hal yang membuat diri kita menjadi lebih baik setiap harinya. Penilaian diri yang negatif dapat merusak kinerja pekerjaan dan meningkatkan stres, sedangkan self-compassion seperti perlakuan yang baik terhadap diri sendiri selama menghadapi tantangan dalam kehidupan, pekerjaan, dan kekurangan pribadi akan menjadikan alat pemicu untuk karir yang lebih baik ke depannya.

Mungkin banyak dari kita yang tidak tau bagaimana cara mencintai diri sendiri, berikut beberapa tips yang bisa dicoba:
– Memprioritaskan diri
– Percaya diri
– Jujur pada diri sendiri
– Memaafkan diri sendiri apabila kita tidak jujur atau tidak baik pada diri
Self-love berarti menerima diri apa adanya termasuk menerima rasa emosi yang dimiliki dan mengutamakan kesejahteraan fisik, emosional, dan mental kita. Mencintai diri menjadi fondasi kita untuk bersikap tegas, menetapkan batasan, dan menciptakan hubungan yang sehat dengan orang lain, mempraktikkan perawatan diri, mengejar minat dan tujuan kita, dan merasa bangga dengan siapa diri kita. Untuk melatih self-love ini mulailah bersikap baik, sabar, lembut, dan penuh kasih pada diri sendiri, seperti kita memperlakukan orang lain yang kita sayangi. Yuk mulai dicoba agar kita dapat semakin bahagia setiap harinya dan meningkatkan imun yang penting di masa pandemi ini 🙂


Sumber:
1. Forbes, How Self-Love Boosts Job Performance And Career Success, 2021
2. Brain & Behavior Research Foundation, Self-Love and What It Means, 2020

Work Stress

Apakah kamu sedang merasa stres atau banyak pikiran akhir-akhir ini? Terkait pekerjaan, urusan dirumah, atau hubungan dengan orang-orang disekitar kamu? Terlebih dengan pandemi yang belum juga usai tidak tau sampai kapan pastinya akan membuat kita sering cemas dan stres memikirkan banyak hal.

Jika kamu saat ini bekerja, pastinya tahu bagaimana rasanya stres di tempat kerja. Banyaknya pekerjaan dengan deadline yang bersamaan, rapat terus menerus, dan faktor pemicu stres lainnya. Nah sebelum bahas tentang stres di tempat kerja, kita bahas sedikit ya apa itu stres. Stres adalah reaksi tubuh terhadap tantangan atau tuntutan yang akan menguras diri kita baik secara fisik maupun emosional. Tingkat stres umumnya tinggi di tempat kerja dan karenanya perlu dikelola. Stres kerja berkembang ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkan serta dapat meningkat ketika kita merasa tidak mendapatkan dukungan penuh dari atasan dan rekan kerja atau merasa tidak dapat mengendalikan pekerjaannya. Berikut beberapa gejala stres yang mungkin bisa menjadi pengingat bagi kita untuk dapat segera kita identifikasi sendiri.

Secara alamiah, tubuh dan pikiran kita akan merespon terhadap pemicu stres yang ada di sekitar kita, dimana akan langsung ‘mengaktifkan’ reaksi fisik yang disebut respon fight or flight. Manusia mengembangkan respon rasa takut yang terkoordinasi ini untuk melindungi diri dari ‘bahaya’ di lingkungan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika kita menghadapi stres di tempat kerja setiap hari? Seiring waktu, stres kerja kronis dapat menyebabkan sindrom psikologis yang dikenal sebagai burnout. Tanda-tanda burnout seperti kelelahan yang luar biasa, sinisme, dan rasa tidak berdaya dengan pekerjaannya. Stresor terkait pekerjaan tertentu terkait erat dengan burnout, berikut pembagian stresor agar lebih mudah dipahami.

Work ContentWork Context
Konten Pekerjaan (pekerjaan yang monoton, tidak bervariasi, tidak menantang, tidak berarti, tidak menyenangkan)Pengembangan karir, status, dan gaji (gaji yang tidak memadai, ketidakadilan dalam pengembangan karir, ketidakamanan kerja, promosi yang kurang, sistem evaluasi/penilaian kinerja yang tidak jelas/tidak adil)
Beban dan kecepatan kerja  (terlalu banyak/sedikit pekerjaan, bekerja dibawah tekanan waktu)Peran di organisasi (peran tidak jelas)
Jam kerja (yang ketat, tidak fleksibel, panjang, yang tidak dapat diprediksi, sistem shift yang dirancang dengan buruk)Hubungan interpersonal (kurangnya komunikasi antara rekan kerja, penindasan, pelecehan, kekerasan)
Partisipasi dan kontrol (kurang partisipasi dalam pengambilan keputusan, kurang kontrol dalam metode kerja, jam kerja, lingkungan kerja)Kultur organisasi (komunikasi yang buruk antar pegawai, kepemimpinan yang buruk, kurangnya kejelasan tentang tujuan organisasi)
 Home-work interface (ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang dianut di tempat kerja dan dirumah)

Bagaimana stres kerja dapat mempengaruhi well-being seseorang?

Efek jangka panjang terhadap stres kerja dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Dalam suatu penelitian menghubungkan burnout dengan gejala kecemasan dan depresi, bahkan beberapa kasus sampai menjadi masalah kesehatan mental yang serius. Selain itu, dalam penelitian tersebut menunjukkan orang yang lebih muda yang secara rutin menghadapi beban kerja yang berat dan tekanan waktu yang ekstrim pada pekerjaan lebih mungkin untuk mengalami gangguan depresi berat dan gangguan kecemasan umum.

Tingkat stres yang tinggi di tempat kerja dapat memengaruhi kesehatan fisik juga. Aktivasi berulang dari respons fight or flight dapat mengganggu sistem tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Pelepasan berulang hormon stres kortisol dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kemungkinan gangguan autoimun, penyakit kardiovaskular, dan penyakit Alzheimer. Stres kronis juga dapat mempengaruhi kesehatan dengan mengganggu perilaku sehat, seperti olahraga, makan seimbang, dan tidur.

Dari sisi organisasi, stres kerja juga dapat merugikan organisasi. Burnout pada karyawan akan otomatis mengurangi produktivitas dan kinerja, meningkatnya ketidakhadiran (absen), meningkatnya turnover karyawan, tidak termotivasi dalam bekerja, berkurangnya komitmen untuk bekerja, serta memicu konflik antara rekan kerja sehingga membuat lingkungan kerja yang tidak nyaman yang juga memicu stres kerja. Selain itu, organisasi juga kecil kemungkinannya untuk berhasil dalam pasar yang kompetitif. Stres kerja merupakan masalah yang cukup serius bagi suatu organisasi apabila tidak dicegah atau ditangani dengan baik seperti memiliki manajemen yang baik sebagai bentuk dari pencegahan stres di organisasi.

Sekarang pertanyaanya apakah stres kerja dapat dikelola dan diatasi? Berikut beberapa keterampilan yang diajarkan dalam terapi perilaku kognitif yang dapat membantu mengelola stres kerja:

  1. Strategi relaksasi. Relaksasi membantu melawan efek fisiologis dari respons fight or flight. Contoh, duduk nyaman dengan mata tertutup. Tarik nafas selama 10 detik, lalu hembuskan selama 20 detik. Setiap kali Anda melepaskan ketegangan otot, pikirkan “santai” untuk diri sendiri. Keterampilan ini dapat membantu mengurangi gejala kecemasan.
  2. Penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah adalah strategi active coping dengan mengambil langkah-langkah spesifik ketika menghadapi masalah atau tantangan. Langkah-langkah ini termasuk mendefinisikan masalah, melakukan brainstorming untuk mencari solusi, memberi peringkat solusi, mengembangkan rencana tindakan, dan menguji solusi yang dipilih.
  3. Mindfulness. Mindfulness adalah kemampuan untuk memperhatikan keadaan saat ini dengan rasa ingin tahu, keterbukaan, dan penerimaan. Stres dapat diperburuk ketika kita menghabiskan waktu untuk merenungkan masa lalu, mengkhawatirkan masa depan, atau mengkritik diri sendiri. Dengan adanya sikap mindfulness membantu melatih otak untuk menghentikan kebiasaan berbahaya ini. Cara mudah dan simpel yang dapat dilakukan sendiri yaitu dengan meditasi atau berjalan santai, cara ini merupakan terapi berbasis kesadaran efektif untuk mengurangi gejala depresi dan kecemasan.
  4. Menilai kembali pikiran negatif. Stres dan rasa khawatir yang berlebihan dapat membuat seseorang mengembangkan pikiran alam bawah sadar untuk menafsirkan segala situasi secara negatif. Misalnya, selalu membuat kesimpulan negatif dengan sedikit atau tanpa bukti (contoh: “atasan saya berpikir saya tidak kompeten”) dan meragukan kemampuan dirinya untuk mengatasi stres (contoh: “Hidup saya akan berantakan jika saya tidak mendapatkan promosi”).

Saat ini, stres menjadi suatu masalah besar yang hampir dihadapi oleh setiap orang. Sehingga cara terbaik untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir stres dari kehidupan kita adalah dengan memahami penyebab stres dan kemudian mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya. Banyak sumber menyatakan bahwa beban kerja menjadi penyebab terbesar stres karena setiap profesi itu pasti ada kesulitan dan tantangan baru setiap harinya. Namun, bekerja menjadi hal yang tidak dapat kita hindari dan harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup.

Oleh karena itu, suatu organisasi harus fokus pada pengelolaan stres kerja karena karyawan adalah sumber ‘pendapatan’ dan sumber dayanya, sehingga menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi organisasi untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir. Ada banyak cara yang bisa dilakukan seperti melakukan interaksi antara atasan dan bawahan atau acara yang membangun kultur/atmosfer yang menyenangkan di lingkungan kerja. Karena seperti yang dikemukakan oleh Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya, kebutuhan aktualisasi diri seorang karyawan harus diperhatikan, yang diperlukan untuk setiap perusahaan, karena hanya bekerja dan bekerja saja tidak dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan, tetapi karyawan yang termotivasi pasti membawa dampak yang positif untuk perusahaan. Jadi, ayo lebih fokus pada manajemen stres daripada kerja terus menerus.

Sumber:

  1. Work Organization & Stress, Protecting Workers’ Health Series No.3, WHO, 2004
  2. Harvard Health Publishing, Harvard Medical School, 2019
  3. https://www.educba.com/stress-management-strategies/

Employee Wellbeing: What and Why

Hampir dua tahun kita melakukan pekerjaan dari rumah dengan keharusan karena pandemi. Tentu saja ada pro dan kontra mengenai keadaan ini. Hal yang menyenangkan adalah pegawai bisa bekerja di rumah, fleksibel mengatur waktu mengurus keluarga, tidak perlu buang waktu di jalan karena ya macet jalanan. Kontranya tentu ada.

Tidak dapat dipungkiri pandemi menyebabkan kurangnya interaksi sosial secara langsung dengan teman dan keluarga, load pekerjaan yang berlebihan, jam kerja yang tidak ada batasnya, Hal ini dapat menimbulkan burnout atau kondisi kelelahan fisik dan emosional yang menyebabkan bingung, gelisah, hilangnya motivasi, dan tujuan. Menurut survei yang dilakukan oleh Gallup, 76% pegawai yang mengalami burnout dikarenakan oleh mismanagement, beban kerja berlebihan atau perlakuan tidak adil di pekerjaan.

Untuk menghindari terjadinya hal ini, langkah yang dapat menjadi perhatian pimpinan adalah employee wellbeing. Employee wellbeing saat ini bukan hanya sekedar kondisi pegawai yang jarang sakit secara fisik, namun sudah menjadi lebih luas.  Menurut e-days.com employee wellbeing terkait dengan kesehatan dan kebahagiaan pegawai yang artinya sudah bukan hanya mengenai Kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental.

Bahkan sebelum pandemi terjadi, menurut survei yang dilakukan oleh Zapier menyatakan bahwa sebagian besar pegawai terutama Gen Z dan Millenial – masing-masing 91% dan 85% – menyatakan bahwa perusahaan seharusnya memikirkan dengan baik wellbeing pegawai dengan memiliki mental health work policy di tempat bekerja.

Menurut Prowell Model, terdapat tiga besaran aspek yang harus diperhatikan dalam membuat program employee wellbeing – mental, fisik, dan sosial. Aspek mental – terkait dengan kognitif dan emosional pegawai. Selanjutnya aspek fisik – terkait dengan kebugaran, kesehatan raga, dan nutrisi gizi. Selanjutnya adalah faktor sosial – memiliki hubungan keseimbangan hidup antara kehidupan kantor dan sosial.

Karatina berkepanjangan tentu saja berimbas kepada kinerja pegawai dan dapat meningkatkan rasa bosan, jenuh, cemas, dan stres. Lalu mengapa memperhatikan employee wellbeing itu penting terutama ini saat pandemi ini? Alasannya adalah:

  • Mengurangi pegawai absen dan biaya kesehatan

Johnson & Johnson memperkirakan program wellness and wellbeing menghemat $259 juta untuk biaya perawatan Kesehatan selama lebih dari 10 tahun terakhir.

  • Meingkatkan employee engagement

Dengan memerhatikan kesehatan fisik dan mental, pegawai akan lebih merasa terhubung, kesehatan fisik dan kebahagiaan mental juga akan meningkat.

  • Meningkatkan produktivitas

Pegawai yang dapat mengatasi rasa stresnya dengan baik akan lebih sedikit kemungkinan mengalamin burnout dan akan lebih fokus menyelesaikan pekerjaannya.

  • Menarik dan mempertahankan pegawai

Persaingan talenta terbaik sangatlah kompetitif. Tentu saja kandidat berkualitas memiilki banyak banyak opsi untuk memilih perusahaan yang memberikan nilai lebih yang memikirkan kesehatan dan kesejahteraan pegawainya dengan baik

Sumber:

  1. Digitalhrtech.com
  2. Face2facehr.com
  3. E-days.com
  4. Semoscloud.com
  5. Innovativeworkplaceinstitute.org

Presenteeism

Kita mungkin familiar dengan istilah absenteeism, atau ketidakhadiran. Dalam dunia kerja kita pun paham dampak dari ketidakhadiran pegawai tanpa alasan yang jelas terhadap produktivitas. Namun, tahukah Anda ada ancaman yang lebih berbahaya bagi kinerja dan budaya organisasi/perusahaan Anda yang disebut presenteeisme?

Presenteeism didefinisikan sebagai penurunan produktivitas akibat pegawai yang tetap datang bekerja meskipun sedang memiliki masalah kesehatan dan/atau masalah pribadi yang tidak terekspose. Meskipun pegawai secara fisik hadir di tempat kerja, namun mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan tugas pekerjaan dengan optimal dan cenderung membuat kesalahan akibat sedang sakit (tidak fit) atau sedang stress.

Tidak seperti absenteeism, presenteeism lebih sulit untuk diidentifikasi oleh organisasi/perusahaan karena lebih tidak kasat mata dan cenderung sulit dilacak. Di kantor, sepertinya hampir tidak mungkin untuk mengetahui secara sekilas, mana pegawai yang benar-benar kerja produktif dan mana yang “tampak produktif” namun pikirannya sebenarnya lagi kemana-mana. Entah karena lagi punya penyakit, atau sedang stress/depresi. Tak jarang kan kita menemui pegawai yang bersikeras tetap ngantor meskipun sedang tidak enak badan, alasannya banyak, bisa dari pegawainya yang ambisius ingin dianggap berdedikasi tinggi, sungkan terhadap kolega kalau tidak hadir ke kantor, atau yang paling klasik: takut mengecewakan bosnya.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Willis Towers Watson Health & Benefit menemukan lebih dari setengah (51%) pekerja mengklaim tempat kerja mereka dipengaruhi oleh budaya penilaian negatif bila tidak hadir karena sakit. Selain itu, 54% mengklaim bahwa pegawai berada di bawah tekanan untuk kembali bekerja sebelum mereka pulih sepenuhnya dari penyakit atau cedera. Hal ini menunjukkan bahwa ada masalah struktural terkait dengan kebijakan HR atau proses bisnis yang menimbulkan insentif/disinsentif bila izin tidak masuk kantor.

Studi Harvard Business Review terhadap 29.000 pekerja menemukan bahwa kerugian produktivitas karena presenteeism mencapai lebih dari $150 miliar dolar per tahun. Pun studi oleh Statistics Canada menunjukkan bahwa produktivitas yang hilang karena presenteeism bisa 7,5 kali lebih besar daripada absenteeism. Bila ditambah lagi oleh riwayat stress, penyakit jantung, hipertensi, migrain, gangguan pencernaan, sakit punggung, atau penyakit lain, maka rasio kerugian produktivitas meningkat menjadi 15 kali lebih besar.

Studi tentang presenteeism memang relatif terbatas dibanding saudara kembarnya, absenteeism. Leksi presenteeism sendiri baru populer sekitar tahun 2000 dan sebuah studi menyebut hanya 14% perusahaan yang serius mempelajari atau menangani presenteeism. Meskipun demikian, masih ada kabar baik, yaitu banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan divisi HR sebuah organisasi atau perusahaan untuk membantu pegawai menangani hal-hal yang mengarah pada presenteeism sebelum lepas kendali dan merusak organisasi:

(1) Mereview dan mengubah praktik leadership dalam perusahaan atau organisasi. Banyak CEO atau pemimpin yang belum paham bahwa lebih lama dikantor bukan berarti lebih produktif. Sayangnya pemimpin kita masih banyak yang merasa kurang happy bila pegawainya sering sakit, bahkan ada yang hobi memindahkan pegawai sakit atau anti banget punya pegawai sakit.

(2) Memperbaiki kebijakan yang men-discourage ketidakhadiran karena sakit. Masih sering kan kita temui kebijakan penilaian kinerja dari pimpinan ke bawahan yang menggunakan track record jumlah absensi karena sering sakit atau cuti, daripada hasil kualitas pekerjaannya. Bila masih seperti itu, ada baiknya me-review lagi kebijakan penilaian kinerja pegawai.

(3) Menemukan keseimbangan beban kerja dan ritme kerja pegawai. Ini juga bukan tugas mudah bagi pimpinan dan manajemen organisasi, karena terkait dengan restrukturisasi organisasi yang lebih efisien, formasi pegawai, sampai analisa beban kerja. Padahal dengan ritme dan beban kerja yang seimbang, akan mengurangi fenomena parkinson law dan dapat membantu pegawai mengatur work life balance.

(4) Menyediakan channel bagi pegawai terkait kesehatan fisik dan pikiran. Dalam hal ini, perusahaan menyediakan fasilitas konseling psikolog bagi pegawai dan keluarganya. Selain itu, didukung pula oleh layanan telemedicine yang dapat memberi konsultasi kesehatan gratis. Dua jenis fasilitas ini harus independen dari divisi HR dan bersifat confidential, namun dapat memberi rekomendasi kepada pimpinan atau HR mengenai tindakan yang seharusnya dilakukan ke pegawai bersangkutan.

(5) Mempromosikan budaya healthy lifestyle dan work-life balance, dimana pimpinan sebagai role model. Tidak akan ada ceritanya anak buah work-life balance bila bos-nya hobi lembur tiap hari plus suka ngambek/marah-marah.

Nah, bagaimana dengan tempat kerja Anda? Adakah gejala presenteeism?

Pandemic Life?

Ada yang sudah pernah nonton film Contagion, The Flu, atau Train to Busan? Bagi yang sudah menonton ketiga film tersebut pasti tahu betul bahwa film tersebut memiliki kesamaan dengan situasi dan kondisi yang kita alami dan jalani sekarang selama kurang lebih 1.5 tahun. Penyebarann virus mematikan menyerang suatu negara hingga memakan banyak korban jiwa. Rasanya seperti skenario sebuah film ya keadaan kita sekarang? Jujur tidak pernah terlintas dibenak saya sedikit pun menjalani kehidupan seperti itu.

Kita (dan hampir seluruh manusia di belahan dunia) sudah menjalankan kehidupan ‘new normal’ selama ini. Seketika dunia dituntut untuk berubah dengan cepat dan manusia terpaksa melakukan kebiasaan baru. Sebenarnya apa saja sih hikmah dan pembelajaran yang bisa kita ambil dari pandemi ini bagi diri sendiri dan suatu organisasi?

Bagi diri sendiri tentunya ada dampak positif dan negatif yang kita rasakan. Kita bahas yang positif dulu ya.
1. Waktu dengan keluarga. Tentunya kita menjadi mempunyai lebih banyak waktu berkualitas dengan keluarga. Dulu banyaknya waktu yang terbuang untuk komuter rumah-kantor sekarang bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, misalnya seperti memasak, olahraga, bermain dengan anak, memandikan anak, dan lain-lain. Contoh nyata seperti sumber dari CNN pada Kamis (22/4/2021), Art Markman, seorang Professor di Departemen Psikologi University of Texas di Austin, mencatat bahwa beberapa orang telah menggunakan waktu mereka untuk berolahraga, yang selama ini dihabiskan untuk perjalanan sehari-hari mereka saja.
2. Hobi baru. Pasti banyak diantara kita yang juga ‘ikut’ memiliki hobi baru seperti kolektor tanaman hias, ikan cupang, bersepeda, atau memasak. Memang terdengar unik karena banyaknya waktu yang bisa digunakan dirumah disalurkan untuk hal yang positif dan membuat imunitas semakin baik.
3. Peka terhadap kesehatan dan lingkungan yang menjadi lebih bersih. Berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor dan pesawat dapat mengurasi emisi karbondioksida di lingkungan sekitar. Sehingga udara menjadi lebih bersih dan membuat semakin banyak orang yang mau berjalan kaki atau wisata ke alam untuk kesehatan fisik dan mentalnya. Selain itu, dikutip dari situs British Medical Journal, pandemi memberikan dampak positif pada perubahan perilaku manusia. Publik menjadi lebih serius dalam menanggapi pesan kesehatan masyarakat dan lebih peduli terhadap kesehatan.

Sedangkan dampak negatif virus corona yang hingga saat ini sedang dialami semua orang hampir di setiap negara, tak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya. Meningkatnya tingkat stress juga menjadi dampak tidak langsung yang dirasakan. Hingga kini belum diketahui kapan pandemi COVID-19 selesai, sehingga yang bisa dilakukan adalah menerapkan usaha pencegahan demi melindungi diri, keluarga, dan sekitar.

Banyaknya sektor-sektor bisnis yang harus lay-off, merugi, bahkan gulung tikar membuat ekonomi di Indonesia masih di jurang resesi. Sebagai suatu organisasi banyak yang bisa dipelajari dengan pandemi ini. Berdasarkan hasil survei Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang Naker) menyebutkan sebanyak 40,6% perusahaan mengatakan bahwa kondisi perusahaannya sangat merugi di masa pandemi Covid-19. Sementara 47,4% menjawab perusahaannya merugi.

Organisasi dituntut untuk dapat adaptif menghadapi situasi yang serba baru dan 180% berbeda dari biasanya. Seperti artikel dari McKinsey&Company, The Future of Work: Understanding what’s temporary and what’s transformative, menyatakan bahwa suatu organisasi harus dapat mengevaluasi 3 area kunci yang tidak hanya muncul karena adanya pandemi tetapi juga berkembang pasca pandemi. 1. Perubahan sementara pada sistem operasional karena merespon krisis pandemi. 2. Perubahan permanen pada cara bekerja sehari-hari. Suatu organisasi sekarang dituntut untuk dapat melakukan transformasi digital dan otomasi proses bisnis agar dapat ‘bertahan’ di era pandemi ini. 3. Jenis/tipe pekerjaan baru yang muncul karena pandemi.

Selain itu, data dari McKinsey Global Institute menyatakan bahwa 20-25% tenaga kerja dapat bekerja dari jarak jauh (remote) selama 3 hari atau lebih dalam seminggu di perekonomian yang maju. Banyak pekerja yang juga sependapat dengan data tersebut, termasuk saya, mengapa? Mengutip pernyataan Adam Grant terkait produktivitas adalah suatu tujuan dan proses, bukan suatu tempat. Yang didorong oleh mengapa dan bagaimana kita bekerja, bukan tempat dimana kita bekerja. Fleksibilitas yang menjadi kunci. Pekerja yang diberikan kesempatan atau dilibatkan untuk memberikan suara dalam proses pengambilan keputusan, akan lebih ‘attach’ pada organisasinya dan bekerja dengan produktif.

Jadi, apakah organisasi tempat anda bekerja sudah siap dengan perubahan besar yang akan terjadi pasca pandemi selesai? Pandemi covid ini menjadi turning point bagi organisasi untuk dapat adaptif dan agile. Dan apakah kita semua juga akan berubah tingkah laku dan kebiasaannya dalam menjalani kehidupan sehari-hari?

Kunci Bahagia

Sekitar 80% anak muda millennial berkata bahwa menjadi KAYA RAYA adalah hal terpenting yang harus diraih dalam hidup, 50% dari komunitas tersebut juga berpendapat bahwa menjadi TERKENAL merupakan hal yang sangat penting agar bisa bahagia, setidaknya itulah hasil sebuah survei dari Higher Education Research Institute. Bagaimana menurut Anda sendiri? Mampukah Anda memprediksi hal-hal apa yang harus dilakukan di HARI INI bila Anda ingin bahagia di hari tua, meskipun badai kehidupan menerpa?

Sebelum ke inti sari, yuk merenung sejenak bahwa setiap manusia memiliki 2 variabel untuk dihabiskan selama hidupnya, yaitu WAKTU dan TENAGA. Lalu 2 variabel ini sebaiknya kita gunakan seperti apa agar bisa bahagia. Ada yang mengatakan untuk dihabiskan dengan bekerja keras siang malam sampai kaya raya dan terkenal, ada juga yang mengatakan untuk dihabiskan beribadah agar mendapat kedamaian spiritual. Jawabannya tidak ada yang salah, karena memang setiap orang memiliki standar bahagia berbeda-beda. Anda pun pasti punya standar bahagia sendiri bukan?

Nah, sekarang coba yuk kita lihat dari sisi bukti empiris yang ada, dan belajar dari masa lalu. Sebuah riset dilakukan oleh Harvard University dengan mengamati sampel sebanyak 724 orang sejak tahun 1938 sampai dengan tahun 2000-an. Ini adalah riset sosial terlama dan terpanjang di dunia untuk sekedar mencari jawaban “what makes people happy”. Berbagai macam eksperimen dan pengumpulan data dilakukan dalam riset ini, antara lain wawancara, memberi kuesioner, memeriksa rekam medis, mengambil sampel darah, scan otak, dan lain sebagainya. Ilmuwan secara estafet mengamati kondisi 724 orang (sampel) dari masa remaja, dewasa produktif, hingga usia 90-an. Saat ini ada sekitar 60-an orang dari sampel tersebut yang masih hidup.

Salah satu hal yang menarik, riset menunjukkan bahwa pada saat kebutuhan finansial dasar terpenuhi, maka faktor kekayaan (wealth) tidak begitu berpengaruh pada level kebahagiaan hakiki seseorang, malah kadang kontraproduktif, ada yang makin kaya namun gaya hidupnya tidak sehat. Kita pun tidak pernah menemui orang yang dipenghujung hayatnya menyesali hidupnya karena dulu kurang sering masuk kantor mencari uang lembur ekstra. Begitu pula dengan ketenaran. Kebahagian yang semula didapat dari perhatian, lama-kelamaan bisa menjadi momok menakutkan akibat media intrusion dan kurangnya privasi.

Kesimpulan dari riset ini hanya satu, kunci kebahagian adalah HUBUNGAN BAIK, termasuk hubungan keluarga (pernikahan), hubungan pertemanan, maupun komunitas. Orang yang memiliki hubungan sosial yang baik terbukti LEBIH SEHAT, LEBIH BAHAGIA, DAN LEBIH PANJANG UMUR. Manusia by nature adalah makhluk sosial. Hubungan dan kerjasama sosial membuat manusia menjadi spesies tunggal yang menguasai dunia.

Di sisi lain, orang yang bermasalah dengan hubungan sosial atau “kesepian” cenderung mengalami penurunan fungsi otak, gampang lupa, rentan penyakitan, dan tidak bahagia di penghujung hidupnya. Saya yakin pasti diantara kita ada yang kadang merasa kesepian ditengah kerumunan, atau bahkan bisa “kesepian” dalam hubungan pernikahan. Mungkin masalahnya bukan pada jumlah teman yang kita punya, tapi kualitas pertemanan. Punya banyak teman, ya sekedar teman, tapi bukan sahabat. Atau bisa saja Anda terjebak dalam pernikahan, karena Anda belum membuka diri dan percaya sepenuhnya pada pasangan Anda untuk menceritakan kerapuhan & insecurity terbesar dalam hidup Anda. Bila tidak mampu ke tahap ini, kadang perceraian menjadi solusi yang lebih baik.

Dimensi masalah hubungan antar manusia bisa banyak sekali, namun solusinya hanya satu: Berikan WAKTU dan TENAGA yang Anda miliki untuk membangun hubungan yang baik, dengan siapapun yang Anda anggap orang paling berharga dalam hidup Anda.

Ngomong saja memang selalu mudah daripada melakukan. Menjaga hubungan baik itu sulit, bullshit kalo ada yang mengatakan sebaliknya. Menjaga hubungan baik butuh kesabaran, kemampuan mendengar yang baik, serta konsistensi sampai akhir hidup Anda. Kadang Anda harus rutin berkunjung ke rumah sahabat, mengalah demi kebahagiaan pasangan, mendengarkan keluhan & celotehan orang, memberi bantuan, meminjamkan uang ke seseorang yang butuh, atau sekedar bertanya “Apa kabar” pada teman lama yang sudah 15 tahun tidak pernah bertemu. Bukan perkara yang mudah bukan? Kita kadang lebih memilih asik sendiri dengan gadget, image media sosial, atau video games di handphone.

Hubungan yang baik bukan berarti tidak pernah berantem, perbedaan pendapat dan pertikaian pasti ada. Namun dalam hubungan yang baik, orang-orang yang berada dalam lingkaran terdalam kita, without a shadow of a doubt, akan selalu ada disamping kita dalam suka dan duka, dan bisa bergantung satu sama lain pada saat tekanan kehidupan datang silih berganti. Orang dengan hubungan sosial yang baik, meskipun mendapat penyakit berat di akhir masa hidupnya, mood-nya akan tetap happy dan lebih tenang secara emosional. Pada kasus tertentu, emosional yang sehat justru membantu kondisi fisiknya tetap fit. Sedangkan orang dengan hubungan sosial yang buruk, akan makin menderita secara emosional pada saat terkena penyakit berat di usia senja.

Orang yang paling bahagia di masa pensiun, adalah orang yang berhasil mengubah teman kerja menjadi teman main. Jadi, yuk mulai menyambung silaturahmi dan membangun hubungan baik dengan pasangan, keluarga, orang-orang di sekitar kita!

Burn Out

Teman-teman, pernah ngga sih kalian ngerasain stress di tempat kerja yang terlalu sering, sampe-sampe tempat kerja kita rasanya udah “bukan gue banget”, pengen resign tapi masih butuh pendapatan yang stabil, tugas-tugas di depan mata juga entah mengapa udah ngga menarik lagi. Pokoknya segalanya terasa hampa di hati. Tau ngga kalo kondisi seperti ini istilah kerennya disebut juga “burnout”. Kalo di translate ke bahasa kita sih artinya “terbakar habis”. Tapi dari definisi umumnya, “burnout” artinya kehilangan passion dari sebuah pekerjaan, disertai rasa kelelahan mental, fisik, atau emosional, yang disebabkan oleh stress di tempat kerja secara terus menerus dan tidak terselesaikan. Pada 2019, World Health Organization (WHO) memasukkan fenomena “burnout” ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11), meskipun sebenarnya bukan penyakit medis. Riset WHO juga menyebut bahwa stress di tempat kerja melanda hampir 615 juta penduduk dunia dan menyebabkan kerugian $1 triliun per tahunnya karena produktivitas kerja yang menurun.  

Sebuah survei dari Gallup terhadap 7500 orang pekerja menemukan 5 penyebab utama “burnout” seseorang. Pertama, perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Siapa sih yang suka dengan ketidakadilan, kita sudah kerja banting tulang tapi yang dapat kredit justru orang lain; unequal opportunity; atau bisa juga benefit kerja yang kita dapat lebih rendah daripada peers kita. Kedua, beban kerja yang berlebihan. Setiap orang memiliki ambang batas stamina berpikir dan beraktivitas. Bila batas tersebut terlewati, maka kondisi fisik dan psikis akan menurun dan justru membuat kita tidak produktif dan stress. Jadi, jika pekerjaan kamu setiap hari mengharuskan kamu untuk kerja lebih dari 8 jam sehari bahkan lembur hampir tiap hari, mungkin ada baiknya mencari opsi pekerjaan di tempat lain. Ketiga, visi yang tidak jelas. Mencari arti dari sebuah pekerjaan bukan perkara mudah. Bila pemimpin perusahaan/organisasi di tempat kamu tidak mampu menunjukkan visi perusahaan ke depan mau seperti apa, maka kamu akan terjebak dengan rutinitas yang monoton. Mata kelihatan lesu padahal baru datang di pagi hari, dan setiap hari kita bekerja hanya untuk uang. Tidak lebih.

Keempat, kurangnya komunikasi dan dukungan atasan. Atasan yang merasa exclusive dan egosentrik dapat menurunkan morale bawahannya. Bagaimanapun, bawahan memiliki kebutuhan untuk mendapat feedback yang baik dan juga kredit/pujian/apresiasi atas prestasi kerjanya. Begitu pula atasan juga memiliki kebutuhan untuk memonitor bawahannya agar performa kerja menjadi prima dan sustainable dalam jangka panjang. Kurangnya empati dari supervisor dapat membuat bawahan semakin acuh dan merasa bukan bagian penting dari perusahaan. Kelima, tekanan deadline pekerjaan yang tidak masuk akal. Siapa sih yang suka ketika pulang kerja tiba-tiba dapat WA dari bos yang minta kita menyelesaikan tugas di rumah dan harus selesai malam ini atau besok pagi? Kalo hanya terjadi sekali dua kali setahun sih mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau terjadi di tempat kerja kamu hampir tiap minggu, itu tanda yang tidak sehat yang hampir pasti memicu stress dan depresi.

Kebanyakan orang merasa bahwa fenomena burnout disebabkan oleh pegawai yang bermasalah; dia tidak kompeten, dia tidak tahan banting, dia tidak pantas bekerja di sini, dia punya masalah mental, dia gila, dan lain-lain. Padahal tidak. Burnout adalah masalah organisasi. Ada dua sisi, satu adalah permasalahan menciptakan motivasi, dan kedua adalah permasalahan benefit fisik. Lingkungan dan sistem kerja yang mendorong motivasi bekerja harus dibangun oleh pemimpin perusahaan dan manajemen. Misalnya memberikan pekerjaan yang menantang, apresiasi atas pencapaian pegawai, kesempatan melakukan hal yang “meaningful” bagi orang lain, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perlakukanlah pegawai layaknya “owner”, dan mereka akan menunjukkan hebatnya kinerja mereka, bukan sebagai “tools” yang replaceable. Di samping itu, perusahaan juga harus mampu menyiapkan “physical” benefit yang cukup bagi kelangsungan hidup pegawai. Misalnya standar gaji dan bonus; fasilitas kerja, administrasi/kebijakan perusahaan yang fleksibel, akuntable, dan efisien; hubungan kerja dan pola komunikasi antar unit yang baik; serta keamanan di masa pensiun. Dua faktor ini adalah kunci bagi perusahaan untuk menghindari fenomena burnout para pegawainya dan me-retain talent-talent terbaiknya.