Komunikasi Efektif dengan Teknik Mirroring

Bagaimana rasanya berkomunikasi dengan orang yang sudah lama mengenal kita? Lebih nyaman bukan? Biasanya karena kita sudah mengenal satu sama lain, perasaan nyaman ketika berkomunikasi itu pasti akan didapatkan. Hal seperti itu tidak akan mudah tercipta ketika kita berkomunikasi dengan orang yang baru ditemui atau baru kenal. Tapi ternyata, ada sebuah teknik dalam berkomunikasi yang dapat membuat lawan bicara merasa nyaman dengan kita bahkan di awal pertemuan. Teknik itu dinamakan mirroring. Yuk, kenal lebih jauh tentang teknik ini!

Dalam kehidupan kita sering menemukan situasi dimana kita berkomunikasi secara nyaman dengan orang lain. Tidak hanya kita yang merasa nyaman, tapi lawan bicara kita pun merasa nyaman. Hal ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Kenyamanan dalam berkomunikasi dengan orang lain didapatkan ketika kita dan lawan bicara saling merasakan hal, pemikiran, ide atau kesukaan yang sama dengan kita. Semakin banyak hal yang berkaitan dengan diri kita, maka gap yang menghalangi proses komunikasi kita akan lebih kecil dan orang lain akan merasa nyaman dengan kita. Hal inilah yang kemudian membuat para ahli komunikasi kemudian menyimpulkan bahwa agar seseorang dapat memperkecil gap yang ada dengan lawan bicaranya, orang tersebut harus dapat memiliki “kesamaan” dengan lawan bicaranya. “Kesamaan” yang paling mudah terlihat bahkan di awal pembicaraan adalah kesamaan dalam hal gestur, pola berbicara, dan tingkah laku.

Berdasarkan buku yang ditulis T. L. Chartrand dan J. A. Bardgh tahun 1999 berjudul “The Chameleon Effect : The perception-behavior link and social interaction”, teknik itulah yang kemudian disebut dengan teknik mirroring atau teknik yang mengimitasi hal-hal nonverbal dari lawan bicara sehingga seseorang dapat bergestur, pola berbicara dan bertingkah laku yang mirip dengan lawan bicaranya. Seperti halnya Chameleon atau bunglon yang berubah warna menyesuaikan dengan lingkungannya, seseorang dengan teknik ini pun melakukan hal yang serupa.

Sebenarnya teknik ini seringkali kita rasakan secara tidak sengaja atau tidak sadar. Pernahkah bertemu orang asing yang tersenyum ketika melihat kita dan kita membalasnya dengan senyuman? Atau, ketika orang terlihat bingung, maka kita juga secara tidak sadar akan berekspresi kebingungan? Ada lagi saat kita sedang berbicara dengan seseorang yang banyak menggunakan gerakan di tubuhnya, kita secara tidak sengaja melakukan hal serupa. Ya, mirroring ini merupakan teknik yang memanfaatkan psikologis secara tidak sadar dari seorang manusia.

Ketika berkomunikasi, kita dapat melakukan teknik ini untuk menimbulkan bahwa kita berada pada banyak kesamaan dengan lawan bicara. Salah satu tokoh yang seringkali merlakukan teknik mirroring adalah mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Di setiap kesempatannya pada pertemuan dengan kepala negara yang lain, Barrack Obama seringkali melakukan teknik mirroring. Jika penasaran bagaimana Barrack Obama melakukan teknik mirroring, kita dapat menemukannya pada halaman YouTube dengan melakukan pencarian dengan kata “Barrack Obama Mirroring”.

Lalu, bagaimana agar kita menguasai teknik ini? Pertama, di setiap percakapan dengan orang-orang yang dekat dengan kita, perhatikan bagaimana mereka mencerminkan diri kita dan bagaimana kita mencerminkan mereka. Ini akan memberi kita panduan dasar yang dibutuhkan untuk memahami cara terbaik untuk mencerminkan orang lain. Kedua, untuk orang yang kita harap dapat menjalin hubungan baik, amati apa yang mereka lakukan dalam percakapan mereka dengan orang lain. Hal-hal macam apa yang mereka cerminkan kembali kepada orang-orang yang mereka ajak bicara? Tingkah laku, gerak tubuh, atau pilihan kata apa yang mereka tunjukkan yang dapat kita tiru secara otentik? Terakhir, latihan. Bicaralah dengan orang yang kita temui di depan umum, acara jejaring, lingkaran sosial, dll. Berlatihlah meniru dengan cara yang halus dan perhatikan apa yang terjadi saat kita melakukannya.

Tagged : /

Membangun Vocal Image

Selama ini mungkin sebagian orang berpikir bahwa penampilan adalah suatu hal yang penting untuk membangun personal branding. Orang-orang berlomba untuk berpenampilan rapi, mencolok, trendi serta melatih postur dan gestur untuk mendapatkan first impression yang baik dari lawan bicara atau orang lain yang ditemuinya dan menciptakan suatu personal branding yang diinginkan. Faktanya, memang manusia adalah makhluk visual. Sehingga, penampilan akan sangat penting bagi kita untuk menilai seseorang. Tapi ternyata, ada elemen lain yang harus menjadi perhatian kita juga ketika kita sedang membangun personal branding kita, yaitu cara kita berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain yang dapat menimbulkan persepsi terhadap diri kita. Hal inilah yang biasa disebut dengan Vocal Image. Sebelum menyelam lebih jauh untuk dapat memahami Vocal Image, mari kita memahami apa itu personal branding dan pentingnya membangun personal branding di kehidupan kita.

Menurut Farco Siswiyanto Raharjo dalam buku “The Master Book of Personal Branding” (2019), personal branding merupakan cara seseorang untuk mengambil kendali penilaian orang lain atas diri individu tersebut. Selain itu, membangun personal branding dapat diartikan juga sebagai proses pembentukan persepsi orang lain atau publik terhadap aspek yang dimiliki seseorang. Aspek ini meliputi kepribadian, kemampuan, nilai, serta persepsi positif yang ditimbulkan atau ada dalam diri individu. Pembentukan Personal branding dipengaruhi beberapa hal, yakni penampilan, tindakan, postur, gestur, dan yang tidak kalah penting adalah vokal dan cara berkomunikasi seseorang.

Vokal dan cara komunikasi kita ternyata sangat penting dalam menunjang pembentukan personal branding kita. Vinh Giang, salah satu guru dan ahli komunikasi di Amerika menyampaikan bahwa orang lain akan mulai membuat asumsi tentang kita dari momen kita mulai berbicara. Ia menyampaikan juga bahwa cara kita berbicara menunjukan kepribadian kita. Pernahkah kita melihat seseorang yang berbicara dengan cepat dan terburu-buru? Kita dapat berasumsi bahwa orang ini adalah orang yang seringkali tergesa-gesa dan serba cepat dalam melakukan sesuatu. Atau, pernahkah berbicara dengan orang yang berbicara dengan volume yang kecil? Kita dapat berasumsi bahwa orang ini adalah orang yang pemalu dan kurang percaya diri. Sedangkan orang yang berbicara dengan pelan, volume yang pas, terstruktur tegas dan tahu cara mengontrol jeda dalam berbicara, dapat kita asumsikan sebagai orang yang bijaksana dan pintar. Bukankah begitu?

Vokal kita memang dikaruniai oleh Tuhan yang tidak bisa kita tentukan atau tolak. Tapi kita bisa melatih vokal dan cara komunikasi kita sehingga kita bisa memiliki vocal image yang kuat dan kita inginkan. Salah satu caranya adalah dengan rutin melakukan reviu dari  vocal image kita secara terus menerus. Rekamlah kita berbicara selama lima menit tentang topik tertentu. Setelah rekamannya selesai, fokuskan diri kita untuk mendengarkan rekamannya. Persepsi yang kita dapat dari mendengarkan di rekaman itu adalah vocal image kita. Lakukan reviu dan perbaikan secara kontinyu. Tanyakan apakah volumenya cukup? Intonasinya sudah baik? Bagaimana dengan jeda berbicara? Apakah kita berbicara di nada atau pitch level yang enak didengar? Apakah masih banyak “em..” “aa..” “umm..” ketika kita sedang berbicara? Semua hal itulah yang harus terus diperbaiki sehingga kita memiliki vocal image yang diinginkan.

Memiliki vocal image yang kuat dan identik sangat baik untuk menunjang impression yang ingin kita ciptakan terhadap lawan bicara. Untuk menciptakan vocal image yang diinginkan, pertanyaan dasar yang harus ditanyakan adalah “Aku ingin dilihat seperti orang yang seperti apa oleh orang lain?” Jangan hanya memerhatikan penampilan, tapu latihlah terus vokal dan cara komunikasi kita, supaya personal branding yang kita inginkan dapat terbentuk.

Tagged : /

Feedback Sandwich: Yay or Nay?

Coaching dan memberikan feedback mungkin bukan hal yang asing dilakukan di lingkungan kantor. Di Baca Pikir juga sudah pernah membahas mengenai banyaknya manfaat dari coaching yang dilakukan dalam pekerjaan. Ternyata penyampaian feedback memiliki beberapa metode yang dapat diterapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 

Apakah sudah pernah dengar mengenai metode sandwich? Ada beberapa pakar yang menganggap ini metode kontroversial yang kurang tepat untuk dilakukan. Tapi ya pastinya suatu hal ada pro dan kontranya. Daripada penasaran, yuk kita bahas dulu, apa itu feedback sandwich ya! Tentunya tidak bikin lapar kok!

Feedback sandwich dipopulerkan pada 1980-an oleh Mary Kay Ash, pendiri Mary Kay Cosmetics, yang menyarankan para pimpinan untuk memberikan komentar kritis di antara lapisan pujian. Seperti namanya, sandwich alias roti lapis, feedback yang kita berikan dilakukan dengan berurutan. Layaknya roti atas, isian daging, dan roti bawah. Feedback sandwich-pun demikian; roti atas ibarat feedback yang positif sebagai pembuka, isian daging itu isi “sesungguhnya” bisa berbentuk kritik yang membangun untuk saran perbaikan dan roti bawah berisikan feedback positif kembali sebagai penutup. 

Sangat penting untuk memahami cara memberikan feedback sandwich agar menjadi yang paling efektif. Kita selalu ingin memulainya dengan setidaknya satu pernyataan positif tentang apa yang dilakukan dengan baik anggota tim. Kemudian, kita akan menyatakan umpan balik yang konstruktif, mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja anggota tim. Kemudian diakhiri dengan pernyataan penyemangat terakhir dan mengakhiri interaksi dengan nada positif.

Kelebihan metode ini adalah melembutkan dampak kritik bagi yang menerimanya, memungkinkan sesi coaching berakhir dengan nada dan suasana yang positif, dan membantu anggota meningkatkan penerimaan mereka terhadap kritik. Wah sepertinya ini cocok dengan budaya timur khususnya di Indonesia yang masih agak sungkan untuk memberikan kritik yang pedas dan tajam ya. 

Namun, seperti yang dilansir dalam Forbes.com tentu juga ada kekurangan dari penggunaan metode ini seperti inti utama feedback menjadi kurang jelas karena tidak to the point, feedback ini dirancang untuk membuat pemberi umpan balik merasa lebih nyaman daripada mencerahkan penerima umpan balik. Selain itu, tujuan pemberian feedback adalah untuk perkembangan anggota tim. Ketika kita tujuannya sudah jelas, sebaiknya menyampaikan feedback secara konstruktif daripada hanya sekedar “tidak enakan”. 

Terlepas dari apakah menggunakan feedback sandwich atau tidak, ada beberapa tips yang dapat dilakukan, yaitu: selalu spesifik dan langsung dengan cara seseorang dapat berkembang, sambil tetap tulus tentang pujian dan afirmasi positif. Saat memberikan kritik yang membangun bersama dengan pujian, lakukan dengan singkat, jelas, dan lugas. Tujuan saat memberikan feedback bukan untuk menyakiti perasaan atau membuat anggota tim merasa buruk tentang kinerja mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa ada cara untuk meningkatkan atau melakukan yang lebih baik. Apapun metode yang digunakan.

Sumber:

  1. Forbes.com
  2. Medium.com
  3. Fellow.app

Trust Issue

Memiliki pimpinan yang dapat dipercaya dan diandalkan merupakan idaman semua karyawan saat bekerja. Begitu juga kesuksesan organisasi dapat terjadi apabila dapat menumbuhkan rasa saling percaya antara seluruh anggota tim. Suatu tim akan menjadi terarah dan memiliki motivasi yang lebih besar untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Kurangnya kepercayaan dalam tempat kerja bisa menjadi ‘virus’ yang menciptakan budaya kerja yang buruk. Biasanya dimulai dari para pimpinan dan akan menyebar melalui tim-nya, membuat siklus respon yang tidak sehat sehingga mempengaruhi engagement dan produktivitas dalam bekerja. Seringkali kurangnya kepercayaan pada pimpinan merupakan inti dari lingkungan kantor yang tidak kondusif, dimana untuk memperbaiki lingkungan yang negatif membutuhkan banyak waktu dan usaha.

Kepercayaan di tempat kerja berarti karyawan menikmati budaya kejujuran, adanya keamanan psikologis, dan saling menghormati. Karyawan akan bangga dan bersedia untuk bekerja extra-miles untuk organisasinya yang berujung pada rasa aman dengan pekerjaannya dan mengurangi turnover. Dari salah satu sumber disebutkan bahwa, hanya 1 dari 5 pimpinan percaya bahwa karyawannya sangat mempercayainya dan hanya 50% karyawan menyatakan bahwa pimpinannya dapat dipercaya. Rasa percaya sangat penting untuk ada di dalam tim, karena tanpa itu karyawan akan cenderung kurang termotivasi dan produktif.

Terdapat 3 arah kepercayaan yang dapat membuat lingkungan kerja menjadi sehat. 1) Leader trust: karyawan harus percaya pada pimpinan, 2) Team trust: pimpinan harus percaya pada karyawan/timnya, dan 3) Lateral trust: anggota tim harus saling percaya satu sama lain. Seringkali dianggap bahwa pimpinanlah yang perlu mendapatkan kepercayaan dari karyawan/timnya, namun banyak yang tidak menyadari pentingnya kepercayaan dalam dua arah lainnya. Karyawan yang tidak percaya pada pimpinannya cenderung akan bekerja seadanya, tidak mau melakukan inovasi-inovasi karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pimpinannya, dan berencana untuk keluar dari perusahaan tersebut kapanpun. Padahal kondisi ini bukanlah yang ideal agar organisasi dapat berkembang dengan baik.

Pimpinan yang tidak mempercayai karyawannya kemungkinan besar akan melakukan pekerjaan dengan cara micromanaging, menahan informasi untuk pribadi, bekerja sendiri atau dengan sekelompok orang tertentu saja. Kenyataannya kemampuan untuk mendelegasikan pekerjaan membuat pimpinan dan karyawan bertanggung jawab dan mencerminkan rasa saling percaya satu sama lain. Selain itu, apabila pimpinan mempercayai karyawan/timnya akan melatih dan membimbing skill serta tanggung jawab kepemimpinan, dimana akan menjadi bekal yang baik bagi pengembangan organisasi di masa depan.

Dalam interaksi sehari-hari, terkadang pimpinan tidak menyadari tindakan yang dilakukan yang kerap kali menimbulkan rasa tidak percaya pada pimpinan dan organisasi. Seperti hanya memberikan informasi kepada senior manajemen daripada ke seluruh tim sehingga menjadi rumor tanpa mengetahui mana yang informasi yang benar atau salah; membuat ‘tim’ dalam tim sehingga membuat beberapa karyawan merasa tidak dianggap atau persepsi adanya karyawan favorit dalam tim tersebut; kurangnya keselarasan antara tanggung jawab dan wewenang sehingga pekerjaan menjadi tidak jelas dan menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan; hingga menciptakan silo dalam organisasi sehingga mengganggu kerja tim antar bagian/departemen.

Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan pimpinan untuk mendapatkan kepercayaan dari karyawan. Misalnya dengan mempertahankan transparansi dan komunikasi sehingga karyawan bisa terbuka dan memberikan performa terbaiknya untuk organisasi. Ini juga harus didukung dengan memberikan arahan, dukungan, pembagian tugas yang adil dan merata, melakukan rotasi pada tugas/proyek, memfasilitasi rapat-rapat yang mendukung kinerja, sehingga akan menciptakan budaya kerja yang positif. Pertanyaannya apakah ‘rasa percaya’ sudah terbangun dengan positif di lingkungan kerja anda sekarang? Yuk coba kita refleksikan

Monotasking (vs Multitasking)

Seorang teman mengatakan bahwa dia mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu. Hebat. Mengerjakan banyak hal dalam satu waktu dinamakan multitasking, sementara mengerjakan tugas secara fokus satu persatu dinamakan monotasking. Dalam dunia kerja yang amat berbeda dan dinamis, hal ini menjadi penting. Multitasking memiliki potensi berujung pada kelelahan fisik yang kemudian akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan mental.

Dalam satu studi dijelaskan bahwa dari keseluruhan populasi manusia, hanya 2.5% yang mampu melaksanakan tugas secara berbarengan dalam satu waktu. Studi lain juga menjelaskan bahwa otak kita tidak mampu melaksanakan dua tugas berat dalam waktu bersamaan. Sehingga multitasking menjadi suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Menurut Pubmed, hasil riset juga membuktikan bahwa multitasking menurunkan IQ dan juga menurunkan tingkat produktivitas sampai dengan 40%.

Dalam keseharian kita sebenarnya banyak melakukan multitasking. Kita makan sambil nonton TV, kita membaca atau belajar sambil mendengarkan musik atau mengobrol dengan teman sambil membaca pesan elektronis. Secara tidak sadar kita sudah melakukan dua hal berbeda dalam kesempatan yang sama. Namun ketika ditambah dengan hal lainnya kita menjadi kesulitan. Misalnya kita nonton drakor sambil makan dan kemudian sambil menjawab pesan elektronis. Walhasil kita pasti akan sering pencet rewind karena banyak dialog atau adegan yang terlewat.

Dalam buku 4 disciplines for execution penulis Covey, Chesney dan Huling menjelaskan bahwa ketika kita fokus terhadap satu tujuan, probabilita penyelesaian tugas dengan baik adalah 100%. Namun ketika tujuan ditambah, maka probabilita kesuksesan menurun. Kemudian sampai di suatu titik, dimana kita mengerjakan beberapa tugas menyebabkan tidak ada yang dapat diselesaikan dengan baik.

Para praktisi mindfulness juga amat mendorong kita untuk melakukan monotasking. Pekerjaan yang banyak dalam satu kesempatan menimbulkan kecemasan dan kegelisahan sehingga berdampak pada gangguan kesehatan mental. Sebaliknya dengan fokus mengerjakan tugas satu persatu, seseorang akan semakin kreatif dan sukses menyelesaikan tugas melebihi yang diharapkan.

Ketika sudah memahami monotasking lebih baik, apa yang perlu dilakukan untuk membentuk mindset monotasking? Bryant Adibe, Chief Wellnes Officer di Mount Saint Mary University Los Angeles memberikan 5 tips sebagai berikut:
1. Deep Work. Kita membiasakan diri bekerja lebih dalam daripada sekedar menyelesaikan tugas. Biasakan meluangkan 2-4 jam sehari untuk fokus pengerjaan satu tugas tanpa diganggu oleh apapun, termasuk emai, telepon, ngobrol dll).
2. Peak Performance Time. Tentukan waktu terbaik anda untuk fokus. Setiap orang berbeda, ada yang pagi, siang, sore dan bisa juga malam. Asal jangan audah melebih jam tidur, hal ini juga bisa mengubah pola kehidupan menjadi tidak baik.
3. Eliminate Distractions. Ketika memulai hari dengan 10 tugas yg perlu diselesaikan, fokus kepada hanya dua hal utama. Bukan yang lain tidak diselesaikan, tetapi ketika dua tugas utama diselesaikan dengan baik, maka psikologis anda akan meningkat.
4. Build Your Day Like a Skycraper. Setelah menentukan skala prioritas, atur waktu khusus untuk menyelesaikan hal lain seperti menjawab email, menelepon dll. Jangan membalas pesan elektronis setiap saat, hal tersebut akan mengganggu konsentrasi anda.
5. Create Negative Time. Maksudnya kita perlu menentukan waktu untuk kita tidak melakukan hal apapun. Istirahat. Ini diperlukan agar tubuh dan otak kita kembali fresh dalam mengerjakan hal lainnya.

Multitasking bukan hal yang buruk, namun seperti dijelaskan bukan untuk semua orang. Lebih baik kita fokus untuk mengerjakan tugas satu persatu sehingga hasilnya bisa optimal. Anda sendiri pebih cenderung monotasking atau multitasking?

Tidur Siang Ketika Kerja

Saya teringat ketika saya masih di bangku taman kanak-kanak mungkin sampai 2 SD, setiap pulang sekolah, Ibu saya menyuruh saya untuk tidur siang. Saya juga tidak tahu apa alasannya. Mungkin agar saya tidak loncat kesana kesini, sewaktu Ibu dan mbak yang membantu di rumah sedang masak dan beres-beres rumah. Atau mungkin saja agar saya tidak menonton TV dan punya banyak energi untuk mengerjakan PR di sore harinya. Entahlah, pokoknya saya sering menolak untuk tidur. Saya lebih memilih bermain atau malah nonton TV.

Setelah dewasa ini, ternyata salah satu hal yang saya rindukan adalah kebebasan waktu untuk dapat tidur siang. Memang sepertinya benar suatu hal akan terasa membuat rindu jika sudah tidak dapat kita dapati, seperti halnya tidur siang tanpa beban seperti yang saya dapati ketika masih anak-anak.

Tapi tahukah Anda bahwa tidur siang memiliki banyak manfaat loh! Tapi tentunya banyak yang menganggap ini hal yang taboo, apalagi kalau dilakukan di tempat kerja. Kesannya kok pemalas ya, tidur melulu. Kantor kan tempatnya kerja, bukannya tidur. Weits, kalau ada rekan kerja Anda atau bahkan atasan Anda memberikan komen seperti ini, sepertinya mereka jarang membaca deh ya.

Banyak studi yang mengemukakan tentang manfaat tidur siang ini. Dr. Sara Mednick, associate professor of psychology di University of California, mengatakan bahwa “Ketika orang mengalami penurunan konsentrasi atau lelah di siang hari, suhu tubuh kita akan menurun dan proses kognitif kita juga akan turun, dan ini yang menyebabkan rasa ngantuk. Dahulu, orang akan tidur siang, namun sekarang lebih banyak orang yang minum kopi. Kita semua masih memiliki ritme di dalam diri kita dan mengetahui manfaat dari tidur siang itu, namun sayangnya dengan kesibukan bekerja, tidak semua orang bebas melakukan hal tersebut.”

Dr. Mednick menambahkan bahwa, “Tidur siang memiliki manfaat yang sama besarnya dengan tidur malam penuh jika mereka memiliki kualitas tidur siang tertentu.” Saat kita tidur siang, kita memperbaiki keseimbangan antara sistem saraf aktif (simpatis) dan pemulihan (parasimpatis). Tidur meningkatkan sistem pemulihan, yang memberi kita bahan bakar untuk aktif. Tidur siang juga telah diikat dengan memperkuat kekebalan tubuh.

Tujuan dari power nap adalah untuk mendapatkan manfaat revitalisasi dari tidur dalam waktu paling singkat, yang bagi kebanyakan orang adalah 10 hingga 20 menit. Setelah bangun dari tidur siang Anda. Beberapa manfaat power nap adalah sebagai berikut: peningkatan konsentrasi dan kewaspadaan, ingatan memori yang lebih baik, mengurangi stress, meningkatkan stamina, dan meningkatnya keterampilan motorik.

Yuk, temukan spot tidur favorit Anda di kantor!

Sumber:

  1. Nytimes.com
  2. Spine-health.com
  3. Theguardian.com

Emphatetic Leader

Studi global terakhir yang dilakukan oleh qualtrics memberikan fakta bahwa 46% pekerja telah mengalami penurunan kesehatan mental. Hal ini disebabkan beberapa hal: 67% merasakan peningkatan terhadap stress, 57% peningkatan anxiety, 54% mengalami peningkatan kelelahan mental, 53% mengalami peningkatan kesedihan, 50% merasakan peningkatan kemarahan dan 28% mengalami gangguan konsentrasi. Secara umum pekerja telah merasakan penurunan kesehatan mereka. Hal ini tentunya merupakan sinyal kuat kepada perusahaan untuk segera memberi perhatian. Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada kinerja perusahaan.

Fakta lain yang serupa disampaikan oleh Academy of Management Journal. Pegawai yang mengalami perlakuan buruk di tempat kerja, akan mengalami penurunan kinerja yang signifikan. Mereka juga menjadi cenderung menjadi lebih individualistis dan timbul perasaan tidak ingin menolong rekan kerja yang lain. Penelitian Georgetown University juga menambahkan bahwa perlakuan buruk selain menurunkan kinerja dan kolaborasi tetapi juga meningkatkan turnover pegawai.

Ketika masalah di atas sudah mengemuka, perlu dicarikan solusi. Suatu studi yang dilakukan oleh Catalyst terhadap 889 orang menyimpulkan sousinya adalah empati. Ketika pemimpin berempati dengan bawahannya kondisi kerja membaik. 67% menyatakan lebih inovatif, dibanding 13% yang tidak memiliki pimpinan yang empati. Sebanyak 76% lebih engaged kepada pekerjaan dibanding 32% yang tidak. Sebanyak 62% pekerja wanita menyatakan tidak akan pindah kerja, dibanding hanya 14% yang tidak. 86% merasakan keseimbangan antara hidup dan bekerja dibanding 60% yang tidak.

Apabila salah satu solusi terbaik dari penurunan mental adalah pemimpin yang empati, maka sudah seharusnya perusahan berusaha mengembangkan empati dari para pimpinannya. Empati sendiri oleh CCL diartikan sebagai “having the ability to understand the needs of others, and being aware of their feelings and thoughts”. Dalam banyak kasus empati bisa ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda, tapi anda bisa berlatih dengan beberapa cara, antara lain mendengar pendapat dan masukan bawahan, jangan berusaha menginterupsi bawahan ketika berbicara, hadir dan berkomunikasi di lingkungan kerja mereka, jangan mudah men-judge orang lain, memperhatikan bahasa tubuh mereka dan membicarakan hal personal dengan mereka.

Menurut Mindtools, ada tiga tahap dalam berempati:
1. Cognitive empathy: yaitu memahami kondisi emosi orang lain,
2. Emotional empathy: yaitu ikut merasakan dan berbagi emosi dengan orang lain, dan
3. Compassionate empathy: yaitu melakukan aksi untuk mendukung orang lain.

Yang perlu dijaga oleh anda dalam berempati adalah keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan bawahan. Anda telah ditunjuk sebagai pimpinan oleh perusahaan, sehingga harus memastikan target kerja tercapai. Namun sebagai pimpinan anda dituntut untuk memahami kondisi dan situasi yang terjadi pada anak buah anda. Kemampuan untuk berempati tidak terkait dengan karakter seseorang, namun bisa dilatih. Semakin anda berlatih, maka kemampuan anda untuk berempati semakin tinggi.

Di dalam situasi ketidakpastian dan kondisi yang terus berubah, kesehatan mental pegawai menjadi faktor penting dalam bekerja. Sudah sewajarnya perusahaan dan para pemimpin lebih serius untuk menerapkan empati di tempat kerja. Pada akhirnya para pemimpin dan perusahaan yang akan mendapat menfaatnya. Selamat mencoba.

Kepemimpinan ala Angsa

Mungkin ada yang pernah melihat ketika rombongan angsa terbang bersama? Mereka akan membentuk formasi seperti huruf V. Tentu ada alasannya mengapa demikian dan ternyata ada banyak pelajaran kepimimpinan dan kerja sama tim lho dalam formasi terbang tersebut. Eh gimana? Kok bisa? Penasaran? Yuk, kita terbang lebih lanjut.

Gerombolan angsa terbang bersama dengan formasi V tersebut akan menambah momentum 71% lebih besar dibandingkan dengan jika terbang sendirian. Inilah kekuatan dari kerja sama tim dan persatuan jika tim bekerja bersama-sama menuju tujuan organisasi. Semua akan berusaha, saling menyemangati, dan mendukung maju bersama. Tim yang hebat adalah tim yang dapat mengenali dan menggali kekuatan dan kelemahaan tiap anggota dan dapat memanfaatkan kekuatan yang ada dan membantu kelemahan yang lain. Bekerja sendiri mungkin akan lebih cepat, tetapi bekerja sama akan menghasilkan lebih banyak.

Jika ada salah satu anggota angsa yang “keluar” dari garis formasi, secepatnya angsa itu akan merasakan hambatan karena terbang sendirian dan akan segera kembali ke formasi untuk tetap menjaga keseimbangan dan flow terbang tim. Setiap kerja sama tim tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Banyak kepala, banyak ide. Jika ada satu anggota tim sedang tidak di dalam lingkaran kerja sama, tentu saja akan muncul risiko dan produktivitas akan terganggu. Hal yang harus dilakukan leader dan anggota tim yang lain adalah, cepat lakukan dialog kolaboratif atau coaching untuk mendiskusikan hal yang dialami anggota tersebut. Temukan solusi dan jelaskan bagaimana mereka dapat berkontribusi dan peran nyata dalam kemajuan tim.

Ketika pimpinan angsa merasa lelah, dia akan terbang di posisi belakang, dan salah satu angsa lainnya akan menggantikan posisi menjadi pimpinan terbang yang baru. Hal ini membangun trust dan kepercayaan diri semua anggota untuk secara bergilir melakukan tugas strategis, memimpin, dan mengambil keputusan. Sebagai seorang pimpinan, juga seharusnya trust kepada anggota timnya dalam melaksanakan tugas, dan melakukan persiapan regenerasi kepimpinan. Setiap anggota tim mempuinyai keterampilan, kemampuan, dan bakat unik masing-masing. Dengan pempimpinan yang percaya kepada semua anggota tim dengan berbagi tanggung jawab dan akuntabilitas, maka akan terbentuk tim yang lebih kuat dan saling mendukung.

Angsa terbang dalam formasi dan mengeluarkan suara seperti klakson untuk saling memberikan semangat, yel-yel, dukungan dan mendorong angsa di bagian depan untuk menjaga kecepatannya. “Klakson” ini artinya adalah pengakuan, pujian, feedback membangun untuk sesame anggota tim agar tetap saling semangat, menjaga phase kerja, komunikasi yang sehat, dan menciptakan suasana kerja yang kondusif karena komunikasi berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Ketika ada seekor angsa yang sakit atau kelelahan, dua angsa akan keluar dari formasi dan membantu angsa sakit tersebut keluar formasi dan istirahat. Dua angsa tersebut akan menemani, mendukung, membantu, dan menjaga angsa sakit tersebut. Mereka akan tinggal bersama angsa sakit sampai angsa itu sembuh dapat terbang kembali atau bahkan mati. Lalu mereka akan kembali terbang mengejar kawanan lama mereka. Tim hebat akan berdiri bersama dan saling mendukung bila menghadapi masalah. Saling membantu dan menjaga sesame anggota tim untuk tetap menjaga kekompakkan, kerja sama tim dan kesejahteraan satu sama lain.

Banyak hal yang dapat kita pelajari di sekitar kita. Hal yang dibutuhkan adalah perhatian dan lebih memahami situasi yang terjadi. Sebagai pemimpin atau calon pemimpin di masa depan, apakah teman-teman sudah lebih memerhatikan keadaan disekitarnya? Tetap belajar hal baru setiap hari ya tentunya agar kita semua bisa terbang lebih tinggi bersama-sama!

Sumber:

  1. Power Resource Center
  2. Leader Shift Project

NOKIA: dulu jagoan jadi nggak relevan

Sebagian besar dari kita tentu mengenal Nokia, bahkan menjadi pengguna produk pada masanya. Siapa yang tidak ingat “banana phone” keluaran Nokia yang sangat populer. Tahun 2007 adalah puncak kejayaan Nokia yang berhasil menguasai 51% pangsa cellphone di seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Apple saja sekarang hanya mampu menguasai 25% pangsa pasar, sehingga terlihat bagaimana Nokia bisa mendominasi pasar pada waktu itu. Nokia mengubah mindset bahwa cellphone juga dikaitkan dengan fashion sehingga mendapat respons yang luar biasa.

Namun demikian hanya dalam waktu enam tahun, Nokia kemudian hampir mengalami kebangkrutan, dan akhirnya diakuisisi oleh Microsoft seharga 7.2 miliar dollar. Ada apa dengan Nokia sehingga dalam waktu cepat bisa terlempar dari kompetisi cellphone pada waktu itu?

Kesalahan pertama Nokia adalah terlalu fokus kepada pembuatan hardware. Desain yang menarik tentu menjadi daya tarik pembeli, tetapi cellphone tidak bisa berfungsi ketika tidak memiliki sistem operasi. Sementara pesaingnya telah mulai mengembangkan sistem operasi android dan IOS, Nokia ketinggalan karena terus menggunakan Symbian sebagai sistem operasinya. Berbeda dengan symbian, android dan IOS sudah berbasis aplikasi.

Kesalahan berikutnya Nokia ketika pesaingnya seperti samsung, motorola, huawei sudah mengadopsi android ketika google memasuki pasar di tahun 2008, Nokia tetap bersikeras menggunakan sistem operasinya sendiri yaitu Symbian. Akhirnya Nokia menyerah, pada tahun 2011 mereka beralih menggunakan windows phone bekerjasama dengan microsoft. Keputusan tersebut fatal karena akhirnya windows phone gagal sehingga Nokia kehilangan dominasinya sebagai penguasa pasar. Android sendiri sudah terbukti sekarang digunakan 80% smartphone saat ini. Ketika akhirnyapada tahun 2014 Nokia memutuskan beralih ke android, semuanya sudah terlambat.

Nokia juga memiliki masalah dengan struktur organisasinya. Ketika memutuskan mengubah organisasi berdasarkan hirarki pada tahun 2004 menjadi organisasi matriks, ternyata keputusan ini bermasalah. Keinginan agar lebih inovatif dengan matriks organisasi, ternyata malah menimbulkan krisis. Dalam organisasi matriks manager memiliki beberapa kewenangan, dan ini menimbulkan konflik sehingga inovasi terhambat dan proses pengambilan keputusan juga menjadi lama. Sebagai perbandingan, Apple sebagai pesaing tetap menggunakan organisasi hirarki dimana Steve Jobs sebagai puncak hirarki tersebut.

Terakhir, Nokia tidak mampu mengantisipasi gelombang smartphone di awal tahun 2000-an. Ketika kompetitor mulai beralih ke smartphone, Nokia memilih fokus ke pembuatan cellphone yang berkualitas baik, murah, tahan lama dan menarik. Ternyata keinginan pasar berbeda, ketika Apple keluar di pasar, semua orang menginginkan smartphone tersebut. Nokia gagal mengantisipasi kebutuhan pasar padahal pada waktu itu posisinya masih sebagai pemimpin pasar. Apple setelah mengeluarkan smartphone segera mengambil alih posisi sebagai pemimpin pasar hingga kini.

Ini adalah salah satu bukti bahwa yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan. Seperti Charles Darwin mengatakan “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one most adaptable to change”. Lingkungan perusahaan terus berubah, dan yang mampu mengantisipasi atau memanfaatkan perubahan tersebut yang akan mampu bertahan dan meraih kesuksesan. Teknologi berkembang sangat cepat dan demografi konsumen juga berubah. Generasi muda memiliki perilaku yang berbeda. Kekuatan ekonomi negara juga bergeser. Sumber daya alam menipis. Isu sustainability mengemuka. Pandemi belum ada tanda akan berakhir. Kesemua ini adalah dinamika yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Adalah tidak mungkin perusahaan tidak beradaptasi dan tetap mengharapkan hasil yang sama.

Bagaimana perusahaan di tempat anda bekerja? Semoga ikut beradaptasi mengikuti perubahan.

Pentingnya Membaca Bagi Seorang Pemimpin

“Knowledge is Power”

Pernah mendengar kalimat itu? Banyak pendapat yang mengatakan bahwa semakin banyak kita mengetahui sesuatu, maka semakin banyak kekuatan yang kita miliki. Dari membaca, kita akan mendapatkan pengetahuan yang mungkin dapat membantu kita pada saat yang tidak terduga dan membuat pikiran kita untuk dapat mengenali peluang yang mungkin akan dilewati orang lain. Bahkan, dalam sebuah studi di Amerika menyatakan bahwa saat indeks membaca masyarakat berkurang pada satu tahun, berarti akan ada kekurangan pemimpin yang cakap untuk memimpin instansi, lembaga, perusahaan atau organisasi di Amerika. Sepenting itukah kebiasaan membaca bagi seorang pemimpin?

Sebut saja para pemimpin perusahaan terkenal di dunia, seperti Steve Jobs, Bill Gates hingga Elon Musk. Dari berbagai wawancara yang dilakukannya, mereka menyatakan bahwa membaca memberikan kesempatan dan kekuatan lebih bagi seorang pemimpin karena dapat membangun intelektual dan skill yang tak terduga dari hasil membaca buku. Beberapa pemimpin yang mungkin kita kenal juga, seperti Napoleon Bonaparte atau Vledimir Lenin mengakui buku sebagai sahabat dan rekan terbaik mereka dalam kehidupannya. Faktanya, Napoleon Bonaparte adalah seorang ‘gila baca’ yang memiliki pustakawan pribadi dan bertugas untuk membawa buku-buku favorit Napoleon ke medan perang. Seringkali Napoleon mengambil cuti saat membangun kerajaannya hanya untuk membaca buku yang bagus menurutnya. Sedangkan Vladimir Lenin, pendiri Uni Soviet, ternyata merupakan seorang sastrawan dan dikenal karena pengetahuannya yang luas dari hasil membaca. Segudang manfaat buku bagi seorang pemimpin, sebenarnya apa rahasia dan manfaat besar dari membaca buku?

Berkomunikasi Lebih Efektif

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa membaca dapat membuat seseorang menjadi pemimpin yang lebih baik, karena merupakan cara untuk memperoleh dan meningkatkan pengetahuan. Karena pengetahuan yang bertambah, seorang pemimpin akan diberikan manfaat kecerdasaran verbal yang bermanfaat bagi pemimpin tersebut untuk berkomunikasi dengan lebih efektif.

Selain itu, ketika kita membaca banyak buku dengan berbagai topik, kita menjadi mahir dalam menggunakan Bahasa dan akan berdampak pada saat kita berkomunikasi baik secara lisan (verbal) maupun tulisan. Salah satu cara seorang pemimpin yang hebat dalam memimpin adalah mahir dalam penggunaan kata-kata yang meyakinkan kepada para pengikutnya. Ketika kita banyak membaca, kita akan semakin banyak memperoleh pemahaman tentang kapan dan mana kata-kata yang sebaiknya kita pilih agar dapat mengkomunikasikan maksud kita secara efektif.

Mengajarkan untuk Lebih Sabar

Semakin kita mengerti banyak hal, semakin besar rasa simpati dan kebijaksanaan yang dimiliki. Keluasan pengetahuan dapat membantu seorang pemimpin untuk bertindak dengan penuh kesabaran, simpati dan pengertian. Hal ini dikarenakan, seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang baru membutuhkan waktu dan ketekunan, dan ini yang didapatkan dari seseorang yang membaca buku.

Menghasilkan Ide yang Baru dan Segar

Dengan banyak membaca, seorang pemimpin mendapatkan akses yang luar biasa dari ide, gagasan atau pemikiran. Tentunya hal-hal tersebut adalah hal yang penting untuk dimiliki seorang pemimpin. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seseorang yang membaca satu buku seminggu akan memiliki keuntungan yang lebih daripada seseorang yang hanya membaca satu atau dua buku dalam setahun. Hal ini dikarenakan, membaca lebih sering akan membuka akses ide, gagasan, informasi dan pemikiran lebih banyak daripada yang jarang membaca buku.

Menjadikan Kita Penulis yang Baik

Di setiap pekerjaan yang dilakukan, pemimpin dituntut untuk dapat menulis dengan baik. Mengapa kemampuan menulis menjadi sangat penting bagi kepemimpinan? Salah satu bagian penting dari kepemimpinan adalah penulisan laporan dan bagaimana mengkomunikasikannya secara efektif kepada manajemen dan anggota tim. Penggunaan penulisan kata menjadi penting agar pesan dapat tersampaikan secara akurat dan efektif. Sekali lagi, dengan banyak membaca seorang pemimpin akan mendapatkan kemampuan menulis secara tidak langsung.

Memotivasi untuk Melakukan yang Lebih Baik

Membaca biografi seorang pemimpin, atau kisah dari orang yang sukses dan berhasil tentunya akan memberikan dorongan juga kepada kita dalam berbuat sesuatu. Dengan membaca tentang bagaimana para pemimpin lain menghadapi situasi yang tidak mungkin dan bagaimana mereka mengatasi tantangan yang dihadapi, akan membuat kita semakin menyadari dan memotivasi untuk melakukan hal yang sama atau lebih baik. Dengan banyak membaca kisah atau pengalaman orang lain, akan menjadi pendorong bagi pemimpin untuk berusaha lebih baik.

Memudahkan Kita Mengingat Sesuatu

Pikiran manusia hanya berpegang pada hal-hal yang dianggap sangat penting ketika sedang bekerja atau menjalani hidup. Hal-hal lainnya dipindahkan dalam ingatan bawah sadar manusia. Ingatan ini tidak akan hilang, dan mungkin akan muncul sebagai referensi kita di masa mendatang. Jadi tak heran kalau hasil kita membaca kadang membantu kita pada saat-saat yang tidak terduga. Ketika kita membaca, kita sering diingatkan akan hal-hal yang mungkin dianggap kritis dalam hal karir atau kehidupan kita. Membaca secara teratur adalah cara paling efektif untuk mereviu kembali konsep-konsep penting yang kita pernah pikirkan untuk menjadi lebih baik.

Nah, ternyata membaca memberikan segudang manfaat untuk kita ketika diberikan tanggungjawab besar dalam memimpin. Selain hal-hal di atas, yang terpenting dari manfaat membaca adalah kita akan selalu menjadi merasa dunia dan kehidupan ini sangatlah luas begitu pula dengan peluang dan kesempatan yang bisa diraih. Jadi, sudahkah membaca buku hari ini?

Tagged : / /

Coaching: Manfaat Bagi Atasan dan Bawahan

Hasil riset menunjukkan bahwa efektivitas pengembangan seseorang 70% ditentukan melalui on the job training, 20% dari hasil coaching dan 10% dari formal training. Hasil penelitian ini mengajak kita untuk mengubah cara pandang bahwa kita dikembangkan perusahaan apabila dikirim mengikuti program pelatihan atau pendidikan yang dilakukan oleh pihak eksternal. Ternyata efektivitas keikutsertaan dalam pelatihan formal hanya 10%, sementara biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Pengembangan on the job training amat sesuai dengan karateristik milenial dimana mereka menghargai sebuah proses daripada dilakukan pendampingan. Mengalami kesulitan, mampu keluar dari masalah, sukses menyelesaikan tugas merupakan proses yang dinikmati para milenial dalam pelaksanaan tugas. Sudah sewajarnya bila perusahaan banyak menekankan pengembangan karyawannya dengan metode ini. Yang berikutnya adalah coaching. Namun pelaksanaan coaching menjadi masalah karena membutuhkan pihak selain karyawan yaitu atasan. Perlu dikaji apakah atasan paham tugasnya untuk memberikan coaching dan ketika paham mampu melakukannya. Hasil survey menunjukkan 52% dari atasan tidak pernah diberikan pelatihan menjadi mentor. Sementara 79% dari atasan mendapatkan informasi bagaimana menjadi mentor justru dari internet.

Wajar kalau kemudian milenial merasa tidak dikembangkan, karena perusahaan memang tidak pernah mempersiapkan atasan dengan kemampuan coaching yang baik. Di lain pihak, atasan juga menganggap proses coaching kurang penting, sehingga tidak merasa perlu melakukan proses tersebut dan apalagi belajar bagaimana menjadi coach yang baik. Ini adalah gejala umum di banyak perusahaan, sehingga pelaksanaan coaching tidak seragam dan dilakukan berdasarkan pemahaman atasan.

Dick Grote, pakar performance management, dalam artikelnya “every manager needs to practice two types of coaching” menjelaskan ada dua jenis coaching yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah calendar-driven coaching dan kedua adalah event-driven coaching.

Calendar-driven coaching dilakukan secara formal dan terstruktur di waktu tertentu seperti awal, pertengahan atau akhir tahun. Sesuai aturan seorang atasan akan menginisiasi diskusi dengan bawahan, dan mengisi formulir sesuai yang dipersyaratkan. Seorang atasan akan banyak melakukan pertanyaan untuk menggali masalah yang dihadapi oleh bawahan dalam bekerja. Pada akhir sesi atasan akan menyampaikan ekspektasi dan rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan oleh bawahan. Terkadang rekomendasi ini kemudian masuk ke dalam rencana pengembangan individu untuk kemudian dapat ditindaklanjuti secara formal.

Yang kedua, event-driven coaching, pelaksanaannya lebih informal dan bisa dilakukan kapan saja. Pihak yang menginisiasi coaching juga bisa dari bawahan dan tidak melulu harus dari atasan. Misalnya seorang bawahan setelah melakukan presentasi meminta feedback atasan terhadap materi dan cara komunikasi atau presentasi. Apa yang perlu diperbaiki, sehingga lebih baik di masa mendatang. Bisa juga seorang atasan dalam keseharian memanggil bawahan untuk kemudian secara langsung memberikan evaluasi dan masukan kepada bawahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Dengan demikian inisitiaf jenis coaching ini bisa dilakukan baik oleh atasan maupun bawahan.

Apabila calendar-driven coaching dilakukan di kantor, maka event-driven coaching bisa dilakukan dimana saja dan bahkan dapat dalam bentuk pesan teks tidak dharus dalam bentuk sebuah dialog langsung. Atasan yang baik akan dengan senang hati memberikan coaching, sebabnya ketika bawahan lancar atau mengerti dengan jelas ekpektasi atasan, maka penyelesaian tugas akan lebih lancar dan sesuai harapan. Dengan demikian, anda menjadi merugi ketika tidak meminta masukan setelah sebuah event. Hubungan atasan bawahan juga bisa terjalin lebih erat ketika anda melakukannya, karena atasan juga merasa dihormati dengan dimintakan masukan atau pendapat.

Milenial butuh pengembangan, atasan perlu pekerjaan lancar. Oleh karena itu kedua pihak perlu berinisiatif. Ketika manusia menjadi aset paling berharga, tentunya kita selalu ingin aset tersebut selalu berkembang. Sudahkah anda minta di-coaching belakangan ini?

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kehidupan dalam pekerjaan tidaklah selalu berjalan mulus. Setiap orang yang bekerja, seringkali dihadapkan dengan berbagai hambatan dan kesulitan. Bahkan, seringkali kesulitan yang ada di tempat kerja sering berdampak buruk khususnya terhadap kesehatan mental dan kehidupan sosial karyawan. Salah satu isu yang sering menjadi bahan pembicaraan namun tidak cukup mendapat perhatian adalah terkait dengan isu pelecehan seksual atau sexual harassment di tempat kerja. Tanpa disadari, tindakan pelecehan seksual di kantor ternyata memiliki dampak yang serius terhadap kesejahteraan karyawan dan citra perusahaan atau organisasi.

Dalam perspektif psikologis, pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang dipandang sebagai bentuk ofensif atau mengancam kenyamanan seseorang. Apabila didefinisikan secara umum, pelecehan seksual dapat digambarkan sebagai sebuah tindakan yang tidak “diminta”, meliputi tindakan fisik, verbal dan non-verbal yang bersifat seksual dan mempengaruhi martabat wanita maupun pria. Begitu pula di tempat kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya berbicara bahwa korbannya hanyalah wanita. Studi UN Women pada tahun 2012, mengungkapkan bahwa baik pria maupun wanita menjadi korban pelecehan seksual, meskipun rasio perempuan yang menjadi korban jauh lebih besar.

Pelecehan di tempat kerja telah ada selama beberapa dekade dan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Berdasarkan artikel berjudul “Sexual Assault and Mental Health” yang ditulis oleh Mental Health America tahun 2019, tindakan pelecehan seksual di tempat kerja memberikan ketidaknyamanan kepada para korbannya baik secara fisik maupun mental. Sebuah tindakan pelecehan seksual saja dapat menyebabkan efek negatif jangka pendek dan jangka panjang pada korban. Hal Ini mengarah pada kondisi depresi dan stres pasca-trauma. Karyawan yang menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja mungkin dapat merasa terhina, kehilangan harga diri, dan banyak lagi. Seorang akademisi dari Walden University juga mengungkapkan bahwa tindakan pelecehan seksual ini juga dapat menyebabkan masalah di tempat kerja seperti turnover yang lebih tinggi, ketidakhadiran, kepuasan kerja yang lebih rendah, dan penurunan kinerja. Pada karyawan pria maupun wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual rata-rata merasakan emosi negatif seperti malu, takut dan depresi serta penurunan harga diri, kepuasan kerja, dan rasa nyaman mereka di kantor.

Apabila tidak direspon dengan cepat, tidak peduli seberapa besar atau kecil insiden pelecehan seksual akan banyak berpengaruh baik terhadap perusahaan maupun terhadap karyawannya. Respon yang terlambat dapat membuat korban berhenti dari pekerjaan mereka. Jika isu pelecehan seksual di tempat kerja diabaikan, citra perusahaan juga akan terganggu. Bayangkan apabila sebuah perusahaan dicap sebagai perusahaan yang kental dengan karyawan-karyawan yang suka melakukan pelecehan seksual. Tentunya akan menimbulkan persepsi yang buruk di mata masyarakat.

Agar dapat meminimalisir dan mencegah tindakan pelecehan seksual di kantor, manajemen perusahaan diharapkan memiliki kebijakan efektif dan dikomunikasikan dengan baik yang bertujuan untuk mencegah pelecehan. Kebijakan harus dipantau dan keberhasilannya ditinjau secara berkala. Manajemen juga harus mengambil kesempatan untuk mengingatkan karyawan tentang keberadaan kebijakan dan isinya, menyoroti pesan utama kebijakan – seperti kebijakan “tanpa toleransi” terhadap pelecehan dan bagaimana melaporkan pelecehan. Manajemen dapat mengomunikasikan kebijakan dan kontennya menggunakan, misalnya melalui buletin internal, papan pengumuman fisik atau digital, rapat staf, atau penyampaian informasi terkait meningkatnya risiko pelecehan kepada staf sebelum acara penting. Perusahaan juga dapat menyediakan layanan counceling atau kotak suara bagi para korban yang ingin menyampaikan kegelisahan atas tindakan pelecehan seksual yang dideritanya.

Selain itu, manajemen perusahaan harus secara proaktif berusaha untuk menyadari apa yang terjadi di tempat kerja. Apabila memerhatikan dengan benar mungkin ada tanda-tanda peringatan bahwa pelecehan sedang terjadi, di luar mengetahuinya dari laporan pengaduan informal dan formal. Misalnya, ada karyawan yang sering absen karena sakit, perubahan perilaku, komentar dalam wawancara (exit interview), penurunan kinerja, atau adanya aksi menghindar dari rekan kerja tertentu. Manajemen perusahaan harus memberi karyawan kesempatan untuk mengangkat masalah mereka.

Selain kebijakan secara perusahaan, korban pun harus turut aktif membuka dirinya dan berterus terang atas apa yang dialami. Hal ini agar dampak-dampak pelecehan seksual yang disebutkan sebelumnya tidak semakin besar dan tindakan pelecehan seksual dapat diminimalisir.

Employee Turnover

Apabila saya menyebut kata ‘turnover’, apa yang pertama kali muncul di benak kalian semua? Perusahaan atau organisasi seperti apa ya yang membuat turn over menjadi tinggi?
Sebelumnya kita coba bahas sedikit ya pengertian turnover atau istilah dalam bahasa indonesianya yaitu perputaran karyawan.

Employee turnover merupakan tingkat atau jumlah karyawan yang keluar dari suatu perusahaan dan digantikan oleh karyawan yang baru. Turnover bisa terjadi dalam dua cara. Pertama, pergantian yang bersifat voluntary yang artinya karyawan berhenti dari pekerjaan/mengundurkan diri sendiri dari pekerjaannya. Kedua, yang bersifat involuntary atau karyawan yang dipecat.

Tingkat turnover yang tinggi memiliki implikasi yang besar bagi perusahaan manapun dan sebagian besar ditentukan oleh seberapa bahagia karyawan di tempat kerjanya sehingga menjadi enganged dengan perusahaanya. Dalam hal ini HR memiliki peran penting untuk menciptakan pengalaman dan lingkungan kerja yang positif dengan meningkatkan keterlibatan karyawan sehingga dapat menjadi salah satu komponen penting untuk menjaga tingkat turnover tetap rendah.

Turnover juga menjadi komponen penting dari profitabilitas suatu perusahaan secara keseluruhan. Karena untuk melakukan proses seleksi, rekrutmen serta training untuk karyawan baru membutuhkan uang yang tidak sedikit, belum lagi waktu yang dibutuhkan sebelum karyawan tersebut sudah siap dan dapat berkontribusi penuh pada tugas dan tanggung jawabnya.

Nah sekarang kira-kira bagaimana nih guys menentukan turnover suatu perusahaan tinggi atau rendah? Dari beberapa sumber, ada yang menyatakan bahwa high turnover terjadi apabila 28% karyawan baru di suatu perusahaan berhenti dalam 90 hari pertama kerja mereka. Atau banyak juga sumber yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat turnover untuk semua jenis pekerjaan adalah 3,5%. Walaupun ada beberapa industri yang memang rata-rata tingkat turnovernya tinggi seperti industri food service, seni, hiburan, konstruksi, dan sales, dimana tingkat turnovernya bisa sampai 6,1%.

Tingkat turnover dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Turnover rate (%) = (Jumlah karyawan yang keluar/Rata-rata jumlah karyawan)x100. Coba guys, kira-kira kalau kalian hitung-hitung turnover di perusahaan kalian bekerja masing-masing, hasilnya gimana? Hehe apakah termasuk dengan turnover tinggi atau tidak? Penyebab turnover yang tinggi ini sering kali disebabkan hasil dari pengalaman kerja yang negatif/pengalaman buruk yang membuat karyawan memutuskan berhenti. Apabila generasi anak muda jaman sekarang yang sangat berani untuk speak up dan mengambil risiko dengan meninggalkan pekerjaannya apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.

Seperti pertanyaan saya diawal, kira-kira perusahaan seperti apa sih yang membuat turnover karyawannya menjadi tinggi? Berikut rangkuman dari beberapa sumber:
1. Kurangnya peluang untuk mengembangkan potensi diri
2. Kompensasi (gaji dan benefit lainnya) yang tidak cukup/memadai
3. Manajemen perusahaan yang buruk seperti micromanagement, komunikasi yang buruk, tujuan/perencanaan perusahaan yang tidak fokus/tidak jelas
4. Lingkungan kerja yang penuh dengan ‘toxic’
5. Proses rekrutmen, training, promosi, mutasi yang buruk

Studi yang dilakukan oleh Harvard menemukan 2 variabel penting dalam employee turnover yaitu kepuasaan karyawan dengan pekerjaannya (seperti prestasi, pengakuan, kesempatan berkembang, tanggung jawab) dan tekanan lingkungan baik dari dalam/luar perusahaannya (seperti peraturan perusahaan, fasilitas, work-life balance). Dimana dari 2 variabel ini, dapat memperlihatkan 4 tipe/karakteristik karyawan dalam memutuskan untuk tetap berada di suatu perusahaan atau keluar.

Seperti yang kita semua tahu bahwa perusahaan dengan tingkat turnover yang tinggi juga membutuhkan biaya yang besar dan memberikan dampak negatif terhadap citra perusahaan tersebut. Sehingga sebaiknya SDM yang sudah ada diberdayakan sebaik mungkin sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan terus diberikan ruang untuk improvement agar merasa dihargai, puas dalam pekerjaannya dan akan enganged dengan sendirinya pada rolenya dan memberikan output yang maksimal bagi perusahaannya.


Informal Leaders

Salah satu syarat perusahaan bisa bertahan dalam situasi ketidakpastian yang tinggi seperti sekarang adalah kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Perkembangan teknologi dimana seluruh aspek kehidupan kita sudah disentuh oleh digitalisasi, kita juga berada dalam masa transisi generasi X ke milenial, dan terakhir pandemi dalam dua tahun belakangan ini memaksa perusahaan untuk terus beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dalam proses perubahan, salah satu unsur terpenting adalah keberadaan informal leaders.

Informal leaders menurut business dictionary adalah “An individual within an organization that is viewed as someone worth listening to due to their perceived experience and reputation among peers. The informal leader does not hold any position of formal authority or power over the peers choosing to follow their lead but can influence the decisions of others”. Jadi informal leaders tidak harus memgang jabatan formal, mereka didengarkan dan berpengaruh kepada pegawai yang lain. Informal leaders inilah dalam suatu proses perubahan yang bisa menggerakkan orang lain dalam perusahaan untuk berubah. Oleh karena itu perusahaan harus mampu mengidentifikasi siapa saja informal leaders di dalam perusahaan.

Jon Katzenbach, Carolin Oelschlegel, and James Thomas dalam artikelnya di forbes menjelaskan ada 4 tipe informal leaders. Pertama adalah pride builders. Orang ini adalah motivator sejati dalam lingkungan kerja. Umumnya first line manager yang menjadi katalis perubahan lingkungan. Mereka paham dengan kondisi lingkungan kerja dan paham bagaimana melakukan perubahan yang diperlukan. Tipe kedua adalah exemplars. Mereka adalah para role model baik dengan perilaku, pengetahuan atau kompetensinya. Exemplars umumnya adalah di middle dan top management. Mereka amat dihormati dan merupakan influencers yang efektif bagi peer-nya. Tipe ketiga adalah networkers. Mereka adalah pusat informasi di dalam perusahaan. Tipe ini punya hubungan baik dengan semua pihak dan dapat berkomunikasi dengan baik secara terbuka. Ketika anda ingin ide perubahan dapat terkomunikasi dengan baik, tipe ini harus dilibatkan. Terakhir adalah early adopters. Mereka adalah orang yang memiliki antusiasme tinggi dengan hal baru misalnya teknologi, proses dan cara kerja. Sebaiknya ketika melakukan pilot project perubahan mereka harus dikutsertakan.

Karena perannya yang penting, apakah informal leader bisa dikembangkan? Bisa dan harus dikembangkan agar proses perubahan dapat berjalan dengan lancar. Hanya saja metode pengembangan mereka tidak dilakukan secara formal melalui training atau seminar, tetapi melalui sebuah social learning. Group coaching dengan mentor tertentu cukup efektif untuk dilakukan. FGD kecil diantara informal leaders untuk pembahasan topik tertentu bisa juga dilakukan dengan efektif Terakhir, menonton atau sharing video terkait dengan materi perubahan secara periodik juga bentuk pengembangan yang efektif untuk dilakukan. Dalam suatu proses perubahan, terkadang keberadaan mereka terabaikan, pada mereka menjadi garda terdepan dalam perubahan. Untuk itu para pelaksana program perubahan harus menaruh perhatian khusus kepada informal leaders.

Dalam proses perubahan, bukan berarti peran formal leaders tidak diperlukan, tapi kesuksesan perubahan banyak ditentukan oleh informal leaders. Mereka menjadi pemimpin diantara pegawai, okeh karena itu setiap pendapat dan tindakannya amat mempengaruhi lingkungan sekitar. Apabila perusahaan kamu sedang melakukan perubahan, coba identifikasi siapa saja informal leaders di perusahaan. Mulai berkomunikasi dengan mereka agar mendapat dukungan. Pertama agar mereka aware dengan rencana perubahan. Tahap selanjutnya mereka mengerti maksud dari rencana perubahan. Setelah mengerti tentunya diharapkan mereka bisa menerima perubahan dan akhirnya memiliki komitmen untuk mendukung perubahan. Apabila komitmen sudah diperoleh, anda tinggal menunggu perubahan akan bergulir dengan sendirinya. Selamat mencoba.

Tujuh Dimensi Etos Kerja

Tujuh Dimensi Etos Kerja

Oleh : Aldi Firmansyah Rubini

Apakah Anda pernah bekerja dengan seseorang yang pintar dan berkemampuan tinggi tapi tidak dapat berbaur dengan Anda atau rekan lainnya di kantor dengan alasan “Kayaknya orang ini gak punya Work Ethic yang baik ya”? Sebenarnya apa itu work ethic? Dan, apa yang harus dimiliki seseorang dalam pekerjaannya sehingga dapat dinilai memiliki etos bekerja yang cukup?

Lingkungan pekerjaan saat ini tidak hanya serba cepat, tetapi juga sangat kompetitif. Agar suatu perusahaan atau instansi dapat mengimbangi hal tersebut dan tetap berada dalam posisi terdepan, perusahaan juga perlu berinvestasi pada tenaga Sumber Daya Manusia yang memiliki etos kerja yang baik. Selain dapat memberikan nilai tambah kepada perusahaan, SDM berkualitas yang memiliki etos kerja dapat menjadi nilai tambah untuk seseorang berpeluang dapat mencapai tingkat karir yang tinggi. Oleh karena itu, etos kerja wajib dimiliki agar dapat menunjang kehidupan karir seseorang.

Berdasarkan Journal of Managerial Issues, 22 (1) yang ditulis oleh akademisi bernama Raymond K., dan rekannya, konsep “etos kerja” terus berubah-ubah dan berevolusi seiring berkembangnya zaman. Dari mulai pekerja yang penurut, loyal, disiplin, rajin ke kantor dan bekerja keras disebut sebagai orang yang punya etos kerja yang baik, hingga pekerja yang asalkan dapat menyelesaikan tugas dengan benar walaupun bekerja dapat dimana saja dan berkomunikasi dengan rekan serta atasan kerja dengan baik dapat disebut sebagai orang yang memiliki etos kerja yang juga baik. Di jurnal tersebut juga menyatakan bahwa terdapat tujuh dimensi etos kerja yang dapat dilihat sebagai penilaian, yaitu Self Reliance, Morality/Ethics, Leisure, Hard Work, Centrality of Work, Wasted Time, dan Delay of Gratification.

Self Reliance berbicara tentang bagaimana seseorang dapat bekerja secara independent dan mandiri. Seseorang yang memiliki Self Reliance yang tinggi dapat bekerja dengan bertanggungjawab dan tidak akan mudah bergantung pada orang lain. Morality/Ethics merupakan salah satu dimensi yang penting. Morality/Ethics berbicara tentang karakter, kebiasaan dan etika dengan lingkungan sosial di sekitar tempat ia bekerja. Yang dapat ditanyakan terkait Morality/Ethics adalah apakah seseorang bekerja dengan perilaku yang baik atau buruk baik terhadap rekan sesama, bawahan maupun atasannya. Leisure merupakan dimensi yang berbicara tentang bagaimana seorang pekerja dapat berperilaku secara flexible di lingkungan kerja. Flexibel dalam hal ini berkaitan erat dengan keinginan seorang pekerja untuk berkontribusi dalam kegiatan non-pekerjaan yang sifatnya dapat mencairkan suasana dalam suatu lingkungan pekerjaan, seperti perayaan ulang tahun perusahaan, sharing knowledge, dan hal lainnya. Hard Work merupakan dimensi yang berkaitan erat dengan komitmen pekerja dalam melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh. Pekerja yang ditempatkan pada bidang yang sesuai, cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap tempat ia bekerja. Dimensi Centrality of Work berbicara terkait dengan tingkat fokus yang harus dimiliki seseorang. Fokus ini tidak harus selalu urusan pekerjaan, namun ketika ada kegiatan di luar pekerjaan ia pun dapat fokus untuk berkontribusi dalam kegiatan dimaksud. Wasted Time berbicara terkait bagaimana seseorang memiliki kemampuan time management yang baik untuk meningkatkan produktivitas dalam bekerja. Seorang pekerja yang sering tidak peka terhadap waktu pengerjaan tugas, akan dipandang sebagai seseorang yang tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Sedangkan dimensi yang terakhir, yaitu Delay of Gratification atau kemampuan seorang pekerja untuk dapat menolak keuntungan pribadi demi menjaga kredibilitas tempat ia bekerja.

Ketujuh dimensi ini dapat digunakan untuk melihat sejauh mana seseorang memiliki tingkat etos kerja yang baik. Apabila ketujuh dimensi ini dimiliki oleh seorang pekerja, maka ia dapat menjadi salah seorang pekerja yang beretos kerja baik. Namun, jangan lupa juga bahwa dalam bekerja harus selalu memiliki sikap simpati dan empati serta saling menghormati dan menghargai antar sesama pekerja agar pekerjaan dan produktivitas dalam bekerja dapat maksimal.

Manajemen dan Kepemimpinan

Manajemen dan Kepemimpinan adalah dua kata yang tentunya tidak asing di telinga. Atau bahkan overrated karena terlalu sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari di pekerjaan. Berbagai pelatihan mengenai dua hal tersebut juga tentunya sering diadakan untuk para professional. Sebenarnya apakah kedua hal tersebut sama? Atau malah berbeda? Atau saling berkaitan?

Mengutip Kotter dalam tulisannya yang berjudul “What Leaders Really Do” dalam Harvard Business Review, “Management and leadership both involve deciding what needs to be done, creating networks of people to accomplish the agenda, and ensuring that the work actually gets done. Their work is complementary but each system of action goes about the tasks in different ways.” Keduanya sama-sama dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan dan saling melengkapi tetapi tentunya dengan cara yang berbeda. Manajemen berkaitan sistem bekerja sedangkan kepemimpinan berkaitan dengan orang-orang yang melakukannya. Manajemen adalah mengenai menghadapi hal kompleks. Sedangkan kepemimpinan adalah mengenai menghadapi perubahan. Bagaimana menghadapi VUCA World yang sudah pernah juga diulas dalam artikel Baca Pikir.

Perencanaan atau Pemberian Arahan

Manajemen mengatasi hal rumit dengan melakukan perencanaan dan penganggaran biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut. Hal ini dirancang untuk hasil yang sistematis dan teratur. Kepemimpinan mengatasi perubahan dengan pemberian arahan. Hal mendasar dalam kepemimpinan adalah pemberian arahan yang jelas kepada anggota tim. Pimpinan mengumpulkan berbagai informasi dan data dan melihat pola, hubungan, dan saling mengaitkannya. Proses ini tentunya bukan menghasilkan sebuah rencana, karena yang dilakukan pimpinan adalah menciptakan visi dan strategi. Visi dari pimpinan juga tidak harus super canggih dan “fancy”, yang terpenting adalah visi tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh seluruh anggota tim, menyasar langsung untuk pegawai dan stakeholders, dan juga mudah diimplementasikan dan terukur.

Mengatur atau Menyelaraskan

Manajemen mengatur dan membangun sistem kepegawaian dengan menerapkan sistem yang tepat dan efisien seperti struktur pekerjaan, struktur organisasi, pegawai yang sesuai dengan kualifikasi pekerjaan. Sedangkan kepemimpinan melakukan penyelarasan pegawai dengan berkomunikasi dengan sebanyak-banyaknya pegawai. Komunikasi ini bertujuan agar pegawai paham dengan arahan dan target yang pimpinan berikan dan sama-sama berkomitmen untuk mencapai target tersebut.

Mengatur atau Memotivasi

Proses mengorgisir membentuk organisasi untuk mencapai target dan menjaga proses agar tetap berjalan sesuai rencana, memastikan kualitas tetap terjaga dan mengetahui langkah korektif yang harus diambil bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai. Sedangkan sebagai pimpinan, harusnya mampu untuk memastikan dan memiliki energi positif untuk membantu anggota timnya melewati kendala pekerjaan. Memberikan motivasi dan menginspirasi anggota tim tidak dengan tidak memaksa kehendak untuk menimbulkan sense of belonging, recognition, dan self-esteem dari anggota timnya.

Apakah pimpinan di tempatmu bekerja sudah mencerminkan hal-hal tersebut?

Sumber:

  1. What Leaders Really Do – Kotter
  2. Asana.com
  3. Forbes.com

Toxic Superstar

Toxic Superstar

Bila kamu menemui seorang karyawan/pegawai/manajer/pimpinan yang luar biasa bagus kinerjanya, namun hampir seluruh rekan kerja/kolega di kantor tidak menyukai perilaku orang ini, maka dapat dipastikan dia adalah Toxic Superstar. Familiar bukan? Saya yakin kamu mulai membayangkan orang-orang di kantor yang seperti ini, ya kan?

Toxic superstar merupakan istilah yang digunakan bagi seorang pekerja yang high achiever (berkinerja tinggi), namun memiliki perilaku amat buruk di lingkungan kantor. Kebiasaan buruk tersebut bisa berupa merendahkan pegawai lain, menyalahgunakan kekuasaan, mengadu domba, melakukan fitnah, suka marah-marah, sombong, sukar menerima masukan, atau segala macam perilaku yang merusak suasana dan lingkungan kerja di kantor.

Toxic superstar ada di hampir seluruh organisasi atau perusahaan. Namun tidak semua organisasi paham tentang fenomena ini dan justru merasa keadaan di kantor baik-baik saja, bahkan banyak pemimpin perusahaan yang amat tergantung oleh toxic superstar sehingga enggan untuk melakukan tindakan korektif. Padahal toxic superstar bisa memicu kerusakan organisasi yang lebih besar pada jangka panjang dan mengancam eksistensi organisasi.

Lalu bagaimana solusi untuk menghadapi Toxic Superstar? Ada strategi yang disebut GPS. Pertama, GOAL, pemimpin dan pembuat keputusan harus jelas menetapkan tujuan/tindakan yang akan dilakukan terhadap toxic superstar, biasanya ada dua tujuan yang bisa dipilih:

  1. Menyingkirkan toxic superstar ini, tapi kinerja perusahaan jangan sampai menurun.
  2. Mempertahankan toxic superstar ini, tapi jangan sampai membuat karyawan/pegawai lain meninggalkan perusahaan atau resign.

Kedua, POSITION, pemimpin dan pembuat keputusan harus melihat secara “helicopter view” dimana posisi perusahaan saat ini, apakah sesuai dengan visi jangka panjang, apakah perilaku tertentu dapat ditolerir, apakah ada values/nilai-nilai dalam perusahaan yang perlu ditegakkan, apakah perlu ada mekanisme stick and carrot, dan sebagainya. Diagnostic seperti ini wajib dilakukan pemimpin bila ingin perusahaan/organisasinya tetap bertahan.

Ketiga, STRATEGY, tanyakan dan pastikan hal-hal ini sebelum pemimpin memutuskan mau berbuat apa terhadap toxic superstar:

  1. Apakah dia masih mampu belajar (learning)?
  2. Apakah organisasi/perusahaan masih punya waktu dan sumber daya untuk melatih orang ini?
  3. Apakah dia masih memiliki motivasi untuk berubah?

Bila jawabannya YA, pemimpin harus mengajari (COACH) toxic superstar tentang hal-hal yang ditolerir atau tidak dalam perusahaan, sehingga perilaku-perilaku buruknya tidak terulang. Dari berbagai kasus, tujuan kedua jauh lebih sulit dan lebih mahal untuk dilakukan karena toxic superstar kebanyakan memiliki kemampuan beradu argumen yang mahir, bahkan tidak jarang ketika toxic superstar diberi feedback, dia justru malah membalas memberi feedback.

Bila jawabannya TIDAK, maka pemimpin harus memecat (FIRE) toxic superstar, sembari mencari talent pengganti yang sepadan untuk perusahaan sebelum toxic superstar ini pergi. Bisa melalui profesional hire, atau knowledge transfer dari toxic superstar ke pegawai lain tanpa si toxic superstar tahu dia akan dipecat.

Source:

https://mitsloan.mit.edu
https://www.idntimes.com
https://www.bizjournals.com
https://dan-kerber.medium.com
https://www.thirty30.com

Favoritism (2)

Tulisan ini terinspirasi dari kekalahan Manchester United yang kesekian kali di musim ini. Hujatan dan permintaan manajer OGS dipecat marak kembali. Selain dianggap kurang memiliki kemampuan taktikal, OGS dianggap memfavoritkan beberapa pemain meskipun di musim ini bermain jelek. Sementara pemain lain dengan kualitas yang baik dan dibeli dengan harga mahal tidak dimainkan. Rumornya ini menjadi sumber konflik internal pemain sehingga mengganggu kebersamaan tim.

Favoritism sendiri diartikan sebagai praktek memberikan perlakuan istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang sehingga merugikan orang lain. Di dunia kerja hal ini merupakan hal yang biasa dimana hasil survei Georgetown University menjelaskan bahwa senior eksekutif melihat dalam proses promosi 92% dilakukan di dunia kerja dilakukan berdasarkan favoritism. Mereka juga menjelaskan bahwa 84% dilakukan oleh perusahaan mereka sendiri, dan bahkan sekitar 25% dari senior eksekutif ini mengakui bahwa mereka melakukan praktek tersebut.

Favoritism sendiri merupakan sesuatu yang wajar dan alami. Dari sekian baju yang kita miliki, tentu ada yang kita amat suka. Dari sekian banyak teman yang ada, tentu ada yang paling cocok. Demikian juga dengan anak buah. Pemimpin memiliki sekian banyak anak buah, tetapi dia merasa ada yang paling cocok. Hal tersebut tidak dapat dihindari, namun jangan sampai kemudian hanya memberikan kesempatan kepada anak buah tersebut dan tidak kepada yang lain. Boleh lebih cocok dengan seseorang, tetapi harus tetap adil dan profesional dalam hal pekerjaan dengan anak buah yang lain. Jangan sampai tugas yang menantang atau menarik hanya diberikan kepada seseorang saja secara berulang kali. Kesempatan ini harus diberikan juga kepada anak buah yang lain untuk menciptakan keadilan.

Kita juga harus mampu membedakan antara favoritism dengan penghargaan atas kinerja yang baik. Terkadang seseorang diberikan kesempatan bukan karena perlakuan istimewa, tapi memang bekerja keras dan mengerjakan tugas dengan baik melebih ekspektasi sehingga mendapat kepercayaan. Hal ini bukanlah favoritism karena diperoleh dari sebuah kerja keras. Akan tetapi bila perlakuan istimewa tersebut diperoleh dari hubungan keluarga, kesamaan asal daerah atau kedekatan personal maka itu bisa dikatakan favoritism. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati mendefinisikan suatu kondisi ke dalam favoritism.

Sebagai seorang pemimpin, seperri OGS di Manchester United, dia harus memberika kesempatan bermain kepada pemain yang lain. Apalagi ketika pemain inti sedang bermain buruk, atasan harus memberikan kesempatan yang lain untuk bermain. Jangan terus memaksakan pemain tertentu saja karena yang dirugikan akhirnya adalah tim atau perusahaan. Suasana kerja juga kurang kondusif, kepercayaan kepada atasan jadi rendah dan kinerja tim menjadi buruk. Tidak ada hal baik dari favoritism.

Apa yang bisa dilakukan ketika anda menemukan hal ini di kantor? Pertama adalah berusaha membicarakan hal ini dengan orang yang tepat. Kedua, berusaha memahami mengapa orang tersebut mendapat keistimewaan. Ketiga, tetap bekerja keras dan profesional serta tidak memusuhi orang yang mendapatkan keistimewaan. Keempat, tetap berfikiran positif dan bersabar dalam bekerja. Terakhir, terus mencari kesempatan untuk mendapat tugas yang menantang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi anda.

Favoritism adalah sesuai hal yang biasa, perlu diterima namun bukan menjadi halangan bagi anda untuk terus berkarya. Tetap semangat dan berkarya, karena kesempatan tersebut bisa datang secara tiba-tiba dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tetap semangat!

Human Capital Risk

Gaes, mau tanya ni.

Di organisasi kamu, apa ada risk register* terkait SDM (Sumber Daya Manusia)? Kalau ada, diset di level mana (low, medium, high)? Dari observasi saya, risiko SDM biasanya tidak diset sebagai top risk, apalagi jadi prioritas. Biasanya risiko SDM kalah dengan risiko yang terkait langsung dengan proses bisnis yang menghasilkan uang bagi organisasi.

Tapi gaes, di era yang semuanya bisa terjadi dan berdampak besar bagi organisasi, teknologi berkembang pesat dalam sekejap, serta kompetensi yang makin sengit, risiko terkait SDM sepertinya harus dilihat dan dikaji kembali.

Mengintisarikan cerita dalam tulisan Nalbantian “Navigating Human Capital Risk and Uncertainty Through Advance Workforce Analytics”, alkisah ada sebuah perusahaan bernama Digitt. Digitt terancam gulung tikar karena pendapatannya menurun sedangkan hutang makin bertambah. Harga saham menurun yang diperparah dengan berita yang beredar di masyarakat kalau top executive perusahaan itu tidak akur.

Digitt berada di market yang sangat terdampak dengan revolusi digital. Banyak pesaing baru masuk yang menawarkan produk dengan harga yang lebih rendah. Untuk merespon seluruh tantangan itu, Digitt meluncurkan produk baru, memperkuat layanan untuk mendukung produk baru, melakukan reorganisasi bisnis, bahkan meluncurkan re-branding dan memperkuat tim sales untuk meningkatkan penjualan.
Semua upaya ini keliatannya sudah benar kan? Tapi sayang angka berbicara lain. Hal ini tidak menolong Digitt.

Bisa tebak faktor penyebab utama kegagalan Digitt?

Kegagalan Manajemen melihat depresiasi dari SDM mereka sendiri – “depreciation in the value of its human capital” – dan mengantisipasinya. SDM Digitt ketinggalan dalam knowledge, skills, dan expertise yang dibutuhkan untuk bersaing dalam market yang bertransformasi cepat secara digital. Dengan kondisi SDM seperti itu, produk yang diluncurkan pun bisa dibilang ketinggalan. Pekerja tidak update dengan teknologi baru, tidak ada strategi pengembangan pegawai, kemudian diperparah dengan sistem reward dan performance management yang terus membiarkan hal ini terjadi dan membutakan bahwa sebenernya SDM Digitt sudah ketinggalan daripada mereka yang ada di luar sana. Ketika hal ini terjadi, Tim Manajemen Risiko Digitt sama sekali tidak ngeh dan tidak siap dalam menghadapi ini.

Ketika organisasi meluncurkan strategi organisasi, kebanyakan berfokus pada proses bisnis, finance, IT, marketing, tapi lupa dengan SDM-nya seakan-akan SDM akan secara ajaib “ngikut sendiri” dengan perubahan itu.
Dari cerita ini, yuk tengok lagi kondisi SDM di organisasi kita. Tengok lagi risiko SDM, implikasi kalau hal tersebut terjadi di dunia seperti sekarang ini, dan mitigasinya. Hal ini mungkin bisa jadi penentu hidup mati-nya organisasi

*daftar risiko yang organisasi mungkin akan hadapi, digunakan mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko hingga ke tingkat yang dapat diterima melalui proses peninjauan dan pembaruan.

Death By Meeting

Kita semua tentu pernah merasa bosan waktu lagi meeting. Pikiran jadi kemana-mana, asyik lihat smartphone; asyik whatsapp dengan orang lain atau sibuk memperhatikan media sosial orang lain. Pemimpin rapat juga nggak peduli dan sibuk sendiri. Kita disconnect dengan jalannya rapat dan hadir hanya sebatas fisik tidak ikut kontribusi pada pembahasan topik. Bayangkan kalau sebagian besar rapat yang kita ikut amat membosankan, berapa banyak waktu yang kita habiskan percuma. Padahal statistik menjelaskan setiap hari ini dunia ini ada sekitar 11 juta meeting, sekitar 55 seminggu dan 220 juta meeting dalam sebulan. Berapa banyak waktu yang terbuang percuma ketika sebagian besar meeting yang diadakan tersebut membosankan bagi peserta.

Patrick Lencioni dalam bukunya “death by meeting” menjelaskan bahwa meeting yang membosankan merupakan salah satu masalah terbesar di kantor. Faktor utama yang membuat meeting menjadi membosankan adalah kemampuan dari pemimpin meeting. Pelaksanaan tidak boleh satu arah, harus dibuat menarik dan melibatkan seluruh peserta. Selain itu ada dua hal komponen penting sebuah meeting yang membosankan menurut Lencioni. Pertama lack of drama, dan kedua adalah lack of context or purpose. Sebuah meeting menjadi menarik apabila ada drama dalam pelaksanaannya. Drama tersebut diatur oleh pemimpin meeting. Drama bisa berupa topik yang kontroversial yang dapat memicu perdebatan dalam pembahasannya. Konflik antar peserta meeting yang sengaja dibuat agar terjadi perdebatan dalam pembahasannya. Namun semua masih dalam koridor yang ditentukan dan dapat dikendalikan oleh pemimpin meeting. Dengan demikian meeting masih berjalan dengan lancar dan menghasilkan suatu kesepakatan.

Hal kedua adalah lack of context or purpose. Banyak terjadi kita mengikuti meeting karena sebuah keterpaksaan atau kegiatan rutin, sehingga sekedar hadir dan tidak memiliki keinginan berkontribusi lebih jauh dalam pembahasan. Lagi-lagi dibutuhkan kemampuan pemimpin rapat untuk sejak awal menjelaskan mengapa meeting diadakan, apa saja yang akan dibahas dan keputusan apa yang diharapkan dihasilkan dalam meeting. Ketika kita idak paham dengan topik yang dibahas, kita cenderung menjadi pendengar dan setelah sekian lama berusaha mengikuti dan kemudian merasa tidak bisa mengikuti pembahasan, kemudian kita disconnect dengan pembahasan. Namun ketika sejak awal kita sudah paham topik yang dibahas dan peran yang diharapkan, kita akan berupaya mempersiapkan. Dengan demikian apabila semua peserta meeting melakukan hal yang sama, pelaksanaan meeting akan berjalan dengan lancar dan mampu menghasilkan sebuah kesepakatan.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ketrampilan pemimpin meeting menentukan kualitas dari sebuah meeting. Celakanya sebagian besar dari pimpinan tidak pernah diajarkan secara khusus bagaimana memimpin meeting dengan baik. Yang dilakukan adalah hasil sebuah proses keikutsertaan pada meeting sebelumnya. Padahal rapat-rapat yang diikuti sebelumnya belum tentu memberikan sudah sesuai dengan standar meeting yang baik. Yang lebih celaka adalah banyak pimpinan yang kurang suka melaksanakan meeting. Lencioni mengibaratkan mereka seperti seorang ahli bedah yang tidak suka melakukan bedah. Tugas seorang pimpinan adalah melakukan koordinasi bawahan, dan koordinasi tersebut dilakukan melalui meeting. Sehingga kalau pimpinan tidak suka melakukan meeting, bagaimana dia melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas di unit kerjanya.

Sudah saatnya perusahaan memberikan perhatian yang besar dalam pelaksanaan meeting mereka. Menyusun sebuah standar, template atau video yang bisa digunakan sebagai rujukan menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian seluruh karyawan bisa mendapat pemahaman bagaimana melaksanakan meeting dengan baik, dan tidak perlu merasakan kebosanan seperti yang Lencioni jelaskan dalam bukunya.

Tetap semangat.

Apa yang Membuat Kita Menunda Pekerjaan?

Menunda-nunda pekerjaan atau biasa yang disebut dengan istilah procrastination seringkali terjadi dalam kehidupan kita. Procastionation ini dapat berupa menahan diri untuk memulai pekerjaan atau menunda untuk menyelesaikan pekerjaan. Procastinator atau orang yang suka menunda-nunda pekerjaan tidak dapat disamakan dengan orang malas sepenuhnya. Pemalas biasanya dengan mudahnya tidak akan melakukan pekerjaan dan merasa baik-baik saja. Seorang procrastinator sebenarnya memiliki keinginan untuk melakukan pekerjaannya hanya saja tidak dapat mendorong dirinya untuk memulai pekerjaan.  Beberapa orang merasa lebih dapat bekerja lebih produktif ketika memulai pekerjaan mendekati tenggat waktu atau deadline. Mungkin itu benar, tapi seringkali menunda pekerjaan akan membuat kita merasakan perasaan bersalah, tidak efektif dan memperpanjang rasa stres. Lalu, kenapa ada saja orang yang menunda pekerjaan?

Seorang akademisi dan penulis buku berjudul “The Feeling Good Handbook”, Dr. David Burns, menyatakan terdapat sepuluh alasan seseorang menunda pekerjaan. Pertama, procrastinator meyakini prinsip “Sebelum melakukan sesuatu harus merasa termotivasi”. Prinsip ini menjadi sebuah mindset yang mendorong seseorang untuk harus masuk di situasi atau mood yang memotivasi untuk melakukan pekerjaan. Beratnya adalah ketika situasi yang mendukung mood ini tidak kunjung datang. Kedua, procrastinator memudahkan segala sesuatu. “Tenang, ini gampang bisa dikerjakan cepat”, merupakan perkataan yang sering dikatakan oleh seorang procrastinator. Ketiga, ternyata seorang procrastinator sebenarnya takut menghadapi “real failure”. Jadi daripada dia merasakan kegagalan atas apa yang dikerjakannya, dia cenderung menghindarinya dengan cara menundanya. Keempat, ada procrastinator yang sebenarnya adalah seorang perfeksionis. Sebelum melakukan satu hal, orang ini akan berusaha untuk menyiapkan segala sesuatunya sampai sempurna sehingga tidak segera memulai pekerjaan yang seharusnya. Kelima, kurang tegas ketika menerima pekerjaan atau instruksi juga berpengaruh terhadap motivasi kita melakukan pekerjaan. Ketika ada pekerjaan yang dirasa tidak disukai, tidak setuju atau keberatan maka tegaslah untuk mengatakan tidak, karena apabila kita menyetujuinya kita akan dengan enggan melakukan pekerjaan tersebut.

Lima faktor penyebab procastionation lainnya dipengaruhi dari luar (external factor). Yang pertama adalah lack of rewards. Seseorang bisa menjadi procrastinator karena hal yang dilakukannya tidak diberikan penghargaan yang sesuai dengan usahanya. Selain itu, faktor berikutnya adalah adanya pernyataan “sebaiknya” bukan “seharusnya”. “Sebaiknya kamu lakukan A”, pernyataan seperti itu akan membuat seseorang melihat tugasnya menjadi tidak penting dan tidak urgent. Ketiga, apabila seseorang merasa tidak nyaman di lingkungan pekerjaannya atau tidak menyukai atasannya, maka dia menunda pekerjaan sebagai ekspresi ketidaksukaannya. Seorang procrastinator menunda pekerjaan sebagai bentuk pemberontakan dari standar, nilai dan ekspektasi yang didapatnya Misalnya seorang karyawan yang sudah bekerja dengan baik namun mendapatkan nilai yang buruk.

Sebenarnya, menunda pekerjaan bukanlah selalu hal yang baik. Hal ini dikarenakan, ketika kita menunda pekerjaan, kita justru menghabiskan waktu dan energi kita untuk dapat mengerjakan hal yang lebih berarti. Apabila kita ingin mengurangi kebiasaan menunda pekerjaan, kita harus bisa mengidentifikasi alasan atau faktor apa yang membuat kita menunda pekerjaan, merencanakan goal dan disiplin untuk menjalankan rencana tersebut dengan mengatur prioritas pekerjaan. Hargailah usaha yang kita lakukan dari setiap pekerjaan yang kita selesaikan dengan memberikan self-reward, seperti segelas kopi hingga reward lain yang lebih besar dari setiap pencapaian pekerjaan yang dilakukan untuk memotivasi kita.

The Importance of Self-Love

“If you have the ability to love, love yourself first.” -Charles Bukowski

Hidup dengan banyak peran yang kita emban membuat terkadang kita lupa meluangkan waktu untuk diri sendiri, apalagi waktu untuk ‘mencintai’ diri sendiri. Apasih sebenarnya self-love itu? Mengapa menjadi penting?
Self-love adalah suatu keadaan penghargaan terhadap diri sendiri yang tumbuh dari tindakan yang mendukung pertumbuhan fisik, psikologis dan spiritual kita. Mencintai diri sendiri berarti kita menerima diri sendiri sepenuhnya, memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan rasa hormat, serta menumbuhkan kesejahteraan diri. Mencintai diri sendiri berarti sangat menghargai kebutuhan dan kebahagiaan sendiri, serta tidak mengorbankan kesejahteraan diri untuk menyenangkan orang lain. Cara setiap orang untuk mencintai dirinya sangatlah unik maka menjadi penting bagi kita untuk mencari tahu seperti apa cara yang paling tepat karena merupakan bagian penting dari kesehatan mental kita.

Menurut banyak studi psikologi, self-love dan self-compassion adalah kunci utama untuk kesehatan mental, kesejahteraan, menjaga depresi dan kecemasan seseorang. Dengan banyaknya tuntutan dan keinginan untuk menjadi sempurna dengan semua peran yang kita miliki terkadang kita menjadi terlalu keras pada diri sendiri dan memunculkan keinginan untuk unggul serta melakukan segala sesuatu dengan benar sehingga menjadi perfeksionis. Padahal penelitian menunjukkan bahwa perfeksionis berada pada risiko yang lebih tinggi dari beberapa penyakit, baik fisik maupun mental, dimana ini semua bisa dihindari apabila kita memiliki self-compassion. Oleh karena itu, perfeksionisme dan self-compassion terkait erat.

Neuroscientist juga menemukan hubungan langsung antara self-compassion, resilien, dan kesuksesan. Dengan kata lain apabila kita peka dengan kebutuhan diri kita, kita dapat lebih merasa bahagia dan fokus dengan hal-hal yang membuat diri kita menjadi lebih baik setiap harinya. Penilaian diri yang negatif dapat merusak kinerja pekerjaan dan meningkatkan stres, sedangkan self-compassion seperti perlakuan yang baik terhadap diri sendiri selama menghadapi tantangan dalam kehidupan, pekerjaan, dan kekurangan pribadi akan menjadikan alat pemicu untuk karir yang lebih baik ke depannya.

Mungkin banyak dari kita yang tidak tau bagaimana cara mencintai diri sendiri, berikut beberapa tips yang bisa dicoba:
– Memprioritaskan diri
– Percaya diri
– Jujur pada diri sendiri
– Memaafkan diri sendiri apabila kita tidak jujur atau tidak baik pada diri
Self-love berarti menerima diri apa adanya termasuk menerima rasa emosi yang dimiliki dan mengutamakan kesejahteraan fisik, emosional, dan mental kita. Mencintai diri menjadi fondasi kita untuk bersikap tegas, menetapkan batasan, dan menciptakan hubungan yang sehat dengan orang lain, mempraktikkan perawatan diri, mengejar minat dan tujuan kita, dan merasa bangga dengan siapa diri kita. Untuk melatih self-love ini mulailah bersikap baik, sabar, lembut, dan penuh kasih pada diri sendiri, seperti kita memperlakukan orang lain yang kita sayangi. Yuk mulai dicoba agar kita dapat semakin bahagia setiap harinya dan meningkatkan imun yang penting di masa pandemi ini 🙂


Sumber:
1. Forbes, How Self-Love Boosts Job Performance And Career Success, 2021
2. Brain & Behavior Research Foundation, Self-Love and What It Means, 2020

Keberagaman di Tempat Kerja

Ketika datang di kota New York bulan lalu, saya terkesima dengan betapa diverse atau beragamnya kota megapolitan ini. Rasanya seperti semua orang dari seluruh dunia berkumpul di sini. Dari mereka yang berkulit putih pucat sampai dengan mereka dengan warna kulit mendekati RGB #000000. Berbagai macam bangsa dari berbagai benua, bahasa dan cara bicara, bentuk tubuh, gaya dan warna rambut, style pakaian, usia, agama, tinggi badan, orientasi gender, difabilitas, dan masih banyak variasi lainnya…

Tidak hanya tampilan luar, diversity dan keberagaman juga ada “di dalam”. Orang yang saya temui memiliki cara pandang yang beragam, memiliki cerita masing-masing mengapa mereka berada di kota New York, pengalaman hidup dan tujuan hidup yang berbeda-beda, dan sebagainya.

Keberagaman ini membuat kota New York hidup, berwarna, dan seperti memiliki segalanya.

Sama seperti kota New York, apabila keberagaman atau diversity dapat diterapkan di organisasi, organisasi akan mendapatkan manfaat. Contohnya keberagaman dalam organisasi antara lain: keberagaman skill, latar belakang, dan pengalaman dalam satu tim, keberagaman gender di C-suite, dan sebagainya. Manfaatnya apa saja? Cekidot ya!

1) Meningkatkan performa organisasi
McKinsey melaporkan organisasi dengan management yang diverse memiliki 35% financial return yang lebih tinggi dari rata-rata organisasi lainnya. Selain itu, analisa McKinsey menyatakan keberagaman gender di level eksekutif (komposisi pria dan wanita) akan membuat perusahaan mencetak keuntungan yang lebih besar. BCG pun memliki hasil analisa yang sama.

Dengan anggota tim yang beragam, setiap orang akan membawa perspektif dan kontribusi yang berbeda dalam pekerjaan sehingga menghasilkan deliverable dan keputusan yang lebih baik. Riset menunjukkan tim yang diverse memilliki kemampuan pengambilan keputusan 60% lebih baik.

2) Mendorong kreativitas dan inovasi
Keberagaman di tempat kerja tentunya mendorong inovasi. Kalau tim terdiri dari orang-orang yang kurang lebih sama, cara menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan akan begitu-begitu saja. Tapi ketika tim terdiri dari orang dengan pengalaman, skill, usia yang berbeda, input yang didapatkan akan lebih kaya dan dapat menghasilkan hasil yang kreatif dan inovatif.

3) Meningkatkan reputasi dan menjadi employer of choice
Buat anak jaman now, cari kerja bukan hanya melulu masalah gaji. Anak jaman now mencari perusahaan yang dimana mereka akan merasa diterima – bagaimanapun macam pegawainya. Berdasarkan hasil study Glassdoor, 76% pencari kerja mengatakan diversity dalam tempat kerja menjadi salah satu faktor penting dalam memilih tempat kerja atau tawaran pekerjaan.

Contoh lain, organisasi yang menerima teman-teman difabel sebagai pegawai dapat memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat. Sebagai imbal balik, masyarakat pun akan semakin “sayang” dengan organisasi tersebut.

Sekian tulisan singkat saya. Keberagaman menurut saya harus dirayakan, diembrace – bukan ditekan. Menurut kalian, kalau tempat kerja kalian memiliki pegawai yang lebih beragam, kira-kira akan seperti apa ya?

Yuk komen di kolom komentar.

Golem and Pygmalion Effect

Menurut kamu, apakah ekspektasi seorang atasan terhadap bawahannya dapat memengaruhi kinerja bawahan? Kalau berdasarkan riset Rosenthal di tahun 1911, jawabannya Ya. Konsepnya sebenarnya sama seperti self fulfilling prophecy, jadi bila kita membayangkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa, maka besar kemungkinan kita akan mendapati dia berperilaku seperti yang kita bayangkan. Memang tidak terjadi di setiap situasi, tapi menurut riset setidaknya fenomena ini lebih sering kejadian di antara atasan ke bawahan.

Pada Pygmalion effect, harapan atasan yang tinggi terhadap bawahan disinyalir mampu meningkatkan kinerja bawahan. Nama “Pygmalion” sendiri berasal cerita Yunani tentang seorang pematung bernama Pygmalion, yang membangun patung seorang wanita yang begitu cantik sehingga dia jatuh cinta, dan patung itu kemudian hidup menjadi manusia asli. Dalam konteks kepemimpinan, bila seorang atasan cenderung memberikan lebih banyak kepercayaan, kebebasan, dan tanggung jawab kepada bawahan. Atasan akan cenderung bekerja lebih dekat dengan bawahan untuk mencari solusi masalah, daripada hanya memberi tahu mereka bagaimana sesuatu harus dilakukan. Efek positif dari pendekatan tersebut meliputi peningkatan produktivitas, tingkat komitmen dan motivasi bawahan yang lebih baik, mempermudah buy-in terhadap strategi dan tujuan organisasi, kepercayaan diri bawahan yang lebih baik, meningkatkan inovasi, dan lain sebagainya.

Sayangnya, hal sebaliknya ternyata bisa juga terjadi. Ini yang disebut Golem Effect. Dalam sebuah mitologi, Golem adalah makhluk yang dibangun dari tanah liat dan lumpur, dirancang untuk melayani tuannya, dan akhirnya membawa masalah dan kehancuran. Golem effect menggambarkan proses di mana atasan berekspektasi bawahannya akan berkinerja rendah, hal ini menyebabkan perilaku atasan men-justifikasi seluruh output yang mereka bayangkan dari bawahan. Atasan bisa saja menjadi acuh dan kurang memberi perhatian, serta tidak memberikan kesempatan dan kepercayaan lebih terhadap bawahan, atasan tersebut juga percaya bahwa bawahannya tidak memiliki keterampilan, potensi, atau kemauan untuk berhasil. Hal ini mengarah pada perubahan gaya kepemimpinan, di mana atasan akan cenderung menetapkan target dan deadline yang lebih strict, memberikan lebih banyak tugas rutin, terlalu sering memantau bawahan, dan memberikan tugas operasional daripada strategis.

Entah dikomunikasikan atau tidak, ketika dihadapkan dengan kenyataan ini, bawahan menjadi kurang termotivasi dan underperformed, sehingga ramalan dan bayangan si atasan di awal tadi justru menjadi realita. Efek lanjutnya, besar kemungkinan gaya kepemimpinan atasan menjadi arogan dan keras, lebih sering menggunakan power ketimbang empati. Tanpa disadari, konsekuensi negatif dari efek Golem sangat besar ke bawahan, yaitu kurangnya kepercayaan diri bawahan, kurangnya trust terhadap rekan kerja dan atasan, rendahnya produktivitas, kecenderungan bawahan berperilaku oportunis, kurang inovatif, dan yang paling buruk, bawahan akan minta dipindahkan atau bahkan resign. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan bila diamanahkan untuk memimpin sebuah tim. Rasanya kita setuju bila pygmalion effect itu bagus dan golem effect itu buruk. Untuk menghindari Golem effect resepnya cukup sederhana namun kadang sering dilupakan: kita harus terbiasa menghindar dari judgement terlalu dini sebelum melihat karakter dan potensi seseorang yang sesungguhnya. Seringkali kita menilai orang dari penampilan, posisi/jabatan, latar belakang orang tua, almamater, dan lain sebagainya. Padahal kita perlu ingat bahwa, one soul has its own universe, banyak cerita dari hidup seseorang yang tak mungkin bisa disimpulkan hanya dengan sekejap mata atau selantun cerita. Di banyak organisasi, hal-hal “remeh” seperti ini biasanya bukan menjadi isu untuk dibahas, kita terbiasa nyaman dengan stigma bahwa ketika seseorang naik menjadi pemimpin, dia akan otomatis mampu menjadi pemimpin yang adil, peduli terhadap bawahan, dan cenderung memiliki “pygmalion effect”. Padahal tidak seperti itu, bad leader/manager with golem effect problem really do exist, dan isu ini ada baiknya menjadi concern organisasi pada saat membuat program pembekalan kepemimpinan.

Learning Wallet

Salah satu aspek yang diinginkan karyawan dari sebuah perusahaan adalah pengembangan diri. Hal ini sejalan dengan hasil survey bahwa 87% dari milenial percaya bahwa pengembangan dan pembelajaran merupakan aspek terpenting dalam pengelolaan SDM di perusahaan. Namun sayangnya statistik juga menjelaskan bahwa 29% tempat mereka bekerja sekarang tidak memiliki program pengembangan secara formal. Terdapat sekitar 59% karyawan saat ini merasa tidak mendapat pengembangan dari perusahaan dan ketrampilan yang mereka miliki merupakan hasil belajar sendiri. Bahkan 70% dari karyawan yang keluar dari perusahaan menyatakan alasan mereka karena mendapat kesempatan pengembangan diri yang lebih baik di tempat baru.

Sebagian perusahaan atau institusi telah menyadari pentingnya pengembangan SDM, dan kemudian membentuk unit sendiri seperti learning center atau corporate university. Namun sayangnya pengelolaannya belum dilakukan secara profesional dan dengan paradigma baru kebebasan memilih bentuk pengembangan. Pendirian unit tersebut tersebut belum dibarengi dengan alokasi anggaran yang memadai dan kebebasan memilih pengembangan diri oleh karyawan, sehingga anggaran dan pengembangan karyawan masih ditentukan secara sentral. Akhirnya selain kurang tepat sasaran, motivasi karyawan juga rendah pada saat mengikuti program tersebut. Namun kondisi ini juga selaras karena hanya 70% perusahaan yang berusaha mengukur efektivitas dari pelaksanaan program pengembangan yang mereka laksanakan.

Terakhir mulai populer yang dinamanakan konsep learning wallet. Konsep ini memberikan jawaban atas permasalahan yang disampaikan di atas. Di dalam konsep ini perusahaan memberikan alokasi anggaran pengembangan berdasarkan kinerja karyawan. Semakin baik, semakin besar alokasi yang diberikan. Setiap memiliki prestasi, karyawan mendapat insentif yang kemudian masuk ke dalam learning wallet atau dompet belajarnya. Uang ini bisa digunakan untuk mengikuti kegiatan pengembangan sesuai topik dan waktu yang diinginkan. Hal ini penting karena statistik menjelaskan 85% karyawan menginginkan pelaksanaan pengembangan disesuaikan dengan waktu mereka, sementara 33% mengatakan pengenbangan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan kebebasan memilih jadwal dan topik, karyawan tentu menjadi lebih termotivasi dalam mengikuti program yang dipilihnya.

Dalam pelaksanaannya bahkan kebebasan ini tidak berbatas, dimana perusahaan membolehkan karyawan memilih topik pengembangan yang tidak terkait dengan pelaksanaan tugas. Misalnya karyawan memilih pengembangan sesuai hobby yaitu fotografi. Ternyata berdasarkan hasil penelitian setelah menjalani pelatihan, kreativitas dan kepercayaan karyawan tersebut meningkat. Pelaksanaan tugas juga menjadi lebih baik dan kualitasnya meningkat. Sehingga perusahaan meyakini pengembangan diri dalam bentuk apapun akhirnya akan membawa manfaat bagi perusahaan.

Beberapa perusahaan di Indonesia sudah menerapkan konsep learning wallet. Salah satunya yang paling maju adalah Bank BNI. Kegiatan pengembangan dilakukan secara digital dan bisa dilakukan setiap saat. Hal ini merujuk kepada kecenderungan bahwa kegiatan pengembangan formal di kelas, semakin ditinggalkan dan 90% milenial lebih memilih pengembangan mobile-based training. Dengan demikian learning center atau corporate university lebih fokus untuk menyusun bahan pengajaran yang dapat di-upload dalam sistem, sehingga kapan saja bisa diakses oleh karyawan sesuai ketersediaan waktu mereka. Perusahaan memang akan sedikit effort di awal untuk menyiapkan infrastruktur, tetapi apabila sudah bisa berjalan, maka efektivitas pelaksanaan pengembangan akan jauh lebih tinggi. Monitoring dan evaluasi juga akan lebih mudah dilakukan karena semua akan dilakukan secara digital.

Sepertinya ke depan konsep learning wallet ini semakin populer di Indonesia karena lebih sesuai dengan kebutuhan generasi. Apalagi hampir tidak ada karyawan yang tidak memiliki smartphone, sehingga pelaksanaan mobile-based training lebih mudah dan inklusif. Perusahaan yang memiliki cabang di seluruh Indonesia tidak perlu kawatir tidak mendapat pengembangan, karena seluruh karyawan bisa melakukan pengembangan melalui smartphone mereka. Semoga.

Millennial dan Tempat Kerja

Yup. Kata Millennials sepertinya terdengar overrated beberapa tahun ini. Buat saya yang juga masuk dalam generasi ini menjadi risih jika mendengar kata tersebut. Menurut hasil Sensus Penduduk 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), Millennials mendominasi pada posisi kedua sebesar 25,87% yang tentunya sudah memasuki usia produktif bekerja. Ledakan itu pula yang mungkin menyebabkan millennials menjadi buah bibir yang laris manis jadi perbincangan.

Begitu juga halnya di banyak tempat bekerja. Tak jarang Millennials menjadi “isu hangat” yang selalu menjadi topik bahasan di kalangan para pimpinan. “Organisasi kita diisi lebih dari 70% Millennials”, “Millennials harusnya lebih aktif dan memberikan idenya”, “Millennials tidak sopan ya kepada atasan atau yang lebih tua”, “Mengapa millennials sulit menaati peraturan?”, “Mengapa millennials begini, mengapa millennials begitu?”. Doooh kalau kata lagu Raisa, Serba Salah yaa.

Mungkin yang sering berhembus adalah stigma kurang menyenangkan yang dilabelkan kepada kaum anti ribet ini. Millennials katanya bebal, tidak loyal, dan bengal. Apa iya? Hal yang sering menjadi benturan antara millennial dan jajaran pimpinan adalah gaya bekerja dan komunikasi. Millennial menyukai hal dinamis, kebebasan, dan fleksibiltas. Tentunya berbanding terbalik dengan gaya pimpinan “era generasi dewasa” yang lebih menjunjung tinggi keamanan dan kestabilan. Tak usah jauh di dunia pekerjaan, hal simple yang sering terjadi di rumah bersama orang tua saya.

Setiap ada diskusi antara orang tua dan anak (saya dan adik saya), mengenai pindah tempat kerja, nasihat yang terucap oleh orang tua kami adalah “sudah enak kerja di tempat sekarang, pasti, dan kantornya jelas. Di kantor lain belum tentu kan, siapa tau bisa tutup”. Ya, stabil dan aman adalah yang utama. Berbeda dengan pemikiran adik saya yang sedang idealis tentang konsep bekerja. Inginnya bisa bekerja di tempat yang dapat memberikan kesempatan ruang berkontribusi memberikan ide-ide bombatis, aktualisasi diri, tidak terpaku pada aturan baku tertentu. Ya, dinamis. Tak ada yang salah. Hanya berbeda pandangan saja antar generasi.

Tapi apa iya millennial hidup sesuka hatinya saja? Sering jadi bajing loncat di dunia kerja jika bosan? Weits, jangan ngegas. Survei yang dilakukan Gallup selama COVID-19 kepada millennials yang bekerja secara remote. Hasil survei menunjukkan bahwa 75% millennial engage dengan tempat bekerjanya. Tunggu dulu, masih ada “tapi” yang besar! Tapiiii dengan lima kondisi. Namanya juga millennial, selalu ada aja celahnya. Hehe.

Kondisi pertama adalah remote work, dimana 40% millennials yang dapat bekerja dimana saja lebih engage dibandingan yang harus terpaku bekerja di kantor karena membuat mereka lebih leluasa mengatur pekerjaannya. Hal kedua adalah rencana kerja yang jelas. Millennial mengingikan visi yang jelas dari pimpinan mengenai tujuan dan target pekerjaannya. Bukan hanya memberikan perintah dan “pokoknya kerjakan saja”.

Selanjutnya adalah persiapan. Jangan hanya menuntut pekerjaan cepat selesai, namun “alat perang” juga seharusnya menjadi hal yang perlu disiapkan perusahaan. Informasi dan komunikasi yang jelas menjadi faktor keempat dalam hal ini. Millennial haus akan berita terkini terutama di tempat mereka bekerja. Kepo bisa aja nama tengahnya. Kontribusi apa yang sudah mereka berikan dari pekerjaannya untuk organisasi merupakan penghargaan untuk mereka. Last but not least adalah kepedulian organisasi atau pimpinan terhadap kesejahteraan dan kesehatan. Bukan hanya sekedar materi, tapi cakupannya terkait dengan kehidupan sosial, karir ke depan, dan dukungan moral.

Materi bukanlah segalanya dalam bekerja. Bagi kaum rebahan ini, hal penting yang menjadikan mereka engage adalah fleksibiltas dalam bekerja, trust dari atasan, dan keseimbangan antara bekerja dan kesesuaian dengan visi misinya “foya-foya”.

Sumber:

  1. Gallup.com
  2. Business.com

Sunk Cost Fallacy

Kapan terakhir kali kita mendengar merk ‘Nokia’? Mungkin sudah lama sekali. Nokia merupakan sebuah merk dengan trademark yang kuat di industri telekomunikasi dan merajai pasar telepon genggam pada masanya. Pada saat berada di tahta kerajaannya, Stephen Elop yang merupakan CEO Nokia saat itu sangat yakin bahwa keberadaan Apple dan Google tidak akan pernah dapat menggeser posisinya. Stephen Elop dan CEO Microsot, Steve Ballmer, pada saat itu sangat yakin dan bahkan mengatakan tanpa ragu bahwa iOS dan Android tidak memiliki peluang untuk mengambil alih pasar smartphone. Secara perlahan tapi pasti, reaksi pasar membungkam keyakinan Elop dan Balmer. Nokia yang fokus mengembangkan sistem operasinya yang bernama Symbian tidak memberikan perbaikan dan hasil yang diekspektasikan. Akibatnya, hanya dalam enam tahun, nilai pasar Nokia terjun bebas. Posisi mereka sebagai pemimpin pasar berakhir menjadi sejarah. Mengapa ini bisa terjadi?

Pada kasus Nokia di atas, manajemen Nokia melihat iOS dan Android sebagai ancaman serius, namun keyakinan sekaligus ketakutan untuk mengambil keputusanmenghalangi mereka untuk melakukan perubahan. Keputusan yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan jangka panjang, seperti mengembangkan sistem operasi baru tidak pernah lahir. Manajemen justru memutuskan untuk mengembangkan perangkat telepon baru yang hanya membantu perusahaan dalam durasi yang pendek.

Freek Vermeulen, seorang professor strategi dan kewirausahaan di London Business School, menilai bahwa para eksekutif Nokia terjebak dalam sunk cost fallacy. Para eksekutif Nokia cenderung untuk terus mendorong usahanya karena takut kehilangan semua hal yang telah diinvestasikan di masa lalu seperti waktu, tenaga, emosi, biaya meskipun itu menciptakan ketidaknyamanan atau keadaan lebih buruk. Lantas, apa itu sunk cost fallacy?

Sunk Cost merupakan suatu istilah yang mungkin sudah dikenal oleh para mahasiswa ekonomi. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mungkin masih membingungkan juga, biaya/uang tenggelam? Sunk cost adalah segala usaha (effort) dan resources yang telah kita keluarkan yang bersifat unrecoverable atau tidak dapat kembali. Resources di sini bukan sekedar uang, tapi mencakup waktu, tenaga atau hal lainnya yang memiliki nilai. Untuk perusahaan, tentu hal ini sangat berbahaya karena resources yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Sehingga sunk cost fallacy atau pemikiran ketakutan terhadap potensi munculnya sunk cost terkadang muncul tanpa disadari. Ternyata sunk cost fallacy sering kita jumpai di aspek kehidupan kita sehari-hari, lho!

Apakah Anda pernah memaksakan diri menonton film di bioskop yang membosankan sekali sampai habis? Dalam benak Anda berpikir, “Duh, nanggung. Sudah setengah jalan.” Atau Anda bahkan tetap menonton karena merasa sayang sudah mengeluarkan uang untuk bayar tiket? Itu sunk cost fallacy!

Lebih memilih mempertahankan toxic relationship daripada mengakhirinya? Itu sunk cost fallacy!

Lebih memilih melanjutkan pekerjaan dengan lingkungan yang tidak sehat daripada mencari pekerjaan lain? Itu sunk cost fallacy! Perasaan kita yang tidak berani untuk keluar dari pekerjaan tersebut disebabkan karena merasa takut menyia-nyiakan tenaga, waktu, uang dan hal lainnya untuk dapat mencapai posisi saat ini? Padahal bisa saja kalau kita keluar dari pekerjaan tersebut, kita dapat menemukan pekerjaan yang lebih membuat nyaman dan puas.

Daniel Kahneman, seorang pemenang hadiah Nobel 2002 dalam ilmu ekonomi, dan temannya Amos Tversky menjelaskan bahwa alasan mengapa seseorang bisa terjebak dalam sunk cost fallacy adalah karena loss aversion di mana keinginan untuk menghindari rugi dan takut kehilangan lebih besar daripada keinginan untuk mendapatkan keuntungan.

Sangat berat bagi kita, sebagai manusia normal, untuk mengakhiri segala sesuatu yang telah kita korbankan untuk suatu hal lain, walaupun bisa jadi hal itu mungkin lebih bagus. Meskipun kita sebelumnya sudah berhati-hati dan menimbang saat mengambil keputusan, dalam hati kecil kita mungkin akan merasakan hal-hal sejenis ini:

Kita sudah sampai tahap ini, sayang banget kalau…. “

Berhubungan sudah 7 tahun, keluarga sudah saling kenal, sayang kalau putus…”

“Sudah investasi banyak, rugi kalau cut loss…”

 “Sudah bekerja selama 5 tahun, sayang kalau harus keluar…”

Ketika ada perasaan seperti ini, ada baiknya kita mulai merefleksikan, apakah benar kita harus melanjutkan? Kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan ke dalam diri kita kembali, apakah kalau kita pertahankan bisa mengubah situasi atau justru keadaan buruk terus menimpa kita? Kita juga bisa menerapkan mindset : “Yang terjadi di masa lalu nggak akan bisa kembali”. Anggap resources yang kita sudah keluarkan layaknya kita lagi belanja dengan sistem no refund policy. Pertimbangkan kerugian yang akan diderita dengan peluang atau kesempatan yang ada di luar sana. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah keuntungan yang didapat ketika melanjutkan aktivitas itu sepadan?

Work Stress

Apakah kamu sedang merasa stres atau banyak pikiran akhir-akhir ini? Terkait pekerjaan, urusan dirumah, atau hubungan dengan orang-orang disekitar kamu? Terlebih dengan pandemi yang belum juga usai tidak tau sampai kapan pastinya akan membuat kita sering cemas dan stres memikirkan banyak hal.

Jika kamu saat ini bekerja, pastinya tahu bagaimana rasanya stres di tempat kerja. Banyaknya pekerjaan dengan deadline yang bersamaan, rapat terus menerus, dan faktor pemicu stres lainnya. Nah sebelum bahas tentang stres di tempat kerja, kita bahas sedikit ya apa itu stres. Stres adalah reaksi tubuh terhadap tantangan atau tuntutan yang akan menguras diri kita baik secara fisik maupun emosional. Tingkat stres umumnya tinggi di tempat kerja dan karenanya perlu dikelola. Stres kerja berkembang ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkan serta dapat meningkat ketika kita merasa tidak mendapatkan dukungan penuh dari atasan dan rekan kerja atau merasa tidak dapat mengendalikan pekerjaannya. Berikut beberapa gejala stres yang mungkin bisa menjadi pengingat bagi kita untuk dapat segera kita identifikasi sendiri.

Secara alamiah, tubuh dan pikiran kita akan merespon terhadap pemicu stres yang ada di sekitar kita, dimana akan langsung ‘mengaktifkan’ reaksi fisik yang disebut respon fight or flight. Manusia mengembangkan respon rasa takut yang terkoordinasi ini untuk melindungi diri dari ‘bahaya’ di lingkungan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika kita menghadapi stres di tempat kerja setiap hari? Seiring waktu, stres kerja kronis dapat menyebabkan sindrom psikologis yang dikenal sebagai burnout. Tanda-tanda burnout seperti kelelahan yang luar biasa, sinisme, dan rasa tidak berdaya dengan pekerjaannya. Stresor terkait pekerjaan tertentu terkait erat dengan burnout, berikut pembagian stresor agar lebih mudah dipahami.

Work ContentWork Context
Konten Pekerjaan (pekerjaan yang monoton, tidak bervariasi, tidak menantang, tidak berarti, tidak menyenangkan)Pengembangan karir, status, dan gaji (gaji yang tidak memadai, ketidakadilan dalam pengembangan karir, ketidakamanan kerja, promosi yang kurang, sistem evaluasi/penilaian kinerja yang tidak jelas/tidak adil)
Beban dan kecepatan kerja  (terlalu banyak/sedikit pekerjaan, bekerja dibawah tekanan waktu)Peran di organisasi (peran tidak jelas)
Jam kerja (yang ketat, tidak fleksibel, panjang, yang tidak dapat diprediksi, sistem shift yang dirancang dengan buruk)Hubungan interpersonal (kurangnya komunikasi antara rekan kerja, penindasan, pelecehan, kekerasan)
Partisipasi dan kontrol (kurang partisipasi dalam pengambilan keputusan, kurang kontrol dalam metode kerja, jam kerja, lingkungan kerja)Kultur organisasi (komunikasi yang buruk antar pegawai, kepemimpinan yang buruk, kurangnya kejelasan tentang tujuan organisasi)
 Home-work interface (ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang dianut di tempat kerja dan dirumah)

Bagaimana stres kerja dapat mempengaruhi well-being seseorang?

Efek jangka panjang terhadap stres kerja dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Dalam suatu penelitian menghubungkan burnout dengan gejala kecemasan dan depresi, bahkan beberapa kasus sampai menjadi masalah kesehatan mental yang serius. Selain itu, dalam penelitian tersebut menunjukkan orang yang lebih muda yang secara rutin menghadapi beban kerja yang berat dan tekanan waktu yang ekstrim pada pekerjaan lebih mungkin untuk mengalami gangguan depresi berat dan gangguan kecemasan umum.

Tingkat stres yang tinggi di tempat kerja dapat memengaruhi kesehatan fisik juga. Aktivasi berulang dari respons fight or flight dapat mengganggu sistem tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Pelepasan berulang hormon stres kortisol dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kemungkinan gangguan autoimun, penyakit kardiovaskular, dan penyakit Alzheimer. Stres kronis juga dapat mempengaruhi kesehatan dengan mengganggu perilaku sehat, seperti olahraga, makan seimbang, dan tidur.

Dari sisi organisasi, stres kerja juga dapat merugikan organisasi. Burnout pada karyawan akan otomatis mengurangi produktivitas dan kinerja, meningkatnya ketidakhadiran (absen), meningkatnya turnover karyawan, tidak termotivasi dalam bekerja, berkurangnya komitmen untuk bekerja, serta memicu konflik antara rekan kerja sehingga membuat lingkungan kerja yang tidak nyaman yang juga memicu stres kerja. Selain itu, organisasi juga kecil kemungkinannya untuk berhasil dalam pasar yang kompetitif. Stres kerja merupakan masalah yang cukup serius bagi suatu organisasi apabila tidak dicegah atau ditangani dengan baik seperti memiliki manajemen yang baik sebagai bentuk dari pencegahan stres di organisasi.

Sekarang pertanyaanya apakah stres kerja dapat dikelola dan diatasi? Berikut beberapa keterampilan yang diajarkan dalam terapi perilaku kognitif yang dapat membantu mengelola stres kerja:

  1. Strategi relaksasi. Relaksasi membantu melawan efek fisiologis dari respons fight or flight. Contoh, duduk nyaman dengan mata tertutup. Tarik nafas selama 10 detik, lalu hembuskan selama 20 detik. Setiap kali Anda melepaskan ketegangan otot, pikirkan “santai” untuk diri sendiri. Keterampilan ini dapat membantu mengurangi gejala kecemasan.
  2. Penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah adalah strategi active coping dengan mengambil langkah-langkah spesifik ketika menghadapi masalah atau tantangan. Langkah-langkah ini termasuk mendefinisikan masalah, melakukan brainstorming untuk mencari solusi, memberi peringkat solusi, mengembangkan rencana tindakan, dan menguji solusi yang dipilih.
  3. Mindfulness. Mindfulness adalah kemampuan untuk memperhatikan keadaan saat ini dengan rasa ingin tahu, keterbukaan, dan penerimaan. Stres dapat diperburuk ketika kita menghabiskan waktu untuk merenungkan masa lalu, mengkhawatirkan masa depan, atau mengkritik diri sendiri. Dengan adanya sikap mindfulness membantu melatih otak untuk menghentikan kebiasaan berbahaya ini. Cara mudah dan simpel yang dapat dilakukan sendiri yaitu dengan meditasi atau berjalan santai, cara ini merupakan terapi berbasis kesadaran efektif untuk mengurangi gejala depresi dan kecemasan.
  4. Menilai kembali pikiran negatif. Stres dan rasa khawatir yang berlebihan dapat membuat seseorang mengembangkan pikiran alam bawah sadar untuk menafsirkan segala situasi secara negatif. Misalnya, selalu membuat kesimpulan negatif dengan sedikit atau tanpa bukti (contoh: “atasan saya berpikir saya tidak kompeten”) dan meragukan kemampuan dirinya untuk mengatasi stres (contoh: “Hidup saya akan berantakan jika saya tidak mendapatkan promosi”).

Saat ini, stres menjadi suatu masalah besar yang hampir dihadapi oleh setiap orang. Sehingga cara terbaik untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir stres dari kehidupan kita adalah dengan memahami penyebab stres dan kemudian mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya. Banyak sumber menyatakan bahwa beban kerja menjadi penyebab terbesar stres karena setiap profesi itu pasti ada kesulitan dan tantangan baru setiap harinya. Namun, bekerja menjadi hal yang tidak dapat kita hindari dan harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup.

Oleh karena itu, suatu organisasi harus fokus pada pengelolaan stres kerja karena karyawan adalah sumber ‘pendapatan’ dan sumber dayanya, sehingga menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi organisasi untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir. Ada banyak cara yang bisa dilakukan seperti melakukan interaksi antara atasan dan bawahan atau acara yang membangun kultur/atmosfer yang menyenangkan di lingkungan kerja. Karena seperti yang dikemukakan oleh Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya, kebutuhan aktualisasi diri seorang karyawan harus diperhatikan, yang diperlukan untuk setiap perusahaan, karena hanya bekerja dan bekerja saja tidak dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan, tetapi karyawan yang termotivasi pasti membawa dampak yang positif untuk perusahaan. Jadi, ayo lebih fokus pada manajemen stres daripada kerja terus menerus.

Sumber:

  1. Work Organization & Stress, Protecting Workers’ Health Series No.3, WHO, 2004
  2. Harvard Health Publishing, Harvard Medical School, 2019
  3. https://www.educba.com/stress-management-strategies/

Exit Interview

Exit interview itu bukan interview biasa.

Organisasi membuat kesalahan apabila hanya menganggap exit interview sebatas kegiatan operasional ketika pegawai resign. Exit interview memiliki peran strategis yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi sebagai competitive intelligence untuk membuat tempat kerja menjadi lebih baik dan bersaing dengan kompetitornya.

Make It Strategic

Exit interview bukanlah hanya “interview”. Tetapi sebuah program yang dirancang dengan seksama agar organisasi mengetahui tiga hal berikut: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Dengan exit interview program yang baik, organisasi dapat mengetahui what works what doesn’t, hidden opportunity and challenges, mendorong engagement pegawai, dan meningkatkan kemampuan mendengar para Pimpinan.

Berdasarkan maturity dari exit interview program yang dilakukan oleh organisasi, berikut tingkatannya:

Organisasi yang percaya bahwa exit interview program adalah hal strategis memiliki Pimpinan yang mau mendengar dan memastikan follow-up action dilakukan. Organisasi tersebut mempunyai strategic committee yang bertugas memantau desain, eksekusi, dan hasil dari exit interview program. Komite tersebutmelakukan meeting sedikitnya 1 tahun sekali. Selain itu, organisasi melibatkan para line manager dalam exit interview program.

Riset yang dilakukan oleh Spain & Groysberg ke ratusan organisasi (disampaikan dalam artikel “Making Exit Interview Counts”) menunjukkan bahwa kurang dari 1/3 organisasi menyampaikan hasil analisa ke Senior Leader. Data tersebut hanya disampaikan ketika diminta. Spain & Groysburg juga mencontohkan manfaat exit interview program di sebuah perusahaan yang memiliki maturity level yang baik.

Di salah satu bagian perusahaan tersebut, setengah dari pegawainya keluar – sebagian resign, sebagian pindah ke bagian lain. Exit interviewnya dipelajari dan didapat bahwa akar permasalahan terletak pada Pimpinan. Pimpinan di bagian tersebut memiliki leadership skill yang buruk, seperti kurang mengapresiasi anak buah, tidak mengomunikasikan visi dan strategi dengan baik, dan sebagainya. Tidak hanya berhenti di sini, Manajemen kemudian mengevaluasi sistem promosi dan menemukan kelemahan bahwa promosi mengutamakan technical skill daripada leadership skill. Dari sini, sistem promosi diperbaiki.

Seluruh proses ini juga memperlihatkan kepada pegawai eksisting bahwa Manajemen mendengar dan merespon hasil dari exit interview. Hal ini dapat meningkatkan engagement pegawai.

The Techniques

Kesuksesan exit interview program bergantung pada dampak positif yang dihasilkan. Untuk mewujudkannya, sumber data harus baik dan berkualitas. Berikut rangkuman teknik exit interview yang dapat dilakukan:

To Conclude

Organisasi harus mulai melihat exit interview bukan sebagai aktivitas HR biasa, tetapi sesuatu yang lebih strategis dimana organisasi bisa mendapatkan informasi berharga untuk kebaikan organisasi.

Exit interview tidak seharusnya menjadi diskusi pertama pegawai yang membahas uneg-uneg yang dirasakan. Diskusi seperti itu harus terjadi sebelum pegawai resign dan dilakukan secara berkala di keseharian pegawai untuk menangkap tiga objektif dari exit interview: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Apabila hal ini dilakukan secara rutin dan hasil diskusi ditindaklanjuti, organisasi bisa mempertahankan pegawai sebagai aset terbaiknya (retensi) dan membuat tempat kerja yang lebih baik lagi bagi pegawainya.

Tetap semangat dan salam sehat!

Tagged : / / /

Personal Branding

Pernah nggak kamu ngalamin waktu bos di kantor mau bikin presentasi pasti dia akan minta si A. Waktu mau bikin makalah pakai bahasa Inggris pasti yang disuruh si B. Waktu ada acara kantor, yang disuruh ngurus acara pasti si C. Ini artinya A, B dan C sudah punya personal branding sendiri di tempat kerja. Personal branding sendiri bahasa kerennya adalah “the conscious and intentional effort to create and influence public perception of an individual”. Jadi sebuah upaya yang dilakukan secara sadar dan disengaja oleh seseorang untuk menciptakan persepsi orang lain terhadap dirinya.

Apa sih pentingnya punya branding sendiri? Di dunia kerja yang semakin kompetitif seperti sekarang ini, penting bagi kamu men-differentiate diri kamu dengan orang lain. Dengan kata lain, kamu bukan orang biasa atau “just another face in the crowd”. Dengan personal branding, orang lain atau pimpinan langsung bisa ingat kamu pada saat dibutuhkan, atau merekomendasikan kamu kepada yang membutuhkan. Semakin banyak di perusahaan yang tauk kamu kompeten akan sesuatu dan punya perilaku yang biasa diandalkan, maka akan semakin baik bagi karir kamu di masa depan.

Yang perlu diingat membangun personal branding adalah sebuah proses. Proses yang dilakukan secara sadar dan disengaja, sehingga perlu persiapan. Perlu ditentukan hal apa yang akan menjadi branding kamu. Mau dikenal kompeten di suatu bidang atau punya perilaku yang bisa diandalkan orang lain? Setelah ditentukan, kembangkan kompetensi atau perilaku tersebut lebih dalam. Hal yang paling penting adalah tunjukkan dalam berbagai kesempatan. Orang Indonesia punya budaya sungkan, kamu perlu mengesampingkan budaya itu karena sedang membangun branding.

Namun demikian personal branding bisa juga terbentuk tanpa disengaja. Tapi karena tidak dilakukan secara sadar dan disengaja hasilnya bisa merugikan. Misalnya, kamu selalu diam dan tidak pernah berpendapat dalam meeting. Ini bisa saja diartikan kamu nggak kompeten atau nggak mengerti. Padahal belum tentu. Kamu hanya tidak terbiasa berpendapat atau terlalu malas untuk bicara. Bukan tidak mengerti substansi pembicaraan. Yang lain lagi misalnya setiap saat kamu selalu asyik dengan smartphone kamu, sehingga kurang banyak berinteraksi dengan teman kerja. Kamu dianggap sombong, padahal yang kamu lakukan dengan smartphone kamu adalah mencari informasi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh pimpinan.

Di jaman now sekarang, media sosial adalah hal yang umum digunakan. Hampir semua orang memiliki akun media sosial. Di seluruh dunia terdapat 3, 96 miliar akun atau 50 persen dari total penduduk dunia. Di Indonesia bahkan lebih dahsyat, terdapat 170 juta akun atau 62 persen dari total penduduk Indonesia. Untuk itu penggunaan media sosial semakin beragam, tidak saja sebagai platform komunikasi tetapi juga melakukan personal branding. Berdasarkan survei CareerBuilder 70 persen employer menggunakan media sosial sebagai salah satu tahap saringan. Sementara 43 persen kandidat yang ikut seleksi melihat media sosial employer untuk mengetahui lebih jauh value proposition yang ditawarkan. Oleh karena perkembangan tersebut, kayaknya kamu perlu lihat lagi akun kamu karena setiap postingan adalah bagian dari proses pembentukan branding kamu. Apabila kamu posting mengenai makan di luar, bisa diartikan sebagai orang yang easy going dan adventurous. Posting mengenai kegiatan ekstra kurikuler, bisa diartikan sudah paham bekerja dan melakukan koordinasi.

Karateristik milenial salah satu adalah mengutamakan career advancement, sehingga urusan personal branding menjadi penting. Nggak ada salahnya untuk berhenti sejenak menentukan branding apa yang diinginkan. Apakah saat ini sudah sejalan, atau masih banyak kesenjangan. Selamat mencoba.

Aktualisasi Diri dalam Dunia Kerja

Sebagai manusia kita memiliki banyak kebutuhan dalam hidup. Begitu juga dalam karier/dunia kerja, salah satu tujuan yang ingin dicapai setiap individu adalah aktualisasi diri. Sayangnya, masih banyak orang yang belum memahami secara utuh cara untuk mencapainya. Padahal mencapai hal ini merupakan salah satu kunci mencapai kepuasan kerja, bahkan beberapa ahli psikologi menyebutkan bahwa aktualisasi diri dapat menjadi salah satu faktor seseorang merasa meaningful di tempat kerjanya.

Sebelumnya kita bahas sedikit ya tentang teori aktualisasi diri. Pasti semua orang sudah sangat familiar dengan Hierarchy of Needs-nya Abraham Maslow, seorang Psikolog asal Amerika Serikat. Dalam ‘segitiga kebutuhan’ yang digambarkan oleh Maslow, aktualisasi diri berada di puncak dari pemenuhan kebutuhan seseorang, sehingga menurut Maslow tidak banyak manusia yang dapat memenuhi kebutuhan ini.  Aktualisasi diri adalah keinginan seseorang dalam mencapai kebutuhan, dengan menggunakan semua kemampuan yang dimiliki. Dengan aktualisasi diri seseorang akan mengetahui cara terbaik untuk memanfaatkan kemampuan yang ada di dalam dirinya, lalu mengambil langkah-langkah untuk mencapai impian tersebut.

Untuk lebih mudahnya, berikut beberapa karakteristik individu yang menerapkan aktualisasi diri:

  1. Mampu menerima kekurangan orang lain dan diri sendiri, seringkali dengan humor dan toleransi. Tidak hanya menerima orang lain sepenuhnya, namun juga jujur pada diri sendiri daripada berpura-pura untuk mengesankan orang lain.
  2. Cenderung mandiri dan tidak bergantung pada faktor eksternal untuk mengarahkan hidupnya.
  3. Dapat memupuk hubungan yang dalam dan penuh kasih dengan orang lain.
  4. Cenderung memancarkan rasa syukur dan mempertahankan penghargaan yang dalam bahkan untuk berkat yang biasa dalam hidup.
  5. Mampu menganalisis situasi dengan cepat.
  6. Jarang bergantung pada lingkungan atau budaya mereka untuk membentuk opini mereka.
  7. Cenderung memandang hidup sebagai misi yang memanggil mereka untuk mencapai tujuan di luar dirinya.

Dengan mengembangkan karakteristik aktualisasi diri, kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita. Lalu bagaimana cara menerapkan aktualisasi diri di tempat kerja? Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan.

  1. Belajar menerima diri
  2. Kenali diri
  3. Belajar merasa nyaman dengan lingkungan sekitar
  4. Bersikap jujur
  5. Jangan terlalu mencemaskan pendapat orang lain
  6. Menghargai hal-hal kecil dalam hidup
  7. Mengembangkan rasa belas kasih

Mungkin terlihat mudah dan simpel untuk dilakukan, namun kita sebagai manusia harus ingat bahwa dengan aktualisasi diri tidak selalu membuat hidup kita berjalan mulus, pasti terdapat hambatan dan masalah yang akan dihadapi, hanya saja kemungkinan besar kita bisa melaluinya dengan baik.

Sekarang pertanyaannya, mengapa aktualisasi diri di dunia kerja menjadi penting? Menurut Gopinath, salah satu cara untuk meningkatkan kepuasan kerja seseorang adalah melalui aktualisasi diri. Dalam sebuah penelitian, aktualisasi diri dianggap sebagai keadaan motivasi tertinggi seseorang sehingga mampu mengekspresikan kemampuan/potensi terbaik yang ada di dalam dirinya. Dari penelitian tersebut, ditemukan 3 faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu lingkungan kerja, remunerasi, serta hubungan dengan rekan kerja dan atasan. Ketika atasan membantu karyawan untuk melakukan aktualisasi diri, maka kepuasan kerja dan komitmen pada organisasi akan meningkat.

Selain itu dari sisi organisasi, dengan memenuhi kebutuhan aktualisasi diri karyawannya berarti akan memaksimalkan potensi individu di tempat kerjanya, yang pada akhirnya akan membuat karyawan ingin melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan dalam posisinya dan termotivasi untuk sukses di karirnya. Seorang karyawan yang mengaktualisasikan dirinya akan merasa diberdayakan dan dipercaya, yang akan mendorong engagement terhadap organisasinya. Sebagai sebuah organisasi, salah satu kunci untuk memastikan kebutuhan ini terpenuhi adalah dengan memberikan kesempatan pada karyawan untuk dapat sukses di karirnya. Disinilah peran atasan untuk dapat melihat keterampilan dan kemampuan masing-masing karyawannya, dengan terlibat aktif membantu dan memberikan peran yang sesuai. Untuk merasa telah terpenuhi aktualisasi dirinya, seorang karyawan harus merasa tertantang di posisinya namun tidak kelebihan atau kewalahan beban kerja.

Sesuai dengan teori dan observasi yang dilakukan oleh Maslow, ia menyebutkan beberapa orang terkenal dari latar belakang pekerjaan, pendididikan, dan kehidupan yang memenuhi kriteria/karakteristik seseorang yang telah mencapai aktualisasi diri seperti Albert Einstein, Abraham Lincoln, Eleanor Roosevelt, dan Thomas Jefferson. Woow nama-nama orang hebat semua ya.. Nah siapa nih di sekitar kalian yang menurutmu sudah berada di puncak kebutuhan tertingginya? Apakah atasan kalian? Atau mungkin kalian? Atau kira-kira organisasi tempat kalian bekerja sudah membantu kalian untuk dapat mengaktualisasikan diri? Yuk coba kita resapi dan pikirkan dulu, agar jadi semakin semangat dan terpacu untuk melihat dan menggali potensi di dalam diri masing-masing? Yuk semangat!

Sumber:

  1. Prera, A (2020, Sept 04). Self-actualization. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/self-actualization.html
  2. Gopinath, R. (2020). An Investigation of the Relationship between Self-Actualization and Job Satisfaction of Academic Leaders. International Journal of Management, 11(8), 753-763.
  3. https://www.indeed.com/career-advice/career-development/maslows-hierarchy-of-needs

Budaya Kompetitif atau Kolaboratif?

Dalam menjalankan bisnisnya, setiap perusahaan atau organisasi memiliki budayanya masing-masing. Beberapa perusahaan besar, seperti Amazon misalnya memiliki budaya hiper-kompetitif yang mengutamakan hasil dan menggambarkan situasi dimana “yang paling gigih dan berkinerja tinggi yang bertahan”. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pendekatan kompetitif terhadap budaya tempat kerja sungguh menarik karena memberikan suatu tekanan yang secara tidak langsung memotivasi, menyelaraskan dan meningkatkan kinerja karyawan. Akan tetapi, sebagian lain menyatakan bahwa budaya kompetitif dapat memberikan dampak negatif terhadap perusahaan dan tidak lebih baik dari budaya kolaboratif. Lantas, manakah budaya perusahaan atau organisasi yang terbaik?

Di samping dampak positif dari budaya kompetitif yang disebutkan di atas, sebenarnya tersimpan aspek negatif yang perlu menjadi pertimbangkan, seperti tekanan mental karyawan, potensi pelanggaran etika bekerja dan peningkatan risiko pekerjaan lainnya. Dengan adanya budaya kompetitif karyawan cenderung akan membandingkan kinerja antara satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan tujuan hingga prestasi, terkadang segala cara dilakukan agar mendapat “kemenangan”. Terdapat suatu potensi karyawan akan “menghalalkan segala cara” untuk bisa bertahan. Karena kompetisi antar individu, maka pendekatan seperti ini kurang mementingkan cara dan kepentingan terbaik dari rekan kerja atau organisasi secara keseluruhan.

Berbeda halnya dengan perusahaan berbudaya kolaboratif. Budaya ini memiliki pendekatan yang mendorong, individu, tim dan fungsi dalam organisasi untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Budaya kerja kolaboratif biasanya memiliki ciri-ciri seperti memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antar karyawan, organisasi memberdayakan karyawan dengan baik, konflik yang sehat dan produktif serta ada aspek pembelajaran dari setiap pekerjaan yang dilakukan karyawan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan konsultan bisnis, LSA Global, berjudul Top Employee Engagement Trend pada tahun 2018 menunjukan bahwa  kolaborasi dan kerja sama tim memiliki dampak yang luar biasa bagi produktivitas karyawan dalam suatu perusahaan dan meningkatkan intensi karyawan untuk loyal bekerja pada perusahaannya.

Akan tetapi budaya kolaborasi ini tidak selalu menghasilkan dampak yang positif. Untuk bisa  mencapai budaya kolaboratif yang sempurna, dibutuhkan waktu agar karyawan, tim atau fungsi bisa berjalan dengan seirama. Selain itu, bisa jadi budaya ini dirasa tidak menarik bagi orang yang berkinerja tinggi dan merasa terjebak dalam dinamika tim. Ketika tim bertambah besar, tingkat frustasi dalam menyelaraskan tim dapat berdampak negatif dan masif karena berbicara terkait banyak orang.

Lantas budaya manakah yang lebih baik?

Mungkin jawabannya tidak ada yang tepat dan sangat bergantung pada bagaimana suatu pekerjaan harus diselesaikan ketika menjalankan strategi. Bagi perusahaan yang memiliki strategi untuk memberikan keunggulan pada pelanggan seperti Amazon, misalnya, mungkin budaya kompetitif cocok untuk diterapkan. Namun, jika dalam strategi perusahaan memerlukan kerja tim di seluruh fungsi, persaingan antar individu justru dapat menghambat pencapaian atau strategi yang dijalankan oleh perusahaan.

Dalam dunia pekerjaan, produktivitas menjadi hal yang esensial. Suasana, lingkungan dan budaya kerja sangat berpengaruh dalam mendorong kinerja dan membangkitkan semangat bekerja. Suasana, lingkungan pekerjaan dan budaya kerja yang sesuai dengan strategi dan visi perusahaan dan nyaman bagi karyawannya dipercaya dapat meningkatkan produktivitas vice versa. Sebagai pemimpin suatu perusahaan, kita diharapkan untuk menciptakan keseimbangan yang tepat antara kebutuhan dan strategi perusahaan dengan kebutuhan dan karakteristik karyawan.

Employee Wellbeing: What and Why

Hampir dua tahun kita melakukan pekerjaan dari rumah dengan keharusan karena pandemi. Tentu saja ada pro dan kontra mengenai keadaan ini. Hal yang menyenangkan adalah pegawai bisa bekerja di rumah, fleksibel mengatur waktu mengurus keluarga, tidak perlu buang waktu di jalan karena ya macet jalanan. Kontranya tentu ada.

Tidak dapat dipungkiri pandemi menyebabkan kurangnya interaksi sosial secara langsung dengan teman dan keluarga, load pekerjaan yang berlebihan, jam kerja yang tidak ada batasnya, Hal ini dapat menimbulkan burnout atau kondisi kelelahan fisik dan emosional yang menyebabkan bingung, gelisah, hilangnya motivasi, dan tujuan. Menurut survei yang dilakukan oleh Gallup, 76% pegawai yang mengalami burnout dikarenakan oleh mismanagement, beban kerja berlebihan atau perlakuan tidak adil di pekerjaan.

Untuk menghindari terjadinya hal ini, langkah yang dapat menjadi perhatian pimpinan adalah employee wellbeing. Employee wellbeing saat ini bukan hanya sekedar kondisi pegawai yang jarang sakit secara fisik, namun sudah menjadi lebih luas.  Menurut e-days.com employee wellbeing terkait dengan kesehatan dan kebahagiaan pegawai yang artinya sudah bukan hanya mengenai Kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental.

Bahkan sebelum pandemi terjadi, menurut survei yang dilakukan oleh Zapier menyatakan bahwa sebagian besar pegawai terutama Gen Z dan Millenial – masing-masing 91% dan 85% – menyatakan bahwa perusahaan seharusnya memikirkan dengan baik wellbeing pegawai dengan memiliki mental health work policy di tempat bekerja.

Menurut Prowell Model, terdapat tiga besaran aspek yang harus diperhatikan dalam membuat program employee wellbeing – mental, fisik, dan sosial. Aspek mental – terkait dengan kognitif dan emosional pegawai. Selanjutnya aspek fisik – terkait dengan kebugaran, kesehatan raga, dan nutrisi gizi. Selanjutnya adalah faktor sosial – memiliki hubungan keseimbangan hidup antara kehidupan kantor dan sosial.

Karatina berkepanjangan tentu saja berimbas kepada kinerja pegawai dan dapat meningkatkan rasa bosan, jenuh, cemas, dan stres. Lalu mengapa memperhatikan employee wellbeing itu penting terutama ini saat pandemi ini? Alasannya adalah:

  • Mengurangi pegawai absen dan biaya kesehatan

Johnson & Johnson memperkirakan program wellness and wellbeing menghemat $259 juta untuk biaya perawatan Kesehatan selama lebih dari 10 tahun terakhir.

  • Meingkatkan employee engagement

Dengan memerhatikan kesehatan fisik dan mental, pegawai akan lebih merasa terhubung, kesehatan fisik dan kebahagiaan mental juga akan meningkat.

  • Meningkatkan produktivitas

Pegawai yang dapat mengatasi rasa stresnya dengan baik akan lebih sedikit kemungkinan mengalamin burnout dan akan lebih fokus menyelesaikan pekerjaannya.

  • Menarik dan mempertahankan pegawai

Persaingan talenta terbaik sangatlah kompetitif. Tentu saja kandidat berkualitas memiilki banyak banyak opsi untuk memilih perusahaan yang memberikan nilai lebih yang memikirkan kesehatan dan kesejahteraan pegawainya dengan baik

Sumber:

  1. Digitalhrtech.com
  2. Face2facehr.com
  3. E-days.com
  4. Semoscloud.com
  5. Innovativeworkplaceinstitute.org

Change Power Index: Seberapa mampu untuk berubah?

Di dunia yang konstan dengan perubahan, seberapa siap organisasi Anda menghadapi perubahan? Apakah organisasi Anda akan “menari” bersama perubahan, atau tergilas olehnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal yang harus dilakukan pertama kali oleh organisasi adalah memahami kapasitas diri sendiri untuk berubah. As Peter Drucker said, “You can’t manage what you can’t measure”. Namun, belum ada alat yang dapat mengukur kapasitas organisasi dalam beradaptasi menghadapi perubahan.

Dalam Harvard Business Review edisi Juli 2021, konsultan Bain & Company’s memperkenalkan sebuah metric yang dapat mengukur kemampuan organisasi untuk berubah yang dinamakan Change Power Index. Metric ini didapatkan setelah mempelajari inisiatif transformasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan selama satu dekade lebih. Dari risetnya, mereka menemukan 9 elemen Change Power yang dapat memprediksi kemampuan perusahaan dalam beradaptasi menghadapi perubahan (lihat tabel). Untuk mengetahui Change Power Index sebuah organisasi, pegawai mengisi survey mengenai ke 9 elemen di dalam organisasi mereka. Dari survey tersebut, organisasi akan mengetahui kekurangan dan kelebihan mereka di tiap elemen, mengetahui ranking/posisi Change Power mereka dibandingkan dengan organisasi lain dan kemudian menentukan langkah selanjutnya dalam transformasi.

Bain & Company’s mengetes metric tersebut untuk mengetahui hubungannya dengan performa organisasi. Mereka berkolaborasi dengan 2.000 pegawai dari 37 organisasi global dengan industri yang bervariasi dan menemukan bahwa Change Power Index berbanding lurus dengan performa organisasi. Organisasi dengan Change Power Index yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak profit, lebih cepat mengumpulkan revenue, memiliki Pimpinan dan budaya organisasi yang dinilai lebih baik oleh pegawai, dan memiliki lebih banyak pegawai yang engaged dan inspired.

Berdasarkan survey kepada 2.000 pegawai dari 37 organisasi tersebut, Bain & Company’s membuat 4 kategori besar dari kacamata kapabilitas organisasi untuk berubah yaitu:

Dengan mengukur dan memahami kapasitas organisasi sendiri untuk berubah melalui Change Power Index, organisasi dapat menentukan langkah selanjutnya maupun langkah perbaikan yang diperlukan untuk menjadi organisasi yang resilient di dunia VUCA.

Jadi, seberapa mampu organisasi Anda untuk berubah?

Photo credit: Freepik

Tagged : /

Presenteeism

Kita mungkin familiar dengan istilah absenteeism, atau ketidakhadiran. Dalam dunia kerja kita pun paham dampak dari ketidakhadiran pegawai tanpa alasan yang jelas terhadap produktivitas. Namun, tahukah Anda ada ancaman yang lebih berbahaya bagi kinerja dan budaya organisasi/perusahaan Anda yang disebut presenteeisme?

Presenteeism didefinisikan sebagai penurunan produktivitas akibat pegawai yang tetap datang bekerja meskipun sedang memiliki masalah kesehatan dan/atau masalah pribadi yang tidak terekspose. Meskipun pegawai secara fisik hadir di tempat kerja, namun mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan tugas pekerjaan dengan optimal dan cenderung membuat kesalahan akibat sedang sakit (tidak fit) atau sedang stress.

Tidak seperti absenteeism, presenteeism lebih sulit untuk diidentifikasi oleh organisasi/perusahaan karena lebih tidak kasat mata dan cenderung sulit dilacak. Di kantor, sepertinya hampir tidak mungkin untuk mengetahui secara sekilas, mana pegawai yang benar-benar kerja produktif dan mana yang “tampak produktif” namun pikirannya sebenarnya lagi kemana-mana. Entah karena lagi punya penyakit, atau sedang stress/depresi. Tak jarang kan kita menemui pegawai yang bersikeras tetap ngantor meskipun sedang tidak enak badan, alasannya banyak, bisa dari pegawainya yang ambisius ingin dianggap berdedikasi tinggi, sungkan terhadap kolega kalau tidak hadir ke kantor, atau yang paling klasik: takut mengecewakan bosnya.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Willis Towers Watson Health & Benefit menemukan lebih dari setengah (51%) pekerja mengklaim tempat kerja mereka dipengaruhi oleh budaya penilaian negatif bila tidak hadir karena sakit. Selain itu, 54% mengklaim bahwa pegawai berada di bawah tekanan untuk kembali bekerja sebelum mereka pulih sepenuhnya dari penyakit atau cedera. Hal ini menunjukkan bahwa ada masalah struktural terkait dengan kebijakan HR atau proses bisnis yang menimbulkan insentif/disinsentif bila izin tidak masuk kantor.

Studi Harvard Business Review terhadap 29.000 pekerja menemukan bahwa kerugian produktivitas karena presenteeism mencapai lebih dari $150 miliar dolar per tahun. Pun studi oleh Statistics Canada menunjukkan bahwa produktivitas yang hilang karena presenteeism bisa 7,5 kali lebih besar daripada absenteeism. Bila ditambah lagi oleh riwayat stress, penyakit jantung, hipertensi, migrain, gangguan pencernaan, sakit punggung, atau penyakit lain, maka rasio kerugian produktivitas meningkat menjadi 15 kali lebih besar.

Studi tentang presenteeism memang relatif terbatas dibanding saudara kembarnya, absenteeism. Leksi presenteeism sendiri baru populer sekitar tahun 2000 dan sebuah studi menyebut hanya 14% perusahaan yang serius mempelajari atau menangani presenteeism. Meskipun demikian, masih ada kabar baik, yaitu banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan divisi HR sebuah organisasi atau perusahaan untuk membantu pegawai menangani hal-hal yang mengarah pada presenteeism sebelum lepas kendali dan merusak organisasi:

(1) Mereview dan mengubah praktik leadership dalam perusahaan atau organisasi. Banyak CEO atau pemimpin yang belum paham bahwa lebih lama dikantor bukan berarti lebih produktif. Sayangnya pemimpin kita masih banyak yang merasa kurang happy bila pegawainya sering sakit, bahkan ada yang hobi memindahkan pegawai sakit atau anti banget punya pegawai sakit.

(2) Memperbaiki kebijakan yang men-discourage ketidakhadiran karena sakit. Masih sering kan kita temui kebijakan penilaian kinerja dari pimpinan ke bawahan yang menggunakan track record jumlah absensi karena sering sakit atau cuti, daripada hasil kualitas pekerjaannya. Bila masih seperti itu, ada baiknya me-review lagi kebijakan penilaian kinerja pegawai.

(3) Menemukan keseimbangan beban kerja dan ritme kerja pegawai. Ini juga bukan tugas mudah bagi pimpinan dan manajemen organisasi, karena terkait dengan restrukturisasi organisasi yang lebih efisien, formasi pegawai, sampai analisa beban kerja. Padahal dengan ritme dan beban kerja yang seimbang, akan mengurangi fenomena parkinson law dan dapat membantu pegawai mengatur work life balance.

(4) Menyediakan channel bagi pegawai terkait kesehatan fisik dan pikiran. Dalam hal ini, perusahaan menyediakan fasilitas konseling psikolog bagi pegawai dan keluarganya. Selain itu, didukung pula oleh layanan telemedicine yang dapat memberi konsultasi kesehatan gratis. Dua jenis fasilitas ini harus independen dari divisi HR dan bersifat confidential, namun dapat memberi rekomendasi kepada pimpinan atau HR mengenai tindakan yang seharusnya dilakukan ke pegawai bersangkutan.

(5) Mempromosikan budaya healthy lifestyle dan work-life balance, dimana pimpinan sebagai role model. Tidak akan ada ceritanya anak buah work-life balance bila bos-nya hobi lembur tiap hari plus suka ngambek/marah-marah.

Nah, bagaimana dengan tempat kerja Anda? Adakah gejala presenteeism?

Meaningful Work

Sebagian besar hidup kita habiskan di tempat kerja, tetapi apakah kita nyaman dengan pekerjaan dan suasana kerja? Banyak penelitian menjelaskan hubungan antara kebahagiaan di kantor menentukan produktivitas yang akhirnya menentukan tingkat kinerja. Dengan demikian setiap kita berangkat ketempat kerja, suasana hati akan menentukan kinerja. Sedemikian pentingnya sehingga Edward Deming mengatakan, “Management’s overall aim should be to create a system in which everybody may take joy in his work.” Namun sayangnya belum banyak yang menaruh perhatian kepada hal ini.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Achievers Work Institute, ditemukan fakta bahwa 59 persen alasan seseorang keluar dari pekerjaannya terkait dengan suasana kerja. Work-life balance, corporate culture, ketidakcocokan dengan peer kerja dan perbedaan antara corporate dengan personal values menjadi alasan yang utama. Sebanyak 36 persen memang masih mengatakan remunerasi menjadi alasan, tetapi remunerasi yang bagus saja tidak cukup untuk menahan seseorang untuk keluar dari pekerjaannya. Seseorang mungkin bertahan di suatu pekerjaan, tapi tidak merasakan “joy in his work” seperti yang dijelaskan Deming.

Bagaimana kita menjelaskan “joy at work”? Kalau diterjemahkan langsung adalah “kegembiraan di tempat kerja”. Seseorang merasakan hal tersebut apabila terkoneksi dengan “meaning” dan “purpose” pekerjaannya sehingga menghasilkan sebuah “success” dan “fulfillment”. Seseorang harus memahami tujuan dan makna dari kerja yang dilakukan, sehingga pada akhirnya bisa merasakan sebuah kesuksesan dan kepuasan bekerja. Ralph Waldo Emerson mengatakan, “The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well.” Dengan demikian kita berangkat kerja dan gembira bertemu dengan peer kita belum cukup, kita perlu memastikan waktu kita di tempat kerja bermanfaat, dihargai, diperhatikan dan juga mampu membuat suatu yang berbeda untuk suatu perubahan. Ada kebutuhan dalam diri kita bahwa yang kita kerjakan bermanfaat, mendapat apresiasi dan mengubah tempat kerja menjadi lebih baik dari sebelumnya.


Dave Ulrich menjelaskan “An abundant organization enables its employees to be completely fulfilled by finding meaning and purpose from their work experience. This meaning enables employees to have personal hope for the future and create value for customers and investors. When we ask people how the feel about their work, we can quickly get a sense of how work helps them fulfill the things that matter most in their lives”. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Deming dan Ralph Waldo Emerson bahwa pekerjaan menjadi bermakna bagi seseorang ketika memberikan nilai tambah bagi tempat kerja atau peer kerja. Dengan demikian suasana kerja yang nyaman, peer kerja yang asyik, boss yang baik, meskipun menjadi dasar kita melangkah ke tempat kerja dengan suasana hati gembira, belum cukup untuk menjadikan hidup bermakna. Ketika suasana kerja yang nyaman kemudian mengantarkan kita untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan mampu mengubah suasana kerja atau kinerja di tempat kerja, baru kemudian hidup kita menjadi lebih bermakna.

Menghasilkan suatu perubahan tidak bisa dilakukan secara individu. Seorang pekerja, meskipun bisa cukup kreatif untuk melakukan inovasi dalam pekerjaannya, namun harus diberikan diberikan ruang oleh tempat bekerja. Di Indonesia dengan budaya paternalis yang kental, seorang atasan harus mampu tidak saja memberikan ruang untuk berkreasi tetapi juga harus menjadi teman diskusi yang baik untuk memastikan bahwa tugas yang dilakukan akan bermanfaat kepada tempat kerja. Atasan tersebut kemudian yang akan memastikan bahwa tugas yang telah diselesaikan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan kewenangannya.

Hal ini yang menjadi alasan milenial memilih untuk berwirausaha. Bukan semata karena probabilitas menjadi lebih kaya, tetapi mereka ingin melihat apa yang dikerjakannya membuat sebuah perbedaan, diakui dan mampu mengubah dunianya menjadi lebih baik. Yuk, bagi teman yang berkarir di tempat kerja untuk merenung untuk memikirkan bagaimana tugas yang dilakukannya menjadi lebih bermakna bagi hidup. Ketika peluang untuk membuat perbedaan tersebut ada, maka manfaatkan dengan baik. Namun ketika peluang tersebut minim, jangan ragu untuk keluar dari zona kenyamanan kalian. Hidup hanya sekali, jadikan penuh makna. Salam sehat.

Bekerja Lembur, Pilihan Positif atau Eksploitatif?

Bekerja overtime atau biasa kita kenal dengan istilah lembur merupakan salah satu istilah yang sering kita dengar dalam dunia pekerjaan. Faktor yang membuat seseorang kerja lembur sangatlah banyak, dari masalah pekerjaannya hingga masalah internal dalam diri yang dimiliki. Kalau dari sisi permasalahan pekerjaan misalnya karena proyek atau pekerjaannya membengkak di luar proporsi atau target yang seharusnya, deadline pekerjaan yang tiba-tiba mendesak atau desakan secara tidak langsung dari atasan atau pimpinan perusahaan untuk bekerja dengan lembur. Meskipun begitu, ada juga orang yang melihat lembur sebagai peluang atau sesuatu yang dilakukan secara sukarela demi mendapatkan kompensasi tambahan atau fleksibilitas jadwal yang lebih besar. Apakah lembur bisa menjadi pilihan positif bagi karyawan atau justru dilihat sebagai sesuatu yang berpotensi eksploitatif?

Di era pandemi COVID-19 ini, kita disuguhkan dengan opsi bekerja dari rumah atau bisa dikenal dengan work from home (WFH). Konsep WFH mungkin masih terasa asing di telinga kita sebelum pandemi menyerang, namun semenjak pandemi COVID-19 kita justru semakin dekat dengan kondisi bekerja dari rumah. Dengan kebijakan WFH ini, kita memang mendapatkan privilege dengan waktu bekerja yang lebih fleksibel. Namun, ternyata kebijakan WFH ini juga menyumbangkan fakta terkait kerja lembur di situasi saat ini, yaitu peningkatan waktu bekerja atau overtime yang tidak terukur.

Berdasarkan kajian World Economy Forum, ternyata terdapat kaitan antara WFH dengan kerja lembur. Dari survey yang dilakukan kepada 31 juta pekerja dari 21 ribu perusahaan, ternyata salah satu hasil kajiannya mengemukakan fakta bahwa banyak pekerja yang merasa waktu kerja jadi lebih panjang dan lebih terasa tereksploitasi. Di satu sisi kebijakan WFH memang memberi kesempatan bagi para karyawan untuk mengatur dan mengelola jadwalnya sendiri. Namun, di sisi lain terdapat semakin kaburnya ‘garis’ antara pekerjaan dan waktu hidup pribadi. Lantas apa saja manfaat dan dampak negatif dari lembur terhadap karyawannya?

Lembur menawarkan beberapa manfaat tertentu bagi pekerja. Meskipun di beberapa kasus yang ada lembur merupakan opsi, ada juga lembur yang diwajibkan. Tentunya kewajiban lembur ini apabila disandingkan dengan kompensasi yang baik pun masih dapat memberi manfaat positif bagi karyawan, seperti memberikan kesempatan karyawan untuk mendapatkan ekstra pendapatan berdasarkan perhitungan jam lembur yang dilakukan, menawarkan kesempatan untuk bekerja di jam-jam produktif seseorang yang mungkin baru dapat aktif bekerja di sore atau malam hari, dan tentunya memberikan keleluasaan dan fleksibilitas dalam bekerja. Apabila lembur ini mendapatkan kompensasi yang adil, mungkin bisa jadi pilihan bagi karyawan yang betul-betul membutuhkan. Dari berbagai manfaat yang ada, bagaimana dampak negatif dari lembur?

Tentu saja kerja lembur dapat berdampak signifikan terhadap karyawan, khususnya dari sisi kesehatan dan produktivitas. Bekerja berlebihan dapat menyebabkan kelelahan dan stres. Sehingga karyawan perlu memastikan bahwa ia mendapatkan waktu istirahat yang cukup apabila mengambil lembur terlalu banyak. Lembur juga sebenarnya bisa sangat membatasi produktivitas kita, karena kita bekerja berjam-jam dan tidak memberikan otak kita istirahat yang dibutuhkan untuk dapat bekerja dengan baik. Menghabiskan waktu terlalu lama di kantor pun dapat menyebabkan karyawan kehilangan motivasi dan menjadi kurang aktif. Jadi, bekerja lembur tidak selalu menjamin kualitas dari pekerjaan yang dilakukan meskipun sudah melakukan usaha ekstra.

Keseimbangan yang tepat antara pekerjaan dan kehidupan sangatlah penting. Apabila kita dapat menjaga keseimbangan tersebut kita juga dapat menjaga kesejahteraan dan motivasi kita dalam bekerja. Ketika kita terlalu banyak kerja lembur pun, berarti kita tidak dapat memprioritaskan kehidupan pribadi kita. Semakin banyak lembur yang dilakukan, semikin sedikit waktu yang dimiliki untuk bertemu teman, berinteraksi dengan keluarga dan semikin sedikit waktu yang dimiliki untuk bersantai. Padahal hal tersebut adalah hal yang penting untuk menjaga kesehatan mental kita.

Tagged : / /

Karir dan Keahlian

Berapa banyak dari kita yang sering ditanya waktu kecil, cita-citanya apa? kalo udah gede mau jadi apa? Ada yang menjawab jadi dokter, jadi artis, jadi youtuber, dan lain sebagainya. Kebanyakan memang nggak kejadian. Ada yang ingin jadi dokter, tapi ujung-ujungnya jadi guru; ada yang kepingin jadi guru, tapi jadi pilot; ada yang mau jadi pilot, malah jadi driver ojol, dll. Ketika kita ditanya hal semacam itu, sebenarnya ada ekspektasi melekat dalam diri tidak disadari. Seiring bertambahnya usia anak-anak menjadi remaja dan dewasa, tentunya mereka sudah bisa menilai dan mengukur kemampuan dirinya untuk mengikuti atau malah mengubah ekspektasi masa depannya. Ada yang merasa kurang mahir matematika, akan sebisa mungkin menghindari jalur pendidikan dan karir yang banyak terkait matematika. Bukan karena benar-benar tidak bisa, tapi mungkin butuh effort lebih besar untuk memahaminya dibandingkan orang yang lebih naturally gifted. Alhasil, dia akan fokus ke bidang lain dimana dia akan lebih efisien dalam berpikir dan menghasilkan solusi, mungkin jadi ahli biologi, dokter, dan sebagainya.

Hal yang sama dapat kita temui dalam organisasi, ada pegawai yang jago berhitung, ada yang jago bernegosiasi, ada yang jago administrasi, ada yang jago marketing, dan ada juga yang jago memimpin. Yang sering menjadi masalah, sebagian besar pegawai tidak ditempatkan sesuai dengan minat dan bakatnya. Pegawai yang tidak mahir berhitung ditempatkan di unit kerja yang banyak perhitungan; pegawai yang tidak capable memimpin disuruh memimpin tim; pegawai yang tidak begitu paham berkomunikasi ditugaskan meng-handle humas dan stakeholders. Saya yakin bukannya tidak bisa, hanya saja akan tidak efektif dan efisien dalam proses kerjanya, bisa buang-buang waktu, tenaga, uang, ataupun reputasi organisasi. Bayangkan misalnya Anda pegawai senior yang sudah bekerja selama 15 tahun, Anda sangat paham serta passionate di bidang marketing, dan antusias meng-upgrade diri mengikuti perkembangannya setiap waktu. Suatu ketika Anda di pindahkan ke unit akuntansi dan pengadaan. Saya sih yakin Anda pasti bisa, kalau mau belajar lagi, namun apa iya akan sejago peers Anda yang sudah lama dan berpengalaman di tempat tersebut, tentunya tidak. Lebih penting lagi, apakah Anda masih punya energi, motivasi, dan waktu untuk mulai belajar dari nol. Tidak semua orang memiliki hal ini, bahkan bisa dibilang sangat langka.

Pada level pimpinan tinggi fenomenanya justru lebih menarik, misalnya seorang Direktur Compliance yang sudah expert selama 20 tahun dipindahkan menjadi Direktur Pemasaran. Kita bisa argue bahwa ini bukan perkara defisiensi kompetensi, sebab skill yang dibutuhkan di tingkat atas mungkin “hanya” kepemimpinan. Namun banyak yang tidak menduga bahwa amatlah sulit mendapat legitimasi dan pengakuan sebagai pemimpin bila tidak dipercaya oleh para bawahannya yang kemungkinan besar jauh lebih ahli dalam bidang pemasaran. Butuh extraordinary leader bila tim pemasaran ini ingin bekerja dengan optimal. Leader yang baru harus mau belajar dan berani bilang “Pengetahuan saya tidak begitu dalam tentang marketing, so I need help from all of you guys”. Bila tidak dilakukan, decision making si pemimpin bisa saja dipertanyakan oleh bawahannya, dan menimbulkan permasalahan demotivasi pegawai. Dengan kata lain, sang pemimpin harus bisa gain trust sebelum memberi komando sana-sini. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapat trust dari bawahan. Mungkin bisa kita bahas di artikel lainnya. Intinya di level pimpinan tetap bisa movement cross unit/expertise, tapi tidak mudah dan butuh orang yang benar-benar trushworthy dan exceptional leader.

Kita semua sepakat bahwa tidak ada seorang manusia pun yang menguasai dan paham semua hal. Sudah hukum alam bahwa setiap orang diciptakan dengan expertise dan peran masing-masing. Lalu bagaimana idealnya untuk sebuah organisasi me-manage karir dan keahlian?  Analoginya mudah, ingetkah Anda waktu remaja di sekolah kita belajar semua mata pelajaran dasar untuk kemudian diarahkan ke minat dan bakat IPS atau IPA. Atau seorang dokter yang pada awalnya belajar sebagai dokter umum sebelum menjadi dokter spesialis/sub-spesialis. Organisasi juga begitu, di masa awal seorang pegawai bekerja sebagai staf atau manajer, idealnya dia harus belajar dari seluruh unit utama, tidak perlu mendalam, namun dia harus tahu pekerjaan kolega-koleganya apa saja. Itulah mengapa kita sering menemui pegawai muda perusahaan/institusi modern yang setiap 2-3 tahun pindah-pindah unit. Kita menyebutnya generalis, alias orang yang kompeten pada banyak hal, meskipun tidak begitu mendalam. Pada saat level karir dan personality pegawai lebih mature, pegawai ini harus difokuskan ke satu bidang keahlian, atau disebut juga spesialis. Disaat yang sama organisasi harus terus membekalinya dengan kemampuan untuk memimpin dan me-manage pegawai dibawahnya. Ini juga yang amat sering dilupakan orang-orang HR.

Mengapa konsep generalist first, specialist later banyak lebih ideal. Pertama, biaya lebih hemat bagi organisasi untuk melatih banyak pegawai junior dengan skill-skill dasar, ketimbang melatih mereka dengan skill tingkat lanjut yang mahal. Kedua, organisasi akan sangat mudah mencari kader-kader pemimpin pada saat pegawai tersebut mencapai kedewasaan karir dan personality. Dengan menjadi Jack of All Trades, biasanya orang akan lebih fleksibel serta mudah melihat big picture dari sebuah permasalahan. Organisasi kemudian hanya perlu mengarahkan pegawai menjadi spesialis dan membekali pegawai-pegawai ini dengan pelatihan tingkat lanjutan sesuai minat dan bakat terbaiknya. Ketiga, fleksibilitas dan competitiveness di pasar tenaga kerja. Mencari pegawai yang bagus untuk di grooming oleh organisasi memang tidak mudah, namun bila organisasi Anda lebih fleksibel dan generalis dalam persyaratan, Anda akan dengan mudah menemukan pegawai yang extraordinary. Kadang kita terlalu sibuk fokus mencari orang dengan skill teknikal luar biasa sampai melupakan untuk melihat lebih dalam ke karakternya. Padahal kita sama-sama memperhatikan salah satu gejala sosial bahwa kebanyakan orang-orang  yang sukses dan besar, biasanya bukanlah orang yang waktu bersekolah ranking satu. Keempat, meningkatkan engagement pegawai. Menyediakan kesempatan jalur karir spesialis, atau menjadi Master of One saat pegawai beranjak menjadi pemimpin merupakan sebuah value proposition yang sangat menarik bagi pegawai. Dia akan lebih percaya diri di dalam dan luar organisasi dengan expertise yang dimiliki. Organisasi tidak perlu takut pegawai akan dibajak oleh employer lain, selama organisasi pintar me-manage motivasidan memonitor engagement pegawai. Kelima, membentuk pegawai versatilist, yaitu seseorang yang dapat menjadi spesialis untuk disiplin tertentu, sementara pada saat yang sama dapat beralih ke peran lain dengan mudah. So, bagaimana dengan tempat Anda bekerja, sudah kelihatan kah mau ke arah mana kebijakan karir pegawainya?

Pemimpin dan Sosial Media

Film Wag The Dog karya Barry Levinson, tahun 1997, dengan pemeran Dustin Hoffman menyadarkan kita bahwa apa yang kita lihat belum tentu sebuah realita. Di dalam film tersebut pemerintah Amerika Serikat membuat film berita palsu untuk mempengaruhi opini publik. Ada juga teori konspirasi lama bahwa sebenarnya Neil Armstrong, Michael Collins dan Edwin Aldrin dengan Apollo 11 tidak pernah mendarat di bulan, tetapi dibuat di studio. Saat itu Amerika Serikat sedang membutuhkan dukungan moral karena kalah perang di Vetnam dengan Rusia, sehingga John F. Kennedy menggunakan keberhasilan mendarat di bulan untuk meningkatkan moral rakyat Amerika. Saat ini berita palsu atau hoaks sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, bahkan sudah sampai taraf mengganggu karena pihak yang bertikai sudah menggunakan buzzer dengan dana yang cukup besar. Pemerintah Indonesiapun menganggap pentingnya media sosial sehingga diberitakan memiliki anggaran untuk buzzer sebesar Rp. 90.45 Miliar sejak tahun 2107.

Sebenarnya seberapa pengaruh media sosial terhadap citra sebuah kepemimpinan? Egan Mosley mengatakan bahwa pengaruh media sosial kepada sebuah brand awareness mencapai 80% dan mampu meningkatkan engagement sebesar 65%. Ternyata sedemikian besarnya pengaruh media sosial kepada citra kepemimpinan seseorang. Saat ini seluruh pemimpin di negeri ini hampir seluruhnya memiliki akun media sosial, dan ini penting karena popularitas menjadi unsur penting keterpilihan atau kesuksesan menjadi pemimpin. Tidaklah mengherankan kalau banyak artis yang kemudian beralih menjadi pemimpin daerah atau anggota legislatif karena mereka sudah memiliki modal popularitas. Kitapun akhir ini disuguhkan drama menarik di internal salah satu besar negeri ini dimana ada kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi mulai disingkarkan dengan alasan lebih aktif di media sosial daripada di lapangan. Dulu ada juga kandidat pemimpin negeri yang tidak terpilih kemudian membuat kanal podcast sendiri sebelum menjadi menteri.

Media sosial saat ini menjadi syarat mutlak bagi kandidat pemimpin. Platform ini dinilai amat efektif dan murah untuk dapat langsung menyentuh rakyat. Influencer memegang peranan penting, karena dianggap bisa menggunakan medianya untuk mempengaruhi subscriber atau follower-nya. Hubungannya mutualisma, meskipun ada sisi negatifnya. Para pemimpin kemudian lebih peduli kepada popularitas, ketimbang pada program kerja. Pemimpin yang shortsighted tidak akan begitu peduli dengan jangka panjang, mereka hanya fokus di popularitas. Perhatian melulu kepada aktivitas sehari-hari atau karakter kandidat pemimpin yang direfleksikan dalam sebuah feed pendek, dan seperti film wag the dog bisa saja merupakan pencitraan dan bukan realita sesungguhnya. Kadang kita kemudian lebih perhatian kebaikan yang ditampilkan, bukan pada rencana kerja yang akan dilakukan selama periode kepemimpinan.

Yang celaka adalah kalau kandidat ini kemudian berhasil, dan kemudian selama periodenya hanya sibuk melakukan pencitraan. Meresmikian ini dan itu, sementara tidak punya keterikatan sama sekali dengan yang diresmikan. Latah ikut meramaikan program yang sedang trending, padahal kenyataannya yang dilakukan sebatas hanya untuk konten semata. Bisa dibayangkan bagaimana sekian banyak karyawan yang bekerja di bawahnya yang sudah bersusah payah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menghasilkan program atau kegiatan tersebut. Setelah diresmikan, tidak ada kelanjutan implementasinya.
Memilih pemimpin memang tidak mudah. Banyak sekali pertimbangannya. Ada yang ideal kapasitasnya, tapi tingkat penerimaannya rendah. Ada yang elektabilitasnya tinggi, tapi tidak memiliki visi. Bayangkan bila ada seorang pemimpin terpilih tetapi tidak punya kapasitas, integritas dan visi serta penerimaannya rendah, bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam lembaga tersebut. Semoga saja tidak terjadi di Indonesia.

Membuat Keputusan yang Tidak Biasa

Setiap hari kita membuat ribuan keputusan terhadap hidup kita baik yang memengaruhi hidup diri kita sendiri maupun hidup orang lain. Dari mulai membuat keputusan sederhana dari pertanyaan seperti, “apakah saya pagi ini membuat secangkir kopi atau teh?”, hingga dihadapkan dengan keputusan yang lebih kompleks dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan, seperti “apakah saya harus resign dari kantor?”. Banyak orang merasa kesulitan untuk membuat keputusan. Apalagi jika keputusan yang harus dibuat akan sangat berpengaruh terhadap masa depan dan perubahan besar dari kehidupannya saat ini. Banyak orang juga takut untuk memilih hal yang baru dan berbeda dari orang lain. Sehingga banyak orang yang cenderung memilih untuk membuat keputusan atas hal-hal yang dapat diketahui dampaknya daripada hal-hal yang belum pernah diketahuinya.

Di saat kita dihadapkan dengan suatu pilihan keputusan, otak akan memberikan beberapa faktor psikologis penting yang akan memengaruhi keputusan kita. Cindy Dietrich, seorang educational pshycologist dalam tulisannya mengemukakan bahwa faktor penting yang memengaruhi otak manusia dalam membuat keputusan, yaitu pengalaman di masa lalu, berbagai cognitive bias (kecenderungan pemikiran yang kita buat tanpa disadari), adanya komitmen dan kegagalan yang pernah dialami, perbedaan masing-masing individu dalam hal usia, status sosial ekonomi dan kepercayaan yang dimilikinya. Semua faktor tersebut biasanya muncul sebagai landasan berpikir kita ketika kita akan membuat keputusan.

Selain faktor-faktor penting di atas, terdapat satu istilah yang juga sangat memengaruhi keputusan kita terutama pada keputusan yang sangat penting dan berdampak terhadap kehidupan, yaitu status quo bias. Pernahkah kita berpikir untuk mengganti pekerjaan ketika sudah merasakan bahwa pekerjaan kita tidak memberikan kebahagiaan dan kenyamanan lagi? Apabila jawabannya tidak, faktor penghalang dari keputusan seperti inilah yang dinamakan dengan status quo bias. Kita cenderung untuk memilih sesuatu yang kita ketahui daripada sesuatu yang baru dan berbeda. Kita melihat pilihan lain sebagai suatu risiko atau bahkan permasalahan baru meskipun bisa saja pilihan itu lebih baik. Tanpa disadari, kita akan memilih untuk enggan berganti kepada hal lain.

Lantas, bagaimanakah agar kita dapat membuat keputusan untuk hal yang baru dan berbeda? Paul Arden dalam bukunya, “Whatever You Think, Think the Opposite” mengemukakan beberapa tips agar kita dapat membuat keputusan di luar kebiasaan. Yang pertama, mintalah “tamparan” dari orang lain. Jika kita memperlihatkan karya kita kepada orang lain dan berkata, “bagimana pendapatmu?” mungkin orang lain akan merespon dengan hal positif seperti, “bagus!” karena mereka tidak mau menyinggung perasaan kita. Lain kali, kita bisa meminta pendapat dengan cara menanyakan “apa yang salah?”. Hal ini akan membuka jalan kita untuk mendengar kritik yang jujur dari orang lain.

Jika kita menginginkan suatu keputusan yang berbeda dari orang lain, latihlah cara berpikir di luar kebiasaan (outside the box). Terkadang kita hanya memutuskan sesuatu karena orang lain juga memutuskan hal yang sama, kita tidak pernah berpikir bahwa ada pemikiran lain yang bisa menjadi dasar keputusan kalau kita sejenak melupakan pilihan kebanyakan orang. Prinsipnya, jika kita selalu memilih keputusan yang banyak orang pilih dan merupakan keputusan yang “safe”, jangan berharap keputusan itu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap apa yang kita harapkan.

Banyak orang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membuat keputusan yang sempurna dan menyenangkan bagi orang lain tapi hingga akhir tidak menjalankan keputusan itu. Daripada menunggu kesempurnaan sebuah keputusan, lebih baik jalani dengan faktor pendukung yang ada dan perbaiki dari waktu ke waktu.

Ingat dalam mengambil keputusan, apapun keputusan yang Anda ambil pada akhirnya, itulah satu-satunya keputusan yang dapat diambil. Jika tidak diambil, Anda akan mengambil keputusan yang lain. Apapun yang kita lakukan, kitalah yang memilih. Jadi apa yang harus disesali?

You are the person you chose to be.

Tagged : /

Tempat Kerja Bikin Bangga?

Masih bangga ga bekerja di tempat saat ini?”. Beberapa waktu lalu terlontar pertanyaan seperti ini, lalu sontak saya dan teman-teman saya sambil senyum-senyum mencoba menjawab dengan bijak. Pertanyaan simple dan lugas tapi kok ya berat sekali memberikan jawaban yang sesuai. Kalau kata lagunya Raisa, ya serba salah.

Jawaban yang diberikan cukup beragam. Ada yang jawab dengan lantang “Bangga banget lah! Masa enggak?”. Tak sedikit juga yang merespon “Hmm yaa mayan deh gitu.”, bahkan ada yang hanya menjawab dengan senyuman berjuta makna. Pertanyaan yang sama dapat menimbulkan reaksi yang berbeda. Kenapa ya? Kok bisa? Banyak faktor yang membuat pegawai merasa bangga ataupun tidak terhadap tempat mereka bekerja.

Jika pegawai tidak merasa bangga, bagaimana dengan kinerjanya? Apakah ada hubungan antara rasa kebanggaan pegawai dengan tingkat kinerja yang dihasilkan? Jawabannya saya dapati dari forbes.com. Employees who lack pride don’t feel a sense of ownership and are not willing to go the extra mile. Jelas disebutkan bahwa pegawai yang kurang bangga akan tempat mereka bekerja tidak akan merasa memiliki dan terikat atas organisasi tersebut. Diawali dengan ketidakbanggaan, lalu tidak merasa terikat, dan akhirnya berpengaruh dengan kinerjanya, tidak mau memberikan kinerja terbaiknya karena ya, buat apa?

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh pimpinan untuk meningkatkan rasa bangga pegawainya terhadap organisasi? Pertama adalah satisfaction dan engagement. Kedua hal ini merupakan saudara yang tidak dapat dipisahkan. Jika pegawai puas dengan organisasi dan pekerjaannya, maka tingkat engagement akan naik dan menghasilkan kebanggaan pegawai.

Kepuasan pegawai terhadap leadership pimpinan juga sangat berpengaruh. Pimpinan dapat membangun tingkat engagement pegawai dengan cara menginspirasi, mengapresiasi, dan memotivasi; mengomunikasikan visi dan values organisasi; membangun kerja sama tim dan kolaborasi; dan jadilah role model sesungguhnya, walk the talk.

Data survei Gallup dengan menggunakan CliftonStrengths assessment menunjukkan bahwa 67% pegawai yang engage sangat setuju bahwa manager mereka fokus terhadap strengths atau karakter positif mereka dalam bekerja. Data lain dari Gallup juga menyebutkan bahwa pegawai yang fokus dapat memaksimalkan strengths mereka dalam bekerja akan enam kali lebih engage.

Ketika pegawai diperlakukan secara adil di dalam organisasi, dipastikan kebanggaan akan muncul. Namun bila sebaliknya yang terjadi, sudah dipastikan apa yang muncul setelahnya. Ditambah lagi, rasa bangga bukan hanya mengenai bagaimana organisasi “memperlakukan” pegawainya tetapi juga bagaimana pegawai dapat melihat organisasi dapat memberikan dampak positif dan kontribusi terhadap lingkungan eksternal.

Faktor terakhir yang tidak dapat dipungkiri untuk meningkatkan kebanggaan pegawai adalah bagaimana organisasi peduli akan pengembangan karir dan peningkatan skill, pengetahuan, dan wawasan pegawai untuk bersama-sama mencapai tujuan dan target organisasi.

Mungkin bisa jadi checklist bersama, apakah organisasi tempat Anda bekerja saat ini sudah menciptakan faktor-faktor di atas? Mungkin ada yang sudah, tak banyak juga yang belum. Jadi, apakah masih bangga?

Apakah Leadership Diperlukan?

            Belakangan ini jagat Twitter diramaikan dengan sebuah cuitan yang isinya menyatakan bahwa kemampuan “leadership” atau kepemimpinan bukan merupakan skill yang esensial. Lanjut lagi cuitan tersebut menyatakan bahwa, tidak semua orang senang berada dalam posisi memimpin dan banyak orang yang lebih senang diberi tugas yang jelas untuk dikerjakan dibandingkan jadi pemimpin. Namun, banyak pula orang yang menyatakan bahwa leadership itu penting dan wajib dimiliki setiap orang. Apakah kemampuan leadership itu sepenting itu dan memang betul-betul diperlukan?

            Dari berbagai jurnal dan artikel yang penulis dapatkan, termasuk salah satunya adalah artikel berjudul “Importance of Leadership in Organizational Development”, menyatakan bahwa kemampuan leadership memiliki peranan penting dalam sebuah organisasi. Bahkan, suatu organisasi atau perusahaan sangat sulit untuk bekerja dengan efisien tanpa memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkemampuan leadership yang efektif. Leadership merupakan suatu kemampuan yang akan dibutuhkan dimanapun dan kapanpun.

            Seringkali “leadership” dipandang sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang dalam hal memimpin orang lain. Padahal konsep leadership sangatlah luas dan tidak terbatas hanya dalam hal kemampuan memimpin orang lain saja. Terdapat tiga tahapan atau level kemampuan leadership, yaitu self-leadership (leading yourself), team-leadership (leading team or entity) dan organization/business-leadership (leading business).

            Kemampuan memimpin tidak harus disandingkan dengan objek eksternal, seperti memimpin orang lain, bawahan atau karyawan. Tingkatan pertama yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk bagaimana ‘memimpin’ diri sendiri. Ketika berbicara mengenai konsep “leading yourself” artinya kita berbicara mengenai bagaimana berdamai dengan diri kita sebagai individu yang bekerja dan beraktivitas, baik secara fisik maupun emosional. Dalam tingkatan ini kita harus mampu mengontrol perasaan, komunikasi, empati hingga bagaimana mengelola pekerjaan yang diberikan dengan baik dan memiliki time management yang baik. Apakah seorang fresh graduate atau karyawan entry level bisa terlihat leadership-nya dalam tahap ini? Bisa, kita hanya perlu mengecek faktor-faktor di atas ketika berinteraksi dengannya.

            Setelah kemampuan ‘memimpin’ diri sendiri, tingkatan selanjutnya adalah kemampuan dalam hal memimpin tim atau kelompok. Di tingkat ini, faktor-faktor seperti kemampuan berkomunikasi yang lebih baik dan kemampuan mendelegasikan pekerjaan/tugas menjadi penting untuk dilihat. Empati dan kerendahan hati pun menjadi salah satu hal yang penting untuk dimiliki, karena tahap leadership ini adalah memerlukan kita untuk mendengarkan curahan hati rekan tim. Pemimpin dalam tahap ini juga harus memiliki visi yang jelas dan nyata, agar dapat mendapatkan trust dari rekan timnya. Di tahapan ini pun seharusnya sudah tidak ada lagi permasalahan dengan time management. Hal ini dikarenakan seharusnya kemampuan mengelola waktu sudah selesai pada tahap awal ‘memimpin’ diri sendiri. Oleh karena itu, pada level supervisor, manager atau first line management di banyak perusahaan atau organisasi, lembur sudah tidak dihitung karena pekerjaannya sudah dituntut untuk beres dengan time management issue.

            Tahapan yang paling tinggi yang dimiliki seorang leader adalah leading business. Ini merupakan suatu kemampuan yang lebih kompleks dan memiliki tanggung jawab yang tinggi. Hal ini dikarenakan, pada tahapan ini seseorang tidak hanya memimpin satu tim dalam sebuah departemen/bagian tapi memimpin lintas fungsi. Leading business merupakan kemampuan dalam mengintegrasikan berbagai fungsi dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Faktor kuat yang harus dimiliki seseorang pada tahap ini adalah kecerdasan/ketajaman dalam berbisnis/berorganisasi, decision making, memiliki visi yang semakin jelas dan kemampuan berkomunikasi di tingkat yang lebih advance.

            Ada aspek atau faktor yang selalu muncul dari ketiga tahapan leadership, yaitu komunikasi. Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dan seringkali menjadi penentu nasib seseorang dalam bekerja. Apabila kita tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, niscaya akan mendapatkan kesulitan pada saat berada di posisi ‘dipimpin’ ataupun ‘memimpin’.

            Leadership itu penting dan selalu akan dipakai dimanapun. Tidak perlu jauh-jauh, ketika kita memiliki asisten rumah tangga sebenarnya kita sudah berada dalam posisi menjadi pimpinan. Kemampuan kita dalam mengarahkan pekerjaan, membagi tugas, mengajarkan agar sesuai dengan standar dan kebiasaan orang rumah, memberikan fasilitas yang cocok bagi dia agar merasa ‘betah’ bekerja di rumah kita, merupakan bagian dari leadership. Jadi, masih merasa leadership itu tidak penting dan tidak diperlukan?

Tagged : /

People Analytics

Jaman now promosi kerja masih pake cara “urut kacang”? Ketinggalan zaman!

Jaman now makin banyak organisasi yang pakai People Analytics untuk dapetin kandidat pegawai yang paling tepat dan terbaik untuk mengisi posisi tertentu. Dan People Analytics manfaatnya ga cuma ini aja, gaes. Masih banyak manfaat lainnya. Tapi sebelum kemana-mana, kita kenalan dulu yuk sama People Analytics.

People Analytics definisi singkatnya adalah penggunaan data pegawai (data-driven) untuk membuat keputusan bisnis yang lebih baik. Data pegawai yang multidimensional dianalisa untuk mendapatkan statistical insights yang dipakai dalam proses rekrutmen, evaluasi kinerja, promosi jabatan, kompensasi, kolaborasi antar pegawai, dan lain-lain, yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi dan menciptakan lingkungan kerja yang baik bagi pegawai.

People Analytics dikenal juga dengan nama lain seperti HR Analytics, Talent Analytics, atau Workforce Analytics. Muncul sejak satu dekade yang lalu, People Analytics semakin popular dalam 5 tahun terakhir dengan semakin populernya big data analytics, semakin tersedianya data SDM, semakin meningkatnya kemampuan komputasi komputer dan maraknya analytics tools, serta meningkatnya ROI (Return on Investment) dari pemanfaatan data analytics. Menurut Nucleus Research, ROI dari business analytics meningkat dari $10,66/dolar yang diinvestasikan (2011) ke $13,01/dolar yang diinvestasikan (2014) dan trend-nya semakin naik. DDI mengatakan organisasi yang memanfaatkan People Analytics secara optimal performanya berpotensi 3,1x lebih baik dibandingkan dengan peers-nya.

Contoh pemanfaatan People Analytics antara lain sebagai berikut: Pemanfaatan People Analytics tidak hanya akan menjawab berapa turn-over rate pegawai (rate pegawai resign), tetapi juga menjawab:

1) Apakah pegawai yang keluar adalah regretted loss bagi organisasi?

2) Mengapa pegawai memilih untuk resign?

3) Prediksi pegawai-pegawai yang berpotensi resign dalam 12 bulan ke depan.

Dengan mengetahui insight seperti ini, organisasi dalam melakukan perbaikan, membuat retention program yang lebih baik, atau melakukan mitigasi agar high-performing employees tidak resign. Salah satu kisah sukses pemanfaatan People Analytics adalah Project Oxygen milik Google yang meng-capture praktik para Manajer terbaik Google, kemudian diimplementasikan dalam sesi coaching yang berhasil meningkatkan performa pegawai berkinerja rendah.

Salah satu kunci sukses analytics adalah penggunaan model analytics secara disiplin (berdasarkan riset yang dilakukan dalam penulisan buku “The Power of People: Learn How Successful Organisations Use Workforce Analytics to Improve Business Performance” oleh Jonathan Ferrar). Di bawah ini adalah model analytics yang dikembangkan oleh Jonathan Ferrar – dinamakan “The Eight Step Model for Purposeful HR Analytics”. Selain itu, menurut salah satu artikel Harvard Business Review, sukses People Analytics dapat lebih dioptimalkan dengan tidak hanya menganalisa atribut pegawai, tetapi juga menganalisa interaksi yang dilakukan oleh pegawai (relational analytics) karena hasil riset menunjukkan bahwa kesuksesan pegawai tergambar dari interaksi/hubungan-nya dengan orang lain.

Wejangan terakhir, People Analytics tidak sesimpel penerapan teknologi, kemudian organisasi akan dengan sendirinya sukses. Tidak. Implementasi People Analytics sebenarnya adalah perubahan organisasi yang besar yang mengubah budaya, dari yang awalnya bukan data-driven menjadi data-driven. Apakah organisasi Anda sudah siap, misal, ketika promosi pegawai tidak lagi memakai mekanisme “urut kacang” atau tidak lagi berdasarkan kedekatan personal? Hal ini harus dipertimbangkan sebelum implementasi People Analytics. Bahkan Change Management pun dapat dilibatkan untuk mendukung suksesnya implementasi People Analytics.

Toxic Positivity

 “When positivity is used to silence the human experience, it becomes toxic. – Jamie Long, Samara Quintero (Author “Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes”)

Beberapa waktu lalu, salah satu teman saya tiba-tiba mencak-mencak di telepon kepada saya:

“Ini gimana sih? Setiap kali cerita ke circle gw klo gw kesel dan mau resign karena udah ga tahan sama lingkungan kantor yang toxic, jawabannya selalu “Udah sabar aja”, “Kurang bersyukur lu. Masih bersyukur punya kerjaan” atau “Positive thinking aja”. Ya itu ga salah si… Tapi bukan berarti gw ga bersyukur loh. Dan sekarang gw malah makin tambah kesel!!”

Nah, ini adalah contoh konkrit “toxic positivity” di kehidupan kita.

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah sikap positif berlebihan yang menekan atau menghindari perasaan negatif yang sebenarnya dirasakan, baik dilakukan oleh orang lain ke diri kita, ataupun kita ke diri kita sendiri. Toxic positivity itu berarti di setiap saat, apapun yang kita hadapi – mau terjadi tragedi sekalipun, kita harus selalu positif. Padahal hidup kita ini ga selalu semulus kulit artis Korea, kawans.

Berarti positive thinking itu jelek donk? Ga begitu juga. Positive thinking pasti ada baiknnya, tetapi segala sesuatu yang berlebihan, tentunya tidak baik.

Perasaan yang kita rasakan adalah respon natural dari seorang manusia yang tentunya otentik dan valid. Dan perasaan yang muncul adalah “teriakan” dari value yang kita yakini, atau cerminan dari hal yang kita anggap penting. Ga mungkin kita marah-marah kalau hal tersebut ga melanggar value yang kita pegang. Ga mungkin kita sedih kalau hal tersebut bukan hal yang penting. Kalau dikembalikan ke cerita teman saya, dia merasa penting untuk berada di lingkungan kerja yang baik.

Menurut Dr Susan David – pencetus konsep Emotional Agility dan founder dari Institute of Coaching at McLean Hospital of Harvard Medical School, perasaan negatif yang muncul dalam diri seseorang dapat dianggap sebagai data. Data dapat dipelajari untuk diketahui penyebab mengapa perasaan yang kurang enak itu timbul dan selanjutnya menentukan langkah konkrit untuk mengatasinya.

Dampak buruk dari Toxic Positivity

Dampak buruk dari toxic positivity bisa bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:

  1. Tidak sehat, berdampak buruk pada kesehatan mental
    Dengan mengenyampingkan respon otentik dan valid manusia dan berpura-pura bersikap positif atau berpura-pura kuat padahal sebenarnya di dalam diri sudah hancur lebur, ini sudah pasti tidak sehat. Apalagi dengan adanya tekanan dari lingkungan sekitar untuk selalu positif, sehingga ketika seseorang sedang merasa tidak positif – sedih, burn-out, marah, stress berat, dan lain-lain, muncul rasa bersalah dan gagal dalam diri seseorang karena tidak bisa memenuhi ekspektasi lingkungan. Hal ini dapat berujung kepada kecemasan bahkan depresi.
  1. Emosi negatif semakin kuat, masalah tidak selesai
    Ketika sesuatu yang otentik ditekan terus-menurus, lama-lama meledak. Masalah pun tidak selesai. Daripada ditekan, emosi negatif harus diterima dan direspon dengan tepat. Di masa pandemi COVID-19 ini, bahkan semakin mudah untuk merasakan emosi yang kurang baik. Menurut survey yang dilakukan oleh Campbell dan Gavett pada 1,500 orang di 46 negara “What COVID-19 Has Done to Our Well-Being”, 85% responden merasa general well-being telah menurun sejak pandemi – dengan penyebab utama di antaranya penurunan kesehatan mental, meningkatnya tuntutan pekerjaan, dan perasaan terisolasi.
  1. Less resilient
    Toxic positivity akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menghadapi kondisi di dunia ini sebagaimana adanya. Seseorang akan menjadi kurang resilient padahal resiliency adalah salah satu kualitas yang dibutuhkan oleh seseorang, khususnya seorang Leader/Pimpinan untuk menghadapi dunia yang semakin tidak menentu.

Bagaimana cara menghadapi Toxic Positivity?

Dalam sesi singkat TED, Dr Susan David menceritakan beberapa tips dalam menghadapi emosi yang kurang mengenakkan yang timbul dalam diri kita:

  1. Beri nama pada emosi negatif dengan jelas
    Kebanyakan dari kita kalau sedang merasakan emosi negatif, biasanya mengungkapkan dengan istilah umum semacam “Gw bete nih”. Emosi tersebut dapat diberi nama dengan jelas sehingga kita dapat mengidentifikasi penyebabnya dan mengaktifkan “readiness potential” – kemampuan dalam diri manusia untuk membuat perubahan yang konkrit untuk mengatasi itu.
  1. Beri jarak antara kita dengan emosi negatif
    Misal ketika sedang merasa burn-out, hindari mengucapkan “Saya burn-out”. Tetapi ganti dengan “Saya notice kalau saat ini saya sedang merasakan burn-out”. Menurut Dr Susan, hal ini memberi jarak antara kita dengan emosi kita – “We own our emotions. They don’t own us”. Hal ini membuat bagian dari diri kita untuk muncul, maju ke depan mengatasi emosi itu.
  1. Curahkan dalam tulisan
    Ketika tidak bisa bercerita ke orang lain, kita dapat mencurahkan perasaan negatif tersebut dalam tulisan. Kita berbicara jujur apa yang kita rasakan melalui tulisan.

Last but not least, masyarakat dan lingkungan juga memiliki peran penting dalam menghadapi toxic positivity karena sepertinya sudah menjadi norma di masyarakat untuk terus positif. We are human-being – yang sangat normal memberikan respon negatif ketika sesuatu yang kurang baik terjadi.

Kembali kepada cerita teman saya di awal, daripada memaksa dia untuk bersikap positif padahal sudah jelas dia sedang dalam kondisi kesal, bingung, dan sebagainya, respon lebih baik yang dapat dilakukan oleh circle-nya adalah mengakui bahwa apa yang sedang dirasakan dia adalah valid atau berusaha membantu. Misal “I’m listening” atau “Sepertinya ada yang salah dengan kantor kamu. Apa yang bisa aku bantu?”.

Pada akhirnya, masalah sebenernya bukan pada apakah seseorang memiliki emosi negatif. Tidak ada yang salah dengan seseorang yang merasa sedih atau burn-out. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang terjebak oleh emosi negatif tersebut dan berakibat buruk pada hidupnya dan lingkungan sekitarnya – keluarga, pertemanan, bahkan pekerjaan.

It’s Okay to Not Be Okay.

Tagged : /

Mencari “Connectors” Untuk Pengembangan Diri dan Karir

Karateristik utama dari milenial adalah mencari pengembangan diri. Tingkat kepuasan bekerja mereka banyak ditentukan dengan sampai sejauh mana dirinya berkembang dalam suatu pekerjaan atau perusahaan. Remunerasi merupakan hal penting, namun bukan menjadi yang terpenting. Sehingga apabila mereka merasa tidak berkembang setelah sekian lama dalam pekerjaannya, mereka akan berusaha mancari “jalan keluar’. Jalan keluar bisa berarti pindah ke unit kerja lain, bekerja di perusahaan lain, melanjutkan studi atau melakukan sabbatical leave[1] untuk mengembangkan diri.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Gallup,  sebanyak 87% dari milenial mengatakan bahwa pengembangan diri dan karir adalah hal terpenting bagi mereka dalam bekerja. Jauh lebih besar dibanding dengan generasi lain yang hanya 47% menyatakan bahwa hal tersebut adalah teramat penting. Apabila demikian apa yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan?

Milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 dan 2000. Dengan demikian di angkatan kerja sekarang mereka sudah berusia antara 20-40 tahun. Ada yang baru lulus kuliah, sampai dengan sudah ada yang menjadi CEO di perusahaan 500 Fortune. Indonesia sendiri juga sudah menempatkan milenial di posisi penting. Menteri Pendidikan Nasional kita sekarang Nadiem Makarim lahir di tahun 1984. BUMN juga mulai memberi ruang untuk milenial, contohnya pada Fajrin Rasyid, eks presiden Bukalapak, menjadi Direktur Digital PT Telkom. Presiden Jokowi juga bahkan menunjuk Staf Khususnya dari generasi milenial.

Sedemikian pentingnya kedudukan milenial dalam angkatan kerja sekarang, dan sudah sewajarnya perusahaan atau organisasi memberikan perhatian lebih kepada aspirasi mereka. Sejalan dengan hasil survey yang dilakukan Gallup, konsultan PWC juga menyatakan dalam laporannya “millenials at work: reshaping the workplace in financial service” bahwa kebutuhan utama para milenial adalah pengembangan diri dan karir. Dengan demikian terdapat dua fokus utama bagi para praktisi pengelola sumber daya manusia di perusahaan, yaitu membuka ruang pengembangan kompetensi dan karir yang seluas-luasnya. Gagal dalam memberikan kesempatan ini dapat berakibat fatal, yaitu pegawai milenial akan mencari jalan keluar. Yang dikawatirkan mereka bukan hanya disenganged dari pelaksanaan tugas tetapi actively disengaged. Kondisi ini akan membawa dampak buruk pada suasana kerja perusahaan.

Dalam sebuah artikel di Harvard Business Review, dijelaskan ada empat karateristik jenis pimpinan terkait dengan pengembangan anak buah. Pertama Teachers Manager, yang mengembangkan anak buah berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dan terlibat langsung dalam memberikan feedback kepada anak buah. Yang kedua adalah Always-On Managers, yang mendedikasikan waktunya setiap saat untuk selalu mengembangkan anak buahnya setiap aspek pengetahuan yang dibutuhan. Connectors, yang tidak mengembangkan anak buah secara langsung namun menghubungkan mereka dengan orang yang ahli dengan subyek yang dibutuhkan. Cheerleader Managers, yang memberikan dukungan tetapi tidak memberikan feedback atau menghubungkan dengan orang yang ahli.

Sekilas kita menginginkan tipe yang Always-On Managers yang selalu menyediakan waktu untuk pengembangan diri kita. Namun berdasarkan hasil penelitian tipe pimpinan yang paling efektif adalah yang jenis connectors. Mereka tidak perlu selalu meyediakan waktu bagi kita atau harus memahami segala macam hal untuk mampu memberikan coaching kepada kita. Tetapi mereka cukup paham kepada siapa kita harus bertanya dan membuka jalan bagi kita untuk bertanya lebih lanjut tentang subyek yang ingin kita ketahui. Kita tidak butuh pimpinan yang “superman” mengerti segala hal, tetapi ternyata kita lebih butuh pimpinan yang gaul, paham siapa ahli apa dan juga mau membuka kesempatan bagi kita untuk belajar lebih banyak dengan yang “lebih ahli”. Syukur apabila kemudian mereka malah kemudian membuka diri untuk belajar dari kita mengenai subyek tersebut. Mari kita berhenti sejenak dari rutinitas, dan evaluasi pimpinan kita tipe yang mana mereka. Apabila kita tidak mendapatkan connectors dalam diri mereka, jangan putus asa, kita cari orang yang bisa menjadi connectors kita sepanjang mereka membuka diri untuk membantu pengembangan diri kita. Tetap semangat dan jaga kesehatan.


[1] The sabbatical definition is “a break from work” during which employees can pursue their interests, like traveling, writing, research, volunteering or other activities (or even rest). During that time, the employee is still employed at their organization, but they don’t need to perform their normal job duties or report to work.

Kepuasan Kerja, Work-Life Balance dan Produktivitas Kinerja

Di dunia bisnis pada era globalisasi seperti saat ini, para perusahaan berlomba-lomba dalam persaiangan usaha yang ketat dengan menggunakan segala sumber daya atau resources yang dimiliki perusahaan. Persaingan usaha menjadi sesuatu yang sangat menjadi perhatian setiap perusahaan ditambah dengan kondisi dimana perusahaan harus bertahan dengan kondisi pandemi global yang sangat berdampak terhadap operasional dan performa perusahaan. Jangankan bersaing, banyak dari perusahaan yang kini harus menjalankan bisnisnya dengan memaksimalkan sumber daya yang terbatas namun harus tetap menghidupkan perusahaannya dengan baik. Di antara semua sumber daya yang menopang perusahaan, sumber daya manusia, dalam hal ini karyawan, memiliki peranan dan kontribusi yang sangat penting dan dominan.

Karyawan merupakan sebuah aset bagi perusahaan. Selain memiliki peran yang sangat penting, karyawan merupakan sumber daya yang dominan demi mencapai tujuan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Akan sangat sulit bagi perusahaan untuk beroperasi dengan lancar dan mencapai tujuannya apabila karyawannya tidak mampu mengeksekusi tugas dan fungsinya dengan baik. Terlebih lagi, masih banyak perusahaan yang menuntut karyawan dengan tekanan pekerjaan tanpa memerhatikan kepuasan kerja karyawannya. Padahal, banyak pendapat dan survei menyatakan bahwa untuk mempertahankan kinerja karyawan agar tetap produktif, perusahaan harus memerhatikan kepuasan kerja karyawannya yang tidak lepas dari beberapa faktor yang salah satunya adalah work-life balance.

Work-life balance merupakan sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendefinisikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti bernama Lockwood dalam risetnya berjudul “Work/Life Balance: Challenges and Solutions”, menyatakan bahwa keadaan seimbang pada dua tuntutan di mana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan menurut penulis jurnal lainnya, Greenhaus menyatakan bahwa work-life balance adalah sejauh mana suatu individu terikat secara bersama di dalam pekerjaan dan keluarga, dan sama-sama puas dengan peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarganya. Work-life balance menjadi hal yang sangat penting karena dapat berpengaruh kepada kepuasan kerja seorang karyawan dan bagaimana produktivitas seorang karyawan bekerja pada suatu perusahaan.

Seringkali karyawan dihadapkan pada porsi pekerjaan yang menuntut dirinya untuk bekerja melebihi jam regular tempat dirinya bekerja. Deadline tugas yang diberikan terkadang menuntut karyawan untuk menggunakan jam lembur (overtime) untuk menyelesaikannya. Rapat kerja yang diadakan hingga larut malam, serta perjalanan bisnis atau dinas ke luar kota yang akhirnya membuat kebutuhan dengan keluarga dan lingkungan terdekatnya hingga kebutuhan pribadi jadi terganggu juga turut menyertai tekanan perusahaan pada karyawannya. Karyawan dituntut untuk melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal namun seringkali perusahaan mengesampingkan keseimbangan kehidupan karyawannya. Tidak sedikit perusahaan yang memberikan jumlah tugas atau pekerjaan yang berlebihan yang mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja karyawan hingga kepuasan kinerja karyawan. Padahal, ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.

Di Singapura, pemerintahnya mendukung permintaan masyarakatnya yang menginginkan work-life balance dalam kehidupan bekerja. Hingga saat ini, sistem work-life balance mulai diterapkan di beberapa lembaga pemerintahan seperti waktu bekerja sesuai dengan porsi yang telah ditentukan. Setelah beberapa waktu kebijakan work-life balance ini diterapkan, hasilnya menunjukkan hal yang positif, seperti produktivitas kerja meningkat, pengeluaran berkurang dikarenakan angka keluar-masuk karyawan berkurang, angka ketidakhadiran atau absen semakin menurun dan komitmen karyawan kepada perusahaan pun semakin tinggi. Hasil ini kemudian menjadi catatan bagi jajaran perusahaan bahwa jika menerapkan work-life balance kepada karyawannya di tempat kerja maka perusahaan tersebut akan menjadi lebih menyenangkan, efisien, dan produktif.

Berbeda dengan di Indonesia. Berdasarkan salah satu survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia terhadap pengangguran yang ada di Indonesia, jumlah penganguran di negeri ini berkisar di angka 9 juta. Adapun sebesar 85% responden dari survei mengaku kalau mereka tidak memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh akademisi bernama Uki Yonda Asepta, belum banyak perusahaan yang melihat work-life balance sebagai isu. Namun dengan perkembangan jaman dan teknologi yang cukup pesat, Generasi Milenial (Gen Y) sudah mulai sadar akan isu ini. Kepentingan dan kebutuhan personal hingga keluarga seringkali memberikan dampak kepada bagaiman karyawan mengelola pekerjaan dan profesionalitasnya. Alhasil banyak karyawan yang mengalami kondisi burn-out dan tingkat turnover menjadi sangat tinggi. Bagi perusahaan, isu ini menjadi penting karena dapat menyebabkan turunnya produktivitas dan efisiensi kerja karyawan.

Melihat itu semua, perusahaan dan jajaran manajemen SDM perusahaan harus mulai memerhatikan work-life balance ini baik untuk karyawan maupun keberlanjutan bisnis yang dijalankan. Komitmen menjalankan work-life balance perlu dimulai dari dua belah pihak, baik jajaran manajemen perusahaan maupun karyawannya. Manajemen perusahaan bisa memulai dengan mendorong perkembangan budaya yang mengutamakan aspek kepercayaan dan respect dalam perusahaan. Perusahaan juga memiliki peran untuk mengetahui kebutuhan karyawan yang berbeda-beda dan mengadopsi pendekatan yang bisa mendorong work-life balance karaywan dalam perusahaan. Sebagai karyawan, kita juga harus aktif memberikan suara dan pendapat terkait dengan hal-hal yang sekiranya dapat memberikan kepuasan kerja terhadap karyawan dan dampak positifnya terhadap perusahaan.

Tagged : / /

Membangun Kepercayaan melalui Komunikasi yang Efektif

Pernahkah Anda memikirkan, kenapa perbuatan yang kita sangka benar namun orang lain dapat berpikir sebaliknya? Bagaimanakah suatu ucapan atau perbuatan bisa kita anggap sebagai sesuatu yang benar ataupun salah? Ternyata, benar atau salahnya segala sesuatu bisa berdasarkan pada kepercayaan yang kita miliki atas sebuah gagasan, pandangan, nilai, norma hingga perbuatan orang yang kita kagumi. Sebuah kepercayaan juga tidak terbentuk begitu saja, dibutuhkan proses dan waktu agar sebuah kepercayaan terhadap sesuatu dapat terwujud.

Kepercayaan merupakan hal yang esensial dalam kehidupan sosial setiap manusia. Manusia memerlukan kepercayaan terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, dirasakan hingga dialami di hampir setiap aspek kehidupan, seperti kepercayaan dalam agama, hubungan antar sesama, politik, kesehatan, gaya hidup dan lain sebagainya. Sebagai contoh, jika seseorang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter terhadap penyakitnya, maka orang tersebut tidak akan mendapatkan manfaat yang maksimal atas rekomendasi yang disampaikan dokternya. Contoh lainnya adalah dalam dunia pekerjaan, apabila para karyawan tidak memercayai pimpinannya maka pencapaian tujuan dalam bekerja akan semakin sulit hingga bisa tidak tercapai. Dengan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, seseorang dapat memaknai dan melakukan aktivitasnya dengan lebih optimis dan memberikan hasil yang maksimal.

Untuk memahami konsep dari kepercayaan, ada baiknya untuk kita memahami terlebih dahulu mengenai apa itu kepercayaan dan bagaimana suatu kepercayaan dapat memberikan dampak yang besar bagi seseorang.

Menurut Paul Richard Thagard yang merupakan seorang filsuf Kanada yang mengkhususkan diri dalam ilmu kognitif, filsafat pikiran, dan filsafat ilmu pengetahuan dan kedokteran, menyampaikan bahwa kepercayaan merupakan kumpulan perilaku yang bergantung terhadap sesuatu yang dapat memengaruhi seseorang dalam beraktivitas. Kepercayaan juga merupakan sebuah perasaan kepercayaan diri dan suatu konsep keamanan diri yang dapat menjadi pedoman hidup bagi seseorang. Dengan memiliki kepercayaan akan sesuatu, manusia secara tidak langsung akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang terkandung dari kepercayaan yang dia miliki.

Membangun sebuah kepercayaan dapat terwujud melalui komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan membangun kepercayaan sangat bergantung tentang bagaimana seseorang membangun hubungan dengan lingkungannya. Banyak dari Key Opinion Leaders (KOL) seperti publik figur, pemuka agama, politikus hingga pimpinan perusahaan  memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh dan percaya terhadap apa yang dilakukan dan disampaikan oleh KOL. Berikut ini adalah cara-cara yang tepat untuk membangun kepercayaan melalui komunikasi yang efektif.

Menurut akademisi Dr Katalin Illes dan Dr Martin Mathews, terdapat sepuluh cara untuk membangun kepercayaan melalui cara komunikasi yang efektif. Mendengarkan keinginan, pendapat dan suara dari lingkungannya merupakan cara yang pertama. Dengan mendengarkan dengan hati terbuka, Anda dapat mendapatkan peluang dan masukan yang tepat tentang bagaimana harus berucap, bertindak dan memutuskan sesuatu kepada para orang di sekitar, pengikut maupun bawahannya. Kedua, seseorang harus dapat mengatakan dan menunjukan secara jelas nilai atau kebiasaan yang genuine dan tulus dari dalam dirinya. Kedisiplinan dan komitmen dalam berkata dan berbuat sesuatu sangatlah penting untuk membangun kepercayaan. Ketiga, sampaikan sesuatu dengan transparan dan jujur hingga membentuk suatu budaya. Kepercayaan ditemukan dari nilai-nilai yang berasal dari hati yang berlandaskan kejujuran. Keempat, percayai orang yang menyampaikan kritik dan saran kepada Anda. Berdiskusi dan membentuk tim kompeten yang dapat membantu menyampaikan informasi yang diinginkan kepada orang di sekitar, pengikut maupun bawahan Anda.

Kehadiran merupakan hal penting yang diperlukan untuk membangun kepercayaan. Kepercayaan adalah hal yang personal dan komunikasi tatap muka adalah kunci penting untuk membangun interaksi sehingga kepercayaan pun lama kelamaan akan muncul. Seseorang juga harus fokus menyampaikan komunikasi secara terus menerus untuk membantu orang lain berada dalam kebiasaan yang diinginkan. Cara selanjutnya adalah mencintai orang di sekitar, pengikut atau bawahan Anda. Dengan mencintai mereka hingga mendapat respon yang positif, Anda akan dapat mudah masuk ke dalam suatu hubungan dan  meyakinkan mereka hingga membangun kepercayaan dengan mereka.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, membangun sebuah kepercayaan membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar. Membangun keterikatan dan hubungan atas dasar kepercayaan memerlukan komitmen dan disiplin diri. Oleh karena itu, jangan mengharapkan hasil yang instan untuk membangun sebuah kepercayaan dengan orang lain yang kekal!

Tagged : /

Effective Listening

Kita sudah banyak membaca artikel mengenai komunikasi. Sebagian besar mengatakan bahwa permasalahan komunikasi adalah mendengar bukan “mendengar”. Bahasa Inggrisnya people hearing without listening. Perbedaan sederhananya kalau hearing adalah mendengar menggunakan telinga, sedangkan listening adalah mendengar dengan menggunakan pikiran. Kita bisa mendengar banyak hal di sekeliling kita, tapi pikiran kita fokus dengan lawan bicara. Kita tidak berusaha menterjemahkan segala suara yang kita dengar, tetapi kita fokus berusaha memahami yang disampaikan oleh lawan bicara kita.

Sebuah penelitian menjelaskan bahwa dari seluruh percakapan yang kita lakukan, hanya sekitar 25-50% yang kita benar-benar terlibat didalamnya. Sebagian besar kita hanya sekedar mendengar dan tidak berusaha memahami informasi yang disampaikan. Bayangkan bila kita sedang menjelaskan atau presentasi materi kepada pimpinan kita tetapi dia tidak “mendengar” atau bahkan sambil bermain gadgetnya. Pastinya apa yang kita sampaikan tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh mereka. Oleh karena itu John Keyser dalam artikelnya “Listening is a Leader’s most important skill” menjelaskan banyak pimpinan yang sekarang melakukan banyak diskusi dengan mendatangi meja bawahan karena dengan demikian bawahan akan merasa lebih nyaman dengan situasi dan mampu menjelaskan dengan lebih baik. Situasi ini menjadi amat penting ketika survei menjelaskan bahwa 40% dari pekerja merasa kurang dihargai oleh pimpinan, dan bahkan 70% ingin keluar apabila ada tawaran yang lebih menarik. Komunikasi tertulis lewat email juga kurang efektif, karena dengan mudah dapat disalahartikan mengingat umumnya pembaca tidak mengetahui tekanan dan intonasi yang digunakan dalam komunikasi tertulis tersebut.

Seorang pimpinan perlu memiliki kemampuan mendengar. Dengan banyak mendengar sebenarnya dia sedang banyak belajar dan juga menerima banyak informasi yang terkadang krusial sebelum melakukan pengambilan keputusan. Kebanyakan pemimpin hanya mau didengar tidak mau mendengar. Hal ini membuat anak buah juga merasa demotivasi karena tidak diberikan ruang untuk berkembang dan menyampaikan pemikiran. Sebaliknya anak buah juga perlu memahami arahan dan keinginan pimpinan, sehingga juga perlu memiliki kemampuan mendengar.

Jessica Johnson dari RBL Institute menjelaskan ada tiga tahap dalam mendengar, yaitu:

1) inward listening, 2) concentrated listening dan 3) comprehenisive listening. Pada inward listening kita mendengar apa yang disampaikan, tetapi ketimbang untuk memahami kita sibuk dengan pikiran kita sendiri untuk menyanggah apa yang disampaikan. Concentrated listening adalah situasi kita tidak sibuk berusaha menyanggah apa yang disampaikan, tetapi kita fokus untuk memahami yang disampaikan. Tidak ada kesibukan lain dalam pikiran kecuali fokus untuk memahami yang disampaikan. Pada comprehensive listening kita tidak hanya menggunakan pikiran tetapi kita menggunakan seluruh indera kita untuk memahami yang disampaikan. Misalnya seseorang menyampaikan kabar gembira, namun gesturnya tidak selaras. Sehingga kita akan berusaha menggali lebih lanjut dibalik apa yang disampaikan tersebut.

Kemampuan mendengar adalah sebuah keterampilan atau seni tersendiri. Penting sekali dalam berkomunikasi baik dengan atasan maupun bawahan. Bagaimana cara kita meningkatkan kemampuan mendengar? Melissa Daimler di Harvard Business Review menjelaskan tiga hal yang bisa kita lakukan.

Pertama, fokus kepada mata yang berbicara. Sehingga dengan demikian kita bisa meningkatkan intensitas kita dalam berusaha memahami yang disampaikan. Tutup gadget atau laptop anda dan fokus kepada mata pembicara.

Kedua, luangkan waktu anda sekitar 30 menit atau satu jam dalam sehari untuk berinteraksi dengan atasan, teman kerja atau bawahan sehingga bisa melatih kemampuan mendegar dan juga menerima informasi yang diperlukan.

Ketiga, mengajukan beberapa pertanyaan. Ketika ada yang minta pendapat, pahami dulu situasi dan kondisi dengan pertanyaan baru kemudian memberikan opini. Umumnya orang yang minta pendapat ingin validasi dari kita bahwa yang dipikirkan adalah benar. Sehingga penting bagi kita untuk memahami dulu pokok permasalahan.

Mendengar seperti hal yang sepele, namun memiliki dampak yang besar dalam kita berkomunikasi. Memahami beberapa jenis tingkat mendengar akan membuat kita paham sampai tingkatan mana ketrampilan mendengar kita. Kalau sudah paham pentingnya kemampuan untuk mendengar, yuk mari berlatih meningkatkan kemampuan mendegar kita. Kita mulai dengan orang di lingkungan keluarga, kemudian dilanjut dengan atasan dan bawahan di lingkungan kerja. Semoga sukses meningkatkan kemampuan mendengar anda.

Blockchain in HR

Gaes, pernah denger bitcoin kan? Kalo blockchain gimana? Pasti pernah denger juga ya.

Blockchain adalah teknologi yang mendasari infrastruktur cryptocurrency seperti bitcoin sehingga transaksi finansial berjalan dengan aman dan terpercaya tanpa kehadiran bank atau perantara. Saat ini ga cuma industri finansial loh yang pakai blockchain.

Blockchain memiliki sifat yang bermanfaat tidak hanya bagi industri keuangan tetapi juga bagi industri lain sehingga pemanfaatannya mulai merambah industri selain industri keuangan, tidak terkecuali Human Resource. Berdasarkan Mercer, saat ini pengguna teknologi blockchain di seluruh dunia baru mencapai 0,5% tetapi trend pemakaian blockchain terus meningkat dan diprediksi akan mencapai angka 80% pada 10 tahun mendatang. Yuk kita pelajari pemanfaatan blockchain dalam dunia Human Resource (HR).

Pertama-tama, kita bahas sedikit mengenai apa itu blockchain.

Blockchain secara simpel adalah sistem pencatatan data secara digital. Terus, apa yang special dari blockchain ini? Berikut karakteristik dari blockchain yang membuatnya berbeda dari pencatatan digital biasa.

Immutable and append only (tidak dapat diedit, hanya ditambahkan)

Data disimpan dalam sebuah block dan dicatat secara berurut menurut waktu kejadian membentuk rantai block (block chain). Setiap block saling berhubungan dengan block sebelum dan setelahnya secara kriptografi. Apabila terdapat perubahan data, block tidak diedit tetapi dibuat block baru di barisan paling akhir yang berisi perubahan data. Hal ini seperti ledger/buku besar dalam pencatatan keuangan.

Desentralisasi

Pencatatan tidak disimpan di satu tempat (sentralisasi) tetapi disimpan oleh seluruh komputer yang berada di dalam jaringan blockchain (desentralisasi). Data yang ada di satu komputer sama dengan data yang ada di komputer lainnya. Apabila terdapat komputer baru bergabung ke dalam sistem blockchain, komputer tersebut akan mendapat data yang sama dengan komputer lainnya (seluruh data dari awal sampai akhir).

Integritas data

Apabila terdapat data baru yang ingin dicatat, sebelum block baru ditambahkan ke dalam rantai block, soal kriptografi harus terjawab dan seluruh komputer yang terhubung dalam blockchain melakukan proses verifikasi. Mekanisme ini memastikan hanya data yang benar yang dapat masuk ke dalam blockchain.

Untuk mempelajari blockhain lebih jauh, bisa cek tiga video ini ya: https://youtu.be/6WG7D47tGb0 , https://youtu.be/3xGLc-zz9cA , https://youtu.be/o1ugNnMyeZc.

Nah, dengan fitur blockchain tersebut, pemanfaatannya di dunia HR seperti apa? Cekidot.

  1. Keamanan data

Seperti kita ketahui, data pegawai termasuk data yang sensitif karena terdapat data pribadi, data keuangan (rekening, gaji), data kesehatan, dan sebagainya. Dengan meningkatnya cybercrime, makin meningkat pula kemungkinan bahwa pihak luar berusaha mencuri data sensitif tersebut. Pihak internal pun juga dapat melakukan kejahatan seperti fraud.

Namun, mengingat karakteristik blockchain, kemungkinan fraud dan pencurian data semakin kecil karena data tidak dapat diubah (immutable and append only). Apabila terdapat usaha untuk mengubah data pun, akan dilakukan dengan susah payah. Karena blockchain berupa sistem yang terdesentralisasi, misalkan terdapat pencurian data di salah satu komputer, proses recovery data lebih mudah karena data tidak hilang, komputer lain masih menyimpan data dengan lengkap. Apabila terdapat komputer yang terkompromi oleh hacker, komputer tersebut dapat langsung diputus dari jaringan blockchain.

  1. Rekrutmen

Berdasarkan data Mercer, 75% dari Manajer SDM dapat mengidentifikasi kebohongan yang dituliskan di CV pelamar kerja. Blockchain dapat membantu Manajer SDM dalam hal memverifikasi kualifikasi yang ditulis oleh kandidat sehingga lebih terpercaya. Selain itu, blockchain dapat membantu background check yang biasanya memakan waktu cukup lama dan melelahkan. Saat ini recruiter merasa kesulitan merektur talent yang diinginkan, blockchain membantu talent matching. Tidak hanya recruiter yang dimudahkan, pelamar pekerjaan juga. Kualifikasi pelamar yang sudah terverifikasi di dalam sistem blockchain dapat digunakan kembali untuk melamar pekerjaan lain. Berikut adalah contoh blockchain-based system di area ini https://zinc.work/.

  1. Payroll

Blockchain memudahkan payroll dengan mengurangi kegiatan manual dan mengubahnya ke otomasi. Ketentuan payroll/pembayaran gaji ditambahkan ke dalam kode blockchain, kemudian blockchain yang akan berhubungan dengan seluruh sistem yang dibutuhkan, termasuk intermediary bank. Apabila ketentuan terpenuhi, blockchain menghitung dan dapat mencairkan gaji secara real-time. Departemen SDM tidak perlu berurusan dengan bank setiap bulan untuk melakukan pembayaran payroll terjadwal. Hal ini disebut “smart contract”. Silakan lihat video ilustrasi payroll sistem yang menggunakan blockchain yang ditawarkan oleh Etch https://youtu.be/mlEBmMrEhPU

Salah satu kelemahan blockchain saat ini adalah penerapan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, seiring waktu dan dengan banyaknya manfaat yang dapat ditawarkan oleh blockchain kepada dunia HR, di masa yang akan datang implementasi blockchain di dunia HR akan semakin luas. Kita jangan sampe ketinggalan ya.


Image by: freepik

Bos Ideal

Sebuah survey terbaru yang dilakukan oleh DDI menjelaskan bahwa mayoritas sebesar 57% keluar dari pekerjaannya karena bos mereka. Bahkan 14% dari 57% tersebut keluar tidak hanya sekali tetapi beberapa kali dari pekerjaan hanya karena masalah dengan bos mereka. Hanya 12% yang menyatakan tetap di pekerjaannya meskipun bermasalah dengan bos, dan sebanyak 32% baru mulai berfikir akan keluar.

Sebegitu dahsyatnya pengaruh seorang bos kepada keberadaan anak buahnya. Memangnya bos seperti apa sih yang diidamkan oleh mereka? Ada nggak sih bos yang ideal di dunia nyata? Pemain MU pasti mencari sosok pengganti Sir Alex Ferguson. Liverpool sedang menikmati masa bulan madu dengan Juergen Klopp. Klub basket San Antonio Spurs pasti khawatir kehilangan Greg Popovich.

Topik ini sudah ada sejak dulu kala, dan sudah banyak teori dan buku yang ditulis. Mulai dari Kurt Lewin dengan 3 gaya kepemimpinan otoriter, partisipatif dan delegasi, kemudian Jim Collins dengan Good To Great, sampai dengan Dave Ulrich dengan Leadership Code-nya. Semua teori tentu bagus disimak dan yang lebih penting lagi adalah mengambil pelajaran untuk diterapkan dalam keseharian kerja kita.

Memimpin dengan visi dan nilai tertentu. Seorang pemimpin harus memiliki visi, kemana arah tujuan pelaksanaan tugas. Dia harus mampu meyakinkan bahwa destinasi akhir misalnya adalah ke Bandung. Dengan demikian anak buah tidak ada yg berfikir tujuan akhir mereka di Medan atau Denpasar. Untuk bisa mencapai destinasi tersebut, seorang pemimpin harus memiliki nilai tertentu. Bahwa semua penumpang di bis menuju bandung tersebut perilakunya harus (misalnya) transparan, memiliki integritas dan bertanggung jawab. Dia adalah orang pertama yang harus menjadi contoh dari perilaku tersebut dalam perjalanan ke Bandung.

Mampu mengambil keputusan strategis. Tentu perjalanan ke Bandung tidak akan semudah yang kita bayangkan. Banyak keputusan yang harus diambil. Kendaraan apa yang digunakan. Ketika jalan tol ditutup, harus reroute lewat mana. Berapa pemberhentian yang akan dilakukan dan dimana. Mengambil tindakan kalau ada penumpang yang “nakal” tidak sesuai dengan nilai yang disepakati. Kesemua itu menuntut seorang pimpinan harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan. Mana keputusan yg boleh didelegasikan ke supir dan mana keputusan strategis yg harus dia ambil sehingga destinasi dapat ditempuh sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Mempersiapkan anak buah untuk menjadi pengganti. Seorang pemimpin harus mampu mengidentifikasi anak buah yang potensial yang akan menggantikan dirinya. Kita tidak mengetahui apakah sepanjang jalan kondisi pimpinan akan baik-baik saja, atau kurang sehat atau bahkan harus keluar dari bis karena ada keperluan lain. Pemimpin sudah mempersiapkan bahwa perjalanan harus tetap dilakukan dengan siapa menjadi pimpinan. Sang calon pengganti tidak bisa serta merta siap, namun harus sering diajak diskusi. Diberi penjelasan. Ditambah pengetahuannya. Diberikan cara untuk mencari jalan keluar apabila ada halangan. Dengan demikian, sang calon pengganti ini akan siap bila tiba waktunya di sepanjang perjalanan harus menggantikan. Jangan sampai malah sang pengganti mengubah tujuan tidak ke Bandung, malah ke Serang. Kemudian menyalahkan pimpinan yang lama karena mengambil tujuan ke Bandung.

Terus menerus belajar untuk memahami perkembangan di seputar dunia kerja. Sepanjang perjalanan ke Bandung pasti akan banyak dinamika. Ternyata ada opsi kendaraan yang lebih baik. Ada bis yang lebih nyaman. Kecepatan bis sebaiknya berapa agar lebih efisien. Alternatif rute baru sehingga bisa lebih efektif mencapai tujuan. Kesemua informasi itu tidak akan diperoleh apabila pimpinan tidak mau belajar atau mendengar masukan tentang hal yang baru. Ketika seorang pimpinan selalu merasa lebih benar dan lebih paham dari yang lain, maka sudah bisa diproyeksikan bahwa destinasi akhir tidak akan tercapai. Semua halangan dan semua tantangan selama perjalanan perlu didiskusikan bersama untuk memastikan perjalanan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Gagal untuk menerima masukan mengenai rute alternatif baru misalnya, akan membuat bis kita akan tertinggal dengan bis lain yang tujuannya sama.

Sekali lagi memang tidak ada rumus pimpinan yang ideal seperti apa. Tapi setidaknya berdasarkan survei, studi banding, riset akan diperoleh karakter umum seorang pemimpin. Karakter umum ini bisa berbeda setiap orang. Menurut kamu sendiri boss yang ideal kriterianya seperti apa?

Burn Out

Teman-teman, pernah ngga sih kalian ngerasain stress di tempat kerja yang terlalu sering, sampe-sampe tempat kerja kita rasanya udah “bukan gue banget”, pengen resign tapi masih butuh pendapatan yang stabil, tugas-tugas di depan mata juga entah mengapa udah ngga menarik lagi. Pokoknya segalanya terasa hampa di hati. Tau ngga kalo kondisi seperti ini istilah kerennya disebut juga “burnout”. Kalo di translate ke bahasa kita sih artinya “terbakar habis”. Tapi dari definisi umumnya, “burnout” artinya kehilangan passion dari sebuah pekerjaan, disertai rasa kelelahan mental, fisik, atau emosional, yang disebabkan oleh stress di tempat kerja secara terus menerus dan tidak terselesaikan. Pada 2019, World Health Organization (WHO) memasukkan fenomena “burnout” ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11), meskipun sebenarnya bukan penyakit medis. Riset WHO juga menyebut bahwa stress di tempat kerja melanda hampir 615 juta penduduk dunia dan menyebabkan kerugian $1 triliun per tahunnya karena produktivitas kerja yang menurun.  

Sebuah survei dari Gallup terhadap 7500 orang pekerja menemukan 5 penyebab utama “burnout” seseorang. Pertama, perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Siapa sih yang suka dengan ketidakadilan, kita sudah kerja banting tulang tapi yang dapat kredit justru orang lain; unequal opportunity; atau bisa juga benefit kerja yang kita dapat lebih rendah daripada peers kita. Kedua, beban kerja yang berlebihan. Setiap orang memiliki ambang batas stamina berpikir dan beraktivitas. Bila batas tersebut terlewati, maka kondisi fisik dan psikis akan menurun dan justru membuat kita tidak produktif dan stress. Jadi, jika pekerjaan kamu setiap hari mengharuskan kamu untuk kerja lebih dari 8 jam sehari bahkan lembur hampir tiap hari, mungkin ada baiknya mencari opsi pekerjaan di tempat lain. Ketiga, visi yang tidak jelas. Mencari arti dari sebuah pekerjaan bukan perkara mudah. Bila pemimpin perusahaan/organisasi di tempat kamu tidak mampu menunjukkan visi perusahaan ke depan mau seperti apa, maka kamu akan terjebak dengan rutinitas yang monoton. Mata kelihatan lesu padahal baru datang di pagi hari, dan setiap hari kita bekerja hanya untuk uang. Tidak lebih.

Keempat, kurangnya komunikasi dan dukungan atasan. Atasan yang merasa exclusive dan egosentrik dapat menurunkan morale bawahannya. Bagaimanapun, bawahan memiliki kebutuhan untuk mendapat feedback yang baik dan juga kredit/pujian/apresiasi atas prestasi kerjanya. Begitu pula atasan juga memiliki kebutuhan untuk memonitor bawahannya agar performa kerja menjadi prima dan sustainable dalam jangka panjang. Kurangnya empati dari supervisor dapat membuat bawahan semakin acuh dan merasa bukan bagian penting dari perusahaan. Kelima, tekanan deadline pekerjaan yang tidak masuk akal. Siapa sih yang suka ketika pulang kerja tiba-tiba dapat WA dari bos yang minta kita menyelesaikan tugas di rumah dan harus selesai malam ini atau besok pagi? Kalo hanya terjadi sekali dua kali setahun sih mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau terjadi di tempat kerja kamu hampir tiap minggu, itu tanda yang tidak sehat yang hampir pasti memicu stress dan depresi.

Kebanyakan orang merasa bahwa fenomena burnout disebabkan oleh pegawai yang bermasalah; dia tidak kompeten, dia tidak tahan banting, dia tidak pantas bekerja di sini, dia punya masalah mental, dia gila, dan lain-lain. Padahal tidak. Burnout adalah masalah organisasi. Ada dua sisi, satu adalah permasalahan menciptakan motivasi, dan kedua adalah permasalahan benefit fisik. Lingkungan dan sistem kerja yang mendorong motivasi bekerja harus dibangun oleh pemimpin perusahaan dan manajemen. Misalnya memberikan pekerjaan yang menantang, apresiasi atas pencapaian pegawai, kesempatan melakukan hal yang “meaningful” bagi orang lain, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perlakukanlah pegawai layaknya “owner”, dan mereka akan menunjukkan hebatnya kinerja mereka, bukan sebagai “tools” yang replaceable. Di samping itu, perusahaan juga harus mampu menyiapkan “physical” benefit yang cukup bagi kelangsungan hidup pegawai. Misalnya standar gaji dan bonus; fasilitas kerja, administrasi/kebijakan perusahaan yang fleksibel, akuntable, dan efisien; hubungan kerja dan pola komunikasi antar unit yang baik; serta keamanan di masa pensiun. Dua faktor ini adalah kunci bagi perusahaan untuk menghindari fenomena burnout para pegawainya dan me-retain talent-talent terbaiknya.

Toxic Leader

Boys and girls, pernah gak sih kalian ketemu bos-bos yang perilakunya gak layak dicontoh? Kalian juga  merasa tindak-tanduk bos-bos ini merusak suasana di tempat kerja? Gak enak kan punya bos kayak gini. Bos semacam ini lebih populer disebut Toxic Leader. Ciri-ciri Toxic Leader sebenarnya sangat banyak, yang paling sering ditemui biasanya berciri arogan, mudah tersinggung (baper), kurang empati, kurang berintegritas, diskriminatif, hipokrit, narsistik, dan manipulatif. Ciri-ciri tersebut tidak harus dimiliki semuanya oleh seorang Toxic Leader, perpaduan beberapa traits tersebut mungkin saja kita temui pada seorang Toxic Leader. Pola kepemimpinan Toxic Leader hampir selalu autokratik (top-down), pola kerjanya kebanyakan micromanaging (control freak), dan punya kebiasaan hypercritical (mengkritik bawahan secara berlebihan), namun ada pula yang hypocritical (enggan memberi kritik ke bawahan). Pakar leadership dan ex-CEO GE, Jack Welch, menyebut bahwa salah satu bentuk leadership terburuk adalah seorang pemimpin yang enggan mengkritik anak buahnya disaat mereka berbuat kesalahan, namun menghukum mereka pada saat periode penilaian kinerja.

Menurut beberapa penelitian ilmiah, lahirnya Toxic Leader dimulai dengan initial condition kurangnya kecerdasan emosional dan permasalahan psikologis seseorang. Sebelumnya banyak yang menduga bahwa kurangnya skill teknikal dan kognitif menjadi penyebab seorang leader menjelma menjadi Toxic Leader. Namun kenyataannya, banyak Toxic Leader yang justru sangat cerdas dengan reasoning skill yang tinggi. Nama Jeff Skilling mungkin agak asing di telinga kita orang Indonesia, bagaimana dengan Enron? Ya, dia adalah mantan CEO Enron di era 90-an yang menggemparkan dunia keuangan dengan keterlibatannya dalam salah satu kasus penipuan/fraud dan insider trading terbesar di dunia. Dari konteks leadership, Jeff Skilling “memanipulasi” para bawahannya bahwa kondisi perusahaan baik-baik saja, dan dia juga tidak segan menghukum pegawai yang tidak sejalan dengan dia. Para pegawai pun patuh dan menyembunyikan fakta perusahaan yang sebenarnya karena takut dipecat.

Toxic Leader sejatinya akan menumbuhkan benih-benih Toxic Culture di lingkungan kerja. Dan pada akhirnya, suasana Toxic Culture akan menciptakan lebih banyak Toxic Leader/toxic manager di dalam organisasi. Ibarat racun yang menyebar ke seluruh tubuh, Toxic Leader harus cepat disingkirkan. Ini akan mudah dilakukan bila kita menemukan Toxic Leader pada level mid-management. Chairman atau CEO bisa dengan mudah menyingkirkannya. Namun hampir tidak mungkin menyingkirkan Toxic Leader jika dia justru merupakan orang nomor satu (Chairman atau CEO) dalam sebuah organisasi. Kadang cara satu-satunya adalah meminta bantuan dari luar organisasi, bisa pemegang saham pengendali atau stakeholder lain. Untuk melakukan hal ini juga tidak mudah, banyak risiko yang dipertaruhkan, seperti reputasi organisasi yang tercoreng atau malah menyerang balik pegawai whistle blower sehingga dia kehilangan jabatan, nama baik, pekerjaan, atau dalam beberapa kasus ekstrim mengancam keselamatan pribadinya.

Setidaknya ada 3 mekanisme pada saat Toxic Leader semakin menghasilkan Toxic Culture. Pertama, ketidakmampuan mengelola prioritas. Leader yang efektif tahu apa yang menjadi tujuan terpenting dari organisasinya dan mampu meyakinkan bawahannya untuk mengikuti tujuan tersebut. Pada saat leader tidak mampu membuat prioritas, maka akan banyak rapat-rapat tidak produktif, yang mengurusi hal-hal pseudo-important, membuat goals terlalu banyak dan tidak fokus. Dampaknya, dapat membuat bawahannya menjadi kebingungan mana pekerjaan yang harus diselesaikan.

Kedua, persaingan tidak sehat. Persaingan adalah hal yang biasa dalam sebuah organisasi. Tapi terkadang seorang leader tidak sadar tentang pentingnya membangun lingkungan persaingan yang sehat diantara bawahannya. Sebabnya bisa bermacam-macam, Toxic Leader mungkin lebih prefer bekerja dengan seseorang yang dekat secara personal, kedaerahan, kesukuan, agama, atribut fisik, dan sebagainya, tanpa melihat kinerja sebenarnya. Serta tidak memberi kesempatan bawahan yang lain untuk menunjukkan kemampuannya, hanya karena malas reinvent the wheel melakukan coaching. Hal ini sering disebut favoritisme (lihat artikel Bacapikir.com tentang Favoritisme). Persaingan yang tidak sehat menurunkan trust antar pegawai, sehingga akan timbul demotivasi, perilaku self-protection dan bahkan self-interest yang semakin mengarah ke konflik dalam organisasi.

Ketiga, konflik yang tidak produktif. Konflik diantara pegawai atau unit organisasi adalah sebuah hal yang umum terjadi. Seorang leader yang baik harus mampu mengelola konflik dan menyelesaikannya dengan objektif. Namun seorang Toxic Leader justru menjadi bagian dari konflik tersebut. Perilaku yang seharusnya inklusif, tapi malah meng-exclusive kan diri dan merasa yang paling benar. Seringkali yang dipermasalahkan justru bukan goals utama organisasi, tapi justru perkara yang tidak produktif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok leader yang berkinerja tinggi, sebanyak 87% dari mereka mampu mengatasi konflik dan 82% bertukar feedback satu sama lain. Dan kelompok leader yang berkinerja rendah, hanya sebanyak 44% dari mereka yang mampu mengatasi konflik dan hanya 52% yang bertukar feedback satu sama lain. Hasil akhirnya sangat jelas, pada kelompok leader berkinerja tinggi akan memiliki tim dengan keterikatan pegawai (employee engagement) yang tinggi, yaitu 87%, sedangkan untuk kelompok leader berkinerja rendah, employee engagement timnya akan drop ke 45%.

Jadi, bagi organisasi yang ingin berbenah mencegah toxic leader menjadi toxic culture. Cara pertama adalah menyingkirkan toxic leader tersebut jika sudah tidak bisa berubah/diubah. Bila tidak bisa disingkirkan, maka cara lain adalah menciptakan sistem kerja (strategic management, human resources & culture management, performance management, dsb) yang tidak memungkinkan ketiga mekanisme diatas terjadi. Ya.. sembari berdoa semoga si toxic leader tidak ngutak-ngatik sistem kerja tersebut. 😊

Favoritisme

Kita sudah bekerja sebaik mungkin, tapi nggak dapat kondite yang bagus. Kita sudah dedikasi waktu pikiran dan tenaga kepada perusahaan, tapi nggak dapat promosi juga. Kita terus melihat rekan yang lebih junior mendapat promosi lebih dahulu, padahal kerjanya biasa saja. Sampai kemudian kita mendengar bahwa rekan junior tersebut adalah satu almamater dengan atasan kita. Rasanya kesal banget, tetapi itulah dunia kerja. Hal itu biasa disebut dengan favoritism atau di Indonesiakan menjadi favoritisme. Seseorang mendapat kesempatan lebih besar dibanding yang lain, bukan karena kinerja tetapi hal di luar kinerja. Contoh lainnya adalah seseorang yang terus menerus mendapat tugas yang lebih menantang, padahal tidak sesuai dengan kemampuan dan kinerjanya sementara ada rekan lain yang lebih mampu tidak mendapat kesempatan. Berhubung kinerja terkit langsung kesempatan promosi dan bonus, maka favoritisme menjadi masalah penting dalam bekerja.

Favoritisme punya bentuk lain, yaitu nepotisme. Seseorang mendapat kesempatan tugas atau karir yang lebih baik dari yang lain karena hubungan keluarga. Ada sebuah survey di Amerika Serikat memberikan fakta bahwa 22% dari anak laki-laki akhirnya bekerja di perusahaan yang sama dengan ayahnya. Tentunya hasil suvey ini tidak selalu negatif, karena bisa saja anak yang direkrut memang memiliki kemampuan. Namun apabila dia direkrut melulu berdasarkan hubungan keluarga, maka termasuk kategori nepotisme.

Gimana praktek favoritisme dan nepotisme di Indonesia? Pada jaman orde istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) amat populer. Disilnyalir hampir semua pengusaha yang sukses di negeri ini ternyata memiliki hubungan dengan penguasa. Maka rumusnya mau sukses di Indonesia, maka jalinlah hubungan dengan keluarga pengusaha. Semua proyek menjadi lancar. Dunia pekerjaan juga tidak beda, penunjukkan seseorang menjadi seorang menjadi pejabat atau pemimpin BUMN harus terkait dengan penguasa. Di tingkat perusahaan, hal ini kemudian berlanjut dimana kita kenal istilah ABS atau asal bapak senang. Yang bisa menyenangkan atasan menjadi favorit dan merupakan kandidat utama menjadi pimpinan. Kompeten nggak? Nggak begitu penting. Oleh karena itu budaya KKN masih mendarah daging dan dipraktekkan meskipun di belakang layar.

Favoritisme dan nepotisme adalah hal yang biasa kita temukan di keseharian bekerja. Hal yang manusiawi namun memberikan dampak negatif yang luar biasa. Negara, khususnya Lembaga atau Perusahaan Negara tidak mampu berkinerja apabila masih ada praktek KKN. Apabila sebuah lembaga negara sangat penting bagi kehidupan rakyat banyak, maka bisa dipastikan karena ulah KKN ini maka rakyat yang akan menderita. Kaum pesimis akan mengatakan, “bangun bro, dunia tidak hanya hitam atau putih”. Benar, tetapi jangan ada toleransi untuk hal yang amat krusial seperti jabatan-jabatan penting di negeri ini.

Pratek ini tidak hanya terjadi di Indonesia tentunya. Kalau kita melihat film Jepang, Korea, Eropa dan Hollywood, favoritisme adalah hal yang biasa, dan selalu menjadi tema menarik dalam membuat film. Mari kita lihat hasil survey yang dilakukan oleh CBS mengenai favoritisme:

  • Sebanyak 56% dari pimpinan sudah mengetahui siapa yang akan dipromosikan walaupun proses seleksi belum dilaksanakan;
  • Setelah proses seleksi dilakukan 96% dari 56% kandidat tersebut mendapat promosi;
  • Budaya favoritism sudah dipraktekkan dimana-mana. 75% dari reponden menyaksikan hal tersebut, dan bahkan 23% dari responden ikut mempraktekkan. Lucunya dari 23% yang mempraktekkan tersebut sebanyak 83% mengatakan bahwa praktek favoritism adalah buruk;
  • Sebanyak 94% dari responden mengatakan bahwa perusahaan sudah memiliki sistem yang data meminimalisir praktek tersebut, namun dalam implementasinya berbeda;

Ada beberapa jenis dampak negatif dari praktek ini. Antara lain adalah demotivasi, penolakan, hilangnya pegawai yang potensial dan bahkan sampai tuntutan hukum. Apa yang harus dilakukan apabila kita dalam situasi seperti ini:

  • Evaluasi keadaan, jika kamu tidak bisa menerima kondisi ini, sebaiknya segera cari alternatif pekerjaan di tempat lain. Jangan lupa kalau pindah kerja, jangan hanya besaran gaji yang ditanya, tetap suasana dan budaya kerja di perusahaan tersebut menjadi amat penting;
  • Menerima keadaan sambil mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Barangkali situasi kantor akan berubah dan menjadi pebih baik ke depannya;
  • Ikut berubah dan secara aktif ikut berusaha untuk menyenangkan atas. Tapi bukan berarti menyenangkan untuk hal-hal yang tidak terkait dengan pekerjaan ya bro. Buat atasan tergantung dengan kamu dalam hal pekerjaan, pasti kamu jadi orang paling favorit bagi dia.

Sudah ada alternatif pilihan. Kamu mau pilih yang mana?

High Performance Organization (Bagian 1)

Engagement pegawai yang rendah, turnover rate pegawai yang tinggi, struktur organisasi yang terlampau rumit (vertikal maupun horizontal), kinerja di mata stakeholders yang biasa-biasa saja, pengambilan keputusan strategis yang tidak konsisten dan transparan, dan nuansa inkompetensi dalam jabatan strategis. Ini adalah beberapa indikasi organisasi atau perusahaan Anda dalam kondisi sakit (poor performance). Sayangnya, banyak top level manager/eksekutif yang tidak menyadari bahwa organisasi dibawah komandonya sedang mengalami hal tersebut, sampai pada suatu titik kegentingan yang sudah irreversible dan berujung pada keruntuhan atau kebangkrutan.

Loyonya kinerja organisasi tidak terlepas dari banyak faktor penyebab. Yang paling umum dan biasanya paling kasat mata adalah permasalahan inkompentensi pegawai (bisa bawahan atau pimpinan) dan sistem pendukung yang kurang baik, seperti kebijakan Manajemen SDM yang tidak tepat, Manajemen Kinerja yang tidak adil & transparan, proses bisnis yang ruwet, dan sistem pendukung lain yang belum optimal. Secara umum, kinerja sebuah organisasi merupakan agregat dari kinerja seluruh pegawai didalamnya. Tidak mungkin sebuah organisasi berkinerja baik, namun para pegawainya justru berkinerja buruk, begitu pula sebaliknya, tidak mungkin sebuah perusahaan berkinerja buruk, namun para eksekutif dan karyawannya berkinerja baik.

Teorinya, kinerja seorang pegawai dapat diukur dengan rumus sederhana: PERFORMANCE = ABILITY x MOTIVATION, dengan kata lain, kinerja (performance) merupakan fungsi dari kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Seseorang yang tidak bekerja dengan baik hanya ada dua inherent cause-nya: yaitu masalah kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Orang yang belum mampu bekerja dengan baik, itu menunjukkan kalau dia butuh dilatih. Sedangkan orang yang belum mau bekerja dengan baik, menunjukkan kalau dia butuh dimotivasi. Tidak ada cara lain.

Mengukur kompetensi pegawai dan kebutuhan pelatihan pun bukan perkara mudah, banyak organisasi atau perusahaan yang salah kaprah mengelola talenta terbaiknya akibat pengelolaan SDM yang tidak becus. Di sisi lain, perkara membangun motivasi pegawai akan lebih luas lagi spektrum masalahnya, bisa saja akar penyebabnya berasal dari kultur perusahaan yang buruk, salary dan fasilitas yang tidak memuaskan, skema pengembangan diri dan jenjang karir yang tidak jelas dan menghilangkan antusiasme bekerja, atau justru memang dasar pegawainya saja yang nggak beres. Bisa macam-macam. Saya sendiri percaya bahwa pucuk pimpinan adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap organisasi yang berkinerja buruk. Seperti rumus yang tadi saya sampaikan, akar masalah bisa dari pemimpin yang tidak kompeten dalam memimpin, atau tidak punya motivasi untuk memimpin dengan baik. Dan ingat, menjadi pemimpin bukan perkara tentang menyuruh-nyuruh orang saja, tapi harus mampu bijaksana, berani berbuat adil, lebih banyak mendengar daripada ngomong, result oriented, siap dikritik dan disalahkan, tidak baperan, serta decisive pada saat anak buah membutuhkan arahan dan keputusan.

The Century Club

Januari 1995. Pukul 5 pagi. Kota Kobe dihantam oleh gempa 20 detik berkekuatan 7,3 skala Richter yang menewaskan 6.000 orang lebih, melukai 40.000 orang, membuat 300.000 orang kehilangan rumah, merusak jaringan transportasi, dan meluluhlantakkan gedung bertingkat. Namun, ternyata terdapat gedung yang dapat bertahan dari gempa catastrophic ini karena memiliki fondasi yang kuat dan tepat dalam menghadapi gempa: base isolation.

Lihat barang di sekitar Anda. Anda dapat menemukan produk yang diproduksi oleh organisasi yang berumur lebih dari 100 tahun: Coca Cola di kulkas Anda atau General Electrics (GE) di perangkat elektronik Anda. Kira-kira hal apa ya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang digolongkan “Century Club” sehingga mereka dapat bertahan hidup 100 tahun lebih? Mengacu kepada Harvard Business Review dan hasil penelitian satu dekade Vicki Tenhaken terhadap organisasi “Century Club”, berikut garis besarnya.

Faktor pertama dan utama, mereka serius dengan fondasi mereka: misi, visi, nilai, dan budaya organisasi. Mereka percaya dan mempraktikkannya dalam tindakan sehari-hari, terlebih lagi Pimpinan. Terkadang organisasi “Century Club” tidak memiliki misi, visi, nilai, dan budaya tertulis. Tapi bagaimana hal tersebut dapat diteruskan dari generasi ke generasi? Hal tersebut dikarenakan Pimpinan secara konsisten menekankan dan memperlihatkan bahwa fondasi mereka (misi, visi, nilai, dan budaya organisasi) adalah hal krusial dalam mencapai sukses organisasi.

Kedua, organisasi “Century Club” memiliki manajemen perubahan dan kemampuan beradaptasi yang baik dalam menghadapi segala perubahan dan tantangan yang terjadi dalam seratus tahun terakhir, to name a few: Perang Dunia, depresi ekonomi, pandemi, kemajuan pesat teknologi, bencana alam, dan sebagainya. Semua pengalaman tersebut makin mengokohkan mereka sebagai organisasi.

Terakhir, terletak pada hubungan organisasi “Century Club” dengan stakeholder-nya: pegawai, pelanggan, dan masyarakat sekitar. Organisasi “Century Club” melihat pegawai, pelanggan, dan masyarakat sekitar sebagai faktor penting kesuksesan mereka. Pegawai dikembangkan dan dipelihara dengan baik oleh organisasi. Pegawai  pun memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi kepada organisasi. Dengan pelanggan, organisasi “Century Club” memiliki hubungan yang saling suportif dan penuh trust, yang memungkinkan pembelajaran bagi organisasi. Dengan masyarakat sekitar, organisasi “Century Club” memiliki komitmen untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar, baik secara sosial maupun komersial.

Organisasi “Century Club” memiliki semua hal tersebut di atas, tidak berat ke salah satu aspek saja. Bagaimana dengan organisasi yang Anda kelola?

Parkinson Law

“I’m young; I’m handsome; I’m fast. I can’t possibly be beat.” (Muhammad Ali)

Kata Parkinson dan quotes di atas mengingatkan kita kepada Muhammad Ali, The Greatest. Petinju terbesar sepanjang masa ini menghabiskan waktu tuanya bertarung dengan parkinson disease. Tapi kali ini kita tidak akan membahas mengenai parkinson pada Muhammad Ali, tetapi lebih kepada penyakit yang umumnya ada di organisasi. Parkinson law diartikan sebagai “work expands so as to fill the time available for its completion”. Jadi kalau manusia dikasih pekerjaan dan banyak waktu luangnya, dia akan kreatif mengisi waktu luangnya dengan akitivitas lain. Sayangnya aktivitas ini tidak terkait, dan ataupun bila terkait tidak menambah kualitas hasil. Ini menjadi alasan utama sebuah posisi perlu dihitung beban kerjanya.

Mengapa harus dihitung beban kerjanya? Karena beban kerja dengan alokasi yang tepat akan meghasilkan produktivitas yang optimal. Perhitungan beban kerja juga bisa dijadikan dasar alokasi jumlah manusia yang tepat untuk pelaksanaan tugas. Perhitungan beban kerja juga memberi informasi berapa waktu luang pada suatu posisi, sehingga organisasi bisa lebih mengetatkan beban tugas. Waktu luang berarti tambahan kerja yang tidak terlalu related sama pekerjaan, dan dalam jangka panjang malah membuat organisasi semakin besar dan inefisien. Kondisi Parkinson law ini terjadi di seluruh bentuk organisasi, namun umumnya ditemukan pada birokrasi. Struktur berjenjang dan rigid tidak memberikan fleksibilitas yang cukup untuk seseorang bisa berpindah tugas atau membantu pekerjaan di tempat lain.

Terdapat hubungan yang positif antara beban kerja dengan alokasi waktu yang diberikan. Semakin tinggi beban kerja, maka akan semakin banyak waktu yang dialokasikan. Namun pada suatu titik hubungan keduanya mencapai produktivitas optimal, dan setelah itu menurun. Oleh karena itu perencana organisasi yang baik akan lebih merekomendasikan memulai suatu organisasi dengan jumlah manusia yang sedikit, dan kemudian sambil berjalan beban akan dievaluasi sehingga diperoleh jumlah yang ideal. Permasalahan timbul ketika yang merencana organisasi mengakomodasi dan tidak memverikasi beban tugas berdasarkan masukan incumbent, hasilnya selalu waktu luang yang besar karena manusia biasanya selalu menghindari waktu kerja yang ketat. Sehingga secara total organisasi inefisien.

Bekerja dalam sebuah tim juga berpotensi besar mengalami kondisi parkinson law. Pertama, rencana kerja biasanya diberikan alokasi waktu luang. Kedua, setiap individu memiliki gaya bekerja yang berbeda. Dengan demikian dalam menyelesaikan sebuah kerja tim, ada orang yang memang memanfaatkan waktu dengan baik tetapi ada juga yang terlalu santai mengerjakan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Sehingga produktvitas tidak optimal. Atasan harus mampu menyusun alokasi waktu berdasarkan bawahan yang etos kerjanya baik, kalau tidak produktivitas akan menurun.

Kesimpulannya, menyusun sebuah organisasi bukanlah menyusun kotak-kotak jabatan saja, namun perlu juga dihitung beban kerja yang optimal. Perlu dihindari perhitungan atas dasar intuisi dan pengalaman saja, namun dilakukan secara ilmiah. Menyulitkan memang, namun dalam jangka panjang memberikan organisasi yang efektif dan efisien. Kecuali anda memang kurang peduli untuk bekerja efektif dan efisien, enjoy saja beban tugas yang rendah. Boleh asyik sendiri, tapi ingat jangan merugikan organisasi ya bro!

Budaya Kompetitif

Selesai menonton episode terakhir “The Last Dance” dipastikan banyak orang akan terinspirasi dan meniru Michael Jordan. Rasa kompetitif yang begitu tinggi menjadikan MJ sebagai pemain bola basket terbaik sampai dengan saat ini. Jangan hanya melihat kekayaan MJ yang sekarang mencapai 1.6 miliar dollar, namun perjalanan MJ untuk mendapatkan kekayaaan sebanyak itu amat menarik. MJ bahkan gagal masuk tim di SMA-nya tidak pernah putus asa dan terus berlatih, sehingga akhirnya bisa diterima dan kemudian mendapat beasiswa ke University of North Carolina (UNC). Kesuksesan tembakan di detik terakhir MJ menjadikan UNC menjadi juara NCAA. Tahun berikutnya setelah di-draft Chicago Bulls MJ menjadi rookie of the year, dan selanjutnya adalah sejarah. MJ memenangi kompetisi NBA sebanyak 6 kali. Seluruh episode “The Last Dance” menggambarkan betapa kompetitifnya MJ selama perjalanan karirnya, dan juga dalam menjalankan bisnisnya dengan Nike dengan brand “Jordan”. Tidak sedikit yang merasa kesal dengan arogansi MJ, namun mereka semua mengakui kehebatannya.

Cristiano Ronaldo juga demikian. Dikenal sebagai salah satu pesepakbola terkaya di dunia dengan kekayaan 460 juta dollar. Cristiano juga dikenal sebagai pesepakbola yang amat kompetitif, mnghabiskan waktu lebih lama dibanding teman satu tim. Dia sudah mulai berlatih satu jam sebelum waktu latihan bersama dan mengakhiri sesi dengan tambahan satu jam lagi untuk melatih tembakannya. Lima kali menjadi FIFA Player of The Year menjadi bukti kehebatannya, Apabila pesepakbola lain sudah memasuki usia pensiun pada usia 35, Cristiano masih berjaya dan menjadi andalan Juventus dalam merah scudetto Liga Italia. Disiplin dalam menjaga kebugaran menjadikan Ronaldo tetap fit dan bugar dalam usia sekarang. Cristiano juga dikenal sebagai sosok yang arogan, namun banyak yang mengagumi dan menjadikannya idola mereka.

Kita bisa melihat kesamaan antara Jordan dan Cristiano adalah kerja keras dan amat kompetitif. Cristiano tidak dikaruniai talenta yang luar biasa seperti Lionel Messi, tapi kerja keras menjadikannya lebih baik dari Messi. Banyak orang melihat mereka ketika sudah sukses, tetapi lupa untuk melihat proses mereka menjadi sukses dan menjaga kesuksesan mereka. Seperti kata Jenderal Norman Schwarzkopf, “success is sweet, but the secret is sweat”.

Bagaimana dengan budaya orang timur yang relatif malu dan tidak suka kompetisi? Mungkin ini menjadi masalah di dunia kerja di Asia dan Indonesia khususnya. Daripada mereka berupaya untuk bekerja keras dan berprestasi, yang dilakukan adalah menyenangkan pimpinan agar menjadi favorit sehingga karir menjadi lebih lancar. Hal ini sudah terjadi sekian lama, sehingga karyawan di perusahaan tersebut sibuk untuk melayani pimpinan saja. Setiap orang yang berfikir bahwa prestasi akan diikuti oleh karir akan kecewa dan demotivasi. Lebih parahnya apabila perusahaan masih memiliki ukuran keuangan sebagai sebuah indikator kesuksesan, namun tidak demikian dengan dunia birokrasi. Ukuran kinerja yang tidak jelas, membuat mereka tidak peduli dengan prestasi. Apabila terdapat ukuranpun kemudian dengan berbagai alasan dijustifikasi sehingga bisa diterima semua pihak. Pada akhirnya negara dan rakyat menderita dengan budaya yang demikian, karena tidak ada prestasi yang dihasilkan para pejabatnya.

Menteri negara BUMN yang baru, Erick Thohir, membawa perubahan. Beliau yang sudah dikenal sebagai pengusaha sukses tentunya tidak berniat mencari kekayaan lagi dari jabatannya. ET, panggilannya, melakukan reformasi di BUMN dan melakukan efisiensi dengan menghilangkan sekian banyak jabatan. Selain itu untuk kali pertama dalam sejarah menteri memiliki deputi di bidang human capital. Hal ini akan meningkatkan kinerja BUMN sehingga akan lebih kompetitif dan bersaing dengan perusahaan swasta. Seleksi kepemimpinan yang obyektif sesuai kinerja dan kompetensi akan memicu seluruh pejabat dan karyawan BUMN untuk berprestasi dan meninggalkan budaya menyenangkan atasan. Meskipun budaya tidak akan hilang dengan cepat, namun perjalanan sudah dimulai. Kita perlu dukung dan awasi bersama pelaksanaan tugasnya. Semoga kebiasaan pimpinan negeri ini untuk menitip akan semakin berkurang dan hilang. Semoga.

Organisasi Pembelajar

Salah satu karateristik milenial adalah mereka ingin selalu mendapatkan pengalaman dari yang yang dikerjakannya. Bila dalam proses penyelesaiannya mereka harus mengalami kesulitan, mereka tetap menikmati proses yang dijalani sampai selesai. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang perlu mendapat arahan pada setiap tahapan, mereka cenderung untuk melaksanakan tugasnya dengan cara dan jalannya sendiri. Saat ini milenial menjadi komposisi terbesar dari pekerja. Mereka sudah mencapai sekitar 60-70% dari total pekerja. Melihat karateristik milenial yang demikian, sudah saatnya organisasi juga menyesuaikan menjadi organisasi pembelajar sehingga memberi kesempatan kepada milenial untuk mengembangkan kompetensinya secara mandiri. 

Saat ini sistem informasi sudah semakin canggih, oleh karena itu organisasi harus mampu menciptakan sebuah mekanisme dimana pengembangan talenta tidak lagi tergantung inisiatif organisasi, tetapi lebih banyak atas dasar inisiatif talenta. Setiap orang didorong untuk peka terhadap lingkungan yang memberi pengaruh kepada kinerja organisasi. Setelah itu mereka diharapkan menyumbangkan pemikiran atau gagasan bagaimana organisasi beradaptasi dengan perubahan lingkungan tersebut. Apabila mekanisme ini sudah terbentuk dan berjalan dengan baik, maka akan terdapat sekian banyak gagasan untuk perubahan sehingga menjadikan organisasi atau perusahaan mampu beradaptasi dengan lingkungan dan bahkan mampu berkinerja lebih baik.

Tidak hanya menciptakan organisasi yang dinamis terhadap perubahan, tetapi organisasi juga perlu memberikan kesempatan pengembangan secara mandiri kepada talenta yang dimilikinya. Salah satu contoh adalah menciptakan materi atau modul pengembangan yang dapat diakses secara online. Dengan demikian talenta organisasi dapat mengakses materi tersebut setiap saat. Organisasi juga memberikan fasilitas ruang diskusi yang memadai baik secara online maupun fasilitas fisik. Dengan demikian proses diskusi berjalan dengan baik, sehingga interaksi tersebut kemudian secara perlahan akan mengembangkan talenta yang yang dimiliki secara optimal. Pelaksanaan seminar atau webinar juga diperbankan sehingga mereka dapat melakukan perbandingan apa yang dilakukan dengan kesuksesan orang lain. Organisasi perlu memastikan baik narasumber maupun diskusi yang terjadi bukan melulu kepada pengetahuan teknis, namun juga aspek perilaku manusianya. Dalam satu tingkatan tertentu, talenta hanya perlu diberikan inspirasi untuk kemudian mereka memotivasi diri sendiri untuk menjadi lebih baik.

Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pengmbangan mandiri tersebut, organisasi juga perlu melibatkan atasan melalui mekanisme mentoring. Ada beberapa alasan untuk melibatkan atasan, pertama atasan tentunya lebih berpengalaman dengan bisa menjadi narasumber. Selanjutnya atasan juga bisa sekaligus memantau proses diskusi apakah sudah selaras dengan kebutuhan organisasi. Terakhir, atasan juga bisa menjadi kepanjangan tangan organisasi untuk mengidentifikasi talent yang potensial untuk masuk ke dalam pool yang selanjutnya akan dikembangkan secara khusus dan sistematis oleh organisasi. Umumnya talenta akan lebih termotivasi apabila kegiatan yang dilakukannya mendapat perhatian atau dipantau oleh organisasi sehingga mereka akan berlomba-lomba untuk mengembangkan kompetensi mereka.

Kesalahan umum dalam pengelolaan talenta biasanya disebabkan oleh generation gap. Para pimpinan yang membuat keputusan berasal dari generasi sebelumnya yang memiliki karateristik dan pola pikir yang beda. Mereka berfikir dan kemudian membuat sebuah kebijakan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Sementara dunia sudah amat berubah, mereka lupa untuk menyesuaikan kebijakan yang disusun sesuai dengan obyeknya. Organisasi pembelajar salah satu jawabannya. Pelaksanaan pelatihan dalam kelas yang dilakukan secara masif sudah tidak sesuai lagi bagi milenial. Materi yang disusun secara terstruktur dan komprehensif juga bukan lagi masanya, setiap talenta harus diberikan kebebasan mengembangan diri sesuai dengan kebutuhannya, sementara kebutuhannya tidak selalu sama dengan kebutuhan organisasi.

Suksesi Kepemimpinan

Kinerja sebuah organisasi ditentukan oleh talenta yang dimilikinya. Untuk itu banyak organisasi yang kemudian fokus kepada upaya mendapatkan talenta terbaik di pasar tenaga kerja. Mereka menyusun strategi sebaik mungkin agar dapat menarik talenta terbaik. Strategi tersebut dapat berupa kesempatan karir, remunerasi atau suasana kerja, yang kemudian diramu menjadi sebuah “branding” organisasi yang menarik. Namun demikian banyak organisasi kemudian tidak mengelola dengan baik talentanya sehingga kinerja organisasi kurang optimal. Seluruh talenta terbaik yang dimiliki perlu dikelola dengan baik sehingga organisasi memiliki kader pemimpin yang mumpuni Untuk itu diperlukan sebuah pengembangan kepemimpinan berkesinambungan di dalam sebuah organisasi.

Perbedaan pengelolaan talenta dengan pendekatan sebelumnya adalah organisasi hanya fokus kepada sejumlah talenta tertentu yang dipersiapkan menjadi pimpinan organisasi. Dasar pemikirannya adalah teori pareto, dimana 70% kinerja perusahaan ditentukan oleh 30% talenta yang dimiliki. Oleh karena itu organisasi hanya perlu fokus untuk mengidentifikasi 30% talenta terbaik yang dimiliki, dan kemudian mengembangkan mereka menjadi kader pimpinan sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana dengan sisa 70% talenta lainnya? Unit pengelola talent harus mampu menciptakan sebuah sistem yang mampu melakukan pengelolaan secara mandiri. Pengelolaan yang mendiri akan memberikan kesempatan pada unit pengelola talent untuk fokus kepada pengelolaan talenta terbaik dalam rangka suksesi kepemimpinan.

Pelaksanaan suksesi kepemimpinan yang baik dimulai dari proses identifikasi 30% jabatan pimpinan yang akan menentukan 70% kinerja dari organisasi. Kemudian fokus pengelolaan unit pengelola talenta lebih kepada pemenuhan posisi penting tersebut. Proses identifikasi ini tidak mudah dan tantangan yang dihadapi seluruh jabatan pimpinan kemudian dianggap penting. Ada dua faktor yang menjadi penyebab, pertama adalah budaya timur yang sungkan untuk menyatakan satu posisi tidak lebih penting dari yang lainnya. Kedua, unit pengelola organisasi bias sehingga membutuhkan bantuan dari pihak eksternal untuk mampu lebih obyektif menilai jabatan mana yang lebih penting. Mampu menentukan jabatan penting merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang kemudian perlu diikuti dengan penyiapan talenta terbaik untuk menduduki posisi tersebut.

Umumnya ukuran yang digunakan adalah kinerja dan kompetensi. Berdasarkan dua hal ini organisasi akan mampu mendapatkan talenta terbaik. Namun menjadi talenta terbaik tersebut adalah terbaik untuk di posisinya yang dijabat saat ini, bukan untuk jabatan penting yang dituju. Untuk itu unit pengelola talenta harus mampu menilai potensi untuk jabatan yang dituju. Bagaimana menentukan tingkat potensi tersebut? Umumnya faktor yang digunakan adalah melakukan penilaian antara persyaratan kompetensi jabatan yang dituju dengan kompetensi yang dimiliki oleh talenta saat ini. Semakin kecil kesenjangan kompetensi yang dihasilkan, maka semakin tinggi potensi seseorang terhadap jabatan yang dituju. Kesalahan umum yang harus dihindarkan adalah menentukan kandidat tunggal pada jabatan yang dituju. Organisasi harus memiliki rasio tertentu, apakah berbanding 2 atau 3 sehingga seseorang tetap berkompetisi untuk mendapatkan posisi tersebut. Selama masa pengembangan talenta tersebut juga bisa tersingkir dan digantikan kandidat yang lebih baik, sehingga proses pengembangan untuk mendapatkan talenta terbaik terus berjalan.

Selanjutnya adalah proses pengembangan. Program pengembangan untuk mengisi kesenjangan kompetensi juga tidak melulu dalam bentuk pelatihan namun bisa berupa dalam bentuk penugasan pada suatu proyek tertentu atau keterlibatan pada tim atau kegiatan tertentu dalam organisasi. Kegiatan pengembangan juga tidak hanya terbatas pada kegiatan internal tetapi juga kegiatan eksternal sesesuai dengan persyaratan jabatan yang dituju. Keterlibatan seluruh pihak dalam organisasi menjadi faktor pendukung utama kesuksesan program pengembangan kepemimpinan organisasi. Unit pengelola bertindak sebagai fasilitator, namun pelaksana pengembangan adalah pimpinan saat ini yang bertanggung jawab mempersiapkan kader penggantinya.

Meritocracy VS Seniority

Globalisasi telah membawa arus perubahan besar kepada pengelolaan manusia. Dunia barat lebih menghargai merit dibanding senioritas. Cocok dengan kaum muda, karena mereka lebih termotivasi untuk berkinerja karena promosi tidak diberikan dalam waktu yang lama. Mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar ketika promosi. Namun demikian budaya di timur lebih mengutamakan senioritas. Negara seperti Jepang dan Korea memegang kuat tradisi timur dimana senioritas lebih memahami nilai dan budaya perusahaan. Mereka meyakini bahwa senioritas adalah pengalaman, sehingga semakin senior mereka dalam perusahaan maka semakin kompeten dalam pelaksanaan tugasnya. Manakah pendekatan yang terbaik? Sebelumnya kita memahami dulu pros and cons dari masing-masing pendekatan dan bagaimana sebaiknya penerapan di perusahaan kita?

Senioritas memberikan kepastian seseorang di dalam sebuah perusahaan. Pendekatan ini meyakini bahwa setiap manusia cukup fokus pada pelaksanaan tugasnya karena kesempatan promosi akan terbuka apabila ada senior yang pensiun atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendekatan ini juga memberikan kepastian, terlepas dari kinerjanya, bahwa seseorang pasti akan mendapatkan promosi pada waktunya. Namun di sisi lain, seseorang juga tidak akan terlalu motivasi untuk menghasilkan kinerja yang istimewa karena promosi tidak memperhatikan kinerja yang dihasilkan. Ada kemungkinan karyawan akan tidak optimal bekerja, sehingga secara umum kinerja perusahaan juga relatif biasa saja. Pendekatan ini disebut konservatif dan cenderung struktural dan birokratif.

Sebailknya merit memberikan motivasi kepada seseorang untuk berkinerja lebih baik. Mereka memahami bahwa dengan kinerja yang istimewa akan memberikan kesempatan karir yang lebih cepat dibanding yang lainnya. Apabila seluruh orang dalam perusahaan berfikiran demikian, maka pada akhirnya kinerja perusahaan juga akan terus meningkat. Di sisi lain kadang suasana dan budaya kerja terlupakan. Kinerja perusahaan yang baik tidak hanya bisa diperoleh oleh satu orang, tetapi melalui kerjasama yang baik. Suasana kompetitif dan ambisi yang tinggi terkadang membuat seseorang lupa untuk menjaga kerjasama tersebut, sehingga membuat pengaruh buruk pada suasana dan budaya kerja di dalam satu organisasi. Pada akhirnya tujuan akhir dan kinerja perusahaan tidak tercapai karena hal tersebut.

Idealnya memang perusahaan mampu memiliki karyawan yang senior dan berkinerja baik. Dengan demikian kata kunci sesungguhnya adalah menempatkan orang di jabatan yang paling sesuai dengan kompetensinya. Hal ini terlepas seseorang senior atau yunior. Mengutamakan kompetensi berarti yang senior harus tetap belajar dan mengembangkan diri, sementara bagi yang yunior kompetensi adalah sebuah kesempatan untuk menjadi kompeten sesegera mungkin dan mampu berkinerja sebaik mungkin. Kompeten bila dilaksanakan secara obyektif menjadi sebuah jawaban dari perdebatan senioritas dan meritokrasi. Perusahaan harus mampu membuat sebuah sistem yang handal yang mampu menjawab kebutuhan akan karyawan yang kompeten.

Salah satu solusi adalah melalui pengelolaan suksesi kepimpinan. Perusahaan harus mampu mengidentifikasi karyawan yang memiliki potensi terbaik, kemudian melakukan proyeksi masa depan kemana seseorang akan menduduki jabatan akhir yang krusial di perusahaan. Setelah itu perusahaan secara sistematis akan mengembangkan seseorang untuk siap dan kompeten di jabatan yang dituju. Perusahaan akan secara terus menerus melakukan monitoring dan evaluasi untuk memastikan kandidat pimpinan tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian pengelolaan suksesi ini membutuhkan dukungan luar biasa dari semua pihak dalam perusahaan agar bisa berjalan karena terdapat banyak gangguan dan hambatan dalam pelaksanaannya. Kita akan bahas mengenai hal ini dalam tulisan selanjutnya.