“Kau tak tahu betapa rapuhnya aku”
“Bagai lapisan tipis air yang beku”
“Sentuhan lembut kan hancurkan aku”
Diatas adalah sepenggal lirik dari lagu “Rapuh” yang dipopulerkan oleh Joeniar Arif di awal tahun 2000-an. Ada yang masih ingat atau pernah dengar? Hehe… Lucu juga ya, lagu rapuh tapi dibawakan oleh penyanyi pria maskulin yang tampak sangar. Namun bukan rapuh emosional yang akan kita bahas kali ini. Tapi berkaitan tentang membuat sebuah tim yang hebat dengan modal rapuh (vulnerable). Lho kok bisa? Ya memang bisa, apa yang tidak bisa di jaman sekarang yang serba cepat berubah. Malah sebuah artikel hangat dari Harvard Business Review oktober tahun lalu melansir bahwa pemimpin di era saat ini membutuhkan vulnerability, bukan bravado (sikap sok pahlawan).
Pasca puncak pandemi Covid-19, tatanan dunia baru sudah menuju new normal, bukan tatanan sunda empire ya, beda kalo itu. New normal yang dimaksud disini yaitu cara-cara baru dalam menjalankan aktivitas manusia sehari-hari. Yang paling kentara, orang-orang menjadi lebih perhatian dengan aspek kesehatan. Orang yang biasa kerja ke kantor, sekarang sudah terbiasa kerja dari rumah. Orang yang sering ke pasar, sekarang rajin belanja online. Orang yang biasanya ke ATM, mulai biasa internet banking, dan lain sebagainya. Transformasi digital di berbagai bidang pun menjadi lebih cepat akibat pandemi. Lambat laun, organisasi yang tidak responsif akan tertinggal dari kompetitor.
Kita semua paham bahwa kemajuan peradaban manusia adalah hasil dari implementasi collective knowledge multi generasi, bukan individual effort. Steve Jobs dan Dennis Ritchie meninggal di bulan dan tahun yang sama (Oktober 2011). Namun hanya sedikit orang yang tahu tentang Dennis Ritchie. Tanpa Steve Jobs (pendiri Apple), mungkin tak akan ada ipad, ipod, iphone, macbook, dan produk overpriced Apple. Tapi tanpa Dennis Ritchie (penemu C & UNIX), takkan ada windows, atau bahasa dasar programming, dan kita semua hanya akan melihat angka binary (1 dan 0) di layar monitor seperti film The Matrix.
Begitu pula Albert Einstein yang di gadang sebagai manusia tercerdas dengan menemukan kesetaraan massa dan energi E=MC2 sehingga menjadi dasar pembuatan bom atom. Namun hanya sedikit yang kenal dengan Marie Curie yang sebenarnya juga sangat krusial dengan penemuan riset mengenai radioaktivitas sehingga dia lazim disebut “The woman behind the bomb”. Intinya, kemajuan peradaban manusia adalah hasil collective effort, meskipun ada beberapa figur yang lebih terekspose di mata publik.
Dalam sebuah organisasi yang agile dan adaptif terhadap perubahan, sudah pasti terdapat tim yang hebat di dalamnya. Sedangkan tim yang hebat, terdiri dari anggota tim yang mampu bekerja sama dengan baik. Lalu bagaimana sih bekerjasama dalam tim yang baik? Daripada ribet dengan konsep dan definisi abstrak, yuk kita coba ke jaman batu kala manusia masih primitif:
Bayangkan kita berada dalam sebuah suku (tribe) nomaden di hutan belantara. Saat waktunya berburu, biasanya ada yang memimpin, kadang kepala sukunya langsung, atau ksatria tangguh dengan kepemimpinan yang baik.
Untuk sukses mendapat buruan, tim pemburu ini harus bekerjasama satu sama lain. Ada tim pengintai (scout), tabib (physician/shaman), pemanah (archer), dan juga tentunya seorang ketua tim (chief). Untuk mengambil keputusan mau kemana, dia butuh pendapat tim pengintai/scout, untuk mendapat informasi kondisi anggotanya, dia butuh tabib, dan untuk mengeksekusi binatang buruan, dia butuh pemanah.
Situasi di dalam hutan tidak dapat diprediksi, kadang ada hewan buas, perubahan cuaca, atau bertemu musuh dari suku lain. Ketua tim hanya punya sepasang mata, dia tidak bisa mengamati keadaan di sekeliling timya dengan sempurna. Dia butuh seluruh anggota untuk berbicara pada saat ada ancaman datang, atau hal lain yang membuat tim efektivitas tim menjadi rapuh (vulnerable).
Seorang pemanah yang vulnerable karena tergigit ular, harus bilang ke tabib untuk diobati. Seorang scout yang vulnerable karena kesulitan memanjat pohon untuk melihat situasi dari ketinggian, harus bilang ke anggota lain untuk membantunya memanjat. Seorang tabib tua yang vulnerable karena terlalu lelah berjalan, harus bilang ke ketua tim untuk beristirahat sejenak. Seorang ketua tim yang vulnerable karena ragu membuat keputusan, harus minta pendapat/informasi dari anggota tim lain. Dengan begitu, seluruh komponen tim akan menutupi kekurangan masing-masing dan berburu dengan efektif dan efisien dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi.
Logikanya sama saja pada sebuah tim pada suatu organisasi. Setiap orang dalam tim tersebut harus mampu mengutarakan vulnerability mereka dalam bekerja, sehingga anggota tim yang lain akan dapat membantu mereka. Ketua tim juga tidak terkecuali, karena pada dasarnya menjalankan organisasi bukan one man show, tapi band of brothers. Namun Sebelum itu, kita tahu bahwa tidak semua orang nyaman mengutarakan vulnerability-nya. Ada yang takut di bully, atau dipandang inkompeten. Nah, kita harus aware kapan kita aman mengutarakan vulnerability sehingga kita dapat memperbaiki kekurangan kira dalam bekerja. Ada 3 syaratnya:
Pertama, pastikan pemimpin Anda terbiasa dan nyaman mengutarakan vulnerability-nya, sehingga kita tahu bahwa dia toleran terhadap kekurangan anggota tim dan bersedia membantu Anda dengan pengalaman, pengetahuan, maupun kebijaksanaannya. Akan susah bila Anda mendapati pemimpin yang merasa dirinya superman dan paham akan segala hal serta tidak mentolerir kesalahan. Bila Anda punya pemimpin jenis ini, sebaiknya Anda jangan menunjukkan vulnerability Anda.
Kedua, pastikan suasana kerja Anda embrace vulnerability, misalnya ada kolega yang baik dan dengan senang hati membantu Anda. Ada diskusi/chat di saat break atau weekend yang tidak melulu soal kerjaan, dan ada aktivitas bersama yang dilakukan untuk membangun kekompakan tim, seperti sering makan siang bersama, karaoke selepas jam kantor, pulang bareng, sepedahan bareng di akhir pekan, dan lain sebagainya. Intinya, segala aktivitas yang menumbuhkan trust di dalam tim.
Ketiga, pastikan Anda memiliki batasan dalam pikiran Anda sejauh mana kebutuhan mengutarakan vulnerability, jangan over-expose sampai ke permasalahan pribadi yang sebenarnya bisa Anda handle sendiri tanpa bantuan orang lain, atau terlalu fokus terhadap satu kolega saja, sehingga menganggap Anda sebagai beban/burden organisasi.
Jadi, vulnerability is good or not, tergantung dimana dan pada siapa Anda bekerja. Show trust to the right people, and it will amaze you how they will trust you back.