Feedback Sandwich: Yay or Nay?

Coaching dan memberikan feedback mungkin bukan hal yang asing dilakukan di lingkungan kantor. Di Baca Pikir juga sudah pernah membahas mengenai banyaknya manfaat dari coaching yang dilakukan dalam pekerjaan. Ternyata penyampaian feedback memiliki beberapa metode yang dapat diterapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 

Apakah sudah pernah dengar mengenai metode sandwich? Ada beberapa pakar yang menganggap ini metode kontroversial yang kurang tepat untuk dilakukan. Tapi ya pastinya suatu hal ada pro dan kontranya. Daripada penasaran, yuk kita bahas dulu, apa itu feedback sandwich ya! Tentunya tidak bikin lapar kok!

Feedback sandwich dipopulerkan pada 1980-an oleh Mary Kay Ash, pendiri Mary Kay Cosmetics, yang menyarankan para pimpinan untuk memberikan komentar kritis di antara lapisan pujian. Seperti namanya, sandwich alias roti lapis, feedback yang kita berikan dilakukan dengan berurutan. Layaknya roti atas, isian daging, dan roti bawah. Feedback sandwich-pun demikian; roti atas ibarat feedback yang positif sebagai pembuka, isian daging itu isi “sesungguhnya” bisa berbentuk kritik yang membangun untuk saran perbaikan dan roti bawah berisikan feedback positif kembali sebagai penutup. 

Sangat penting untuk memahami cara memberikan feedback sandwich agar menjadi yang paling efektif. Kita selalu ingin memulainya dengan setidaknya satu pernyataan positif tentang apa yang dilakukan dengan baik anggota tim. Kemudian, kita akan menyatakan umpan balik yang konstruktif, mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja anggota tim. Kemudian diakhiri dengan pernyataan penyemangat terakhir dan mengakhiri interaksi dengan nada positif.

Kelebihan metode ini adalah melembutkan dampak kritik bagi yang menerimanya, memungkinkan sesi coaching berakhir dengan nada dan suasana yang positif, dan membantu anggota meningkatkan penerimaan mereka terhadap kritik. Wah sepertinya ini cocok dengan budaya timur khususnya di Indonesia yang masih agak sungkan untuk memberikan kritik yang pedas dan tajam ya. 

Namun, seperti yang dilansir dalam Forbes.com tentu juga ada kekurangan dari penggunaan metode ini seperti inti utama feedback menjadi kurang jelas karena tidak to the point, feedback ini dirancang untuk membuat pemberi umpan balik merasa lebih nyaman daripada mencerahkan penerima umpan balik. Selain itu, tujuan pemberian feedback adalah untuk perkembangan anggota tim. Ketika kita tujuannya sudah jelas, sebaiknya menyampaikan feedback secara konstruktif daripada hanya sekedar “tidak enakan”. 

Terlepas dari apakah menggunakan feedback sandwich atau tidak, ada beberapa tips yang dapat dilakukan, yaitu: selalu spesifik dan langsung dengan cara seseorang dapat berkembang, sambil tetap tulus tentang pujian dan afirmasi positif. Saat memberikan kritik yang membangun bersama dengan pujian, lakukan dengan singkat, jelas, dan lugas. Tujuan saat memberikan feedback bukan untuk menyakiti perasaan atau membuat anggota tim merasa buruk tentang kinerja mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa ada cara untuk meningkatkan atau melakukan yang lebih baik. Apapun metode yang digunakan.

Sumber:

  1. Forbes.com
  2. Medium.com
  3. Fellow.app

Trust Issue

Memiliki pimpinan yang dapat dipercaya dan diandalkan merupakan idaman semua karyawan saat bekerja. Begitu juga kesuksesan organisasi dapat terjadi apabila dapat menumbuhkan rasa saling percaya antara seluruh anggota tim. Suatu tim akan menjadi terarah dan memiliki motivasi yang lebih besar untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Kurangnya kepercayaan dalam tempat kerja bisa menjadi ‘virus’ yang menciptakan budaya kerja yang buruk. Biasanya dimulai dari para pimpinan dan akan menyebar melalui tim-nya, membuat siklus respon yang tidak sehat sehingga mempengaruhi engagement dan produktivitas dalam bekerja. Seringkali kurangnya kepercayaan pada pimpinan merupakan inti dari lingkungan kantor yang tidak kondusif, dimana untuk memperbaiki lingkungan yang negatif membutuhkan banyak waktu dan usaha.

Kepercayaan di tempat kerja berarti karyawan menikmati budaya kejujuran, adanya keamanan psikologis, dan saling menghormati. Karyawan akan bangga dan bersedia untuk bekerja extra-miles untuk organisasinya yang berujung pada rasa aman dengan pekerjaannya dan mengurangi turnover. Dari salah satu sumber disebutkan bahwa, hanya 1 dari 5 pimpinan percaya bahwa karyawannya sangat mempercayainya dan hanya 50% karyawan menyatakan bahwa pimpinannya dapat dipercaya. Rasa percaya sangat penting untuk ada di dalam tim, karena tanpa itu karyawan akan cenderung kurang termotivasi dan produktif.

Terdapat 3 arah kepercayaan yang dapat membuat lingkungan kerja menjadi sehat. 1) Leader trust: karyawan harus percaya pada pimpinan, 2) Team trust: pimpinan harus percaya pada karyawan/timnya, dan 3) Lateral trust: anggota tim harus saling percaya satu sama lain. Seringkali dianggap bahwa pimpinanlah yang perlu mendapatkan kepercayaan dari karyawan/timnya, namun banyak yang tidak menyadari pentingnya kepercayaan dalam dua arah lainnya. Karyawan yang tidak percaya pada pimpinannya cenderung akan bekerja seadanya, tidak mau melakukan inovasi-inovasi karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pimpinannya, dan berencana untuk keluar dari perusahaan tersebut kapanpun. Padahal kondisi ini bukanlah yang ideal agar organisasi dapat berkembang dengan baik.

Pimpinan yang tidak mempercayai karyawannya kemungkinan besar akan melakukan pekerjaan dengan cara micromanaging, menahan informasi untuk pribadi, bekerja sendiri atau dengan sekelompok orang tertentu saja. Kenyataannya kemampuan untuk mendelegasikan pekerjaan membuat pimpinan dan karyawan bertanggung jawab dan mencerminkan rasa saling percaya satu sama lain. Selain itu, apabila pimpinan mempercayai karyawan/timnya akan melatih dan membimbing skill serta tanggung jawab kepemimpinan, dimana akan menjadi bekal yang baik bagi pengembangan organisasi di masa depan.

Dalam interaksi sehari-hari, terkadang pimpinan tidak menyadari tindakan yang dilakukan yang kerap kali menimbulkan rasa tidak percaya pada pimpinan dan organisasi. Seperti hanya memberikan informasi kepada senior manajemen daripada ke seluruh tim sehingga menjadi rumor tanpa mengetahui mana yang informasi yang benar atau salah; membuat ‘tim’ dalam tim sehingga membuat beberapa karyawan merasa tidak dianggap atau persepsi adanya karyawan favorit dalam tim tersebut; kurangnya keselarasan antara tanggung jawab dan wewenang sehingga pekerjaan menjadi tidak jelas dan menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan; hingga menciptakan silo dalam organisasi sehingga mengganggu kerja tim antar bagian/departemen.

Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan pimpinan untuk mendapatkan kepercayaan dari karyawan. Misalnya dengan mempertahankan transparansi dan komunikasi sehingga karyawan bisa terbuka dan memberikan performa terbaiknya untuk organisasi. Ini juga harus didukung dengan memberikan arahan, dukungan, pembagian tugas yang adil dan merata, melakukan rotasi pada tugas/proyek, memfasilitasi rapat-rapat yang mendukung kinerja, sehingga akan menciptakan budaya kerja yang positif. Pertanyaannya apakah ‘rasa percaya’ sudah terbangun dengan positif di lingkungan kerja anda sekarang? Yuk coba kita refleksikan

Remote Leadership

Saat ini kondisi dunia kerja sudah menuju kesimbangan baru. Semakin banyak perusahaan/organisasi yang berani berpindah dari pola kerja kantoran yang konvensional menjadi pola kerja hybrid/WFH/WFA. Tantangan terbesar bagi perusahaan/organisasi yang mulai bertransformasi saat ini sebenarnya bukan pada pekerjaan jarak jauhnya (remote work), melainkan di kepemimpinan jarak jauh (remote leadership). Sekarangpun banyak tools, sistem dan perangkat teknologi yang memudahkan pegawai beradaptasi menghadapi perubahan ke remote working dengan biaya terjangkau. Namun kendala terbesarnya adalah adanya kebutuhan besar bagi para pemimpin untuk beradaptasi dengan praktek kepemimpinan jarak jauh. Bila tak dilakukan, maka transformasi remote working tidak akan berhasil.

Mari kita lihat salah satu contoh di lapangan, perusahaan yang memiliki aplikasi Customer Relationship Management (CRM) sudah seharusnya lebih mudah untuk sukses menjaring konsumen dan pangsa pasar, dibanding perusahaan tanpa CRM. Implementasi software-software CRM sebenarnya telah ada selama beberapa dekade terakhir, dan relatif mudah digunakan dan dipahami. Namun penelitian menunjukkan bahwa selama 13 tahun terakhir, antara 30 hingga 60% implementasi sistem CRM gagal total. Data menunjukkan bahwa alasan utama kegagalan tersebut adalah karena CEO tidak memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk membuatnya sukses.

Begitu pula inisiatif dalam remote working yang sudah pasti memanfaatkan aplikasi-aplikasi terkini yang lazim: seperti Zoom, Dropbox, Teamviewer, Hive, dll. Bila para pemimpinnya tidak menggunakan pendekatan kepemimpinan yang tepat, cita-cita remote working bisa jadi sebuah bencana dan buang-buang tenaga/waktu perusahaan. Peter Drucker yang dianggap sebagai bapak manajemen modern percaya bahwa orang menjadi pemimpin yang lebih baik jika mereka belajar mengelola diri sendiri, kemudian belajar mengelola tim, dan akhirnya belajar mengelola peluang. Mengelola diri sendiri mengacu pada penggunaan waktu dan keterampilan komunikasi. Mengelola tim mengacu pada disiplin membimbing tim menuju misi yang jelas, dan tujuan yang bermakna. Maka, jika seseorang pandai mengatur waktu, komunikasi, dan tim, maka mengelola peluang akan menjadi rutinitas yang sederhana.

Learning to Manage Yourself: Time and Communication

Kamu memenangkan tiket untuk mengobrol dengan Elon Musk. Kamu harus memilih apakah lebih suka bertukar pikiran melalui email dengan dia atau mengadakan pertemuan tatap muka sambil dia menggunakan papan tulis. Yang mana yang akan kamu pilih? Preferensi yang sama berlaku untuk individu di tim yang lebih memilih untuk mengadakan pertemuan tatap muka daripada menerima email. Komunikasi lebih efektif jika berbicara secara langsung, dan kurang efektif jika ditulis melalui email, apalagi informasi dengan teks cenderung terbatas dalam mengekspresikan emosi dan suasana kebatinan. Namun yang cukup menggelikan, mengapa CEO/pimpinan menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengirim email serta berkomunikasi via teks.

Tantangan komunikasi yang efektif adalah ketika kita meningkatkan efektivitas, waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya juga meningkat. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pertemuan tatap muka membutuhkan waktu jauh lebih lama daripada mengirim email. Elon Musk mungkin lebih suka mengirim email saja dengan beberapa pemikirannya, daripada menghabiskan satu jam waktunya untuk mempersiapkan dan menjamu kamu secara langsung. Scott Ambler, mantan kepala di IBM Agile, mengilustrasikan efektivitas komunikasi berbagai channel dimana efektivitas komunikasi serta waktu yang dibutuhkan berkorelasi positif. CEO/pimpinan mengirim email karena waktu mereka lebih sedikit.

Oleh sebab itu, pendekatan komunikasi yang tepat dan kesediaan meluangkan waktu oleh pimpinan kepada anggota tim disaat remote working harus menjadi prioritas. Remote working secara full time (full WFH/WFA) bukan merupakan opsi optimal. Manusia sebagai makhluk sosial tetap membutuhkan interaksi yang dekat agar dapat membangun kontekstual dan trust dengan sesama rekan kerja.Frekuensi 1-2 kali pertemuan tim strategis dengan tatap muka dalam 1 minggu normalnya sudah cukup untuk mengefektifkan komunikasi. Jadi, bagi perusahaan yang ingin mengadopsi remote working, melakukan rapat koordinasi/evaluasi strategis tatap muka 1-2 kali seminggu sepertinya angka yang ideal untuk dipraktekkan, sisanya, kamu dapat bekerja dari rumah/diluar kantor. Sedangkan pertemuan lain yang kurang strategis/cenderung teknis, dapat dilakukan dengan channel komunikasi lain non-tatap muka.

Learning to Manage a Team: Defining Parameters and Providing Leeway

Cobalah bertanya pada pegawai high performers suatu perusahaan mengenai praktek manajemen kerja terbaik, sebagian besar pasti menginginkan kondisi dimana ada parameter/ukuran yang jelas untuk pekerjaan mereka, dan disaat yang sama diberikan ruang kebebasan serta kepercayaan untuk mengeksekusi hal-hal yang masih dalam domain mereka. Pegawai yang baik pasti menginginkan kejelasan ekspektasi dari pimpinan tentang arah tujuan perusahaan mau kemana, kejelasan jalur karir, serta diberikan kewenangan tanpa harus terus dipelototin dan diajari terlalu sering oleh si bos.

Pada saat konsep remote working berjalan, para pemimpin harus mampu menggabungkan kemampuan untuk menetapkan aturan yang ketat (harapan dan parameter kerja) dengan kemampuan untuk memberikan otonomi dan kepercayaan (kemandirian bagi pegawai untuk membuat keputusan sendiri). Dengan kata lain, kepemimpinan yang efektif berkaitan dengan micromanaging parameter dan macromanaging eksekusi. Dengan adanya kejelasan tujuan dari pimpinan, serta akuntabilitas kerja yang baik, maka para pegawai yang sedang remote working dapat mencari solusi dengan kreatif, tanpa harus dimonitor terlalu intens oleh supervisornya yang terkadang malah kontraproduktif.

Monotasking (vs Multitasking)

Seorang teman mengatakan bahwa dia mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu. Hebat. Mengerjakan banyak hal dalam satu waktu dinamakan multitasking, sementara mengerjakan tugas secara fokus satu persatu dinamakan monotasking. Dalam dunia kerja yang amat berbeda dan dinamis, hal ini menjadi penting. Multitasking memiliki potensi berujung pada kelelahan fisik yang kemudian akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan mental.

Dalam satu studi dijelaskan bahwa dari keseluruhan populasi manusia, hanya 2.5% yang mampu melaksanakan tugas secara berbarengan dalam satu waktu. Studi lain juga menjelaskan bahwa otak kita tidak mampu melaksanakan dua tugas berat dalam waktu bersamaan. Sehingga multitasking menjadi suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Menurut Pubmed, hasil riset juga membuktikan bahwa multitasking menurunkan IQ dan juga menurunkan tingkat produktivitas sampai dengan 40%.

Dalam keseharian kita sebenarnya banyak melakukan multitasking. Kita makan sambil nonton TV, kita membaca atau belajar sambil mendengarkan musik atau mengobrol dengan teman sambil membaca pesan elektronis. Secara tidak sadar kita sudah melakukan dua hal berbeda dalam kesempatan yang sama. Namun ketika ditambah dengan hal lainnya kita menjadi kesulitan. Misalnya kita nonton drakor sambil makan dan kemudian sambil menjawab pesan elektronis. Walhasil kita pasti akan sering pencet rewind karena banyak dialog atau adegan yang terlewat.

Dalam buku 4 disciplines for execution penulis Covey, Chesney dan Huling menjelaskan bahwa ketika kita fokus terhadap satu tujuan, probabilita penyelesaian tugas dengan baik adalah 100%. Namun ketika tujuan ditambah, maka probabilita kesuksesan menurun. Kemudian sampai di suatu titik, dimana kita mengerjakan beberapa tugas menyebabkan tidak ada yang dapat diselesaikan dengan baik.

Para praktisi mindfulness juga amat mendorong kita untuk melakukan monotasking. Pekerjaan yang banyak dalam satu kesempatan menimbulkan kecemasan dan kegelisahan sehingga berdampak pada gangguan kesehatan mental. Sebaliknya dengan fokus mengerjakan tugas satu persatu, seseorang akan semakin kreatif dan sukses menyelesaikan tugas melebihi yang diharapkan.

Ketika sudah memahami monotasking lebih baik, apa yang perlu dilakukan untuk membentuk mindset monotasking? Bryant Adibe, Chief Wellnes Officer di Mount Saint Mary University Los Angeles memberikan 5 tips sebagai berikut:
1. Deep Work. Kita membiasakan diri bekerja lebih dalam daripada sekedar menyelesaikan tugas. Biasakan meluangkan 2-4 jam sehari untuk fokus pengerjaan satu tugas tanpa diganggu oleh apapun, termasuk emai, telepon, ngobrol dll).
2. Peak Performance Time. Tentukan waktu terbaik anda untuk fokus. Setiap orang berbeda, ada yang pagi, siang, sore dan bisa juga malam. Asal jangan audah melebih jam tidur, hal ini juga bisa mengubah pola kehidupan menjadi tidak baik.
3. Eliminate Distractions. Ketika memulai hari dengan 10 tugas yg perlu diselesaikan, fokus kepada hanya dua hal utama. Bukan yang lain tidak diselesaikan, tetapi ketika dua tugas utama diselesaikan dengan baik, maka psikologis anda akan meningkat.
4. Build Your Day Like a Skycraper. Setelah menentukan skala prioritas, atur waktu khusus untuk menyelesaikan hal lain seperti menjawab email, menelepon dll. Jangan membalas pesan elektronis setiap saat, hal tersebut akan mengganggu konsentrasi anda.
5. Create Negative Time. Maksudnya kita perlu menentukan waktu untuk kita tidak melakukan hal apapun. Istirahat. Ini diperlukan agar tubuh dan otak kita kembali fresh dalam mengerjakan hal lainnya.

Multitasking bukan hal yang buruk, namun seperti dijelaskan bukan untuk semua orang. Lebih baik kita fokus untuk mengerjakan tugas satu persatu sehingga hasilnya bisa optimal. Anda sendiri pebih cenderung monotasking atau multitasking?

Emphatetic Leader

Studi global terakhir yang dilakukan oleh qualtrics memberikan fakta bahwa 46% pekerja telah mengalami penurunan kesehatan mental. Hal ini disebabkan beberapa hal: 67% merasakan peningkatan terhadap stress, 57% peningkatan anxiety, 54% mengalami peningkatan kelelahan mental, 53% mengalami peningkatan kesedihan, 50% merasakan peningkatan kemarahan dan 28% mengalami gangguan konsentrasi. Secara umum pekerja telah merasakan penurunan kesehatan mereka. Hal ini tentunya merupakan sinyal kuat kepada perusahaan untuk segera memberi perhatian. Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada kinerja perusahaan.

Fakta lain yang serupa disampaikan oleh Academy of Management Journal. Pegawai yang mengalami perlakuan buruk di tempat kerja, akan mengalami penurunan kinerja yang signifikan. Mereka juga menjadi cenderung menjadi lebih individualistis dan timbul perasaan tidak ingin menolong rekan kerja yang lain. Penelitian Georgetown University juga menambahkan bahwa perlakuan buruk selain menurunkan kinerja dan kolaborasi tetapi juga meningkatkan turnover pegawai.

Ketika masalah di atas sudah mengemuka, perlu dicarikan solusi. Suatu studi yang dilakukan oleh Catalyst terhadap 889 orang menyimpulkan sousinya adalah empati. Ketika pemimpin berempati dengan bawahannya kondisi kerja membaik. 67% menyatakan lebih inovatif, dibanding 13% yang tidak memiliki pimpinan yang empati. Sebanyak 76% lebih engaged kepada pekerjaan dibanding 32% yang tidak. Sebanyak 62% pekerja wanita menyatakan tidak akan pindah kerja, dibanding hanya 14% yang tidak. 86% merasakan keseimbangan antara hidup dan bekerja dibanding 60% yang tidak.

Apabila salah satu solusi terbaik dari penurunan mental adalah pemimpin yang empati, maka sudah seharusnya perusahan berusaha mengembangkan empati dari para pimpinannya. Empati sendiri oleh CCL diartikan sebagai “having the ability to understand the needs of others, and being aware of their feelings and thoughts”. Dalam banyak kasus empati bisa ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda, tapi anda bisa berlatih dengan beberapa cara, antara lain mendengar pendapat dan masukan bawahan, jangan berusaha menginterupsi bawahan ketika berbicara, hadir dan berkomunikasi di lingkungan kerja mereka, jangan mudah men-judge orang lain, memperhatikan bahasa tubuh mereka dan membicarakan hal personal dengan mereka.

Menurut Mindtools, ada tiga tahap dalam berempati:
1. Cognitive empathy: yaitu memahami kondisi emosi orang lain,
2. Emotional empathy: yaitu ikut merasakan dan berbagi emosi dengan orang lain, dan
3. Compassionate empathy: yaitu melakukan aksi untuk mendukung orang lain.

Yang perlu dijaga oleh anda dalam berempati adalah keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan bawahan. Anda telah ditunjuk sebagai pimpinan oleh perusahaan, sehingga harus memastikan target kerja tercapai. Namun sebagai pimpinan anda dituntut untuk memahami kondisi dan situasi yang terjadi pada anak buah anda. Kemampuan untuk berempati tidak terkait dengan karakter seseorang, namun bisa dilatih. Semakin anda berlatih, maka kemampuan anda untuk berempati semakin tinggi.

Di dalam situasi ketidakpastian dan kondisi yang terus berubah, kesehatan mental pegawai menjadi faktor penting dalam bekerja. Sudah sewajarnya perusahaan dan para pemimpin lebih serius untuk menerapkan empati di tempat kerja. Pada akhirnya para pemimpin dan perusahaan yang akan mendapat menfaatnya. Selamat mencoba.

Kepemimpinan ala Angsa

Mungkin ada yang pernah melihat ketika rombongan angsa terbang bersama? Mereka akan membentuk formasi seperti huruf V. Tentu ada alasannya mengapa demikian dan ternyata ada banyak pelajaran kepimimpinan dan kerja sama tim lho dalam formasi terbang tersebut. Eh gimana? Kok bisa? Penasaran? Yuk, kita terbang lebih lanjut.

Gerombolan angsa terbang bersama dengan formasi V tersebut akan menambah momentum 71% lebih besar dibandingkan dengan jika terbang sendirian. Inilah kekuatan dari kerja sama tim dan persatuan jika tim bekerja bersama-sama menuju tujuan organisasi. Semua akan berusaha, saling menyemangati, dan mendukung maju bersama. Tim yang hebat adalah tim yang dapat mengenali dan menggali kekuatan dan kelemahaan tiap anggota dan dapat memanfaatkan kekuatan yang ada dan membantu kelemahan yang lain. Bekerja sendiri mungkin akan lebih cepat, tetapi bekerja sama akan menghasilkan lebih banyak.

Jika ada salah satu anggota angsa yang “keluar” dari garis formasi, secepatnya angsa itu akan merasakan hambatan karena terbang sendirian dan akan segera kembali ke formasi untuk tetap menjaga keseimbangan dan flow terbang tim. Setiap kerja sama tim tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Banyak kepala, banyak ide. Jika ada satu anggota tim sedang tidak di dalam lingkaran kerja sama, tentu saja akan muncul risiko dan produktivitas akan terganggu. Hal yang harus dilakukan leader dan anggota tim yang lain adalah, cepat lakukan dialog kolaboratif atau coaching untuk mendiskusikan hal yang dialami anggota tersebut. Temukan solusi dan jelaskan bagaimana mereka dapat berkontribusi dan peran nyata dalam kemajuan tim.

Ketika pimpinan angsa merasa lelah, dia akan terbang di posisi belakang, dan salah satu angsa lainnya akan menggantikan posisi menjadi pimpinan terbang yang baru. Hal ini membangun trust dan kepercayaan diri semua anggota untuk secara bergilir melakukan tugas strategis, memimpin, dan mengambil keputusan. Sebagai seorang pimpinan, juga seharusnya trust kepada anggota timnya dalam melaksanakan tugas, dan melakukan persiapan regenerasi kepimpinan. Setiap anggota tim mempuinyai keterampilan, kemampuan, dan bakat unik masing-masing. Dengan pempimpinan yang percaya kepada semua anggota tim dengan berbagi tanggung jawab dan akuntabilitas, maka akan terbentuk tim yang lebih kuat dan saling mendukung.

Angsa terbang dalam formasi dan mengeluarkan suara seperti klakson untuk saling memberikan semangat, yel-yel, dukungan dan mendorong angsa di bagian depan untuk menjaga kecepatannya. “Klakson” ini artinya adalah pengakuan, pujian, feedback membangun untuk sesame anggota tim agar tetap saling semangat, menjaga phase kerja, komunikasi yang sehat, dan menciptakan suasana kerja yang kondusif karena komunikasi berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Ketika ada seekor angsa yang sakit atau kelelahan, dua angsa akan keluar dari formasi dan membantu angsa sakit tersebut keluar formasi dan istirahat. Dua angsa tersebut akan menemani, mendukung, membantu, dan menjaga angsa sakit tersebut. Mereka akan tinggal bersama angsa sakit sampai angsa itu sembuh dapat terbang kembali atau bahkan mati. Lalu mereka akan kembali terbang mengejar kawanan lama mereka. Tim hebat akan berdiri bersama dan saling mendukung bila menghadapi masalah. Saling membantu dan menjaga sesame anggota tim untuk tetap menjaga kekompakkan, kerja sama tim dan kesejahteraan satu sama lain.

Banyak hal yang dapat kita pelajari di sekitar kita. Hal yang dibutuhkan adalah perhatian dan lebih memahami situasi yang terjadi. Sebagai pemimpin atau calon pemimpin di masa depan, apakah teman-teman sudah lebih memerhatikan keadaan disekitarnya? Tetap belajar hal baru setiap hari ya tentunya agar kita semua bisa terbang lebih tinggi bersama-sama!

Sumber:

  1. Power Resource Center
  2. Leader Shift Project

NOKIA: dulu jagoan jadi nggak relevan

Sebagian besar dari kita tentu mengenal Nokia, bahkan menjadi pengguna produk pada masanya. Siapa yang tidak ingat “banana phone” keluaran Nokia yang sangat populer. Tahun 2007 adalah puncak kejayaan Nokia yang berhasil menguasai 51% pangsa cellphone di seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Apple saja sekarang hanya mampu menguasai 25% pangsa pasar, sehingga terlihat bagaimana Nokia bisa mendominasi pasar pada waktu itu. Nokia mengubah mindset bahwa cellphone juga dikaitkan dengan fashion sehingga mendapat respons yang luar biasa.

Namun demikian hanya dalam waktu enam tahun, Nokia kemudian hampir mengalami kebangkrutan, dan akhirnya diakuisisi oleh Microsoft seharga 7.2 miliar dollar. Ada apa dengan Nokia sehingga dalam waktu cepat bisa terlempar dari kompetisi cellphone pada waktu itu?

Kesalahan pertama Nokia adalah terlalu fokus kepada pembuatan hardware. Desain yang menarik tentu menjadi daya tarik pembeli, tetapi cellphone tidak bisa berfungsi ketika tidak memiliki sistem operasi. Sementara pesaingnya telah mulai mengembangkan sistem operasi android dan IOS, Nokia ketinggalan karena terus menggunakan Symbian sebagai sistem operasinya. Berbeda dengan symbian, android dan IOS sudah berbasis aplikasi.

Kesalahan berikutnya Nokia ketika pesaingnya seperti samsung, motorola, huawei sudah mengadopsi android ketika google memasuki pasar di tahun 2008, Nokia tetap bersikeras menggunakan sistem operasinya sendiri yaitu Symbian. Akhirnya Nokia menyerah, pada tahun 2011 mereka beralih menggunakan windows phone bekerjasama dengan microsoft. Keputusan tersebut fatal karena akhirnya windows phone gagal sehingga Nokia kehilangan dominasinya sebagai penguasa pasar. Android sendiri sudah terbukti sekarang digunakan 80% smartphone saat ini. Ketika akhirnyapada tahun 2014 Nokia memutuskan beralih ke android, semuanya sudah terlambat.

Nokia juga memiliki masalah dengan struktur organisasinya. Ketika memutuskan mengubah organisasi berdasarkan hirarki pada tahun 2004 menjadi organisasi matriks, ternyata keputusan ini bermasalah. Keinginan agar lebih inovatif dengan matriks organisasi, ternyata malah menimbulkan krisis. Dalam organisasi matriks manager memiliki beberapa kewenangan, dan ini menimbulkan konflik sehingga inovasi terhambat dan proses pengambilan keputusan juga menjadi lama. Sebagai perbandingan, Apple sebagai pesaing tetap menggunakan organisasi hirarki dimana Steve Jobs sebagai puncak hirarki tersebut.

Terakhir, Nokia tidak mampu mengantisipasi gelombang smartphone di awal tahun 2000-an. Ketika kompetitor mulai beralih ke smartphone, Nokia memilih fokus ke pembuatan cellphone yang berkualitas baik, murah, tahan lama dan menarik. Ternyata keinginan pasar berbeda, ketika Apple keluar di pasar, semua orang menginginkan smartphone tersebut. Nokia gagal mengantisipasi kebutuhan pasar padahal pada waktu itu posisinya masih sebagai pemimpin pasar. Apple setelah mengeluarkan smartphone segera mengambil alih posisi sebagai pemimpin pasar hingga kini.

Ini adalah salah satu bukti bahwa yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan. Seperti Charles Darwin mengatakan “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one most adaptable to change”. Lingkungan perusahaan terus berubah, dan yang mampu mengantisipasi atau memanfaatkan perubahan tersebut yang akan mampu bertahan dan meraih kesuksesan. Teknologi berkembang sangat cepat dan demografi konsumen juga berubah. Generasi muda memiliki perilaku yang berbeda. Kekuatan ekonomi negara juga bergeser. Sumber daya alam menipis. Isu sustainability mengemuka. Pandemi belum ada tanda akan berakhir. Kesemua ini adalah dinamika yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Adalah tidak mungkin perusahaan tidak beradaptasi dan tetap mengharapkan hasil yang sama.

Bagaimana perusahaan di tempat anda bekerja? Semoga ikut beradaptasi mengikuti perubahan.

Pentingnya Membaca Bagi Seorang Pemimpin

“Knowledge is Power”

Pernah mendengar kalimat itu? Banyak pendapat yang mengatakan bahwa semakin banyak kita mengetahui sesuatu, maka semakin banyak kekuatan yang kita miliki. Dari membaca, kita akan mendapatkan pengetahuan yang mungkin dapat membantu kita pada saat yang tidak terduga dan membuat pikiran kita untuk dapat mengenali peluang yang mungkin akan dilewati orang lain. Bahkan, dalam sebuah studi di Amerika menyatakan bahwa saat indeks membaca masyarakat berkurang pada satu tahun, berarti akan ada kekurangan pemimpin yang cakap untuk memimpin instansi, lembaga, perusahaan atau organisasi di Amerika. Sepenting itukah kebiasaan membaca bagi seorang pemimpin?

Sebut saja para pemimpin perusahaan terkenal di dunia, seperti Steve Jobs, Bill Gates hingga Elon Musk. Dari berbagai wawancara yang dilakukannya, mereka menyatakan bahwa membaca memberikan kesempatan dan kekuatan lebih bagi seorang pemimpin karena dapat membangun intelektual dan skill yang tak terduga dari hasil membaca buku. Beberapa pemimpin yang mungkin kita kenal juga, seperti Napoleon Bonaparte atau Vledimir Lenin mengakui buku sebagai sahabat dan rekan terbaik mereka dalam kehidupannya. Faktanya, Napoleon Bonaparte adalah seorang ‘gila baca’ yang memiliki pustakawan pribadi dan bertugas untuk membawa buku-buku favorit Napoleon ke medan perang. Seringkali Napoleon mengambil cuti saat membangun kerajaannya hanya untuk membaca buku yang bagus menurutnya. Sedangkan Vladimir Lenin, pendiri Uni Soviet, ternyata merupakan seorang sastrawan dan dikenal karena pengetahuannya yang luas dari hasil membaca. Segudang manfaat buku bagi seorang pemimpin, sebenarnya apa rahasia dan manfaat besar dari membaca buku?

Berkomunikasi Lebih Efektif

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa membaca dapat membuat seseorang menjadi pemimpin yang lebih baik, karena merupakan cara untuk memperoleh dan meningkatkan pengetahuan. Karena pengetahuan yang bertambah, seorang pemimpin akan diberikan manfaat kecerdasaran verbal yang bermanfaat bagi pemimpin tersebut untuk berkomunikasi dengan lebih efektif.

Selain itu, ketika kita membaca banyak buku dengan berbagai topik, kita menjadi mahir dalam menggunakan Bahasa dan akan berdampak pada saat kita berkomunikasi baik secara lisan (verbal) maupun tulisan. Salah satu cara seorang pemimpin yang hebat dalam memimpin adalah mahir dalam penggunaan kata-kata yang meyakinkan kepada para pengikutnya. Ketika kita banyak membaca, kita akan semakin banyak memperoleh pemahaman tentang kapan dan mana kata-kata yang sebaiknya kita pilih agar dapat mengkomunikasikan maksud kita secara efektif.

Mengajarkan untuk Lebih Sabar

Semakin kita mengerti banyak hal, semakin besar rasa simpati dan kebijaksanaan yang dimiliki. Keluasan pengetahuan dapat membantu seorang pemimpin untuk bertindak dengan penuh kesabaran, simpati dan pengertian. Hal ini dikarenakan, seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang baru membutuhkan waktu dan ketekunan, dan ini yang didapatkan dari seseorang yang membaca buku.

Menghasilkan Ide yang Baru dan Segar

Dengan banyak membaca, seorang pemimpin mendapatkan akses yang luar biasa dari ide, gagasan atau pemikiran. Tentunya hal-hal tersebut adalah hal yang penting untuk dimiliki seorang pemimpin. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seseorang yang membaca satu buku seminggu akan memiliki keuntungan yang lebih daripada seseorang yang hanya membaca satu atau dua buku dalam setahun. Hal ini dikarenakan, membaca lebih sering akan membuka akses ide, gagasan, informasi dan pemikiran lebih banyak daripada yang jarang membaca buku.

Menjadikan Kita Penulis yang Baik

Di setiap pekerjaan yang dilakukan, pemimpin dituntut untuk dapat menulis dengan baik. Mengapa kemampuan menulis menjadi sangat penting bagi kepemimpinan? Salah satu bagian penting dari kepemimpinan adalah penulisan laporan dan bagaimana mengkomunikasikannya secara efektif kepada manajemen dan anggota tim. Penggunaan penulisan kata menjadi penting agar pesan dapat tersampaikan secara akurat dan efektif. Sekali lagi, dengan banyak membaca seorang pemimpin akan mendapatkan kemampuan menulis secara tidak langsung.

Memotivasi untuk Melakukan yang Lebih Baik

Membaca biografi seorang pemimpin, atau kisah dari orang yang sukses dan berhasil tentunya akan memberikan dorongan juga kepada kita dalam berbuat sesuatu. Dengan membaca tentang bagaimana para pemimpin lain menghadapi situasi yang tidak mungkin dan bagaimana mereka mengatasi tantangan yang dihadapi, akan membuat kita semakin menyadari dan memotivasi untuk melakukan hal yang sama atau lebih baik. Dengan banyak membaca kisah atau pengalaman orang lain, akan menjadi pendorong bagi pemimpin untuk berusaha lebih baik.

Memudahkan Kita Mengingat Sesuatu

Pikiran manusia hanya berpegang pada hal-hal yang dianggap sangat penting ketika sedang bekerja atau menjalani hidup. Hal-hal lainnya dipindahkan dalam ingatan bawah sadar manusia. Ingatan ini tidak akan hilang, dan mungkin akan muncul sebagai referensi kita di masa mendatang. Jadi tak heran kalau hasil kita membaca kadang membantu kita pada saat-saat yang tidak terduga. Ketika kita membaca, kita sering diingatkan akan hal-hal yang mungkin dianggap kritis dalam hal karir atau kehidupan kita. Membaca secara teratur adalah cara paling efektif untuk mereviu kembali konsep-konsep penting yang kita pernah pikirkan untuk menjadi lebih baik.

Nah, ternyata membaca memberikan segudang manfaat untuk kita ketika diberikan tanggungjawab besar dalam memimpin. Selain hal-hal di atas, yang terpenting dari manfaat membaca adalah kita akan selalu menjadi merasa dunia dan kehidupan ini sangatlah luas begitu pula dengan peluang dan kesempatan yang bisa diraih. Jadi, sudahkah membaca buku hari ini?

Tagged : / /

Holacracy

Pernah lihat film the Intern (2015) yang dibintangi Robert de Niro dan Anne Hathaway? Bila kamu menonton, pasti ingat perusahaan retail pakaian bernama About the Fit yang sekilas terlihat amat menyenangkan. Seluruh anggota tim di perusahaan dapat berkomunikasi dengan luwes seakan-akan tiada sekat antara atasan dan bawahan. Kondisi demikian serupa dengan konsep Holacracy, yaitu sistem kerja yang memberikan kebebasan penuh kepada setiap individu untuk bekerja dan berkarya sesuai dengan kapabilitas semaksimal mungkin tanpa batasan yang signifikan dari atasan langsung, dengan demikian perusahaan diharapkan dapat berjalan secara lebih responsif dan berorientasi pada tujuan. Bahkan holacracy tidak memiliki struktur organisasi baku, namun sangat dinamis dan mudah berubah sepanjang waktu.

Setiap orang dalam organisasi holacracy bertanggung jawab penuh atas tugas dan target yang ingin dicapai tanpa perlu melapor kepada supervisor atau manager dan tidak perlu menunggu perintah pekerjaan. Lalu bagaimana bila tidak ada bos atau manajer yang mengarahkan? Jadi pada pendekatan Holacracy, perusahaan membentuk tim-tim kecil yang independen dan saling terhubung. Tiap tim punya otoritas mengambil keputusan sendiri: mereka diberi suatu target dan tujuan besar, lalu mereka memutuskan sendiri gimana caranya mencapai tujuan tersebut. Intinya yaitu tentang self-management. Dengan holacracy, tiap orang dan tim akan memiliki sense of belonging yang lebih tinggi ke organisasi tempat bekerjanya karena mereka merasa berkontribusi secara langsung atas keputusan penting perusahaan. Oleh sebab itu organisasi holacracy dapat mendorong inovasi pegawai, sense of community, memberdayakan pegawai apapun levelnya, serta meminimalisir proses bisnis dan berbagai meeting yang tidak penting.

Pada gambar diatas, seluruh komponen pegawai pada sistem holocracy dapat berkontribusi langsung terkait fungsi timnya. Bahkan seorang CEO pun dapat memiliki portofolio kerja. Sistem ini memang terdengar sangat sesuai dengan generasi millennials yang suka dengan kecepatan proses dan informalitas bekerja. Akan tetapi sistem holacracy masih sulit diterapkan oleh banyak perusahaan, baik startup atau konvensional karena membutuhkan perubahan mindset yang besar. waktu yang dibutuhkan untuk bertransisi juga cukup panjang karena tidak semua pihak dan perusahaan dapat menerima dan nyaman dengan konsep holacracy. Holacracy pada dasarnya cocok bagi organisasi yang fokus terhadap inovasi, ingin mengubah cara orang bekerja dan meningkatkan kinerja pegawai, mempercepat pengambilan keputusan, mencapai tujuan dengan resources terbatas, dan mengungkap bakat-bakat terpendam dan ide brilian dari para pegawai.

Namun layaknya pendekatan keorganisasian lainnya, holacracy bukan tanpa kekurangan. Beberapa isu masih harus diperhatikan, yaitu (1) kepemimpinan yang kurang terlegitimasi dapat menimbulkan risiko tim menjadi disorganized dan tidak efektif, apalagi bila ketua tim yang ditunjuk bukan orang yang tepat. (2) Pada holacracy tidak ada blame game atau saling menyalahkan, sehingga ada potensi pegawai menjadi free rider terhadap capaian tim. Merekapun tidak dapat ditindak karena memang tidak ada formal authority yang memintanya melakukan tugas tertentu secara langsung. (3) Holocracy cenderung sulit diimplementasikan karena pada dasarnya, manusia terbiasa hidup dalam hierarcy sosial, perubahan mindset pegawai agar self-managed tidak mudah diterapkan dengan cepat, namun butuh proses dan pelatihan yang panjang.

Nah, dunia kerja sudah semakin berubah bukan? Siapkah kamu melakukan revolusi besar terhadap sistem organisasi di perusahaan atau organisasi kamu?

Information Source:

holacracy.com, wrike.com, majalah.kliksaja.co, hbr.org, kumparan.com, ziliun.com

Coaching: Manfaat Bagi Atasan dan Bawahan

Hasil riset menunjukkan bahwa efektivitas pengembangan seseorang 70% ditentukan melalui on the job training, 20% dari hasil coaching dan 10% dari formal training. Hasil penelitian ini mengajak kita untuk mengubah cara pandang bahwa kita dikembangkan perusahaan apabila dikirim mengikuti program pelatihan atau pendidikan yang dilakukan oleh pihak eksternal. Ternyata efektivitas keikutsertaan dalam pelatihan formal hanya 10%, sementara biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Pengembangan on the job training amat sesuai dengan karateristik milenial dimana mereka menghargai sebuah proses daripada dilakukan pendampingan. Mengalami kesulitan, mampu keluar dari masalah, sukses menyelesaikan tugas merupakan proses yang dinikmati para milenial dalam pelaksanaan tugas. Sudah sewajarnya bila perusahaan banyak menekankan pengembangan karyawannya dengan metode ini. Yang berikutnya adalah coaching. Namun pelaksanaan coaching menjadi masalah karena membutuhkan pihak selain karyawan yaitu atasan. Perlu dikaji apakah atasan paham tugasnya untuk memberikan coaching dan ketika paham mampu melakukannya. Hasil survey menunjukkan 52% dari atasan tidak pernah diberikan pelatihan menjadi mentor. Sementara 79% dari atasan mendapatkan informasi bagaimana menjadi mentor justru dari internet.

Wajar kalau kemudian milenial merasa tidak dikembangkan, karena perusahaan memang tidak pernah mempersiapkan atasan dengan kemampuan coaching yang baik. Di lain pihak, atasan juga menganggap proses coaching kurang penting, sehingga tidak merasa perlu melakukan proses tersebut dan apalagi belajar bagaimana menjadi coach yang baik. Ini adalah gejala umum di banyak perusahaan, sehingga pelaksanaan coaching tidak seragam dan dilakukan berdasarkan pemahaman atasan.

Dick Grote, pakar performance management, dalam artikelnya “every manager needs to practice two types of coaching” menjelaskan ada dua jenis coaching yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah calendar-driven coaching dan kedua adalah event-driven coaching.

Calendar-driven coaching dilakukan secara formal dan terstruktur di waktu tertentu seperti awal, pertengahan atau akhir tahun. Sesuai aturan seorang atasan akan menginisiasi diskusi dengan bawahan, dan mengisi formulir sesuai yang dipersyaratkan. Seorang atasan akan banyak melakukan pertanyaan untuk menggali masalah yang dihadapi oleh bawahan dalam bekerja. Pada akhir sesi atasan akan menyampaikan ekspektasi dan rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan oleh bawahan. Terkadang rekomendasi ini kemudian masuk ke dalam rencana pengembangan individu untuk kemudian dapat ditindaklanjuti secara formal.

Yang kedua, event-driven coaching, pelaksanaannya lebih informal dan bisa dilakukan kapan saja. Pihak yang menginisiasi coaching juga bisa dari bawahan dan tidak melulu harus dari atasan. Misalnya seorang bawahan setelah melakukan presentasi meminta feedback atasan terhadap materi dan cara komunikasi atau presentasi. Apa yang perlu diperbaiki, sehingga lebih baik di masa mendatang. Bisa juga seorang atasan dalam keseharian memanggil bawahan untuk kemudian secara langsung memberikan evaluasi dan masukan kepada bawahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Dengan demikian inisitiaf jenis coaching ini bisa dilakukan baik oleh atasan maupun bawahan.

Apabila calendar-driven coaching dilakukan di kantor, maka event-driven coaching bisa dilakukan dimana saja dan bahkan dapat dalam bentuk pesan teks tidak dharus dalam bentuk sebuah dialog langsung. Atasan yang baik akan dengan senang hati memberikan coaching, sebabnya ketika bawahan lancar atau mengerti dengan jelas ekpektasi atasan, maka penyelesaian tugas akan lebih lancar dan sesuai harapan. Dengan demikian, anda menjadi merugi ketika tidak meminta masukan setelah sebuah event. Hubungan atasan bawahan juga bisa terjalin lebih erat ketika anda melakukannya, karena atasan juga merasa dihormati dengan dimintakan masukan atau pendapat.

Milenial butuh pengembangan, atasan perlu pekerjaan lancar. Oleh karena itu kedua pihak perlu berinisiatif. Ketika manusia menjadi aset paling berharga, tentunya kita selalu ingin aset tersebut selalu berkembang. Sudahkah anda minta di-coaching belakangan ini?

Informal Leaders

Salah satu syarat perusahaan bisa bertahan dalam situasi ketidakpastian yang tinggi seperti sekarang adalah kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Perkembangan teknologi dimana seluruh aspek kehidupan kita sudah disentuh oleh digitalisasi, kita juga berada dalam masa transisi generasi X ke milenial, dan terakhir pandemi dalam dua tahun belakangan ini memaksa perusahaan untuk terus beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dalam proses perubahan, salah satu unsur terpenting adalah keberadaan informal leaders.

Informal leaders menurut business dictionary adalah “An individual within an organization that is viewed as someone worth listening to due to their perceived experience and reputation among peers. The informal leader does not hold any position of formal authority or power over the peers choosing to follow their lead but can influence the decisions of others”. Jadi informal leaders tidak harus memgang jabatan formal, mereka didengarkan dan berpengaruh kepada pegawai yang lain. Informal leaders inilah dalam suatu proses perubahan yang bisa menggerakkan orang lain dalam perusahaan untuk berubah. Oleh karena itu perusahaan harus mampu mengidentifikasi siapa saja informal leaders di dalam perusahaan.

Jon Katzenbach, Carolin Oelschlegel, and James Thomas dalam artikelnya di forbes menjelaskan ada 4 tipe informal leaders. Pertama adalah pride builders. Orang ini adalah motivator sejati dalam lingkungan kerja. Umumnya first line manager yang menjadi katalis perubahan lingkungan. Mereka paham dengan kondisi lingkungan kerja dan paham bagaimana melakukan perubahan yang diperlukan. Tipe kedua adalah exemplars. Mereka adalah para role model baik dengan perilaku, pengetahuan atau kompetensinya. Exemplars umumnya adalah di middle dan top management. Mereka amat dihormati dan merupakan influencers yang efektif bagi peer-nya. Tipe ketiga adalah networkers. Mereka adalah pusat informasi di dalam perusahaan. Tipe ini punya hubungan baik dengan semua pihak dan dapat berkomunikasi dengan baik secara terbuka. Ketika anda ingin ide perubahan dapat terkomunikasi dengan baik, tipe ini harus dilibatkan. Terakhir adalah early adopters. Mereka adalah orang yang memiliki antusiasme tinggi dengan hal baru misalnya teknologi, proses dan cara kerja. Sebaiknya ketika melakukan pilot project perubahan mereka harus dikutsertakan.

Karena perannya yang penting, apakah informal leader bisa dikembangkan? Bisa dan harus dikembangkan agar proses perubahan dapat berjalan dengan lancar. Hanya saja metode pengembangan mereka tidak dilakukan secara formal melalui training atau seminar, tetapi melalui sebuah social learning. Group coaching dengan mentor tertentu cukup efektif untuk dilakukan. FGD kecil diantara informal leaders untuk pembahasan topik tertentu bisa juga dilakukan dengan efektif Terakhir, menonton atau sharing video terkait dengan materi perubahan secara periodik juga bentuk pengembangan yang efektif untuk dilakukan. Dalam suatu proses perubahan, terkadang keberadaan mereka terabaikan, pada mereka menjadi garda terdepan dalam perubahan. Untuk itu para pelaksana program perubahan harus menaruh perhatian khusus kepada informal leaders.

Dalam proses perubahan, bukan berarti peran formal leaders tidak diperlukan, tapi kesuksesan perubahan banyak ditentukan oleh informal leaders. Mereka menjadi pemimpin diantara pegawai, okeh karena itu setiap pendapat dan tindakannya amat mempengaruhi lingkungan sekitar. Apabila perusahaan kamu sedang melakukan perubahan, coba identifikasi siapa saja informal leaders di perusahaan. Mulai berkomunikasi dengan mereka agar mendapat dukungan. Pertama agar mereka aware dengan rencana perubahan. Tahap selanjutnya mereka mengerti maksud dari rencana perubahan. Setelah mengerti tentunya diharapkan mereka bisa menerima perubahan dan akhirnya memiliki komitmen untuk mendukung perubahan. Apabila komitmen sudah diperoleh, anda tinggal menunggu perubahan akan bergulir dengan sendirinya. Selamat mencoba.

Manajemen dan Kepemimpinan

Manajemen dan Kepemimpinan adalah dua kata yang tentunya tidak asing di telinga. Atau bahkan overrated karena terlalu sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari di pekerjaan. Berbagai pelatihan mengenai dua hal tersebut juga tentunya sering diadakan untuk para professional. Sebenarnya apakah kedua hal tersebut sama? Atau malah berbeda? Atau saling berkaitan?

Mengutip Kotter dalam tulisannya yang berjudul “What Leaders Really Do” dalam Harvard Business Review, “Management and leadership both involve deciding what needs to be done, creating networks of people to accomplish the agenda, and ensuring that the work actually gets done. Their work is complementary but each system of action goes about the tasks in different ways.” Keduanya sama-sama dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan dan saling melengkapi tetapi tentunya dengan cara yang berbeda. Manajemen berkaitan sistem bekerja sedangkan kepemimpinan berkaitan dengan orang-orang yang melakukannya. Manajemen adalah mengenai menghadapi hal kompleks. Sedangkan kepemimpinan adalah mengenai menghadapi perubahan. Bagaimana menghadapi VUCA World yang sudah pernah juga diulas dalam artikel Baca Pikir.

Perencanaan atau Pemberian Arahan

Manajemen mengatasi hal rumit dengan melakukan perencanaan dan penganggaran biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut. Hal ini dirancang untuk hasil yang sistematis dan teratur. Kepemimpinan mengatasi perubahan dengan pemberian arahan. Hal mendasar dalam kepemimpinan adalah pemberian arahan yang jelas kepada anggota tim. Pimpinan mengumpulkan berbagai informasi dan data dan melihat pola, hubungan, dan saling mengaitkannya. Proses ini tentunya bukan menghasilkan sebuah rencana, karena yang dilakukan pimpinan adalah menciptakan visi dan strategi. Visi dari pimpinan juga tidak harus super canggih dan “fancy”, yang terpenting adalah visi tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh seluruh anggota tim, menyasar langsung untuk pegawai dan stakeholders, dan juga mudah diimplementasikan dan terukur.

Mengatur atau Menyelaraskan

Manajemen mengatur dan membangun sistem kepegawaian dengan menerapkan sistem yang tepat dan efisien seperti struktur pekerjaan, struktur organisasi, pegawai yang sesuai dengan kualifikasi pekerjaan. Sedangkan kepemimpinan melakukan penyelarasan pegawai dengan berkomunikasi dengan sebanyak-banyaknya pegawai. Komunikasi ini bertujuan agar pegawai paham dengan arahan dan target yang pimpinan berikan dan sama-sama berkomitmen untuk mencapai target tersebut.

Mengatur atau Memotivasi

Proses mengorgisir membentuk organisasi untuk mencapai target dan menjaga proses agar tetap berjalan sesuai rencana, memastikan kualitas tetap terjaga dan mengetahui langkah korektif yang harus diambil bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai. Sedangkan sebagai pimpinan, harusnya mampu untuk memastikan dan memiliki energi positif untuk membantu anggota timnya melewati kendala pekerjaan. Memberikan motivasi dan menginspirasi anggota tim tidak dengan tidak memaksa kehendak untuk menimbulkan sense of belonging, recognition, dan self-esteem dari anggota timnya.

Apakah pimpinan di tempatmu bekerja sudah mencerminkan hal-hal tersebut?

Sumber:

  1. What Leaders Really Do – Kotter
  2. Asana.com
  3. Forbes.com

Toxic Superstar

Toxic Superstar

Bila kamu menemui seorang karyawan/pegawai/manajer/pimpinan yang luar biasa bagus kinerjanya, namun hampir seluruh rekan kerja/kolega di kantor tidak menyukai perilaku orang ini, maka dapat dipastikan dia adalah Toxic Superstar. Familiar bukan? Saya yakin kamu mulai membayangkan orang-orang di kantor yang seperti ini, ya kan?

Toxic superstar merupakan istilah yang digunakan bagi seorang pekerja yang high achiever (berkinerja tinggi), namun memiliki perilaku amat buruk di lingkungan kantor. Kebiasaan buruk tersebut bisa berupa merendahkan pegawai lain, menyalahgunakan kekuasaan, mengadu domba, melakukan fitnah, suka marah-marah, sombong, sukar menerima masukan, atau segala macam perilaku yang merusak suasana dan lingkungan kerja di kantor.

Toxic superstar ada di hampir seluruh organisasi atau perusahaan. Namun tidak semua organisasi paham tentang fenomena ini dan justru merasa keadaan di kantor baik-baik saja, bahkan banyak pemimpin perusahaan yang amat tergantung oleh toxic superstar sehingga enggan untuk melakukan tindakan korektif. Padahal toxic superstar bisa memicu kerusakan organisasi yang lebih besar pada jangka panjang dan mengancam eksistensi organisasi.

Lalu bagaimana solusi untuk menghadapi Toxic Superstar? Ada strategi yang disebut GPS. Pertama, GOAL, pemimpin dan pembuat keputusan harus jelas menetapkan tujuan/tindakan yang akan dilakukan terhadap toxic superstar, biasanya ada dua tujuan yang bisa dipilih:

  1. Menyingkirkan toxic superstar ini, tapi kinerja perusahaan jangan sampai menurun.
  2. Mempertahankan toxic superstar ini, tapi jangan sampai membuat karyawan/pegawai lain meninggalkan perusahaan atau resign.

Kedua, POSITION, pemimpin dan pembuat keputusan harus melihat secara “helicopter view” dimana posisi perusahaan saat ini, apakah sesuai dengan visi jangka panjang, apakah perilaku tertentu dapat ditolerir, apakah ada values/nilai-nilai dalam perusahaan yang perlu ditegakkan, apakah perlu ada mekanisme stick and carrot, dan sebagainya. Diagnostic seperti ini wajib dilakukan pemimpin bila ingin perusahaan/organisasinya tetap bertahan.

Ketiga, STRATEGY, tanyakan dan pastikan hal-hal ini sebelum pemimpin memutuskan mau berbuat apa terhadap toxic superstar:

  1. Apakah dia masih mampu belajar (learning)?
  2. Apakah organisasi/perusahaan masih punya waktu dan sumber daya untuk melatih orang ini?
  3. Apakah dia masih memiliki motivasi untuk berubah?

Bila jawabannya YA, pemimpin harus mengajari (COACH) toxic superstar tentang hal-hal yang ditolerir atau tidak dalam perusahaan, sehingga perilaku-perilaku buruknya tidak terulang. Dari berbagai kasus, tujuan kedua jauh lebih sulit dan lebih mahal untuk dilakukan karena toxic superstar kebanyakan memiliki kemampuan beradu argumen yang mahir, bahkan tidak jarang ketika toxic superstar diberi feedback, dia justru malah membalas memberi feedback.

Bila jawabannya TIDAK, maka pemimpin harus memecat (FIRE) toxic superstar, sembari mencari talent pengganti yang sepadan untuk perusahaan sebelum toxic superstar ini pergi. Bisa melalui profesional hire, atau knowledge transfer dari toxic superstar ke pegawai lain tanpa si toxic superstar tahu dia akan dipecat.

Source:

https://mitsloan.mit.edu
https://www.idntimes.com
https://www.bizjournals.com
https://dan-kerber.medium.com
https://www.thirty30.com

Favoritism (2)

Tulisan ini terinspirasi dari kekalahan Manchester United yang kesekian kali di musim ini. Hujatan dan permintaan manajer OGS dipecat marak kembali. Selain dianggap kurang memiliki kemampuan taktikal, OGS dianggap memfavoritkan beberapa pemain meskipun di musim ini bermain jelek. Sementara pemain lain dengan kualitas yang baik dan dibeli dengan harga mahal tidak dimainkan. Rumornya ini menjadi sumber konflik internal pemain sehingga mengganggu kebersamaan tim.

Favoritism sendiri diartikan sebagai praktek memberikan perlakuan istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang sehingga merugikan orang lain. Di dunia kerja hal ini merupakan hal yang biasa dimana hasil survei Georgetown University menjelaskan bahwa senior eksekutif melihat dalam proses promosi 92% dilakukan di dunia kerja dilakukan berdasarkan favoritism. Mereka juga menjelaskan bahwa 84% dilakukan oleh perusahaan mereka sendiri, dan bahkan sekitar 25% dari senior eksekutif ini mengakui bahwa mereka melakukan praktek tersebut.

Favoritism sendiri merupakan sesuatu yang wajar dan alami. Dari sekian baju yang kita miliki, tentu ada yang kita amat suka. Dari sekian banyak teman yang ada, tentu ada yang paling cocok. Demikian juga dengan anak buah. Pemimpin memiliki sekian banyak anak buah, tetapi dia merasa ada yang paling cocok. Hal tersebut tidak dapat dihindari, namun jangan sampai kemudian hanya memberikan kesempatan kepada anak buah tersebut dan tidak kepada yang lain. Boleh lebih cocok dengan seseorang, tetapi harus tetap adil dan profesional dalam hal pekerjaan dengan anak buah yang lain. Jangan sampai tugas yang menantang atau menarik hanya diberikan kepada seseorang saja secara berulang kali. Kesempatan ini harus diberikan juga kepada anak buah yang lain untuk menciptakan keadilan.

Kita juga harus mampu membedakan antara favoritism dengan penghargaan atas kinerja yang baik. Terkadang seseorang diberikan kesempatan bukan karena perlakuan istimewa, tapi memang bekerja keras dan mengerjakan tugas dengan baik melebih ekspektasi sehingga mendapat kepercayaan. Hal ini bukanlah favoritism karena diperoleh dari sebuah kerja keras. Akan tetapi bila perlakuan istimewa tersebut diperoleh dari hubungan keluarga, kesamaan asal daerah atau kedekatan personal maka itu bisa dikatakan favoritism. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati mendefinisikan suatu kondisi ke dalam favoritism.

Sebagai seorang pemimpin, seperri OGS di Manchester United, dia harus memberika kesempatan bermain kepada pemain yang lain. Apalagi ketika pemain inti sedang bermain buruk, atasan harus memberikan kesempatan yang lain untuk bermain. Jangan terus memaksakan pemain tertentu saja karena yang dirugikan akhirnya adalah tim atau perusahaan. Suasana kerja juga kurang kondusif, kepercayaan kepada atasan jadi rendah dan kinerja tim menjadi buruk. Tidak ada hal baik dari favoritism.

Apa yang bisa dilakukan ketika anda menemukan hal ini di kantor? Pertama adalah berusaha membicarakan hal ini dengan orang yang tepat. Kedua, berusaha memahami mengapa orang tersebut mendapat keistimewaan. Ketiga, tetap bekerja keras dan profesional serta tidak memusuhi orang yang mendapatkan keistimewaan. Keempat, tetap berfikiran positif dan bersabar dalam bekerja. Terakhir, terus mencari kesempatan untuk mendapat tugas yang menantang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi anda.

Favoritism adalah sesuai hal yang biasa, perlu diterima namun bukan menjadi halangan bagi anda untuk terus berkarya. Tetap semangat dan berkarya, karena kesempatan tersebut bisa datang secara tiba-tiba dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tetap semangat!

Death By Meeting

Kita semua tentu pernah merasa bosan waktu lagi meeting. Pikiran jadi kemana-mana, asyik lihat smartphone; asyik whatsapp dengan orang lain atau sibuk memperhatikan media sosial orang lain. Pemimpin rapat juga nggak peduli dan sibuk sendiri. Kita disconnect dengan jalannya rapat dan hadir hanya sebatas fisik tidak ikut kontribusi pada pembahasan topik. Bayangkan kalau sebagian besar rapat yang kita ikut amat membosankan, berapa banyak waktu yang kita habiskan percuma. Padahal statistik menjelaskan setiap hari ini dunia ini ada sekitar 11 juta meeting, sekitar 55 seminggu dan 220 juta meeting dalam sebulan. Berapa banyak waktu yang terbuang percuma ketika sebagian besar meeting yang diadakan tersebut membosankan bagi peserta.

Patrick Lencioni dalam bukunya “death by meeting” menjelaskan bahwa meeting yang membosankan merupakan salah satu masalah terbesar di kantor. Faktor utama yang membuat meeting menjadi membosankan adalah kemampuan dari pemimpin meeting. Pelaksanaan tidak boleh satu arah, harus dibuat menarik dan melibatkan seluruh peserta. Selain itu ada dua hal komponen penting sebuah meeting yang membosankan menurut Lencioni. Pertama lack of drama, dan kedua adalah lack of context or purpose. Sebuah meeting menjadi menarik apabila ada drama dalam pelaksanaannya. Drama tersebut diatur oleh pemimpin meeting. Drama bisa berupa topik yang kontroversial yang dapat memicu perdebatan dalam pembahasannya. Konflik antar peserta meeting yang sengaja dibuat agar terjadi perdebatan dalam pembahasannya. Namun semua masih dalam koridor yang ditentukan dan dapat dikendalikan oleh pemimpin meeting. Dengan demikian meeting masih berjalan dengan lancar dan menghasilkan suatu kesepakatan.

Hal kedua adalah lack of context or purpose. Banyak terjadi kita mengikuti meeting karena sebuah keterpaksaan atau kegiatan rutin, sehingga sekedar hadir dan tidak memiliki keinginan berkontribusi lebih jauh dalam pembahasan. Lagi-lagi dibutuhkan kemampuan pemimpin rapat untuk sejak awal menjelaskan mengapa meeting diadakan, apa saja yang akan dibahas dan keputusan apa yang diharapkan dihasilkan dalam meeting. Ketika kita idak paham dengan topik yang dibahas, kita cenderung menjadi pendengar dan setelah sekian lama berusaha mengikuti dan kemudian merasa tidak bisa mengikuti pembahasan, kemudian kita disconnect dengan pembahasan. Namun ketika sejak awal kita sudah paham topik yang dibahas dan peran yang diharapkan, kita akan berupaya mempersiapkan. Dengan demikian apabila semua peserta meeting melakukan hal yang sama, pelaksanaan meeting akan berjalan dengan lancar dan mampu menghasilkan sebuah kesepakatan.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ketrampilan pemimpin meeting menentukan kualitas dari sebuah meeting. Celakanya sebagian besar dari pimpinan tidak pernah diajarkan secara khusus bagaimana memimpin meeting dengan baik. Yang dilakukan adalah hasil sebuah proses keikutsertaan pada meeting sebelumnya. Padahal rapat-rapat yang diikuti sebelumnya belum tentu memberikan sudah sesuai dengan standar meeting yang baik. Yang lebih celaka adalah banyak pimpinan yang kurang suka melaksanakan meeting. Lencioni mengibaratkan mereka seperti seorang ahli bedah yang tidak suka melakukan bedah. Tugas seorang pimpinan adalah melakukan koordinasi bawahan, dan koordinasi tersebut dilakukan melalui meeting. Sehingga kalau pimpinan tidak suka melakukan meeting, bagaimana dia melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas di unit kerjanya.

Sudah saatnya perusahaan memberikan perhatian yang besar dalam pelaksanaan meeting mereka. Menyusun sebuah standar, template atau video yang bisa digunakan sebagai rujukan menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian seluruh karyawan bisa mendapat pemahaman bagaimana melaksanakan meeting dengan baik, dan tidak perlu merasakan kebosanan seperti yang Lencioni jelaskan dalam bukunya.

Tetap semangat.

Keberagaman di Tempat Kerja

Ketika datang di kota New York bulan lalu, saya terkesima dengan betapa diverse atau beragamnya kota megapolitan ini. Rasanya seperti semua orang dari seluruh dunia berkumpul di sini. Dari mereka yang berkulit putih pucat sampai dengan mereka dengan warna kulit mendekati RGB #000000. Berbagai macam bangsa dari berbagai benua, bahasa dan cara bicara, bentuk tubuh, gaya dan warna rambut, style pakaian, usia, agama, tinggi badan, orientasi gender, difabilitas, dan masih banyak variasi lainnya…

Tidak hanya tampilan luar, diversity dan keberagaman juga ada “di dalam”. Orang yang saya temui memiliki cara pandang yang beragam, memiliki cerita masing-masing mengapa mereka berada di kota New York, pengalaman hidup dan tujuan hidup yang berbeda-beda, dan sebagainya.

Keberagaman ini membuat kota New York hidup, berwarna, dan seperti memiliki segalanya.

Sama seperti kota New York, apabila keberagaman atau diversity dapat diterapkan di organisasi, organisasi akan mendapatkan manfaat. Contohnya keberagaman dalam organisasi antara lain: keberagaman skill, latar belakang, dan pengalaman dalam satu tim, keberagaman gender di C-suite, dan sebagainya. Manfaatnya apa saja? Cekidot ya!

1) Meningkatkan performa organisasi
McKinsey melaporkan organisasi dengan management yang diverse memiliki 35% financial return yang lebih tinggi dari rata-rata organisasi lainnya. Selain itu, analisa McKinsey menyatakan keberagaman gender di level eksekutif (komposisi pria dan wanita) akan membuat perusahaan mencetak keuntungan yang lebih besar. BCG pun memliki hasil analisa yang sama.

Dengan anggota tim yang beragam, setiap orang akan membawa perspektif dan kontribusi yang berbeda dalam pekerjaan sehingga menghasilkan deliverable dan keputusan yang lebih baik. Riset menunjukkan tim yang diverse memilliki kemampuan pengambilan keputusan 60% lebih baik.

2) Mendorong kreativitas dan inovasi
Keberagaman di tempat kerja tentunya mendorong inovasi. Kalau tim terdiri dari orang-orang yang kurang lebih sama, cara menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan akan begitu-begitu saja. Tapi ketika tim terdiri dari orang dengan pengalaman, skill, usia yang berbeda, input yang didapatkan akan lebih kaya dan dapat menghasilkan hasil yang kreatif dan inovatif.

3) Meningkatkan reputasi dan menjadi employer of choice
Buat anak jaman now, cari kerja bukan hanya melulu masalah gaji. Anak jaman now mencari perusahaan yang dimana mereka akan merasa diterima – bagaimanapun macam pegawainya. Berdasarkan hasil study Glassdoor, 76% pencari kerja mengatakan diversity dalam tempat kerja menjadi salah satu faktor penting dalam memilih tempat kerja atau tawaran pekerjaan.

Contoh lain, organisasi yang menerima teman-teman difabel sebagai pegawai dapat memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat. Sebagai imbal balik, masyarakat pun akan semakin “sayang” dengan organisasi tersebut.

Sekian tulisan singkat saya. Keberagaman menurut saya harus dirayakan, diembrace – bukan ditekan. Menurut kalian, kalau tempat kerja kalian memiliki pegawai yang lebih beragam, kira-kira akan seperti apa ya?

Yuk komen di kolom komentar.

Golem and Pygmalion Effect

Menurut kamu, apakah ekspektasi seorang atasan terhadap bawahannya dapat memengaruhi kinerja bawahan? Kalau berdasarkan riset Rosenthal di tahun 1911, jawabannya Ya. Konsepnya sebenarnya sama seperti self fulfilling prophecy, jadi bila kita membayangkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa, maka besar kemungkinan kita akan mendapati dia berperilaku seperti yang kita bayangkan. Memang tidak terjadi di setiap situasi, tapi menurut riset setidaknya fenomena ini lebih sering kejadian di antara atasan ke bawahan.

Pada Pygmalion effect, harapan atasan yang tinggi terhadap bawahan disinyalir mampu meningkatkan kinerja bawahan. Nama “Pygmalion” sendiri berasal cerita Yunani tentang seorang pematung bernama Pygmalion, yang membangun patung seorang wanita yang begitu cantik sehingga dia jatuh cinta, dan patung itu kemudian hidup menjadi manusia asli. Dalam konteks kepemimpinan, bila seorang atasan cenderung memberikan lebih banyak kepercayaan, kebebasan, dan tanggung jawab kepada bawahan. Atasan akan cenderung bekerja lebih dekat dengan bawahan untuk mencari solusi masalah, daripada hanya memberi tahu mereka bagaimana sesuatu harus dilakukan. Efek positif dari pendekatan tersebut meliputi peningkatan produktivitas, tingkat komitmen dan motivasi bawahan yang lebih baik, mempermudah buy-in terhadap strategi dan tujuan organisasi, kepercayaan diri bawahan yang lebih baik, meningkatkan inovasi, dan lain sebagainya.

Sayangnya, hal sebaliknya ternyata bisa juga terjadi. Ini yang disebut Golem Effect. Dalam sebuah mitologi, Golem adalah makhluk yang dibangun dari tanah liat dan lumpur, dirancang untuk melayani tuannya, dan akhirnya membawa masalah dan kehancuran. Golem effect menggambarkan proses di mana atasan berekspektasi bawahannya akan berkinerja rendah, hal ini menyebabkan perilaku atasan men-justifikasi seluruh output yang mereka bayangkan dari bawahan. Atasan bisa saja menjadi acuh dan kurang memberi perhatian, serta tidak memberikan kesempatan dan kepercayaan lebih terhadap bawahan, atasan tersebut juga percaya bahwa bawahannya tidak memiliki keterampilan, potensi, atau kemauan untuk berhasil. Hal ini mengarah pada perubahan gaya kepemimpinan, di mana atasan akan cenderung menetapkan target dan deadline yang lebih strict, memberikan lebih banyak tugas rutin, terlalu sering memantau bawahan, dan memberikan tugas operasional daripada strategis.

Entah dikomunikasikan atau tidak, ketika dihadapkan dengan kenyataan ini, bawahan menjadi kurang termotivasi dan underperformed, sehingga ramalan dan bayangan si atasan di awal tadi justru menjadi realita. Efek lanjutnya, besar kemungkinan gaya kepemimpinan atasan menjadi arogan dan keras, lebih sering menggunakan power ketimbang empati. Tanpa disadari, konsekuensi negatif dari efek Golem sangat besar ke bawahan, yaitu kurangnya kepercayaan diri bawahan, kurangnya trust terhadap rekan kerja dan atasan, rendahnya produktivitas, kecenderungan bawahan berperilaku oportunis, kurang inovatif, dan yang paling buruk, bawahan akan minta dipindahkan atau bahkan resign. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan bila diamanahkan untuk memimpin sebuah tim. Rasanya kita setuju bila pygmalion effect itu bagus dan golem effect itu buruk. Untuk menghindari Golem effect resepnya cukup sederhana namun kadang sering dilupakan: kita harus terbiasa menghindar dari judgement terlalu dini sebelum melihat karakter dan potensi seseorang yang sesungguhnya. Seringkali kita menilai orang dari penampilan, posisi/jabatan, latar belakang orang tua, almamater, dan lain sebagainya. Padahal kita perlu ingat bahwa, one soul has its own universe, banyak cerita dari hidup seseorang yang tak mungkin bisa disimpulkan hanya dengan sekejap mata atau selantun cerita. Di banyak organisasi, hal-hal “remeh” seperti ini biasanya bukan menjadi isu untuk dibahas, kita terbiasa nyaman dengan stigma bahwa ketika seseorang naik menjadi pemimpin, dia akan otomatis mampu menjadi pemimpin yang adil, peduli terhadap bawahan, dan cenderung memiliki “pygmalion effect”. Padahal tidak seperti itu, bad leader/manager with golem effect problem really do exist, dan isu ini ada baiknya menjadi concern organisasi pada saat membuat program pembekalan kepemimpinan.

Sunk Cost Fallacy

Kapan terakhir kali kita mendengar merk ‘Nokia’? Mungkin sudah lama sekali. Nokia merupakan sebuah merk dengan trademark yang kuat di industri telekomunikasi dan merajai pasar telepon genggam pada masanya. Pada saat berada di tahta kerajaannya, Stephen Elop yang merupakan CEO Nokia saat itu sangat yakin bahwa keberadaan Apple dan Google tidak akan pernah dapat menggeser posisinya. Stephen Elop dan CEO Microsot, Steve Ballmer, pada saat itu sangat yakin dan bahkan mengatakan tanpa ragu bahwa iOS dan Android tidak memiliki peluang untuk mengambil alih pasar smartphone. Secara perlahan tapi pasti, reaksi pasar membungkam keyakinan Elop dan Balmer. Nokia yang fokus mengembangkan sistem operasinya yang bernama Symbian tidak memberikan perbaikan dan hasil yang diekspektasikan. Akibatnya, hanya dalam enam tahun, nilai pasar Nokia terjun bebas. Posisi mereka sebagai pemimpin pasar berakhir menjadi sejarah. Mengapa ini bisa terjadi?

Pada kasus Nokia di atas, manajemen Nokia melihat iOS dan Android sebagai ancaman serius, namun keyakinan sekaligus ketakutan untuk mengambil keputusanmenghalangi mereka untuk melakukan perubahan. Keputusan yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan jangka panjang, seperti mengembangkan sistem operasi baru tidak pernah lahir. Manajemen justru memutuskan untuk mengembangkan perangkat telepon baru yang hanya membantu perusahaan dalam durasi yang pendek.

Freek Vermeulen, seorang professor strategi dan kewirausahaan di London Business School, menilai bahwa para eksekutif Nokia terjebak dalam sunk cost fallacy. Para eksekutif Nokia cenderung untuk terus mendorong usahanya karena takut kehilangan semua hal yang telah diinvestasikan di masa lalu seperti waktu, tenaga, emosi, biaya meskipun itu menciptakan ketidaknyamanan atau keadaan lebih buruk. Lantas, apa itu sunk cost fallacy?

Sunk Cost merupakan suatu istilah yang mungkin sudah dikenal oleh para mahasiswa ekonomi. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mungkin masih membingungkan juga, biaya/uang tenggelam? Sunk cost adalah segala usaha (effort) dan resources yang telah kita keluarkan yang bersifat unrecoverable atau tidak dapat kembali. Resources di sini bukan sekedar uang, tapi mencakup waktu, tenaga atau hal lainnya yang memiliki nilai. Untuk perusahaan, tentu hal ini sangat berbahaya karena resources yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Sehingga sunk cost fallacy atau pemikiran ketakutan terhadap potensi munculnya sunk cost terkadang muncul tanpa disadari. Ternyata sunk cost fallacy sering kita jumpai di aspek kehidupan kita sehari-hari, lho!

Apakah Anda pernah memaksakan diri menonton film di bioskop yang membosankan sekali sampai habis? Dalam benak Anda berpikir, “Duh, nanggung. Sudah setengah jalan.” Atau Anda bahkan tetap menonton karena merasa sayang sudah mengeluarkan uang untuk bayar tiket? Itu sunk cost fallacy!

Lebih memilih mempertahankan toxic relationship daripada mengakhirinya? Itu sunk cost fallacy!

Lebih memilih melanjutkan pekerjaan dengan lingkungan yang tidak sehat daripada mencari pekerjaan lain? Itu sunk cost fallacy! Perasaan kita yang tidak berani untuk keluar dari pekerjaan tersebut disebabkan karena merasa takut menyia-nyiakan tenaga, waktu, uang dan hal lainnya untuk dapat mencapai posisi saat ini? Padahal bisa saja kalau kita keluar dari pekerjaan tersebut, kita dapat menemukan pekerjaan yang lebih membuat nyaman dan puas.

Daniel Kahneman, seorang pemenang hadiah Nobel 2002 dalam ilmu ekonomi, dan temannya Amos Tversky menjelaskan bahwa alasan mengapa seseorang bisa terjebak dalam sunk cost fallacy adalah karena loss aversion di mana keinginan untuk menghindari rugi dan takut kehilangan lebih besar daripada keinginan untuk mendapatkan keuntungan.

Sangat berat bagi kita, sebagai manusia normal, untuk mengakhiri segala sesuatu yang telah kita korbankan untuk suatu hal lain, walaupun bisa jadi hal itu mungkin lebih bagus. Meskipun kita sebelumnya sudah berhati-hati dan menimbang saat mengambil keputusan, dalam hati kecil kita mungkin akan merasakan hal-hal sejenis ini:

Kita sudah sampai tahap ini, sayang banget kalau…. “

Berhubungan sudah 7 tahun, keluarga sudah saling kenal, sayang kalau putus…”

“Sudah investasi banyak, rugi kalau cut loss…”

 “Sudah bekerja selama 5 tahun, sayang kalau harus keluar…”

Ketika ada perasaan seperti ini, ada baiknya kita mulai merefleksikan, apakah benar kita harus melanjutkan? Kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan ke dalam diri kita kembali, apakah kalau kita pertahankan bisa mengubah situasi atau justru keadaan buruk terus menimpa kita? Kita juga bisa menerapkan mindset : “Yang terjadi di masa lalu nggak akan bisa kembali”. Anggap resources yang kita sudah keluarkan layaknya kita lagi belanja dengan sistem no refund policy. Pertimbangkan kerugian yang akan diderita dengan peluang atau kesempatan yang ada di luar sana. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah keuntungan yang didapat ketika melanjutkan aktivitas itu sepadan?

Exit Interview

Exit interview itu bukan interview biasa.

Organisasi membuat kesalahan apabila hanya menganggap exit interview sebatas kegiatan operasional ketika pegawai resign. Exit interview memiliki peran strategis yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi sebagai competitive intelligence untuk membuat tempat kerja menjadi lebih baik dan bersaing dengan kompetitornya.

Make It Strategic

Exit interview bukanlah hanya “interview”. Tetapi sebuah program yang dirancang dengan seksama agar organisasi mengetahui tiga hal berikut: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Dengan exit interview program yang baik, organisasi dapat mengetahui what works what doesn’t, hidden opportunity and challenges, mendorong engagement pegawai, dan meningkatkan kemampuan mendengar para Pimpinan.

Berdasarkan maturity dari exit interview program yang dilakukan oleh organisasi, berikut tingkatannya:

Organisasi yang percaya bahwa exit interview program adalah hal strategis memiliki Pimpinan yang mau mendengar dan memastikan follow-up action dilakukan. Organisasi tersebut mempunyai strategic committee yang bertugas memantau desain, eksekusi, dan hasil dari exit interview program. Komite tersebutmelakukan meeting sedikitnya 1 tahun sekali. Selain itu, organisasi melibatkan para line manager dalam exit interview program.

Riset yang dilakukan oleh Spain & Groysberg ke ratusan organisasi (disampaikan dalam artikel “Making Exit Interview Counts”) menunjukkan bahwa kurang dari 1/3 organisasi menyampaikan hasil analisa ke Senior Leader. Data tersebut hanya disampaikan ketika diminta. Spain & Groysburg juga mencontohkan manfaat exit interview program di sebuah perusahaan yang memiliki maturity level yang baik.

Di salah satu bagian perusahaan tersebut, setengah dari pegawainya keluar – sebagian resign, sebagian pindah ke bagian lain. Exit interviewnya dipelajari dan didapat bahwa akar permasalahan terletak pada Pimpinan. Pimpinan di bagian tersebut memiliki leadership skill yang buruk, seperti kurang mengapresiasi anak buah, tidak mengomunikasikan visi dan strategi dengan baik, dan sebagainya. Tidak hanya berhenti di sini, Manajemen kemudian mengevaluasi sistem promosi dan menemukan kelemahan bahwa promosi mengutamakan technical skill daripada leadership skill. Dari sini, sistem promosi diperbaiki.

Seluruh proses ini juga memperlihatkan kepada pegawai eksisting bahwa Manajemen mendengar dan merespon hasil dari exit interview. Hal ini dapat meningkatkan engagement pegawai.

The Techniques

Kesuksesan exit interview program bergantung pada dampak positif yang dihasilkan. Untuk mewujudkannya, sumber data harus baik dan berkualitas. Berikut rangkuman teknik exit interview yang dapat dilakukan:

To Conclude

Organisasi harus mulai melihat exit interview bukan sebagai aktivitas HR biasa, tetapi sesuatu yang lebih strategis dimana organisasi bisa mendapatkan informasi berharga untuk kebaikan organisasi.

Exit interview tidak seharusnya menjadi diskusi pertama pegawai yang membahas uneg-uneg yang dirasakan. Diskusi seperti itu harus terjadi sebelum pegawai resign dan dilakukan secara berkala di keseharian pegawai untuk menangkap tiga objektif dari exit interview: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Apabila hal ini dilakukan secara rutin dan hasil diskusi ditindaklanjuti, organisasi bisa mempertahankan pegawai sebagai aset terbaiknya (retensi) dan membuat tempat kerja yang lebih baik lagi bagi pegawainya.

Tetap semangat dan salam sehat!

Tagged : / / /

Aktualisasi Diri dalam Dunia Kerja

Sebagai manusia kita memiliki banyak kebutuhan dalam hidup. Begitu juga dalam karier/dunia kerja, salah satu tujuan yang ingin dicapai setiap individu adalah aktualisasi diri. Sayangnya, masih banyak orang yang belum memahami secara utuh cara untuk mencapainya. Padahal mencapai hal ini merupakan salah satu kunci mencapai kepuasan kerja, bahkan beberapa ahli psikologi menyebutkan bahwa aktualisasi diri dapat menjadi salah satu faktor seseorang merasa meaningful di tempat kerjanya.

Sebelumnya kita bahas sedikit ya tentang teori aktualisasi diri. Pasti semua orang sudah sangat familiar dengan Hierarchy of Needs-nya Abraham Maslow, seorang Psikolog asal Amerika Serikat. Dalam ‘segitiga kebutuhan’ yang digambarkan oleh Maslow, aktualisasi diri berada di puncak dari pemenuhan kebutuhan seseorang, sehingga menurut Maslow tidak banyak manusia yang dapat memenuhi kebutuhan ini.  Aktualisasi diri adalah keinginan seseorang dalam mencapai kebutuhan, dengan menggunakan semua kemampuan yang dimiliki. Dengan aktualisasi diri seseorang akan mengetahui cara terbaik untuk memanfaatkan kemampuan yang ada di dalam dirinya, lalu mengambil langkah-langkah untuk mencapai impian tersebut.

Untuk lebih mudahnya, berikut beberapa karakteristik individu yang menerapkan aktualisasi diri:

  1. Mampu menerima kekurangan orang lain dan diri sendiri, seringkali dengan humor dan toleransi. Tidak hanya menerima orang lain sepenuhnya, namun juga jujur pada diri sendiri daripada berpura-pura untuk mengesankan orang lain.
  2. Cenderung mandiri dan tidak bergantung pada faktor eksternal untuk mengarahkan hidupnya.
  3. Dapat memupuk hubungan yang dalam dan penuh kasih dengan orang lain.
  4. Cenderung memancarkan rasa syukur dan mempertahankan penghargaan yang dalam bahkan untuk berkat yang biasa dalam hidup.
  5. Mampu menganalisis situasi dengan cepat.
  6. Jarang bergantung pada lingkungan atau budaya mereka untuk membentuk opini mereka.
  7. Cenderung memandang hidup sebagai misi yang memanggil mereka untuk mencapai tujuan di luar dirinya.

Dengan mengembangkan karakteristik aktualisasi diri, kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita. Lalu bagaimana cara menerapkan aktualisasi diri di tempat kerja? Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan.

  1. Belajar menerima diri
  2. Kenali diri
  3. Belajar merasa nyaman dengan lingkungan sekitar
  4. Bersikap jujur
  5. Jangan terlalu mencemaskan pendapat orang lain
  6. Menghargai hal-hal kecil dalam hidup
  7. Mengembangkan rasa belas kasih

Mungkin terlihat mudah dan simpel untuk dilakukan, namun kita sebagai manusia harus ingat bahwa dengan aktualisasi diri tidak selalu membuat hidup kita berjalan mulus, pasti terdapat hambatan dan masalah yang akan dihadapi, hanya saja kemungkinan besar kita bisa melaluinya dengan baik.

Sekarang pertanyaannya, mengapa aktualisasi diri di dunia kerja menjadi penting? Menurut Gopinath, salah satu cara untuk meningkatkan kepuasan kerja seseorang adalah melalui aktualisasi diri. Dalam sebuah penelitian, aktualisasi diri dianggap sebagai keadaan motivasi tertinggi seseorang sehingga mampu mengekspresikan kemampuan/potensi terbaik yang ada di dalam dirinya. Dari penelitian tersebut, ditemukan 3 faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu lingkungan kerja, remunerasi, serta hubungan dengan rekan kerja dan atasan. Ketika atasan membantu karyawan untuk melakukan aktualisasi diri, maka kepuasan kerja dan komitmen pada organisasi akan meningkat.

Selain itu dari sisi organisasi, dengan memenuhi kebutuhan aktualisasi diri karyawannya berarti akan memaksimalkan potensi individu di tempat kerjanya, yang pada akhirnya akan membuat karyawan ingin melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan dalam posisinya dan termotivasi untuk sukses di karirnya. Seorang karyawan yang mengaktualisasikan dirinya akan merasa diberdayakan dan dipercaya, yang akan mendorong engagement terhadap organisasinya. Sebagai sebuah organisasi, salah satu kunci untuk memastikan kebutuhan ini terpenuhi adalah dengan memberikan kesempatan pada karyawan untuk dapat sukses di karirnya. Disinilah peran atasan untuk dapat melihat keterampilan dan kemampuan masing-masing karyawannya, dengan terlibat aktif membantu dan memberikan peran yang sesuai. Untuk merasa telah terpenuhi aktualisasi dirinya, seorang karyawan harus merasa tertantang di posisinya namun tidak kelebihan atau kewalahan beban kerja.

Sesuai dengan teori dan observasi yang dilakukan oleh Maslow, ia menyebutkan beberapa orang terkenal dari latar belakang pekerjaan, pendididikan, dan kehidupan yang memenuhi kriteria/karakteristik seseorang yang telah mencapai aktualisasi diri seperti Albert Einstein, Abraham Lincoln, Eleanor Roosevelt, dan Thomas Jefferson. Woow nama-nama orang hebat semua ya.. Nah siapa nih di sekitar kalian yang menurutmu sudah berada di puncak kebutuhan tertingginya? Apakah atasan kalian? Atau mungkin kalian? Atau kira-kira organisasi tempat kalian bekerja sudah membantu kalian untuk dapat mengaktualisasikan diri? Yuk coba kita resapi dan pikirkan dulu, agar jadi semakin semangat dan terpacu untuk melihat dan menggali potensi di dalam diri masing-masing? Yuk semangat!

Sumber:

  1. Prera, A (2020, Sept 04). Self-actualization. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/self-actualization.html
  2. Gopinath, R. (2020). An Investigation of the Relationship between Self-Actualization and Job Satisfaction of Academic Leaders. International Journal of Management, 11(8), 753-763.
  3. https://www.indeed.com/career-advice/career-development/maslows-hierarchy-of-needs

Change Power Index: Seberapa mampu untuk berubah?

Di dunia yang konstan dengan perubahan, seberapa siap organisasi Anda menghadapi perubahan? Apakah organisasi Anda akan “menari” bersama perubahan, atau tergilas olehnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal yang harus dilakukan pertama kali oleh organisasi adalah memahami kapasitas diri sendiri untuk berubah. As Peter Drucker said, “You can’t manage what you can’t measure”. Namun, belum ada alat yang dapat mengukur kapasitas organisasi dalam beradaptasi menghadapi perubahan.

Dalam Harvard Business Review edisi Juli 2021, konsultan Bain & Company’s memperkenalkan sebuah metric yang dapat mengukur kemampuan organisasi untuk berubah yang dinamakan Change Power Index. Metric ini didapatkan setelah mempelajari inisiatif transformasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan selama satu dekade lebih. Dari risetnya, mereka menemukan 9 elemen Change Power yang dapat memprediksi kemampuan perusahaan dalam beradaptasi menghadapi perubahan (lihat tabel). Untuk mengetahui Change Power Index sebuah organisasi, pegawai mengisi survey mengenai ke 9 elemen di dalam organisasi mereka. Dari survey tersebut, organisasi akan mengetahui kekurangan dan kelebihan mereka di tiap elemen, mengetahui ranking/posisi Change Power mereka dibandingkan dengan organisasi lain dan kemudian menentukan langkah selanjutnya dalam transformasi.

Bain & Company’s mengetes metric tersebut untuk mengetahui hubungannya dengan performa organisasi. Mereka berkolaborasi dengan 2.000 pegawai dari 37 organisasi global dengan industri yang bervariasi dan menemukan bahwa Change Power Index berbanding lurus dengan performa organisasi. Organisasi dengan Change Power Index yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak profit, lebih cepat mengumpulkan revenue, memiliki Pimpinan dan budaya organisasi yang dinilai lebih baik oleh pegawai, dan memiliki lebih banyak pegawai yang engaged dan inspired.

Berdasarkan survey kepada 2.000 pegawai dari 37 organisasi tersebut, Bain & Company’s membuat 4 kategori besar dari kacamata kapabilitas organisasi untuk berubah yaitu:

Dengan mengukur dan memahami kapasitas organisasi sendiri untuk berubah melalui Change Power Index, organisasi dapat menentukan langkah selanjutnya maupun langkah perbaikan yang diperlukan untuk menjadi organisasi yang resilient di dunia VUCA.

Jadi, seberapa mampu organisasi Anda untuk berubah?

Photo credit: Freepik

Tagged : /

Presenteeism

Kita mungkin familiar dengan istilah absenteeism, atau ketidakhadiran. Dalam dunia kerja kita pun paham dampak dari ketidakhadiran pegawai tanpa alasan yang jelas terhadap produktivitas. Namun, tahukah Anda ada ancaman yang lebih berbahaya bagi kinerja dan budaya organisasi/perusahaan Anda yang disebut presenteeisme?

Presenteeism didefinisikan sebagai penurunan produktivitas akibat pegawai yang tetap datang bekerja meskipun sedang memiliki masalah kesehatan dan/atau masalah pribadi yang tidak terekspose. Meskipun pegawai secara fisik hadir di tempat kerja, namun mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan tugas pekerjaan dengan optimal dan cenderung membuat kesalahan akibat sedang sakit (tidak fit) atau sedang stress.

Tidak seperti absenteeism, presenteeism lebih sulit untuk diidentifikasi oleh organisasi/perusahaan karena lebih tidak kasat mata dan cenderung sulit dilacak. Di kantor, sepertinya hampir tidak mungkin untuk mengetahui secara sekilas, mana pegawai yang benar-benar kerja produktif dan mana yang “tampak produktif” namun pikirannya sebenarnya lagi kemana-mana. Entah karena lagi punya penyakit, atau sedang stress/depresi. Tak jarang kan kita menemui pegawai yang bersikeras tetap ngantor meskipun sedang tidak enak badan, alasannya banyak, bisa dari pegawainya yang ambisius ingin dianggap berdedikasi tinggi, sungkan terhadap kolega kalau tidak hadir ke kantor, atau yang paling klasik: takut mengecewakan bosnya.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Willis Towers Watson Health & Benefit menemukan lebih dari setengah (51%) pekerja mengklaim tempat kerja mereka dipengaruhi oleh budaya penilaian negatif bila tidak hadir karena sakit. Selain itu, 54% mengklaim bahwa pegawai berada di bawah tekanan untuk kembali bekerja sebelum mereka pulih sepenuhnya dari penyakit atau cedera. Hal ini menunjukkan bahwa ada masalah struktural terkait dengan kebijakan HR atau proses bisnis yang menimbulkan insentif/disinsentif bila izin tidak masuk kantor.

Studi Harvard Business Review terhadap 29.000 pekerja menemukan bahwa kerugian produktivitas karena presenteeism mencapai lebih dari $150 miliar dolar per tahun. Pun studi oleh Statistics Canada menunjukkan bahwa produktivitas yang hilang karena presenteeism bisa 7,5 kali lebih besar daripada absenteeism. Bila ditambah lagi oleh riwayat stress, penyakit jantung, hipertensi, migrain, gangguan pencernaan, sakit punggung, atau penyakit lain, maka rasio kerugian produktivitas meningkat menjadi 15 kali lebih besar.

Studi tentang presenteeism memang relatif terbatas dibanding saudara kembarnya, absenteeism. Leksi presenteeism sendiri baru populer sekitar tahun 2000 dan sebuah studi menyebut hanya 14% perusahaan yang serius mempelajari atau menangani presenteeism. Meskipun demikian, masih ada kabar baik, yaitu banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan divisi HR sebuah organisasi atau perusahaan untuk membantu pegawai menangani hal-hal yang mengarah pada presenteeism sebelum lepas kendali dan merusak organisasi:

(1) Mereview dan mengubah praktik leadership dalam perusahaan atau organisasi. Banyak CEO atau pemimpin yang belum paham bahwa lebih lama dikantor bukan berarti lebih produktif. Sayangnya pemimpin kita masih banyak yang merasa kurang happy bila pegawainya sering sakit, bahkan ada yang hobi memindahkan pegawai sakit atau anti banget punya pegawai sakit.

(2) Memperbaiki kebijakan yang men-discourage ketidakhadiran karena sakit. Masih sering kan kita temui kebijakan penilaian kinerja dari pimpinan ke bawahan yang menggunakan track record jumlah absensi karena sering sakit atau cuti, daripada hasil kualitas pekerjaannya. Bila masih seperti itu, ada baiknya me-review lagi kebijakan penilaian kinerja pegawai.

(3) Menemukan keseimbangan beban kerja dan ritme kerja pegawai. Ini juga bukan tugas mudah bagi pimpinan dan manajemen organisasi, karena terkait dengan restrukturisasi organisasi yang lebih efisien, formasi pegawai, sampai analisa beban kerja. Padahal dengan ritme dan beban kerja yang seimbang, akan mengurangi fenomena parkinson law dan dapat membantu pegawai mengatur work life balance.

(4) Menyediakan channel bagi pegawai terkait kesehatan fisik dan pikiran. Dalam hal ini, perusahaan menyediakan fasilitas konseling psikolog bagi pegawai dan keluarganya. Selain itu, didukung pula oleh layanan telemedicine yang dapat memberi konsultasi kesehatan gratis. Dua jenis fasilitas ini harus independen dari divisi HR dan bersifat confidential, namun dapat memberi rekomendasi kepada pimpinan atau HR mengenai tindakan yang seharusnya dilakukan ke pegawai bersangkutan.

(5) Mempromosikan budaya healthy lifestyle dan work-life balance, dimana pimpinan sebagai role model. Tidak akan ada ceritanya anak buah work-life balance bila bos-nya hobi lembur tiap hari plus suka ngambek/marah-marah.

Nah, bagaimana dengan tempat kerja Anda? Adakah gejala presenteeism?

Karir dan Keahlian

Berapa banyak dari kita yang sering ditanya waktu kecil, cita-citanya apa? kalo udah gede mau jadi apa? Ada yang menjawab jadi dokter, jadi artis, jadi youtuber, dan lain sebagainya. Kebanyakan memang nggak kejadian. Ada yang ingin jadi dokter, tapi ujung-ujungnya jadi guru; ada yang kepingin jadi guru, tapi jadi pilot; ada yang mau jadi pilot, malah jadi driver ojol, dll. Ketika kita ditanya hal semacam itu, sebenarnya ada ekspektasi melekat dalam diri tidak disadari. Seiring bertambahnya usia anak-anak menjadi remaja dan dewasa, tentunya mereka sudah bisa menilai dan mengukur kemampuan dirinya untuk mengikuti atau malah mengubah ekspektasi masa depannya. Ada yang merasa kurang mahir matematika, akan sebisa mungkin menghindari jalur pendidikan dan karir yang banyak terkait matematika. Bukan karena benar-benar tidak bisa, tapi mungkin butuh effort lebih besar untuk memahaminya dibandingkan orang yang lebih naturally gifted. Alhasil, dia akan fokus ke bidang lain dimana dia akan lebih efisien dalam berpikir dan menghasilkan solusi, mungkin jadi ahli biologi, dokter, dan sebagainya.

Hal yang sama dapat kita temui dalam organisasi, ada pegawai yang jago berhitung, ada yang jago bernegosiasi, ada yang jago administrasi, ada yang jago marketing, dan ada juga yang jago memimpin. Yang sering menjadi masalah, sebagian besar pegawai tidak ditempatkan sesuai dengan minat dan bakatnya. Pegawai yang tidak mahir berhitung ditempatkan di unit kerja yang banyak perhitungan; pegawai yang tidak capable memimpin disuruh memimpin tim; pegawai yang tidak begitu paham berkomunikasi ditugaskan meng-handle humas dan stakeholders. Saya yakin bukannya tidak bisa, hanya saja akan tidak efektif dan efisien dalam proses kerjanya, bisa buang-buang waktu, tenaga, uang, ataupun reputasi organisasi. Bayangkan misalnya Anda pegawai senior yang sudah bekerja selama 15 tahun, Anda sangat paham serta passionate di bidang marketing, dan antusias meng-upgrade diri mengikuti perkembangannya setiap waktu. Suatu ketika Anda di pindahkan ke unit akuntansi dan pengadaan. Saya sih yakin Anda pasti bisa, kalau mau belajar lagi, namun apa iya akan sejago peers Anda yang sudah lama dan berpengalaman di tempat tersebut, tentunya tidak. Lebih penting lagi, apakah Anda masih punya energi, motivasi, dan waktu untuk mulai belajar dari nol. Tidak semua orang memiliki hal ini, bahkan bisa dibilang sangat langka.

Pada level pimpinan tinggi fenomenanya justru lebih menarik, misalnya seorang Direktur Compliance yang sudah expert selama 20 tahun dipindahkan menjadi Direktur Pemasaran. Kita bisa argue bahwa ini bukan perkara defisiensi kompetensi, sebab skill yang dibutuhkan di tingkat atas mungkin “hanya” kepemimpinan. Namun banyak yang tidak menduga bahwa amatlah sulit mendapat legitimasi dan pengakuan sebagai pemimpin bila tidak dipercaya oleh para bawahannya yang kemungkinan besar jauh lebih ahli dalam bidang pemasaran. Butuh extraordinary leader bila tim pemasaran ini ingin bekerja dengan optimal. Leader yang baru harus mau belajar dan berani bilang “Pengetahuan saya tidak begitu dalam tentang marketing, so I need help from all of you guys”. Bila tidak dilakukan, decision making si pemimpin bisa saja dipertanyakan oleh bawahannya, dan menimbulkan permasalahan demotivasi pegawai. Dengan kata lain, sang pemimpin harus bisa gain trust sebelum memberi komando sana-sini. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapat trust dari bawahan. Mungkin bisa kita bahas di artikel lainnya. Intinya di level pimpinan tetap bisa movement cross unit/expertise, tapi tidak mudah dan butuh orang yang benar-benar trushworthy dan exceptional leader.

Kita semua sepakat bahwa tidak ada seorang manusia pun yang menguasai dan paham semua hal. Sudah hukum alam bahwa setiap orang diciptakan dengan expertise dan peran masing-masing. Lalu bagaimana idealnya untuk sebuah organisasi me-manage karir dan keahlian?  Analoginya mudah, ingetkah Anda waktu remaja di sekolah kita belajar semua mata pelajaran dasar untuk kemudian diarahkan ke minat dan bakat IPS atau IPA. Atau seorang dokter yang pada awalnya belajar sebagai dokter umum sebelum menjadi dokter spesialis/sub-spesialis. Organisasi juga begitu, di masa awal seorang pegawai bekerja sebagai staf atau manajer, idealnya dia harus belajar dari seluruh unit utama, tidak perlu mendalam, namun dia harus tahu pekerjaan kolega-koleganya apa saja. Itulah mengapa kita sering menemui pegawai muda perusahaan/institusi modern yang setiap 2-3 tahun pindah-pindah unit. Kita menyebutnya generalis, alias orang yang kompeten pada banyak hal, meskipun tidak begitu mendalam. Pada saat level karir dan personality pegawai lebih mature, pegawai ini harus difokuskan ke satu bidang keahlian, atau disebut juga spesialis. Disaat yang sama organisasi harus terus membekalinya dengan kemampuan untuk memimpin dan me-manage pegawai dibawahnya. Ini juga yang amat sering dilupakan orang-orang HR.

Mengapa konsep generalist first, specialist later banyak lebih ideal. Pertama, biaya lebih hemat bagi organisasi untuk melatih banyak pegawai junior dengan skill-skill dasar, ketimbang melatih mereka dengan skill tingkat lanjut yang mahal. Kedua, organisasi akan sangat mudah mencari kader-kader pemimpin pada saat pegawai tersebut mencapai kedewasaan karir dan personality. Dengan menjadi Jack of All Trades, biasanya orang akan lebih fleksibel serta mudah melihat big picture dari sebuah permasalahan. Organisasi kemudian hanya perlu mengarahkan pegawai menjadi spesialis dan membekali pegawai-pegawai ini dengan pelatihan tingkat lanjutan sesuai minat dan bakat terbaiknya. Ketiga, fleksibilitas dan competitiveness di pasar tenaga kerja. Mencari pegawai yang bagus untuk di grooming oleh organisasi memang tidak mudah, namun bila organisasi Anda lebih fleksibel dan generalis dalam persyaratan, Anda akan dengan mudah menemukan pegawai yang extraordinary. Kadang kita terlalu sibuk fokus mencari orang dengan skill teknikal luar biasa sampai melupakan untuk melihat lebih dalam ke karakternya. Padahal kita sama-sama memperhatikan salah satu gejala sosial bahwa kebanyakan orang-orang  yang sukses dan besar, biasanya bukanlah orang yang waktu bersekolah ranking satu. Keempat, meningkatkan engagement pegawai. Menyediakan kesempatan jalur karir spesialis, atau menjadi Master of One saat pegawai beranjak menjadi pemimpin merupakan sebuah value proposition yang sangat menarik bagi pegawai. Dia akan lebih percaya diri di dalam dan luar organisasi dengan expertise yang dimiliki. Organisasi tidak perlu takut pegawai akan dibajak oleh employer lain, selama organisasi pintar me-manage motivasidan memonitor engagement pegawai. Kelima, membentuk pegawai versatilist, yaitu seseorang yang dapat menjadi spesialis untuk disiplin tertentu, sementara pada saat yang sama dapat beralih ke peran lain dengan mudah. So, bagaimana dengan tempat Anda bekerja, sudah kelihatan kah mau ke arah mana kebijakan karir pegawainya?

BTS Meal – A strong ARMY and what organizations can learn from them

Saya tahu BTS Meal diluncurkan tanggal 9 Juni dari IG Explore saya sehari sebelumnya (maklum, bukan ARMY XD). Tapi saya bener-bener tidak menyangka BTS Meal bisa bikin OJOL tumpah ruah di store McDonald’s sampai Polisi dan Satpol PP menyegel dan menutup store McDonald’s (FYI, BTS Meal memang diatur ga boleh dine-in ya temans, katanya untuk menghindari kerumunan ARMY di store). Kelanjutan dari “fenomena” ini, 32 store McDonald’s kena sanksi (sanksi tertulis atau sanksi pemberhentian operasi) dan kantong makanan BTS Meal yang ada logo BTS (kantong saja loh ya, tidak dengan makanannya) dijual di marketplace dengan harga fantastis hingga jutaan rupiah!

Whoa, ARMY! You got my attention!

Jadi kepo, ARMY sama BTS ini hubungannya seperti apa sih, kok ARMY bisa segitu militannya? Bahkan, Harvard Business School sampai membuat case study khusus tentang BTS.

Buat yang belum paham BTS, BTS merupakan boyband asal Korea yang ada sejak 2013 dan terdiri dari 7 member. BTS kepanjangan dari “Bangtan Sonyeondan” dan fans mereka menamakan dirinya ARMY “Adorable Representative M.C. for Youth”. BTS menjadi artis yang berhasil menjual lebih dari 500 ribu keping album pada tahun 2020 selain Taylor Swift. BTS memecahkan banyak rekor di Youtube maupun Spotify hingga masuk Guiness World Records 2020.

Sepanjang periode 2013-2020, terdapat 2.395.082.950 (2 miliar!) mention tentang BTS di media sosial dengan rata-rata 958.597 mention setiap harinya. Berdasarkan riset Hyundai Research Institute, BTS membantu perekonomian Korea Selatan sebesar $3,6 milyar US dolar dan 800 ribu wisatawan asing mengunjungi Korea Selatan karena BTS (70% dari total jumlah turis tahunan). Ketika perusahaan rekaman BTS (Big Hit Entertainment) go public, label tersebut bernilai $4 milyar US dolar dengan harga saham per lembar $115. Ga usah ditanya, ARMY pun berbondong-bondong membeli sahamnya.

Dari kacamata organisasi, fenomena global BTS ini seperti membenarkan teori atau konsep yang saya ketahui dalam pengelolaan organisasi. Cekidot!

1) Misi BTS yang genuine dan konsisten, serta role-modelling

Tidak sekedar bermusik dan mengusung lagu dengan tema umum percintaan, BTS memiliki misi untuk membawa perubahan di masyarakat, khususnya mengenai self-love, kesehatan mental, kepercayaan diri, dan sebagainya. Sejak 2013, BTS secara genuine dan konsisten menggaungkan hal tersebut dalam lirik lagunya maupun di dalam setiap kesempatan yang diberikan seperti ketika diundang untuk memberikan speech di kantor Perserikatan Bangsa Bangsa (catet: satu-satunya grup k-pop yang diundang untuk berbicara di PBB).

Tidak hanya omong doang, member BTS pun hidup sejalan dengan misi dan nilai yang mereka yakini (role modeling). Dengan orisinalitas, konsistensi, dan memberikan contoh, sungguh ini merupakan hal yang menular! ARMY dapat merasakannya, terkoneksi (relate) dengan misi BTS, dan mencontohnya. Member BTS “Suga” yang berhasil mengatasi rasa ketidakpercayaan diri, berhasil menyemangati ARMY untuk percaya diri. Member BTS yang dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi diikuti oleh ARMY dengan berdonasi di berbagai platform salah satunya ARMY Indonesia di KitaBisa.Com.

Organisasi tidak cukup hanya memiliki misi dan tujuan.  Misi dan tujuan organisasi harus secara genuine dan konsisten dihidupkan dan dirasakan oleh semua orang di dalam organisasi yang dimana Pimpinan memegang peranan penting di sini. Pimpinan dalam organisasi pun harus memberi contoh dengan menjadi role model sehingga misi dan nilai organisasi tidak hanya sekedar tulisan di dinding, “hiasan” di annual report, ataupun berhenti di ucapan.

Menurut Vicki Tenhaken dalam bukunya “Lesson From Century Club Companies: Managing for Long-Term Success”, perusahaan yang bertahan hidup lebih dari 100 tahun adalah mereka yang memiliki misi dan budaya yang kokoh. Bermodalkan ini, organisasi menjadi magnet bagi talent terbaik. Gallup mengatakan bahwa solidnya kesamaan visi berpengaruh terhadap engagement pegawai. Kalau gini, ya saya jadi ga heran kenapa OJOL pesanan ARMY bisa menuhin store McD.

2) Kompaknya member BTS

Walaupun anggotanya tidak sedikit alias 7 orang, member BTS solid, saling mendukung satu sama lain. ARMY melihat member BTS benar-benar peduli satu sama lain. Anggota termuda BTS “Jungkook” pernah berkata bahwa dia paling tidak bisa melihat kakak-kakaknya di BTS bersedih. Bayangkan kalau Pimpinan di organisasi kita sesolid dan sekompak member BTS, kompak memiliki satu visi, saling bersinergi, tidak saling menjatuhkan, dan tidak saling berantem, organisasi akan semakin dahsyat. Bawahan pun akan mencontoh, pegawai semakin solid.

ARMY arguably salah satu fandom tersolid di dunia. Di bulan Juni 2020, ketika BTS berdonasi sebesar $1 juta US dolar kepada gerakan ‘Black Lives Matter’. ARMY di seluruh dunia langsung mengikuti dengan melakukan crowdfunding yang berhasil mengumpulkan 1 juta dolar juga dalam waktu 24 jam dalam gerakan #MatchAMillion. WOW!!

Again, hal ini mengonfirmasi teori Gallup yang mengatakan bahwa engagement yang tinggi bersumber dari hubungan kuat dan asik di antara pegawai. Mengacu Change Model milik Kotter yang dimana langkah ke-4 adalah “Enlist a Volunteer Army”: Yes, this solid BTS ARMY is definitely a strong force for change!

3) BTS menjaga hubungan baik dengan ARMY

Tidak hanya solid sesama member, member BTS mempunyai hubungan baik dengan ARMY, salah satunya dengan rutin membuat konten sosial media agar terus connect dengan ARMY. Kalau member BTS kita analogikan sebagai Pimpinan tertinggi di organisasi, Pimpinan perlu secara reguler berinteraksi dengan para pegawai dengan cara yang efektif agar terus dirasakan kehadirannya, semangatnya, serta aspirasi pegawai tersampaikan (misal: blusukan, townhall meeting, BoD letter, dan sebagainya). Bagi Pimpinan di level tengah atau atasan langsung, hubungan yang baik dengan anak buah meningkatkan trust yang berdampak kepada kualitas dan kecepatan pekerjaan dan tentunya menciptakan suasana kerja yang nyaman (Forbes). Cara BTS berkomunikasi dengan ARMY mengonfirmasi teori Dale Carnegie dalam bukunya “How to Win Friends & Influence People” bahwa skill berinteraksi dengan orang lain menjadi ‘koentjie’ dalam meng-influence orang lain.

All in all, despite “the chaos” publicized during BTS Meal launching, I saw the positives. Dan saya pun ter-influenced! Di perjalanan pulang kantor tanggal 9 Juni itu, saking penasaran, saya ikut membeli BTS Meal via drive-thru di store McDonald’s dekat rumah yang kebetulan tidak ramai. Sambil menulis artikel ini pun, lagu-lagu BTS terdengar di telinga saya.

Sekian. Salam sehat. Dan BORAHAE!

Tagged : / / /

Pemimpin dan Sosial Media

Film Wag The Dog karya Barry Levinson, tahun 1997, dengan pemeran Dustin Hoffman menyadarkan kita bahwa apa yang kita lihat belum tentu sebuah realita. Di dalam film tersebut pemerintah Amerika Serikat membuat film berita palsu untuk mempengaruhi opini publik. Ada juga teori konspirasi lama bahwa sebenarnya Neil Armstrong, Michael Collins dan Edwin Aldrin dengan Apollo 11 tidak pernah mendarat di bulan, tetapi dibuat di studio. Saat itu Amerika Serikat sedang membutuhkan dukungan moral karena kalah perang di Vetnam dengan Rusia, sehingga John F. Kennedy menggunakan keberhasilan mendarat di bulan untuk meningkatkan moral rakyat Amerika. Saat ini berita palsu atau hoaks sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, bahkan sudah sampai taraf mengganggu karena pihak yang bertikai sudah menggunakan buzzer dengan dana yang cukup besar. Pemerintah Indonesiapun menganggap pentingnya media sosial sehingga diberitakan memiliki anggaran untuk buzzer sebesar Rp. 90.45 Miliar sejak tahun 2107.

Sebenarnya seberapa pengaruh media sosial terhadap citra sebuah kepemimpinan? Egan Mosley mengatakan bahwa pengaruh media sosial kepada sebuah brand awareness mencapai 80% dan mampu meningkatkan engagement sebesar 65%. Ternyata sedemikian besarnya pengaruh media sosial kepada citra kepemimpinan seseorang. Saat ini seluruh pemimpin di negeri ini hampir seluruhnya memiliki akun media sosial, dan ini penting karena popularitas menjadi unsur penting keterpilihan atau kesuksesan menjadi pemimpin. Tidaklah mengherankan kalau banyak artis yang kemudian beralih menjadi pemimpin daerah atau anggota legislatif karena mereka sudah memiliki modal popularitas. Kitapun akhir ini disuguhkan drama menarik di internal salah satu besar negeri ini dimana ada kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi mulai disingkarkan dengan alasan lebih aktif di media sosial daripada di lapangan. Dulu ada juga kandidat pemimpin negeri yang tidak terpilih kemudian membuat kanal podcast sendiri sebelum menjadi menteri.

Media sosial saat ini menjadi syarat mutlak bagi kandidat pemimpin. Platform ini dinilai amat efektif dan murah untuk dapat langsung menyentuh rakyat. Influencer memegang peranan penting, karena dianggap bisa menggunakan medianya untuk mempengaruhi subscriber atau follower-nya. Hubungannya mutualisma, meskipun ada sisi negatifnya. Para pemimpin kemudian lebih peduli kepada popularitas, ketimbang pada program kerja. Pemimpin yang shortsighted tidak akan begitu peduli dengan jangka panjang, mereka hanya fokus di popularitas. Perhatian melulu kepada aktivitas sehari-hari atau karakter kandidat pemimpin yang direfleksikan dalam sebuah feed pendek, dan seperti film wag the dog bisa saja merupakan pencitraan dan bukan realita sesungguhnya. Kadang kita kemudian lebih perhatian kebaikan yang ditampilkan, bukan pada rencana kerja yang akan dilakukan selama periode kepemimpinan.

Yang celaka adalah kalau kandidat ini kemudian berhasil, dan kemudian selama periodenya hanya sibuk melakukan pencitraan. Meresmikian ini dan itu, sementara tidak punya keterikatan sama sekali dengan yang diresmikan. Latah ikut meramaikan program yang sedang trending, padahal kenyataannya yang dilakukan sebatas hanya untuk konten semata. Bisa dibayangkan bagaimana sekian banyak karyawan yang bekerja di bawahnya yang sudah bersusah payah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menghasilkan program atau kegiatan tersebut. Setelah diresmikan, tidak ada kelanjutan implementasinya.
Memilih pemimpin memang tidak mudah. Banyak sekali pertimbangannya. Ada yang ideal kapasitasnya, tapi tingkat penerimaannya rendah. Ada yang elektabilitasnya tinggi, tapi tidak memiliki visi. Bayangkan bila ada seorang pemimpin terpilih tetapi tidak punya kapasitas, integritas dan visi serta penerimaannya rendah, bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam lembaga tersebut. Semoga saja tidak terjadi di Indonesia.

Membuat Keputusan yang Tidak Biasa

Setiap hari kita membuat ribuan keputusan terhadap hidup kita baik yang memengaruhi hidup diri kita sendiri maupun hidup orang lain. Dari mulai membuat keputusan sederhana dari pertanyaan seperti, “apakah saya pagi ini membuat secangkir kopi atau teh?”, hingga dihadapkan dengan keputusan yang lebih kompleks dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan, seperti “apakah saya harus resign dari kantor?”. Banyak orang merasa kesulitan untuk membuat keputusan. Apalagi jika keputusan yang harus dibuat akan sangat berpengaruh terhadap masa depan dan perubahan besar dari kehidupannya saat ini. Banyak orang juga takut untuk memilih hal yang baru dan berbeda dari orang lain. Sehingga banyak orang yang cenderung memilih untuk membuat keputusan atas hal-hal yang dapat diketahui dampaknya daripada hal-hal yang belum pernah diketahuinya.

Di saat kita dihadapkan dengan suatu pilihan keputusan, otak akan memberikan beberapa faktor psikologis penting yang akan memengaruhi keputusan kita. Cindy Dietrich, seorang educational pshycologist dalam tulisannya mengemukakan bahwa faktor penting yang memengaruhi otak manusia dalam membuat keputusan, yaitu pengalaman di masa lalu, berbagai cognitive bias (kecenderungan pemikiran yang kita buat tanpa disadari), adanya komitmen dan kegagalan yang pernah dialami, perbedaan masing-masing individu dalam hal usia, status sosial ekonomi dan kepercayaan yang dimilikinya. Semua faktor tersebut biasanya muncul sebagai landasan berpikir kita ketika kita akan membuat keputusan.

Selain faktor-faktor penting di atas, terdapat satu istilah yang juga sangat memengaruhi keputusan kita terutama pada keputusan yang sangat penting dan berdampak terhadap kehidupan, yaitu status quo bias. Pernahkah kita berpikir untuk mengganti pekerjaan ketika sudah merasakan bahwa pekerjaan kita tidak memberikan kebahagiaan dan kenyamanan lagi? Apabila jawabannya tidak, faktor penghalang dari keputusan seperti inilah yang dinamakan dengan status quo bias. Kita cenderung untuk memilih sesuatu yang kita ketahui daripada sesuatu yang baru dan berbeda. Kita melihat pilihan lain sebagai suatu risiko atau bahkan permasalahan baru meskipun bisa saja pilihan itu lebih baik. Tanpa disadari, kita akan memilih untuk enggan berganti kepada hal lain.

Lantas, bagaimanakah agar kita dapat membuat keputusan untuk hal yang baru dan berbeda? Paul Arden dalam bukunya, “Whatever You Think, Think the Opposite” mengemukakan beberapa tips agar kita dapat membuat keputusan di luar kebiasaan. Yang pertama, mintalah “tamparan” dari orang lain. Jika kita memperlihatkan karya kita kepada orang lain dan berkata, “bagimana pendapatmu?” mungkin orang lain akan merespon dengan hal positif seperti, “bagus!” karena mereka tidak mau menyinggung perasaan kita. Lain kali, kita bisa meminta pendapat dengan cara menanyakan “apa yang salah?”. Hal ini akan membuka jalan kita untuk mendengar kritik yang jujur dari orang lain.

Jika kita menginginkan suatu keputusan yang berbeda dari orang lain, latihlah cara berpikir di luar kebiasaan (outside the box). Terkadang kita hanya memutuskan sesuatu karena orang lain juga memutuskan hal yang sama, kita tidak pernah berpikir bahwa ada pemikiran lain yang bisa menjadi dasar keputusan kalau kita sejenak melupakan pilihan kebanyakan orang. Prinsipnya, jika kita selalu memilih keputusan yang banyak orang pilih dan merupakan keputusan yang “safe”, jangan berharap keputusan itu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap apa yang kita harapkan.

Banyak orang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membuat keputusan yang sempurna dan menyenangkan bagi orang lain tapi hingga akhir tidak menjalankan keputusan itu. Daripada menunggu kesempurnaan sebuah keputusan, lebih baik jalani dengan faktor pendukung yang ada dan perbaiki dari waktu ke waktu.

Ingat dalam mengambil keputusan, apapun keputusan yang Anda ambil pada akhirnya, itulah satu-satunya keputusan yang dapat diambil. Jika tidak diambil, Anda akan mengambil keputusan yang lain. Apapun yang kita lakukan, kitalah yang memilih. Jadi apa yang harus disesali?

You are the person you chose to be.

Tagged : /

Apakah Leadership Diperlukan?

            Belakangan ini jagat Twitter diramaikan dengan sebuah cuitan yang isinya menyatakan bahwa kemampuan “leadership” atau kepemimpinan bukan merupakan skill yang esensial. Lanjut lagi cuitan tersebut menyatakan bahwa, tidak semua orang senang berada dalam posisi memimpin dan banyak orang yang lebih senang diberi tugas yang jelas untuk dikerjakan dibandingkan jadi pemimpin. Namun, banyak pula orang yang menyatakan bahwa leadership itu penting dan wajib dimiliki setiap orang. Apakah kemampuan leadership itu sepenting itu dan memang betul-betul diperlukan?

            Dari berbagai jurnal dan artikel yang penulis dapatkan, termasuk salah satunya adalah artikel berjudul “Importance of Leadership in Organizational Development”, menyatakan bahwa kemampuan leadership memiliki peranan penting dalam sebuah organisasi. Bahkan, suatu organisasi atau perusahaan sangat sulit untuk bekerja dengan efisien tanpa memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkemampuan leadership yang efektif. Leadership merupakan suatu kemampuan yang akan dibutuhkan dimanapun dan kapanpun.

            Seringkali “leadership” dipandang sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang dalam hal memimpin orang lain. Padahal konsep leadership sangatlah luas dan tidak terbatas hanya dalam hal kemampuan memimpin orang lain saja. Terdapat tiga tahapan atau level kemampuan leadership, yaitu self-leadership (leading yourself), team-leadership (leading team or entity) dan organization/business-leadership (leading business).

            Kemampuan memimpin tidak harus disandingkan dengan objek eksternal, seperti memimpin orang lain, bawahan atau karyawan. Tingkatan pertama yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk bagaimana ‘memimpin’ diri sendiri. Ketika berbicara mengenai konsep “leading yourself” artinya kita berbicara mengenai bagaimana berdamai dengan diri kita sebagai individu yang bekerja dan beraktivitas, baik secara fisik maupun emosional. Dalam tingkatan ini kita harus mampu mengontrol perasaan, komunikasi, empati hingga bagaimana mengelola pekerjaan yang diberikan dengan baik dan memiliki time management yang baik. Apakah seorang fresh graduate atau karyawan entry level bisa terlihat leadership-nya dalam tahap ini? Bisa, kita hanya perlu mengecek faktor-faktor di atas ketika berinteraksi dengannya.

            Setelah kemampuan ‘memimpin’ diri sendiri, tingkatan selanjutnya adalah kemampuan dalam hal memimpin tim atau kelompok. Di tingkat ini, faktor-faktor seperti kemampuan berkomunikasi yang lebih baik dan kemampuan mendelegasikan pekerjaan/tugas menjadi penting untuk dilihat. Empati dan kerendahan hati pun menjadi salah satu hal yang penting untuk dimiliki, karena tahap leadership ini adalah memerlukan kita untuk mendengarkan curahan hati rekan tim. Pemimpin dalam tahap ini juga harus memiliki visi yang jelas dan nyata, agar dapat mendapatkan trust dari rekan timnya. Di tahapan ini pun seharusnya sudah tidak ada lagi permasalahan dengan time management. Hal ini dikarenakan seharusnya kemampuan mengelola waktu sudah selesai pada tahap awal ‘memimpin’ diri sendiri. Oleh karena itu, pada level supervisor, manager atau first line management di banyak perusahaan atau organisasi, lembur sudah tidak dihitung karena pekerjaannya sudah dituntut untuk beres dengan time management issue.

            Tahapan yang paling tinggi yang dimiliki seorang leader adalah leading business. Ini merupakan suatu kemampuan yang lebih kompleks dan memiliki tanggung jawab yang tinggi. Hal ini dikarenakan, pada tahapan ini seseorang tidak hanya memimpin satu tim dalam sebuah departemen/bagian tapi memimpin lintas fungsi. Leading business merupakan kemampuan dalam mengintegrasikan berbagai fungsi dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Faktor kuat yang harus dimiliki seseorang pada tahap ini adalah kecerdasan/ketajaman dalam berbisnis/berorganisasi, decision making, memiliki visi yang semakin jelas dan kemampuan berkomunikasi di tingkat yang lebih advance.

            Ada aspek atau faktor yang selalu muncul dari ketiga tahapan leadership, yaitu komunikasi. Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dan seringkali menjadi penentu nasib seseorang dalam bekerja. Apabila kita tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, niscaya akan mendapatkan kesulitan pada saat berada di posisi ‘dipimpin’ ataupun ‘memimpin’.

            Leadership itu penting dan selalu akan dipakai dimanapun. Tidak perlu jauh-jauh, ketika kita memiliki asisten rumah tangga sebenarnya kita sudah berada dalam posisi menjadi pimpinan. Kemampuan kita dalam mengarahkan pekerjaan, membagi tugas, mengajarkan agar sesuai dengan standar dan kebiasaan orang rumah, memberikan fasilitas yang cocok bagi dia agar merasa ‘betah’ bekerja di rumah kita, merupakan bagian dari leadership. Jadi, masih merasa leadership itu tidak penting dan tidak diperlukan?

Tagged : /

Vulnerability (Kerapuhan)

“Kau tak tahu betapa rapuhnya aku”

“Bagai lapisan tipis air yang beku”

“Sentuhan lembut kan hancurkan aku”

Diatas adalah sepenggal lirik dari lagu “Rapuh” yang dipopulerkan oleh Joeniar Arif di awal tahun 2000-an. Ada yang masih ingat atau pernah dengar? Hehe… Lucu juga ya, lagu rapuh tapi dibawakan oleh penyanyi pria maskulin yang tampak sangar. Namun bukan rapuh emosional yang akan kita bahas kali ini. Tapi berkaitan tentang membuat sebuah tim yang hebat dengan modal rapuh (vulnerable). Lho kok bisa? Ya memang bisa, apa yang tidak bisa di jaman sekarang yang serba cepat berubah. Malah sebuah artikel hangat dari Harvard Business Review oktober tahun lalu melansir bahwa pemimpin di era saat ini membutuhkan vulnerability, bukan bravado (sikap sok pahlawan).

Pasca puncak pandemi Covid-19, tatanan dunia baru sudah menuju new normal, bukan tatanan sunda empire ya, beda kalo itu. New normal yang dimaksud disini yaitu cara-cara baru dalam menjalankan aktivitas manusia sehari-hari. Yang paling kentara, orang-orang menjadi lebih perhatian dengan aspek kesehatan. Orang yang biasa kerja ke kantor, sekarang sudah terbiasa kerja dari rumah. Orang yang sering ke pasar, sekarang rajin belanja online. Orang yang biasanya ke ATM, mulai biasa internet banking, dan lain sebagainya. Transformasi digital di berbagai bidang pun menjadi lebih cepat akibat pandemi. Lambat laun, organisasi yang tidak responsif akan tertinggal dari kompetitor.

Kita semua paham bahwa kemajuan peradaban manusia adalah hasil dari implementasi collective knowledge multi generasi, bukan individual effort. Steve Jobs dan Dennis Ritchie meninggal di bulan dan tahun yang sama (Oktober 2011). Namun hanya sedikit orang yang tahu tentang Dennis Ritchie. Tanpa Steve Jobs (pendiri Apple), mungkin tak akan ada ipad, ipod, iphone, macbook, dan produk overpriced Apple. Tapi tanpa Dennis Ritchie (penemu C & UNIX), takkan ada windows, atau bahasa dasar programming, dan kita semua hanya akan melihat angka binary (1 dan 0) di layar monitor seperti film The Matrix.

Begitu pula Albert Einstein yang di gadang sebagai manusia tercerdas dengan menemukan kesetaraan massa dan energi E=MC2 sehingga menjadi dasar pembuatan bom atom. Namun hanya sedikit yang kenal dengan Marie Curie yang sebenarnya juga sangat krusial dengan penemuan riset mengenai radioaktivitas sehingga dia lazim disebut “The woman behind the bomb”.  Intinya, kemajuan peradaban manusia adalah hasil collective effort, meskipun ada beberapa figur yang lebih terekspose di mata publik.

Dalam sebuah organisasi yang agile dan adaptif terhadap perubahan, sudah pasti terdapat tim yang hebat di dalamnya. Sedangkan tim yang hebat, terdiri dari anggota tim yang mampu bekerja sama dengan baik. Lalu bagaimana sih bekerjasama dalam tim yang baik? Daripada ribet dengan konsep dan definisi abstrak, yuk kita coba ke jaman batu kala manusia masih primitif:

Bayangkan kita berada dalam sebuah suku (tribe) nomaden di hutan belantara. Saat waktunya berburu, biasanya ada yang memimpin, kadang kepala sukunya langsung, atau ksatria tangguh dengan kepemimpinan yang baik.

Untuk sukses mendapat buruan, tim pemburu ini harus bekerjasama satu sama lain. Ada tim pengintai (scout), tabib (physician/shaman), pemanah (archer), dan juga tentunya seorang ketua tim (chief). Untuk mengambil keputusan mau kemana, dia butuh pendapat tim pengintai/scout, untuk mendapat informasi kondisi anggotanya, dia butuh tabib, dan untuk mengeksekusi binatang buruan, dia butuh pemanah.

Situasi di dalam hutan tidak dapat diprediksi, kadang ada hewan buas, perubahan cuaca, atau bertemu musuh dari suku lain. Ketua tim hanya punya sepasang mata, dia tidak bisa mengamati keadaan di sekeliling timya dengan sempurna. Dia butuh seluruh anggota untuk berbicara pada saat ada ancaman datang, atau hal lain yang membuat tim efektivitas tim menjadi rapuh (vulnerable).

Seorang pemanah yang vulnerable karena tergigit ular, harus bilang ke tabib untuk diobati. Seorang scout yang vulnerable karena kesulitan memanjat pohon untuk melihat situasi dari ketinggian, harus bilang ke anggota lain untuk membantunya memanjat. Seorang tabib tua yang vulnerable karena terlalu lelah berjalan, harus bilang ke ketua tim untuk beristirahat sejenak. Seorang ketua tim yang vulnerable karena ragu membuat keputusan, harus minta pendapat/informasi dari anggota tim lain. Dengan begitu, seluruh komponen tim akan menutupi kekurangan masing-masing dan berburu dengan efektif dan efisien dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi.

Logikanya sama saja pada sebuah tim pada suatu organisasi. Setiap orang dalam tim tersebut harus mampu mengutarakan vulnerability mereka dalam bekerja, sehingga anggota tim yang lain akan dapat membantu mereka. Ketua tim juga tidak terkecuali, karena pada dasarnya menjalankan organisasi bukan one man show, tapi band of brothers. Namun Sebelum itu, kita tahu bahwa tidak semua orang nyaman mengutarakan vulnerability-nya. Ada yang takut di bully, atau dipandang inkompeten. Nah, kita harus aware kapan kita aman mengutarakan vulnerability sehingga kita dapat memperbaiki kekurangan kira dalam bekerja. Ada 3 syaratnya:

Pertama, pastikan pemimpin Anda terbiasa dan nyaman mengutarakan vulnerability-nya, sehingga kita tahu bahwa dia toleran terhadap kekurangan anggota tim dan bersedia membantu Anda dengan pengalaman, pengetahuan, maupun kebijaksanaannya. Akan susah bila Anda mendapati pemimpin yang merasa dirinya superman dan paham akan segala hal serta tidak mentolerir kesalahan. Bila Anda punya pemimpin jenis ini, sebaiknya Anda jangan menunjukkan vulnerability Anda.

Kedua, pastikan suasana kerja Anda embrace vulnerability, misalnya ada kolega yang baik dan dengan senang hati membantu Anda. Ada diskusi/chat di saat break atau weekend yang tidak melulu soal kerjaan, dan ada aktivitas bersama yang dilakukan untuk membangun kekompakan tim, seperti sering makan siang bersama, karaoke selepas jam kantor, pulang bareng, sepedahan bareng di akhir pekan, dan lain sebagainya. Intinya, segala aktivitas yang menumbuhkan trust di dalam tim.

Ketiga, pastikan Anda memiliki batasan dalam pikiran Anda sejauh mana kebutuhan mengutarakan vulnerability, jangan over-expose sampai ke permasalahan pribadi yang sebenarnya bisa Anda handle sendiri tanpa bantuan orang lain, atau terlalu fokus terhadap satu kolega saja, sehingga menganggap Anda sebagai beban/burden organisasi.

Jadi, vulnerability is good or not, tergantung dimana dan pada siapa Anda bekerja. Show trust to the right people, and it will amaze you how they will trust you back.

Mencari “Connectors” Untuk Pengembangan Diri dan Karir

Karateristik utama dari milenial adalah mencari pengembangan diri. Tingkat kepuasan bekerja mereka banyak ditentukan dengan sampai sejauh mana dirinya berkembang dalam suatu pekerjaan atau perusahaan. Remunerasi merupakan hal penting, namun bukan menjadi yang terpenting. Sehingga apabila mereka merasa tidak berkembang setelah sekian lama dalam pekerjaannya, mereka akan berusaha mancari “jalan keluar’. Jalan keluar bisa berarti pindah ke unit kerja lain, bekerja di perusahaan lain, melanjutkan studi atau melakukan sabbatical leave[1] untuk mengembangkan diri.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Gallup,  sebanyak 87% dari milenial mengatakan bahwa pengembangan diri dan karir adalah hal terpenting bagi mereka dalam bekerja. Jauh lebih besar dibanding dengan generasi lain yang hanya 47% menyatakan bahwa hal tersebut adalah teramat penting. Apabila demikian apa yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan?

Milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 dan 2000. Dengan demikian di angkatan kerja sekarang mereka sudah berusia antara 20-40 tahun. Ada yang baru lulus kuliah, sampai dengan sudah ada yang menjadi CEO di perusahaan 500 Fortune. Indonesia sendiri juga sudah menempatkan milenial di posisi penting. Menteri Pendidikan Nasional kita sekarang Nadiem Makarim lahir di tahun 1984. BUMN juga mulai memberi ruang untuk milenial, contohnya pada Fajrin Rasyid, eks presiden Bukalapak, menjadi Direktur Digital PT Telkom. Presiden Jokowi juga bahkan menunjuk Staf Khususnya dari generasi milenial.

Sedemikian pentingnya kedudukan milenial dalam angkatan kerja sekarang, dan sudah sewajarnya perusahaan atau organisasi memberikan perhatian lebih kepada aspirasi mereka. Sejalan dengan hasil survey yang dilakukan Gallup, konsultan PWC juga menyatakan dalam laporannya “millenials at work: reshaping the workplace in financial service” bahwa kebutuhan utama para milenial adalah pengembangan diri dan karir. Dengan demikian terdapat dua fokus utama bagi para praktisi pengelola sumber daya manusia di perusahaan, yaitu membuka ruang pengembangan kompetensi dan karir yang seluas-luasnya. Gagal dalam memberikan kesempatan ini dapat berakibat fatal, yaitu pegawai milenial akan mencari jalan keluar. Yang dikawatirkan mereka bukan hanya disenganged dari pelaksanaan tugas tetapi actively disengaged. Kondisi ini akan membawa dampak buruk pada suasana kerja perusahaan.

Dalam sebuah artikel di Harvard Business Review, dijelaskan ada empat karateristik jenis pimpinan terkait dengan pengembangan anak buah. Pertama Teachers Manager, yang mengembangkan anak buah berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dan terlibat langsung dalam memberikan feedback kepada anak buah. Yang kedua adalah Always-On Managers, yang mendedikasikan waktunya setiap saat untuk selalu mengembangkan anak buahnya setiap aspek pengetahuan yang dibutuhan. Connectors, yang tidak mengembangkan anak buah secara langsung namun menghubungkan mereka dengan orang yang ahli dengan subyek yang dibutuhkan. Cheerleader Managers, yang memberikan dukungan tetapi tidak memberikan feedback atau menghubungkan dengan orang yang ahli.

Sekilas kita menginginkan tipe yang Always-On Managers yang selalu menyediakan waktu untuk pengembangan diri kita. Namun berdasarkan hasil penelitian tipe pimpinan yang paling efektif adalah yang jenis connectors. Mereka tidak perlu selalu meyediakan waktu bagi kita atau harus memahami segala macam hal untuk mampu memberikan coaching kepada kita. Tetapi mereka cukup paham kepada siapa kita harus bertanya dan membuka jalan bagi kita untuk bertanya lebih lanjut tentang subyek yang ingin kita ketahui. Kita tidak butuh pimpinan yang “superman” mengerti segala hal, tetapi ternyata kita lebih butuh pimpinan yang gaul, paham siapa ahli apa dan juga mau membuka kesempatan bagi kita untuk belajar lebih banyak dengan yang “lebih ahli”. Syukur apabila kemudian mereka malah kemudian membuka diri untuk belajar dari kita mengenai subyek tersebut. Mari kita berhenti sejenak dari rutinitas, dan evaluasi pimpinan kita tipe yang mana mereka. Apabila kita tidak mendapatkan connectors dalam diri mereka, jangan putus asa, kita cari orang yang bisa menjadi connectors kita sepanjang mereka membuka diri untuk membantu pengembangan diri kita. Tetap semangat dan jaga kesehatan.


[1] The sabbatical definition is “a break from work” during which employees can pursue their interests, like traveling, writing, research, volunteering or other activities (or even rest). During that time, the employee is still employed at their organization, but they don’t need to perform their normal job duties or report to work.

Kepuasan Kerja, Work-Life Balance dan Produktivitas Kinerja

Di dunia bisnis pada era globalisasi seperti saat ini, para perusahaan berlomba-lomba dalam persaiangan usaha yang ketat dengan menggunakan segala sumber daya atau resources yang dimiliki perusahaan. Persaingan usaha menjadi sesuatu yang sangat menjadi perhatian setiap perusahaan ditambah dengan kondisi dimana perusahaan harus bertahan dengan kondisi pandemi global yang sangat berdampak terhadap operasional dan performa perusahaan. Jangankan bersaing, banyak dari perusahaan yang kini harus menjalankan bisnisnya dengan memaksimalkan sumber daya yang terbatas namun harus tetap menghidupkan perusahaannya dengan baik. Di antara semua sumber daya yang menopang perusahaan, sumber daya manusia, dalam hal ini karyawan, memiliki peranan dan kontribusi yang sangat penting dan dominan.

Karyawan merupakan sebuah aset bagi perusahaan. Selain memiliki peran yang sangat penting, karyawan merupakan sumber daya yang dominan demi mencapai tujuan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Akan sangat sulit bagi perusahaan untuk beroperasi dengan lancar dan mencapai tujuannya apabila karyawannya tidak mampu mengeksekusi tugas dan fungsinya dengan baik. Terlebih lagi, masih banyak perusahaan yang menuntut karyawan dengan tekanan pekerjaan tanpa memerhatikan kepuasan kerja karyawannya. Padahal, banyak pendapat dan survei menyatakan bahwa untuk mempertahankan kinerja karyawan agar tetap produktif, perusahaan harus memerhatikan kepuasan kerja karyawannya yang tidak lepas dari beberapa faktor yang salah satunya adalah work-life balance.

Work-life balance merupakan sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendefinisikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti bernama Lockwood dalam risetnya berjudul “Work/Life Balance: Challenges and Solutions”, menyatakan bahwa keadaan seimbang pada dua tuntutan di mana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan menurut penulis jurnal lainnya, Greenhaus menyatakan bahwa work-life balance adalah sejauh mana suatu individu terikat secara bersama di dalam pekerjaan dan keluarga, dan sama-sama puas dengan peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarganya. Work-life balance menjadi hal yang sangat penting karena dapat berpengaruh kepada kepuasan kerja seorang karyawan dan bagaimana produktivitas seorang karyawan bekerja pada suatu perusahaan.

Seringkali karyawan dihadapkan pada porsi pekerjaan yang menuntut dirinya untuk bekerja melebihi jam regular tempat dirinya bekerja. Deadline tugas yang diberikan terkadang menuntut karyawan untuk menggunakan jam lembur (overtime) untuk menyelesaikannya. Rapat kerja yang diadakan hingga larut malam, serta perjalanan bisnis atau dinas ke luar kota yang akhirnya membuat kebutuhan dengan keluarga dan lingkungan terdekatnya hingga kebutuhan pribadi jadi terganggu juga turut menyertai tekanan perusahaan pada karyawannya. Karyawan dituntut untuk melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal namun seringkali perusahaan mengesampingkan keseimbangan kehidupan karyawannya. Tidak sedikit perusahaan yang memberikan jumlah tugas atau pekerjaan yang berlebihan yang mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja karyawan hingga kepuasan kinerja karyawan. Padahal, ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.

Di Singapura, pemerintahnya mendukung permintaan masyarakatnya yang menginginkan work-life balance dalam kehidupan bekerja. Hingga saat ini, sistem work-life balance mulai diterapkan di beberapa lembaga pemerintahan seperti waktu bekerja sesuai dengan porsi yang telah ditentukan. Setelah beberapa waktu kebijakan work-life balance ini diterapkan, hasilnya menunjukkan hal yang positif, seperti produktivitas kerja meningkat, pengeluaran berkurang dikarenakan angka keluar-masuk karyawan berkurang, angka ketidakhadiran atau absen semakin menurun dan komitmen karyawan kepada perusahaan pun semakin tinggi. Hasil ini kemudian menjadi catatan bagi jajaran perusahaan bahwa jika menerapkan work-life balance kepada karyawannya di tempat kerja maka perusahaan tersebut akan menjadi lebih menyenangkan, efisien, dan produktif.

Berbeda dengan di Indonesia. Berdasarkan salah satu survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia terhadap pengangguran yang ada di Indonesia, jumlah penganguran di negeri ini berkisar di angka 9 juta. Adapun sebesar 85% responden dari survei mengaku kalau mereka tidak memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh akademisi bernama Uki Yonda Asepta, belum banyak perusahaan yang melihat work-life balance sebagai isu. Namun dengan perkembangan jaman dan teknologi yang cukup pesat, Generasi Milenial (Gen Y) sudah mulai sadar akan isu ini. Kepentingan dan kebutuhan personal hingga keluarga seringkali memberikan dampak kepada bagaiman karyawan mengelola pekerjaan dan profesionalitasnya. Alhasil banyak karyawan yang mengalami kondisi burn-out dan tingkat turnover menjadi sangat tinggi. Bagi perusahaan, isu ini menjadi penting karena dapat menyebabkan turunnya produktivitas dan efisiensi kerja karyawan.

Melihat itu semua, perusahaan dan jajaran manajemen SDM perusahaan harus mulai memerhatikan work-life balance ini baik untuk karyawan maupun keberlanjutan bisnis yang dijalankan. Komitmen menjalankan work-life balance perlu dimulai dari dua belah pihak, baik jajaran manajemen perusahaan maupun karyawannya. Manajemen perusahaan bisa memulai dengan mendorong perkembangan budaya yang mengutamakan aspek kepercayaan dan respect dalam perusahaan. Perusahaan juga memiliki peran untuk mengetahui kebutuhan karyawan yang berbeda-beda dan mengadopsi pendekatan yang bisa mendorong work-life balance karaywan dalam perusahaan. Sebagai karyawan, kita juga harus aktif memberikan suara dan pendapat terkait dengan hal-hal yang sekiranya dapat memberikan kepuasan kerja terhadap karyawan dan dampak positifnya terhadap perusahaan.

Tagged : / /

Membangun Kepercayaan melalui Komunikasi yang Efektif

Pernahkah Anda memikirkan, kenapa perbuatan yang kita sangka benar namun orang lain dapat berpikir sebaliknya? Bagaimanakah suatu ucapan atau perbuatan bisa kita anggap sebagai sesuatu yang benar ataupun salah? Ternyata, benar atau salahnya segala sesuatu bisa berdasarkan pada kepercayaan yang kita miliki atas sebuah gagasan, pandangan, nilai, norma hingga perbuatan orang yang kita kagumi. Sebuah kepercayaan juga tidak terbentuk begitu saja, dibutuhkan proses dan waktu agar sebuah kepercayaan terhadap sesuatu dapat terwujud.

Kepercayaan merupakan hal yang esensial dalam kehidupan sosial setiap manusia. Manusia memerlukan kepercayaan terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, dirasakan hingga dialami di hampir setiap aspek kehidupan, seperti kepercayaan dalam agama, hubungan antar sesama, politik, kesehatan, gaya hidup dan lain sebagainya. Sebagai contoh, jika seseorang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter terhadap penyakitnya, maka orang tersebut tidak akan mendapatkan manfaat yang maksimal atas rekomendasi yang disampaikan dokternya. Contoh lainnya adalah dalam dunia pekerjaan, apabila para karyawan tidak memercayai pimpinannya maka pencapaian tujuan dalam bekerja akan semakin sulit hingga bisa tidak tercapai. Dengan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, seseorang dapat memaknai dan melakukan aktivitasnya dengan lebih optimis dan memberikan hasil yang maksimal.

Untuk memahami konsep dari kepercayaan, ada baiknya untuk kita memahami terlebih dahulu mengenai apa itu kepercayaan dan bagaimana suatu kepercayaan dapat memberikan dampak yang besar bagi seseorang.

Menurut Paul Richard Thagard yang merupakan seorang filsuf Kanada yang mengkhususkan diri dalam ilmu kognitif, filsafat pikiran, dan filsafat ilmu pengetahuan dan kedokteran, menyampaikan bahwa kepercayaan merupakan kumpulan perilaku yang bergantung terhadap sesuatu yang dapat memengaruhi seseorang dalam beraktivitas. Kepercayaan juga merupakan sebuah perasaan kepercayaan diri dan suatu konsep keamanan diri yang dapat menjadi pedoman hidup bagi seseorang. Dengan memiliki kepercayaan akan sesuatu, manusia secara tidak langsung akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang terkandung dari kepercayaan yang dia miliki.

Membangun sebuah kepercayaan dapat terwujud melalui komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan membangun kepercayaan sangat bergantung tentang bagaimana seseorang membangun hubungan dengan lingkungannya. Banyak dari Key Opinion Leaders (KOL) seperti publik figur, pemuka agama, politikus hingga pimpinan perusahaan  memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh dan percaya terhadap apa yang dilakukan dan disampaikan oleh KOL. Berikut ini adalah cara-cara yang tepat untuk membangun kepercayaan melalui komunikasi yang efektif.

Menurut akademisi Dr Katalin Illes dan Dr Martin Mathews, terdapat sepuluh cara untuk membangun kepercayaan melalui cara komunikasi yang efektif. Mendengarkan keinginan, pendapat dan suara dari lingkungannya merupakan cara yang pertama. Dengan mendengarkan dengan hati terbuka, Anda dapat mendapatkan peluang dan masukan yang tepat tentang bagaimana harus berucap, bertindak dan memutuskan sesuatu kepada para orang di sekitar, pengikut maupun bawahannya. Kedua, seseorang harus dapat mengatakan dan menunjukan secara jelas nilai atau kebiasaan yang genuine dan tulus dari dalam dirinya. Kedisiplinan dan komitmen dalam berkata dan berbuat sesuatu sangatlah penting untuk membangun kepercayaan. Ketiga, sampaikan sesuatu dengan transparan dan jujur hingga membentuk suatu budaya. Kepercayaan ditemukan dari nilai-nilai yang berasal dari hati yang berlandaskan kejujuran. Keempat, percayai orang yang menyampaikan kritik dan saran kepada Anda. Berdiskusi dan membentuk tim kompeten yang dapat membantu menyampaikan informasi yang diinginkan kepada orang di sekitar, pengikut maupun bawahan Anda.

Kehadiran merupakan hal penting yang diperlukan untuk membangun kepercayaan. Kepercayaan adalah hal yang personal dan komunikasi tatap muka adalah kunci penting untuk membangun interaksi sehingga kepercayaan pun lama kelamaan akan muncul. Seseorang juga harus fokus menyampaikan komunikasi secara terus menerus untuk membantu orang lain berada dalam kebiasaan yang diinginkan. Cara selanjutnya adalah mencintai orang di sekitar, pengikut atau bawahan Anda. Dengan mencintai mereka hingga mendapat respon yang positif, Anda akan dapat mudah masuk ke dalam suatu hubungan dan  meyakinkan mereka hingga membangun kepercayaan dengan mereka.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, membangun sebuah kepercayaan membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar. Membangun keterikatan dan hubungan atas dasar kepercayaan memerlukan komitmen dan disiplin diri. Oleh karena itu, jangan mengharapkan hasil yang instan untuk membangun sebuah kepercayaan dengan orang lain yang kekal!

Tagged : /

Mengapa Sedikit Wanita di Pucuk Pimpinan?

Dari 270 juta penduduk Indonesia dengan perbandingan jumlah pria wanita yang seimbang alias 1:1, berapa banyak wanita yang menduduki posisi pucuk pimpinan? Mari kita lihat Kabinet Indonesia Maju. Dari total 38 menteri/setingkat, hanya ada 7 wanita dalam kabinet Presiden Jokowi tersebut. 18% saja. Berapa banyak wanita Indonesia yang kamu ingat menduduki posisi pucuk pimpinan perusahaan/organisasi di negara kita ini? Atau pucuk pimpinan di tempat kamu bekerja?  Sepertinya proporsi wanitanya belum banyak ya.

Skala global pun tidak kalah sedikitnya. Penduduk dunia sebanyak 7,6 miliar orang dengan perbandingan 1:1 antara pria dengan wanita, hanya 21 negara yang dipimpin oleh wanita dari total 193 negara (11% saja). Di Amerika, wanita menjadi penyumbang 47% tenaga kerja negeri Paman Sam tetapi proporsi CEO wanita hanya sekitar 5% pada perusahan Standard & Poor’s 500.

Apa karena wanita kalah secara kompetensi dibandingkan pria?

Berdasarkan artikel Harvard Business Review berjudul “Research: Women Score Higher Than Men in Most Leadership Skills”, wanita mengalahkan pria di hampir seluruh aspek kemampuan leadership. Kemampuan leadership wanita yang outstanding antara lain pengambilan inisiatif, orientasi pada hasil, serta integritas dan kejujuran yang tinggi.

Grameen Bank (The Bank for the Poor) berhasil membantu masyarakat Bangladesh keluar dari jurang kemiskinan dengan memberikan microloan kepada Ibu dari keluarga, bukan kepada Ayah. Mengapa? Karena pinjaman tersebut terbukti lebih efektif dan membawa lebih banyak kebaikan kepada keluarga ketika dipinjamkan kepada Ibu. Total peminjam Grameen Bank 97% wanita.

Berdasarkan riset McKinsey & Co dan Credit Suisse, perusahaan dengan lebih banyak wanita di posisi pimpinan mempunyai performa keuangan yang lebih baik. Bahkan ada selentingan di masa krisis finansial 2008 yaitu ”If Lehman Brothers had been Lehman Sisters, the financial crisis might have been averted.” Penanganan pemimpin negara wanita dalam krisis pandemi COVID-19 saat ini dirasa lebih baik dibanding dengan male counterpart-nya.

Nah, dengan kemampuan wanita yang ga kalah dengan pria, mengapa wanita masih mendapat porsi minim dalam posisi kepemimpinan? Banyak faktor yang mempengaruhi tetapi jika ditarik garis besar, terdapat 2 faktor yang sekiranya mempengaruhi: workplace (tempat bekerja) dan society (masyarakat).

Workplace & Society VERSUS Women

Di tempat kerja maupun di masyarakat, terdapat kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari merugikan wanita dalam mencapai posisi pucuk pimpinan.

Sebagai contoh: wanita dicap lebih memrioritaskan keluarga dibandingkan dengan pria sehingga diberikan kesempatan berbeda dengan pria di tempat bekerja. Hasil meta-analisa yang disampaikan dalam Harvard Business Review berjudul “What Most People Get Wrong About Men and Women?”, pria dan wanita memiliki prioritas yang sama terhadap keluarga. Selain itu, hasil meta-analisa juga menyatakan bahwa pria dan wanita sebenarnya memiliki ambisi, sikap, dan kemampuan yang setara dalam berkarir.

Atau ketika seorang wanita mendapatkan mentorship dari mentor pria karena populasi pimpinan pria lebih banyak dibanding wanita. Hubungan mentorship antara wanita dengan mentornya yang kebetulan seorang pria dapat disangka “aneh-aneh”. Hal ini membuat wanita merasa tidak nyaman. The same goes ketika mentor seorang wanita mempunyai mentee seorang pria.

Di bawah ini segelintir contoh kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari dapat mempengaruhi proporsi wanita menempati jajaran pimpinan:

  1. Ketika Wanita Melakukan Kesalahan Dalam Pekerjaan

Ketika wanita melakukan kesalahan dalam pekerjaan, wanita akan dinilai lebih kurang kompeten dan lebih rendah statusnya dibandingkan jika pria melakukan kesalahan yang sama. Sebuah riset di firma akunting besar menduga bahwa sedikitnya wanita di pucuk pimpinan disebabkan oleh wanita memilih untuk memrioritaskan keluarga, tetapi hasilnya menyatakan hal yang berbeda. Ketika pimpinan pria dan wanita di firma tersebut sama-sama mengatakan bahwa mereka akan menerima jabatan pimpinan apabila ditawarkan, pimpinan wanita memiliki kekhawatiran apabila mereka dinilai gagal dalam menjalankan tugas kepemimpinan tersebut, hal tersebut akan membahayakan karir mereka dan karir mereka akan sulit recover.

  1. Performance Appraisal

Dalam sebuah artikel Harvard Business Review diceritakan seorang Managing Director melakukan investigasi mengapa banyak wanita di perusahaannya memilih berhenti bekerja setelah melahirkan anak. Setelah ditelusuri penyebabnya adalah performance appraisal. Saat Pimpinan terpaksa menentukan performance rating anak buahnya dengan distribusi normal, wanita yang meninggalkan kantor untuk maternity leave mendapat nilai yang lebih rendah dibanding dengan peers-nya dengan alasan mereka bekerja tidak penuh selama setahun. Padahal ketika wanita tersebut bekerja, performance mereka sama baiknya atau bahkan lebih baik dari peers-nya yang mendapatkan performance appraisal lebih tinggi. Hal ini tentunya memperkecil kesempatan wanita untuk promosi dan menurunkan moral wanita dengan memberikan kesan bahwa menjadi seorang wanita tidak dalam posisi on-track untuk menempati pucuk pimpinan di tempat bekerja.

  1. Social Pressure

Society pressure is real on working women. Menurut Forbes, wanita bekerja harus berhadapan dengan cibiran ketika menyempatkan dirinya mengunjungi sekolah anaknya seperti: “Baru kelihatan ya selama ini”. Berbeda dengan pria yang bahkan akan dipuji ketika berkunjung ke sekolah anaknya. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa bersalah pada wanita bekerja karena dianggap tidak menjadi Ibu yang baik. Wanita bekerja tersebut melakukan additional effort (di luar tantangan pekerjaannya) untuk berhadapan dengan rasa bersalahnya and make peace with it.

Tidak sedikit hasil riset dan bukti nyata yang memperlihatkan bahwa keberadaan lebih banyak wanita pada jajaran pimpinan membawa lebih banyak manfaat, seperti performa keuangan yang lebih baik, membawa cara pandang yang segar di tengah-tengah pemimpin pria, dan sebagainya. Apabila organisasi serius untuk meningkatkan proporsi wanita dalam posisi pimpinan, kepercayaan, stereotyping, dan perlakuan yang ada di organisasi perlu dilihat kembali dengan hati-hati untuk melihat apakah merugikan wanita untuk mencapai posisi pucuk pimpinan. Wanita juga perlu diberi kesempatan yang sama dengan pria di tempat kerja. Kalau kesempatan saja tidak diberikan, bagaimana bisa membuktikan?

Selain itu, masyarakat tentu harus mendukung dengan cara sedikit demi sedikit mengubah cara pandang bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab seorang wanita/Ibu saja, tetapi tanggung jawab yang setara antara kedua orang tua.

Effective Listening

Kita sudah banyak membaca artikel mengenai komunikasi. Sebagian besar mengatakan bahwa permasalahan komunikasi adalah mendengar bukan “mendengar”. Bahasa Inggrisnya people hearing without listening. Perbedaan sederhananya kalau hearing adalah mendengar menggunakan telinga, sedangkan listening adalah mendengar dengan menggunakan pikiran. Kita bisa mendengar banyak hal di sekeliling kita, tapi pikiran kita fokus dengan lawan bicara. Kita tidak berusaha menterjemahkan segala suara yang kita dengar, tetapi kita fokus berusaha memahami yang disampaikan oleh lawan bicara kita.

Sebuah penelitian menjelaskan bahwa dari seluruh percakapan yang kita lakukan, hanya sekitar 25-50% yang kita benar-benar terlibat didalamnya. Sebagian besar kita hanya sekedar mendengar dan tidak berusaha memahami informasi yang disampaikan. Bayangkan bila kita sedang menjelaskan atau presentasi materi kepada pimpinan kita tetapi dia tidak “mendengar” atau bahkan sambil bermain gadgetnya. Pastinya apa yang kita sampaikan tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh mereka. Oleh karena itu John Keyser dalam artikelnya “Listening is a Leader’s most important skill” menjelaskan banyak pimpinan yang sekarang melakukan banyak diskusi dengan mendatangi meja bawahan karena dengan demikian bawahan akan merasa lebih nyaman dengan situasi dan mampu menjelaskan dengan lebih baik. Situasi ini menjadi amat penting ketika survei menjelaskan bahwa 40% dari pekerja merasa kurang dihargai oleh pimpinan, dan bahkan 70% ingin keluar apabila ada tawaran yang lebih menarik. Komunikasi tertulis lewat email juga kurang efektif, karena dengan mudah dapat disalahartikan mengingat umumnya pembaca tidak mengetahui tekanan dan intonasi yang digunakan dalam komunikasi tertulis tersebut.

Seorang pimpinan perlu memiliki kemampuan mendengar. Dengan banyak mendengar sebenarnya dia sedang banyak belajar dan juga menerima banyak informasi yang terkadang krusial sebelum melakukan pengambilan keputusan. Kebanyakan pemimpin hanya mau didengar tidak mau mendengar. Hal ini membuat anak buah juga merasa demotivasi karena tidak diberikan ruang untuk berkembang dan menyampaikan pemikiran. Sebaliknya anak buah juga perlu memahami arahan dan keinginan pimpinan, sehingga juga perlu memiliki kemampuan mendengar.

Jessica Johnson dari RBL Institute menjelaskan ada tiga tahap dalam mendengar, yaitu:

1) inward listening, 2) concentrated listening dan 3) comprehenisive listening. Pada inward listening kita mendengar apa yang disampaikan, tetapi ketimbang untuk memahami kita sibuk dengan pikiran kita sendiri untuk menyanggah apa yang disampaikan. Concentrated listening adalah situasi kita tidak sibuk berusaha menyanggah apa yang disampaikan, tetapi kita fokus untuk memahami yang disampaikan. Tidak ada kesibukan lain dalam pikiran kecuali fokus untuk memahami yang disampaikan. Pada comprehensive listening kita tidak hanya menggunakan pikiran tetapi kita menggunakan seluruh indera kita untuk memahami yang disampaikan. Misalnya seseorang menyampaikan kabar gembira, namun gesturnya tidak selaras. Sehingga kita akan berusaha menggali lebih lanjut dibalik apa yang disampaikan tersebut.

Kemampuan mendengar adalah sebuah keterampilan atau seni tersendiri. Penting sekali dalam berkomunikasi baik dengan atasan maupun bawahan. Bagaimana cara kita meningkatkan kemampuan mendengar? Melissa Daimler di Harvard Business Review menjelaskan tiga hal yang bisa kita lakukan.

Pertama, fokus kepada mata yang berbicara. Sehingga dengan demikian kita bisa meningkatkan intensitas kita dalam berusaha memahami yang disampaikan. Tutup gadget atau laptop anda dan fokus kepada mata pembicara.

Kedua, luangkan waktu anda sekitar 30 menit atau satu jam dalam sehari untuk berinteraksi dengan atasan, teman kerja atau bawahan sehingga bisa melatih kemampuan mendegar dan juga menerima informasi yang diperlukan.

Ketiga, mengajukan beberapa pertanyaan. Ketika ada yang minta pendapat, pahami dulu situasi dan kondisi dengan pertanyaan baru kemudian memberikan opini. Umumnya orang yang minta pendapat ingin validasi dari kita bahwa yang dipikirkan adalah benar. Sehingga penting bagi kita untuk memahami dulu pokok permasalahan.

Mendengar seperti hal yang sepele, namun memiliki dampak yang besar dalam kita berkomunikasi. Memahami beberapa jenis tingkat mendengar akan membuat kita paham sampai tingkatan mana ketrampilan mendengar kita. Kalau sudah paham pentingnya kemampuan untuk mendengar, yuk mari berlatih meningkatkan kemampuan mendegar kita. Kita mulai dengan orang di lingkungan keluarga, kemudian dilanjut dengan atasan dan bawahan di lingkungan kerja. Semoga sukses meningkatkan kemampuan mendengar anda.

Bos Ideal

Sebuah survey terbaru yang dilakukan oleh DDI menjelaskan bahwa mayoritas sebesar 57% keluar dari pekerjaannya karena bos mereka. Bahkan 14% dari 57% tersebut keluar tidak hanya sekali tetapi beberapa kali dari pekerjaan hanya karena masalah dengan bos mereka. Hanya 12% yang menyatakan tetap di pekerjaannya meskipun bermasalah dengan bos, dan sebanyak 32% baru mulai berfikir akan keluar.

Sebegitu dahsyatnya pengaruh seorang bos kepada keberadaan anak buahnya. Memangnya bos seperti apa sih yang diidamkan oleh mereka? Ada nggak sih bos yang ideal di dunia nyata? Pemain MU pasti mencari sosok pengganti Sir Alex Ferguson. Liverpool sedang menikmati masa bulan madu dengan Juergen Klopp. Klub basket San Antonio Spurs pasti khawatir kehilangan Greg Popovich.

Topik ini sudah ada sejak dulu kala, dan sudah banyak teori dan buku yang ditulis. Mulai dari Kurt Lewin dengan 3 gaya kepemimpinan otoriter, partisipatif dan delegasi, kemudian Jim Collins dengan Good To Great, sampai dengan Dave Ulrich dengan Leadership Code-nya. Semua teori tentu bagus disimak dan yang lebih penting lagi adalah mengambil pelajaran untuk diterapkan dalam keseharian kerja kita.

Memimpin dengan visi dan nilai tertentu. Seorang pemimpin harus memiliki visi, kemana arah tujuan pelaksanaan tugas. Dia harus mampu meyakinkan bahwa destinasi akhir misalnya adalah ke Bandung. Dengan demikian anak buah tidak ada yg berfikir tujuan akhir mereka di Medan atau Denpasar. Untuk bisa mencapai destinasi tersebut, seorang pemimpin harus memiliki nilai tertentu. Bahwa semua penumpang di bis menuju bandung tersebut perilakunya harus (misalnya) transparan, memiliki integritas dan bertanggung jawab. Dia adalah orang pertama yang harus menjadi contoh dari perilaku tersebut dalam perjalanan ke Bandung.

Mampu mengambil keputusan strategis. Tentu perjalanan ke Bandung tidak akan semudah yang kita bayangkan. Banyak keputusan yang harus diambil. Kendaraan apa yang digunakan. Ketika jalan tol ditutup, harus reroute lewat mana. Berapa pemberhentian yang akan dilakukan dan dimana. Mengambil tindakan kalau ada penumpang yang “nakal” tidak sesuai dengan nilai yang disepakati. Kesemua itu menuntut seorang pimpinan harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan. Mana keputusan yg boleh didelegasikan ke supir dan mana keputusan strategis yg harus dia ambil sehingga destinasi dapat ditempuh sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Mempersiapkan anak buah untuk menjadi pengganti. Seorang pemimpin harus mampu mengidentifikasi anak buah yang potensial yang akan menggantikan dirinya. Kita tidak mengetahui apakah sepanjang jalan kondisi pimpinan akan baik-baik saja, atau kurang sehat atau bahkan harus keluar dari bis karena ada keperluan lain. Pemimpin sudah mempersiapkan bahwa perjalanan harus tetap dilakukan dengan siapa menjadi pimpinan. Sang calon pengganti tidak bisa serta merta siap, namun harus sering diajak diskusi. Diberi penjelasan. Ditambah pengetahuannya. Diberikan cara untuk mencari jalan keluar apabila ada halangan. Dengan demikian, sang calon pengganti ini akan siap bila tiba waktunya di sepanjang perjalanan harus menggantikan. Jangan sampai malah sang pengganti mengubah tujuan tidak ke Bandung, malah ke Serang. Kemudian menyalahkan pimpinan yang lama karena mengambil tujuan ke Bandung.

Terus menerus belajar untuk memahami perkembangan di seputar dunia kerja. Sepanjang perjalanan ke Bandung pasti akan banyak dinamika. Ternyata ada opsi kendaraan yang lebih baik. Ada bis yang lebih nyaman. Kecepatan bis sebaiknya berapa agar lebih efisien. Alternatif rute baru sehingga bisa lebih efektif mencapai tujuan. Kesemua informasi itu tidak akan diperoleh apabila pimpinan tidak mau belajar atau mendengar masukan tentang hal yang baru. Ketika seorang pimpinan selalu merasa lebih benar dan lebih paham dari yang lain, maka sudah bisa diproyeksikan bahwa destinasi akhir tidak akan tercapai. Semua halangan dan semua tantangan selama perjalanan perlu didiskusikan bersama untuk memastikan perjalanan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Gagal untuk menerima masukan mengenai rute alternatif baru misalnya, akan membuat bis kita akan tertinggal dengan bis lain yang tujuannya sama.

Sekali lagi memang tidak ada rumus pimpinan yang ideal seperti apa. Tapi setidaknya berdasarkan survei, studi banding, riset akan diperoleh karakter umum seorang pemimpin. Karakter umum ini bisa berbeda setiap orang. Menurut kamu sendiri boss yang ideal kriterianya seperti apa?

Coward Boss

Hmmm… Pernah ga punya bos yang sering kabur-kaburan alias menghindar ketika harus ngambil keputusan sulit? Atau… Pernah ga punya bos yang ngelempar kesalahan ke anak buah padahal jelas-jelas dia yang salah? Kalau jawabannya iya, itu salah satu tanda kalau bos kamu “coward boss”. Kira-kira, suasana kerja enak ga ya kalau dipimpin sama “coward boss”? Nular ga ya perilaku “coward boss” ke anak buah kalau terus-terusan dilakuin?

Jika boleh memilih, sebagai bawahan, kita ingin mendapatkan figur Atasan yang dapat menjadi role model bagi kita, berani dalam memimpin dan mengambil keputusan, dan berperilaku yang menunjukkan bahwa Atasan kita pantas disebut pimpinan dan pantas mendapatkan remunerasi yang didapatkannya.

Tapi, kadang kita mendapat Atasan yang tidak ideal, bahkan ada yang mendapatkan Atasan yang pengecut (coward boss). Berikut beberapa ciri dari Atasan yang penakut:

  1. Tidak berani menetapkan visi dan “yes person”. Menetapkan sebuah visi membutuhkan keberanian dan tanggung jawab dan Atasan yang penakut pasti tidak berani melakukannya. Atasan yang penakut menunggu perintah dari Atasannya. Dan apa yang terjadi apabila Atasan yang penakut itu sebenarnya tidak sependapat dengan Atasannya? Apa mereka berani untuk berpendapat? Tentu tidak. They simply do not speak up untuk setidaknya mengutarakan hal apa yang dirasa tidak sependapat atau hal yang diyakini benar. They simply say yes.
  2. Menghindari keputusan sulit dan tidak suka perbedaan pendapat. Ketika diharuskan untuk memutuskan hal yang sulit, bos penakut menghindarinya. Ketika terjadi perbedaan pendapat dengan bawahannya, coward boss tidak membuka diskusi untuk membahas perbedaan tersebut. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk memutus karena “I am the boss”. Ketika banyak bawahannya tidak sependapat dengan coward boss, mereka bahkan bisa dengan sengaja menghindari face-to-face meeting untuk membahas isu tersebut secara bersama-sama dan menggunakan strategi divide and conquer dengan berbicara kepada masing-masing bawahannya. Coward boss tidak suka dikoreksi dan lupa bahwa dia sebenarnya tidak tahu segalanya.
  3. Melemparkan kesalahannya kepada orang lain. Ketika coward boss melakukan kesalahan, bukannya mengakui kesalahannya dan mengambil tanggung jawab, mereka akan melemparkan kesalahannya kepada orang lain untuk menutupi kesalahan mereka. Mereka tidak suka dicap gagal. Jadi, kalau bos kamu seperti ini, jangan harap mereka berani pasang badan buat kamu di depan orang lain ya kalau kamu melakukan kesalahan.

Sebenarnya, apa sih yang membuat seorang atasan menjadi penakut? Ada yang berpendapat karena mereka dibesarkan di lingkungan seperti itu sehingga ketika saatnya mereka menjadi Atasan, mereka berperilaku seperti itu. Ada juga pendapat Tom Kolditz – Direktur Leadership Development Program di Yale School of Management, yang mengatakan penyebab Atasan membuat ‘cowardly decision’ adalah mencari aman untuk diri sendiri. Cari aman di sini bisa bermacam-macam motivasinya, bisa karena alasan ekonomi (takut dipecat), bisa juga karena takut kehilangan posisi, dan lain-lain.

Pada akhirnya, yang akan dirugikan adalah organisasi. Behavior yang suka dianggap sepele ini sebenarnya merusak karena akan membentuk kultur organisasi, membuat suasana kerja tidak nyaman dan merusak team trust, mengurangi kualitas deliverable pekerjaan, dan masih banyak lagi dampak lainnya. Bawahannya akan mengadopsi kebiasaan buruk coward boss tanpa disadari sama sekali. Organisasi harus menaruh perhatian khusus terhadap behavior pimpinan seperti ini.

Burn Out

Teman-teman, pernah ngga sih kalian ngerasain stress di tempat kerja yang terlalu sering, sampe-sampe tempat kerja kita rasanya udah “bukan gue banget”, pengen resign tapi masih butuh pendapatan yang stabil, tugas-tugas di depan mata juga entah mengapa udah ngga menarik lagi. Pokoknya segalanya terasa hampa di hati. Tau ngga kalo kondisi seperti ini istilah kerennya disebut juga “burnout”. Kalo di translate ke bahasa kita sih artinya “terbakar habis”. Tapi dari definisi umumnya, “burnout” artinya kehilangan passion dari sebuah pekerjaan, disertai rasa kelelahan mental, fisik, atau emosional, yang disebabkan oleh stress di tempat kerja secara terus menerus dan tidak terselesaikan. Pada 2019, World Health Organization (WHO) memasukkan fenomena “burnout” ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11), meskipun sebenarnya bukan penyakit medis. Riset WHO juga menyebut bahwa stress di tempat kerja melanda hampir 615 juta penduduk dunia dan menyebabkan kerugian $1 triliun per tahunnya karena produktivitas kerja yang menurun.  

Sebuah survei dari Gallup terhadap 7500 orang pekerja menemukan 5 penyebab utama “burnout” seseorang. Pertama, perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Siapa sih yang suka dengan ketidakadilan, kita sudah kerja banting tulang tapi yang dapat kredit justru orang lain; unequal opportunity; atau bisa juga benefit kerja yang kita dapat lebih rendah daripada peers kita. Kedua, beban kerja yang berlebihan. Setiap orang memiliki ambang batas stamina berpikir dan beraktivitas. Bila batas tersebut terlewati, maka kondisi fisik dan psikis akan menurun dan justru membuat kita tidak produktif dan stress. Jadi, jika pekerjaan kamu setiap hari mengharuskan kamu untuk kerja lebih dari 8 jam sehari bahkan lembur hampir tiap hari, mungkin ada baiknya mencari opsi pekerjaan di tempat lain. Ketiga, visi yang tidak jelas. Mencari arti dari sebuah pekerjaan bukan perkara mudah. Bila pemimpin perusahaan/organisasi di tempat kamu tidak mampu menunjukkan visi perusahaan ke depan mau seperti apa, maka kamu akan terjebak dengan rutinitas yang monoton. Mata kelihatan lesu padahal baru datang di pagi hari, dan setiap hari kita bekerja hanya untuk uang. Tidak lebih.

Keempat, kurangnya komunikasi dan dukungan atasan. Atasan yang merasa exclusive dan egosentrik dapat menurunkan morale bawahannya. Bagaimanapun, bawahan memiliki kebutuhan untuk mendapat feedback yang baik dan juga kredit/pujian/apresiasi atas prestasi kerjanya. Begitu pula atasan juga memiliki kebutuhan untuk memonitor bawahannya agar performa kerja menjadi prima dan sustainable dalam jangka panjang. Kurangnya empati dari supervisor dapat membuat bawahan semakin acuh dan merasa bukan bagian penting dari perusahaan. Kelima, tekanan deadline pekerjaan yang tidak masuk akal. Siapa sih yang suka ketika pulang kerja tiba-tiba dapat WA dari bos yang minta kita menyelesaikan tugas di rumah dan harus selesai malam ini atau besok pagi? Kalo hanya terjadi sekali dua kali setahun sih mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau terjadi di tempat kerja kamu hampir tiap minggu, itu tanda yang tidak sehat yang hampir pasti memicu stress dan depresi.

Kebanyakan orang merasa bahwa fenomena burnout disebabkan oleh pegawai yang bermasalah; dia tidak kompeten, dia tidak tahan banting, dia tidak pantas bekerja di sini, dia punya masalah mental, dia gila, dan lain-lain. Padahal tidak. Burnout adalah masalah organisasi. Ada dua sisi, satu adalah permasalahan menciptakan motivasi, dan kedua adalah permasalahan benefit fisik. Lingkungan dan sistem kerja yang mendorong motivasi bekerja harus dibangun oleh pemimpin perusahaan dan manajemen. Misalnya memberikan pekerjaan yang menantang, apresiasi atas pencapaian pegawai, kesempatan melakukan hal yang “meaningful” bagi orang lain, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perlakukanlah pegawai layaknya “owner”, dan mereka akan menunjukkan hebatnya kinerja mereka, bukan sebagai “tools” yang replaceable. Di samping itu, perusahaan juga harus mampu menyiapkan “physical” benefit yang cukup bagi kelangsungan hidup pegawai. Misalnya standar gaji dan bonus; fasilitas kerja, administrasi/kebijakan perusahaan yang fleksibel, akuntable, dan efisien; hubungan kerja dan pola komunikasi antar unit yang baik; serta keamanan di masa pensiun. Dua faktor ini adalah kunci bagi perusahaan untuk menghindari fenomena burnout para pegawainya dan me-retain talent-talent terbaiknya.

Pemimpin Jawara Masa VUCA

Thanks to COVID-19, dunia saat ini adalah dunia yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Dunia ketika memakai masker dan menjaga jarak bisa menyelamatkan nyawa. Dunia ketika interaksi dengan keluarga, teman, kolega, dan guru sekolah dilakukan dengan menatap layar sebuah gadget. Dunia ketika jutaan orang kehilangan pekerjaan,bisnis bertumbangan, dan ekonomi terpuruk dalam hitungan bulan.

Kemudian, setiap dari kita mungkin bertanya-tanya: Akan seperti apa kondisi dalam 6 bulan atau 1 tahun ke depan? Apakah pandemi COVID-19 akan sudah berakhir? Apakah bisnis yang saya rintis mampu bertahan? Apakah saya akan kehilangan pekerjaan? Kapan ekonomi akan pulih?

Dunia yang penuh ketidakpastian seperti ini tentunya membuat gelisah. Terlebih lagi bagi seorang Pemimpin. Tidak hanya harus mengatasi kegelisahannya sendiri, Pemimpin harus bisa memimpin organisasi dan orang yang ada di dalam organisasi tersebut menghadapi kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) seperti ini. Ibarat seorang nahkoda kapal yang menghadapi badai besar, nahkoda harus mampu memimpin seluruh awak kapal agar kapal tidak karam dan tentunya melewati badai yang entah kapan selesai dengan selamat.

Berikut adalah beberapa hal yang kami harap dapat membantu Pemimpin menghadapi kondisi dunia saat ini yang tentunya menjadi tantangan kita bersama:

1) Believe in yourself

Tidak seorang Pemimpin di dunia ini memiliki buku manual bagaimana menghadapi kondisi dunia saat ini. And leadership takes courage after all. Pemimpin harus memiliki keyakinan dan kepercayaan diri bahwa dirinya mampu memimpin dalam kondisi ketidakpastian, walaupun selangkah demi selangkah. Menurut Forbes, hal ini dinamakan “self-certainty” yang dapat dibangun dengan menanamkan dalam diri nilai-nilai seperti integritas, optimisme, keberanian, tujuan. Riset menunjukkan bahwa Pemimpin dengan “self-certainty” mampu menghadapi kondisi sulit dengan lebih tenang. Ketenangan semacam ini diperlukan karena berbanding lurus dengan kemampuan kognitif yang diperlukan untuk membuat keputusan yang rasional dan tepat sasaran dalam kondisi yang penuh tantangan.

Sebagai manusia yang pertama kali menginjakkan kaki di bulan, Buzz Aldrin tentunya paham betul bagaimana menghadapi sesuatu yang penuh dengan ketidakpastian. Dia berpendapat bahwa resep kesuksesan adalah percaya penuh kepada diri sendiri.

To succeed in any environment, you have to believe in yourself. You must have an unshakable confidence in your own ability to achieve your goals and get the job done.”

Buzz Aldrin

Kepercayaan diri seorang Pemimpin juga dapat didapat dengan memahami kelebihan dan kapabilitas diri, memahami kondisi dan tantangan yang sedang dihadapi, memegang teguh tujuan dan nilai organisasi, dan memiliki rencana yang jelas untuk bergerak maju dalam kondisi sulit.

2) Communicate well

Perlu diingat, Pemimpin menghadapi kondisi seperti ini tidak sendirian tetapi bersama-sama dengang orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin dapat berkomunikasi secara rutin, terbuka, dan penuh empati kepada pengikutnya tidak hanya untuk memastikan mereka mendapatkan informasi yang dibutuhkan tetapi juga dapat meminta kerja sama mereka dalam menghadapi kondisi sulit ini secara bersama-sama. Komunikasi seperti ini dibutuhkan untuk membangun sense of crisis dan trust yang dibutuhkan dalam menghadapi kondisi sulit.

Mari kita memakai analogi kondisi dalam pesawat terbang. Ketika pesawat mengalami turbulensi, Kapten pesawat segera memberitahukan melalui pengeras suara bahwa pesawat akan mengalami turbulensi dalam beberapa saat ke depan dan meminta kerja sama penumpang untuk tetap duduk di bangku dan memakai sabuk pengaman demi keselamatan bersama. Informasi yang diberikan sang Kapten membangun sense of crisis dan trust pada penumpang karena memberikan gambaran bahwa ke depan akan terjadi hal yang kurang nyaman dan memberitahukan bagaimana cara menghadapinya agar semua selamat. Penumpang menjadi aware, alert, sekaligus tenang karena mendapat the sense of how to navigate this uncomfortable situation. Kapten pun akan menginformasikan jika kondisi sudah kembali normal.

Coba bayangkan apabila terjadi turbulensi dalam pesawat tetapi Kapten pesawat tidak bersuara sama sekali. Ngeri ya..

3) Take good care of yourself

Ketidakpastian akan masa datang dapat menyebabkan kegelisahan (anxiety) pada Pemimpin yang dapat mengurangi efektivitas dalam kepemimpinan. Harvard Business Review menyebut kegelisahan yang tidak dikelola dengan baik sebagai “Shadow of Intelligence“.

Kegelisahan tidak perlu dihilangkan karena hal tersebut merupakan respon natural manusia yang merupakan mekanisme bertahan ketika menghadapi ancaman. Kegelisahan harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin sehingga Pemimpin bersemangat dalam menemukan solusi terbaik untuk menghadapi tantangan bersama dengan organisasi dan orang-orang yang dipimpinnya.

Overall, Pemimpin harus menjaga kesehatan dirinya – body, mind, and soul – dalam menghadapi dunia saat ini. Dan yang paling mengetahui bagaimana memelihara kondisi kesehatan diri adalah diri masing-masing. Ada yang dengan berolahraga, ada yang dengan sharing kepada orang yang terdekatnya, dan sebagainya. Penting juga untuk merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil untuk meningkatkan semangat.

—-

Ada yang mengatakan bahwa Pemimpin ditempa dalam kondisi krisis. Tentu saja. Dan Pemimpin tentunya akan diingat oleh banyak orang bagaimana dia bertindak dan merespon tantangan dan kesulitan yang dihadapi dalam kondisi krisis tersebut.

Dalam menghadapi kondisi VUCA saat ini yang disebabkan pandemi global, mari kita bersama-sama memiliki keyakinan bahwa kita pasti bisa melewati semua ini dan keluar sebagai individu dan masyarakat dunia yang lebih baik, lebih kuat. Mengintisarikan pidato Gubernur New York City Andrew Cuomo sebagaimana dikutip oleh Harvard Business Review: “We are New Yorkers, strong, smart, unified, and loving. We’ve been tested before and emerged triumphant. We will do the same again.”

And, thanks to COVID-19, true leaders will emerge out of this.

Toxic Leader

Boys and girls, pernah gak sih kalian ketemu bos-bos yang perilakunya gak layak dicontoh? Kalian juga  merasa tindak-tanduk bos-bos ini merusak suasana di tempat kerja? Gak enak kan punya bos kayak gini. Bos semacam ini lebih populer disebut Toxic Leader. Ciri-ciri Toxic Leader sebenarnya sangat banyak, yang paling sering ditemui biasanya berciri arogan, mudah tersinggung (baper), kurang empati, kurang berintegritas, diskriminatif, hipokrit, narsistik, dan manipulatif. Ciri-ciri tersebut tidak harus dimiliki semuanya oleh seorang Toxic Leader, perpaduan beberapa traits tersebut mungkin saja kita temui pada seorang Toxic Leader. Pola kepemimpinan Toxic Leader hampir selalu autokratik (top-down), pola kerjanya kebanyakan micromanaging (control freak), dan punya kebiasaan hypercritical (mengkritik bawahan secara berlebihan), namun ada pula yang hypocritical (enggan memberi kritik ke bawahan). Pakar leadership dan ex-CEO GE, Jack Welch, menyebut bahwa salah satu bentuk leadership terburuk adalah seorang pemimpin yang enggan mengkritik anak buahnya disaat mereka berbuat kesalahan, namun menghukum mereka pada saat periode penilaian kinerja.

Menurut beberapa penelitian ilmiah, lahirnya Toxic Leader dimulai dengan initial condition kurangnya kecerdasan emosional dan permasalahan psikologis seseorang. Sebelumnya banyak yang menduga bahwa kurangnya skill teknikal dan kognitif menjadi penyebab seorang leader menjelma menjadi Toxic Leader. Namun kenyataannya, banyak Toxic Leader yang justru sangat cerdas dengan reasoning skill yang tinggi. Nama Jeff Skilling mungkin agak asing di telinga kita orang Indonesia, bagaimana dengan Enron? Ya, dia adalah mantan CEO Enron di era 90-an yang menggemparkan dunia keuangan dengan keterlibatannya dalam salah satu kasus penipuan/fraud dan insider trading terbesar di dunia. Dari konteks leadership, Jeff Skilling “memanipulasi” para bawahannya bahwa kondisi perusahaan baik-baik saja, dan dia juga tidak segan menghukum pegawai yang tidak sejalan dengan dia. Para pegawai pun patuh dan menyembunyikan fakta perusahaan yang sebenarnya karena takut dipecat.

Toxic Leader sejatinya akan menumbuhkan benih-benih Toxic Culture di lingkungan kerja. Dan pada akhirnya, suasana Toxic Culture akan menciptakan lebih banyak Toxic Leader/toxic manager di dalam organisasi. Ibarat racun yang menyebar ke seluruh tubuh, Toxic Leader harus cepat disingkirkan. Ini akan mudah dilakukan bila kita menemukan Toxic Leader pada level mid-management. Chairman atau CEO bisa dengan mudah menyingkirkannya. Namun hampir tidak mungkin menyingkirkan Toxic Leader jika dia justru merupakan orang nomor satu (Chairman atau CEO) dalam sebuah organisasi. Kadang cara satu-satunya adalah meminta bantuan dari luar organisasi, bisa pemegang saham pengendali atau stakeholder lain. Untuk melakukan hal ini juga tidak mudah, banyak risiko yang dipertaruhkan, seperti reputasi organisasi yang tercoreng atau malah menyerang balik pegawai whistle blower sehingga dia kehilangan jabatan, nama baik, pekerjaan, atau dalam beberapa kasus ekstrim mengancam keselamatan pribadinya.

Setidaknya ada 3 mekanisme pada saat Toxic Leader semakin menghasilkan Toxic Culture. Pertama, ketidakmampuan mengelola prioritas. Leader yang efektif tahu apa yang menjadi tujuan terpenting dari organisasinya dan mampu meyakinkan bawahannya untuk mengikuti tujuan tersebut. Pada saat leader tidak mampu membuat prioritas, maka akan banyak rapat-rapat tidak produktif, yang mengurusi hal-hal pseudo-important, membuat goals terlalu banyak dan tidak fokus. Dampaknya, dapat membuat bawahannya menjadi kebingungan mana pekerjaan yang harus diselesaikan.

Kedua, persaingan tidak sehat. Persaingan adalah hal yang biasa dalam sebuah organisasi. Tapi terkadang seorang leader tidak sadar tentang pentingnya membangun lingkungan persaingan yang sehat diantara bawahannya. Sebabnya bisa bermacam-macam, Toxic Leader mungkin lebih prefer bekerja dengan seseorang yang dekat secara personal, kedaerahan, kesukuan, agama, atribut fisik, dan sebagainya, tanpa melihat kinerja sebenarnya. Serta tidak memberi kesempatan bawahan yang lain untuk menunjukkan kemampuannya, hanya karena malas reinvent the wheel melakukan coaching. Hal ini sering disebut favoritisme (lihat artikel Bacapikir.com tentang Favoritisme). Persaingan yang tidak sehat menurunkan trust antar pegawai, sehingga akan timbul demotivasi, perilaku self-protection dan bahkan self-interest yang semakin mengarah ke konflik dalam organisasi.

Ketiga, konflik yang tidak produktif. Konflik diantara pegawai atau unit organisasi adalah sebuah hal yang umum terjadi. Seorang leader yang baik harus mampu mengelola konflik dan menyelesaikannya dengan objektif. Namun seorang Toxic Leader justru menjadi bagian dari konflik tersebut. Perilaku yang seharusnya inklusif, tapi malah meng-exclusive kan diri dan merasa yang paling benar. Seringkali yang dipermasalahkan justru bukan goals utama organisasi, tapi justru perkara yang tidak produktif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok leader yang berkinerja tinggi, sebanyak 87% dari mereka mampu mengatasi konflik dan 82% bertukar feedback satu sama lain. Dan kelompok leader yang berkinerja rendah, hanya sebanyak 44% dari mereka yang mampu mengatasi konflik dan hanya 52% yang bertukar feedback satu sama lain. Hasil akhirnya sangat jelas, pada kelompok leader berkinerja tinggi akan memiliki tim dengan keterikatan pegawai (employee engagement) yang tinggi, yaitu 87%, sedangkan untuk kelompok leader berkinerja rendah, employee engagement timnya akan drop ke 45%.

Jadi, bagi organisasi yang ingin berbenah mencegah toxic leader menjadi toxic culture. Cara pertama adalah menyingkirkan toxic leader tersebut jika sudah tidak bisa berubah/diubah. Bila tidak bisa disingkirkan, maka cara lain adalah menciptakan sistem kerja (strategic management, human resources & culture management, performance management, dsb) yang tidak memungkinkan ketiga mekanisme diatas terjadi. Ya.. sembari berdoa semoga si toxic leader tidak ngutak-ngatik sistem kerja tersebut. 😊

High Performance Organization (Bagian 1)

Engagement pegawai yang rendah, turnover rate pegawai yang tinggi, struktur organisasi yang terlampau rumit (vertikal maupun horizontal), kinerja di mata stakeholders yang biasa-biasa saja, pengambilan keputusan strategis yang tidak konsisten dan transparan, dan nuansa inkompetensi dalam jabatan strategis. Ini adalah beberapa indikasi organisasi atau perusahaan Anda dalam kondisi sakit (poor performance). Sayangnya, banyak top level manager/eksekutif yang tidak menyadari bahwa organisasi dibawah komandonya sedang mengalami hal tersebut, sampai pada suatu titik kegentingan yang sudah irreversible dan berujung pada keruntuhan atau kebangkrutan.

Loyonya kinerja organisasi tidak terlepas dari banyak faktor penyebab. Yang paling umum dan biasanya paling kasat mata adalah permasalahan inkompentensi pegawai (bisa bawahan atau pimpinan) dan sistem pendukung yang kurang baik, seperti kebijakan Manajemen SDM yang tidak tepat, Manajemen Kinerja yang tidak adil & transparan, proses bisnis yang ruwet, dan sistem pendukung lain yang belum optimal. Secara umum, kinerja sebuah organisasi merupakan agregat dari kinerja seluruh pegawai didalamnya. Tidak mungkin sebuah organisasi berkinerja baik, namun para pegawainya justru berkinerja buruk, begitu pula sebaliknya, tidak mungkin sebuah perusahaan berkinerja buruk, namun para eksekutif dan karyawannya berkinerja baik.

Teorinya, kinerja seorang pegawai dapat diukur dengan rumus sederhana: PERFORMANCE = ABILITY x MOTIVATION, dengan kata lain, kinerja (performance) merupakan fungsi dari kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Seseorang yang tidak bekerja dengan baik hanya ada dua inherent cause-nya: yaitu masalah kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Orang yang belum mampu bekerja dengan baik, itu menunjukkan kalau dia butuh dilatih. Sedangkan orang yang belum mau bekerja dengan baik, menunjukkan kalau dia butuh dimotivasi. Tidak ada cara lain.

Mengukur kompetensi pegawai dan kebutuhan pelatihan pun bukan perkara mudah, banyak organisasi atau perusahaan yang salah kaprah mengelola talenta terbaiknya akibat pengelolaan SDM yang tidak becus. Di sisi lain, perkara membangun motivasi pegawai akan lebih luas lagi spektrum masalahnya, bisa saja akar penyebabnya berasal dari kultur perusahaan yang buruk, salary dan fasilitas yang tidak memuaskan, skema pengembangan diri dan jenjang karir yang tidak jelas dan menghilangkan antusiasme bekerja, atau justru memang dasar pegawainya saja yang nggak beres. Bisa macam-macam. Saya sendiri percaya bahwa pucuk pimpinan adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap organisasi yang berkinerja buruk. Seperti rumus yang tadi saya sampaikan, akar masalah bisa dari pemimpin yang tidak kompeten dalam memimpin, atau tidak punya motivasi untuk memimpin dengan baik. Dan ingat, menjadi pemimpin bukan perkara tentang menyuruh-nyuruh orang saja, tapi harus mampu bijaksana, berani berbuat adil, lebih banyak mendengar daripada ngomong, result oriented, siap dikritik dan disalahkan, tidak baperan, serta decisive pada saat anak buah membutuhkan arahan dan keputusan.

Budaya Kompetitif

Selesai menonton episode terakhir “The Last Dance” dipastikan banyak orang akan terinspirasi dan meniru Michael Jordan. Rasa kompetitif yang begitu tinggi menjadikan MJ sebagai pemain bola basket terbaik sampai dengan saat ini. Jangan hanya melihat kekayaan MJ yang sekarang mencapai 1.6 miliar dollar, namun perjalanan MJ untuk mendapatkan kekayaaan sebanyak itu amat menarik. MJ bahkan gagal masuk tim di SMA-nya tidak pernah putus asa dan terus berlatih, sehingga akhirnya bisa diterima dan kemudian mendapat beasiswa ke University of North Carolina (UNC). Kesuksesan tembakan di detik terakhir MJ menjadikan UNC menjadi juara NCAA. Tahun berikutnya setelah di-draft Chicago Bulls MJ menjadi rookie of the year, dan selanjutnya adalah sejarah. MJ memenangi kompetisi NBA sebanyak 6 kali. Seluruh episode “The Last Dance” menggambarkan betapa kompetitifnya MJ selama perjalanan karirnya, dan juga dalam menjalankan bisnisnya dengan Nike dengan brand “Jordan”. Tidak sedikit yang merasa kesal dengan arogansi MJ, namun mereka semua mengakui kehebatannya.

Cristiano Ronaldo juga demikian. Dikenal sebagai salah satu pesepakbola terkaya di dunia dengan kekayaan 460 juta dollar. Cristiano juga dikenal sebagai pesepakbola yang amat kompetitif, mnghabiskan waktu lebih lama dibanding teman satu tim. Dia sudah mulai berlatih satu jam sebelum waktu latihan bersama dan mengakhiri sesi dengan tambahan satu jam lagi untuk melatih tembakannya. Lima kali menjadi FIFA Player of The Year menjadi bukti kehebatannya, Apabila pesepakbola lain sudah memasuki usia pensiun pada usia 35, Cristiano masih berjaya dan menjadi andalan Juventus dalam merah scudetto Liga Italia. Disiplin dalam menjaga kebugaran menjadikan Ronaldo tetap fit dan bugar dalam usia sekarang. Cristiano juga dikenal sebagai sosok yang arogan, namun banyak yang mengagumi dan menjadikannya idola mereka.

Kita bisa melihat kesamaan antara Jordan dan Cristiano adalah kerja keras dan amat kompetitif. Cristiano tidak dikaruniai talenta yang luar biasa seperti Lionel Messi, tapi kerja keras menjadikannya lebih baik dari Messi. Banyak orang melihat mereka ketika sudah sukses, tetapi lupa untuk melihat proses mereka menjadi sukses dan menjaga kesuksesan mereka. Seperti kata Jenderal Norman Schwarzkopf, “success is sweet, but the secret is sweat”.

Bagaimana dengan budaya orang timur yang relatif malu dan tidak suka kompetisi? Mungkin ini menjadi masalah di dunia kerja di Asia dan Indonesia khususnya. Daripada mereka berupaya untuk bekerja keras dan berprestasi, yang dilakukan adalah menyenangkan pimpinan agar menjadi favorit sehingga karir menjadi lebih lancar. Hal ini sudah terjadi sekian lama, sehingga karyawan di perusahaan tersebut sibuk untuk melayani pimpinan saja. Setiap orang yang berfikir bahwa prestasi akan diikuti oleh karir akan kecewa dan demotivasi. Lebih parahnya apabila perusahaan masih memiliki ukuran keuangan sebagai sebuah indikator kesuksesan, namun tidak demikian dengan dunia birokrasi. Ukuran kinerja yang tidak jelas, membuat mereka tidak peduli dengan prestasi. Apabila terdapat ukuranpun kemudian dengan berbagai alasan dijustifikasi sehingga bisa diterima semua pihak. Pada akhirnya negara dan rakyat menderita dengan budaya yang demikian, karena tidak ada prestasi yang dihasilkan para pejabatnya.

Menteri negara BUMN yang baru, Erick Thohir, membawa perubahan. Beliau yang sudah dikenal sebagai pengusaha sukses tentunya tidak berniat mencari kekayaan lagi dari jabatannya. ET, panggilannya, melakukan reformasi di BUMN dan melakukan efisiensi dengan menghilangkan sekian banyak jabatan. Selain itu untuk kali pertama dalam sejarah menteri memiliki deputi di bidang human capital. Hal ini akan meningkatkan kinerja BUMN sehingga akan lebih kompetitif dan bersaing dengan perusahaan swasta. Seleksi kepemimpinan yang obyektif sesuai kinerja dan kompetensi akan memicu seluruh pejabat dan karyawan BUMN untuk berprestasi dan meninggalkan budaya menyenangkan atasan. Meskipun budaya tidak akan hilang dengan cepat, namun perjalanan sudah dimulai. Kita perlu dukung dan awasi bersama pelaksanaan tugasnya. Semoga kebiasaan pimpinan negeri ini untuk menitip akan semakin berkurang dan hilang. Semoga.

Team Trust VS Micromanagement

In discussing team trust, please allow me to draw it from a Korean drama “Itaewon Class”. Drama ini menceritakan perjalanan Park Sae-royi membangun bisnis dari kedai kecil hingga menjadi perusahaan industri makanan yang sukses hingga mancanegara. Kesuksesan Sae-royi dicapai dengan bantuan timnya yang percaya kepada Sae-royi dan sebaliknya.

Di awal kedai berdiri, Chef kedai memasak dengan tidak becus sampai Manajer kedai mengusulkan kepada Sae-royi untuk memecatnya. Apa yang dilakukan Sae-royi sebagai pemilik kedai? Sae-royi memutuskan untuk tetap mempekerjakannya karena percaya bahwa dia dapat memasak masakan yang enak.

Kepercayaan dari Sae-royi membangkitkan moral dan semangat Chef untuk terus menyempurnakan masakannya hingga berhasil membuat “signature dishes” yang lezat sehingga kedai ramai pengunjung dan terkenal. Chef tersebut bahkan mengalahkan Chef restoran terkenal No. 1 di Korea (Janga) dalam kontes nasional “Kedai Terbaik di Korea” sehingga banyak yang berminat untuk membuka franchise kedai tersebut.

Dari sini kita melihat bahwa rasa percaya dari atasan meningkatkan moral dan percaya diri dari anggota tim. Anggota tim menjadi percaya bahwa mereka memegang peranan penting dalam mencapai kesuksesan tim. Hal ini membuat mereka dengan sendirinya engage dengan tujuan yang ingin dicapai dan all out memberikan yang terbaik untuk mencapai tujuan.

Menurut Forbes, mustahil ada sukses tanpa rasa saling percaya dalam tim. Kepercayaan dalam sebuah tim menghasilkan produktivitas lebih tinggi, deliverable lebih berkualitas, pengambilan keputusan yang lebih cepat dan lebih baik, mendorong terjadinya inovasi, dan tentunya, at the end of the day, menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Siapa sih yang ga mau suasana kerja yang nyaman?

Buat yang jadi atasan, beware, ada behaviour atasan yang merusak trust dalam tim, namanya micromanagement. Dan seremnya, banyak atasan yang tidak sadar mereka melakukan micromanagement tersebut.

Ciri-cirinya seperti apa? Antara lain:

1) Control freak, sering mengecek status progress pekerjaan walaupun sebenernya tidak perlu-perlu amat

2) Sering mengurusi hal perintilan yang seharusnya sudah tidak diurus oleh atasan dengan level jabatan dan gaji tersebut

3) Marah apabila pekerjaan tidak dilakukan sama persis dengan cara yang biasanya dilakukan oleh atasan, dan banyak hal lainnya.

Micromanagement dilakukan atasan dengan alasan agar tidak gagal. While it seems okay for short term result tapi long term wise, behaviour ini merusak. Behaviour ini mengancurkan moral dan mempreteli rasa percaya diri anggota tim karena mereka sudah dicap tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan tidak bisa menghasilkan deliverables yang berkualitas.

Behaviour atasan seperti itu tentu tidak menunjukkan trust kepada anggota timnya sendiri dan tentunya anggota tim akan berlaku hal yang sama. Kalau dalam satu tim sudah tidak saling percaya, bagaimana mau mencapai sukses dan tujuan akhir yang besar? To conclude, considering all of those benefits by establishing trust within a team, why we opt for other option? Having trust within a team is A MUST!

Suksesi Kepemimpinan

Kinerja sebuah organisasi ditentukan oleh talenta yang dimilikinya. Untuk itu banyak organisasi yang kemudian fokus kepada upaya mendapatkan talenta terbaik di pasar tenaga kerja. Mereka menyusun strategi sebaik mungkin agar dapat menarik talenta terbaik. Strategi tersebut dapat berupa kesempatan karir, remunerasi atau suasana kerja, yang kemudian diramu menjadi sebuah “branding” organisasi yang menarik. Namun demikian banyak organisasi kemudian tidak mengelola dengan baik talentanya sehingga kinerja organisasi kurang optimal. Seluruh talenta terbaik yang dimiliki perlu dikelola dengan baik sehingga organisasi memiliki kader pemimpin yang mumpuni Untuk itu diperlukan sebuah pengembangan kepemimpinan berkesinambungan di dalam sebuah organisasi.

Perbedaan pengelolaan talenta dengan pendekatan sebelumnya adalah organisasi hanya fokus kepada sejumlah talenta tertentu yang dipersiapkan menjadi pimpinan organisasi. Dasar pemikirannya adalah teori pareto, dimana 70% kinerja perusahaan ditentukan oleh 30% talenta yang dimiliki. Oleh karena itu organisasi hanya perlu fokus untuk mengidentifikasi 30% talenta terbaik yang dimiliki, dan kemudian mengembangkan mereka menjadi kader pimpinan sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana dengan sisa 70% talenta lainnya? Unit pengelola talent harus mampu menciptakan sebuah sistem yang mampu melakukan pengelolaan secara mandiri. Pengelolaan yang mendiri akan memberikan kesempatan pada unit pengelola talent untuk fokus kepada pengelolaan talenta terbaik dalam rangka suksesi kepemimpinan.

Pelaksanaan suksesi kepemimpinan yang baik dimulai dari proses identifikasi 30% jabatan pimpinan yang akan menentukan 70% kinerja dari organisasi. Kemudian fokus pengelolaan unit pengelola talenta lebih kepada pemenuhan posisi penting tersebut. Proses identifikasi ini tidak mudah dan tantangan yang dihadapi seluruh jabatan pimpinan kemudian dianggap penting. Ada dua faktor yang menjadi penyebab, pertama adalah budaya timur yang sungkan untuk menyatakan satu posisi tidak lebih penting dari yang lainnya. Kedua, unit pengelola organisasi bias sehingga membutuhkan bantuan dari pihak eksternal untuk mampu lebih obyektif menilai jabatan mana yang lebih penting. Mampu menentukan jabatan penting merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang kemudian perlu diikuti dengan penyiapan talenta terbaik untuk menduduki posisi tersebut.

Umumnya ukuran yang digunakan adalah kinerja dan kompetensi. Berdasarkan dua hal ini organisasi akan mampu mendapatkan talenta terbaik. Namun menjadi talenta terbaik tersebut adalah terbaik untuk di posisinya yang dijabat saat ini, bukan untuk jabatan penting yang dituju. Untuk itu unit pengelola talenta harus mampu menilai potensi untuk jabatan yang dituju. Bagaimana menentukan tingkat potensi tersebut? Umumnya faktor yang digunakan adalah melakukan penilaian antara persyaratan kompetensi jabatan yang dituju dengan kompetensi yang dimiliki oleh talenta saat ini. Semakin kecil kesenjangan kompetensi yang dihasilkan, maka semakin tinggi potensi seseorang terhadap jabatan yang dituju. Kesalahan umum yang harus dihindarkan adalah menentukan kandidat tunggal pada jabatan yang dituju. Organisasi harus memiliki rasio tertentu, apakah berbanding 2 atau 3 sehingga seseorang tetap berkompetisi untuk mendapatkan posisi tersebut. Selama masa pengembangan talenta tersebut juga bisa tersingkir dan digantikan kandidat yang lebih baik, sehingga proses pengembangan untuk mendapatkan talenta terbaik terus berjalan.

Selanjutnya adalah proses pengembangan. Program pengembangan untuk mengisi kesenjangan kompetensi juga tidak melulu dalam bentuk pelatihan namun bisa berupa dalam bentuk penugasan pada suatu proyek tertentu atau keterlibatan pada tim atau kegiatan tertentu dalam organisasi. Kegiatan pengembangan juga tidak hanya terbatas pada kegiatan internal tetapi juga kegiatan eksternal sesesuai dengan persyaratan jabatan yang dituju. Keterlibatan seluruh pihak dalam organisasi menjadi faktor pendukung utama kesuksesan program pengembangan kepemimpinan organisasi. Unit pengelola bertindak sebagai fasilitator, namun pelaksana pengembangan adalah pimpinan saat ini yang bertanggung jawab mempersiapkan kader penggantinya.

Meritocracy VS Seniority

Globalisasi telah membawa arus perubahan besar kepada pengelolaan manusia. Dunia barat lebih menghargai merit dibanding senioritas. Cocok dengan kaum muda, karena mereka lebih termotivasi untuk berkinerja karena promosi tidak diberikan dalam waktu yang lama. Mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar ketika promosi. Namun demikian budaya di timur lebih mengutamakan senioritas. Negara seperti Jepang dan Korea memegang kuat tradisi timur dimana senioritas lebih memahami nilai dan budaya perusahaan. Mereka meyakini bahwa senioritas adalah pengalaman, sehingga semakin senior mereka dalam perusahaan maka semakin kompeten dalam pelaksanaan tugasnya. Manakah pendekatan yang terbaik? Sebelumnya kita memahami dulu pros and cons dari masing-masing pendekatan dan bagaimana sebaiknya penerapan di perusahaan kita?

Senioritas memberikan kepastian seseorang di dalam sebuah perusahaan. Pendekatan ini meyakini bahwa setiap manusia cukup fokus pada pelaksanaan tugasnya karena kesempatan promosi akan terbuka apabila ada senior yang pensiun atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendekatan ini juga memberikan kepastian, terlepas dari kinerjanya, bahwa seseorang pasti akan mendapatkan promosi pada waktunya. Namun di sisi lain, seseorang juga tidak akan terlalu motivasi untuk menghasilkan kinerja yang istimewa karena promosi tidak memperhatikan kinerja yang dihasilkan. Ada kemungkinan karyawan akan tidak optimal bekerja, sehingga secara umum kinerja perusahaan juga relatif biasa saja. Pendekatan ini disebut konservatif dan cenderung struktural dan birokratif.

Sebailknya merit memberikan motivasi kepada seseorang untuk berkinerja lebih baik. Mereka memahami bahwa dengan kinerja yang istimewa akan memberikan kesempatan karir yang lebih cepat dibanding yang lainnya. Apabila seluruh orang dalam perusahaan berfikiran demikian, maka pada akhirnya kinerja perusahaan juga akan terus meningkat. Di sisi lain kadang suasana dan budaya kerja terlupakan. Kinerja perusahaan yang baik tidak hanya bisa diperoleh oleh satu orang, tetapi melalui kerjasama yang baik. Suasana kompetitif dan ambisi yang tinggi terkadang membuat seseorang lupa untuk menjaga kerjasama tersebut, sehingga membuat pengaruh buruk pada suasana dan budaya kerja di dalam satu organisasi. Pada akhirnya tujuan akhir dan kinerja perusahaan tidak tercapai karena hal tersebut.

Idealnya memang perusahaan mampu memiliki karyawan yang senior dan berkinerja baik. Dengan demikian kata kunci sesungguhnya adalah menempatkan orang di jabatan yang paling sesuai dengan kompetensinya. Hal ini terlepas seseorang senior atau yunior. Mengutamakan kompetensi berarti yang senior harus tetap belajar dan mengembangkan diri, sementara bagi yang yunior kompetensi adalah sebuah kesempatan untuk menjadi kompeten sesegera mungkin dan mampu berkinerja sebaik mungkin. Kompeten bila dilaksanakan secara obyektif menjadi sebuah jawaban dari perdebatan senioritas dan meritokrasi. Perusahaan harus mampu membuat sebuah sistem yang handal yang mampu menjawab kebutuhan akan karyawan yang kompeten.

Salah satu solusi adalah melalui pengelolaan suksesi kepimpinan. Perusahaan harus mampu mengidentifikasi karyawan yang memiliki potensi terbaik, kemudian melakukan proyeksi masa depan kemana seseorang akan menduduki jabatan akhir yang krusial di perusahaan. Setelah itu perusahaan secara sistematis akan mengembangkan seseorang untuk siap dan kompeten di jabatan yang dituju. Perusahaan akan secara terus menerus melakukan monitoring dan evaluasi untuk memastikan kandidat pimpinan tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian pengelolaan suksesi ini membutuhkan dukungan luar biasa dari semua pihak dalam perusahaan agar bisa berjalan karena terdapat banyak gangguan dan hambatan dalam pelaksanaannya. Kita akan bahas mengenai hal ini dalam tulisan selanjutnya.