Feedback Sandwich: Yay or Nay?

Coaching dan memberikan feedback mungkin bukan hal yang asing dilakukan di lingkungan kantor. Di Baca Pikir juga sudah pernah membahas mengenai banyaknya manfaat dari coaching yang dilakukan dalam pekerjaan. Ternyata penyampaian feedback memiliki beberapa metode yang dapat diterapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 

Apakah sudah pernah dengar mengenai metode sandwich? Ada beberapa pakar yang menganggap ini metode kontroversial yang kurang tepat untuk dilakukan. Tapi ya pastinya suatu hal ada pro dan kontranya. Daripada penasaran, yuk kita bahas dulu, apa itu feedback sandwich ya! Tentunya tidak bikin lapar kok!

Feedback sandwich dipopulerkan pada 1980-an oleh Mary Kay Ash, pendiri Mary Kay Cosmetics, yang menyarankan para pimpinan untuk memberikan komentar kritis di antara lapisan pujian. Seperti namanya, sandwich alias roti lapis, feedback yang kita berikan dilakukan dengan berurutan. Layaknya roti atas, isian daging, dan roti bawah. Feedback sandwich-pun demikian; roti atas ibarat feedback yang positif sebagai pembuka, isian daging itu isi “sesungguhnya” bisa berbentuk kritik yang membangun untuk saran perbaikan dan roti bawah berisikan feedback positif kembali sebagai penutup. 

Sangat penting untuk memahami cara memberikan feedback sandwich agar menjadi yang paling efektif. Kita selalu ingin memulainya dengan setidaknya satu pernyataan positif tentang apa yang dilakukan dengan baik anggota tim. Kemudian, kita akan menyatakan umpan balik yang konstruktif, mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja anggota tim. Kemudian diakhiri dengan pernyataan penyemangat terakhir dan mengakhiri interaksi dengan nada positif.

Kelebihan metode ini adalah melembutkan dampak kritik bagi yang menerimanya, memungkinkan sesi coaching berakhir dengan nada dan suasana yang positif, dan membantu anggota meningkatkan penerimaan mereka terhadap kritik. Wah sepertinya ini cocok dengan budaya timur khususnya di Indonesia yang masih agak sungkan untuk memberikan kritik yang pedas dan tajam ya. 

Namun, seperti yang dilansir dalam Forbes.com tentu juga ada kekurangan dari penggunaan metode ini seperti inti utama feedback menjadi kurang jelas karena tidak to the point, feedback ini dirancang untuk membuat pemberi umpan balik merasa lebih nyaman daripada mencerahkan penerima umpan balik. Selain itu, tujuan pemberian feedback adalah untuk perkembangan anggota tim. Ketika kita tujuannya sudah jelas, sebaiknya menyampaikan feedback secara konstruktif daripada hanya sekedar “tidak enakan”. 

Terlepas dari apakah menggunakan feedback sandwich atau tidak, ada beberapa tips yang dapat dilakukan, yaitu: selalu spesifik dan langsung dengan cara seseorang dapat berkembang, sambil tetap tulus tentang pujian dan afirmasi positif. Saat memberikan kritik yang membangun bersama dengan pujian, lakukan dengan singkat, jelas, dan lugas. Tujuan saat memberikan feedback bukan untuk menyakiti perasaan atau membuat anggota tim merasa buruk tentang kinerja mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa ada cara untuk meningkatkan atau melakukan yang lebih baik. Apapun metode yang digunakan.

Sumber:

  1. Forbes.com
  2. Medium.com
  3. Fellow.app

Trust Issue

Memiliki pimpinan yang dapat dipercaya dan diandalkan merupakan idaman semua karyawan saat bekerja. Begitu juga kesuksesan organisasi dapat terjadi apabila dapat menumbuhkan rasa saling percaya antara seluruh anggota tim. Suatu tim akan menjadi terarah dan memiliki motivasi yang lebih besar untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Kurangnya kepercayaan dalam tempat kerja bisa menjadi ‘virus’ yang menciptakan budaya kerja yang buruk. Biasanya dimulai dari para pimpinan dan akan menyebar melalui tim-nya, membuat siklus respon yang tidak sehat sehingga mempengaruhi engagement dan produktivitas dalam bekerja. Seringkali kurangnya kepercayaan pada pimpinan merupakan inti dari lingkungan kantor yang tidak kondusif, dimana untuk memperbaiki lingkungan yang negatif membutuhkan banyak waktu dan usaha.

Kepercayaan di tempat kerja berarti karyawan menikmati budaya kejujuran, adanya keamanan psikologis, dan saling menghormati. Karyawan akan bangga dan bersedia untuk bekerja extra-miles untuk organisasinya yang berujung pada rasa aman dengan pekerjaannya dan mengurangi turnover. Dari salah satu sumber disebutkan bahwa, hanya 1 dari 5 pimpinan percaya bahwa karyawannya sangat mempercayainya dan hanya 50% karyawan menyatakan bahwa pimpinannya dapat dipercaya. Rasa percaya sangat penting untuk ada di dalam tim, karena tanpa itu karyawan akan cenderung kurang termotivasi dan produktif.

Terdapat 3 arah kepercayaan yang dapat membuat lingkungan kerja menjadi sehat. 1) Leader trust: karyawan harus percaya pada pimpinan, 2) Team trust: pimpinan harus percaya pada karyawan/timnya, dan 3) Lateral trust: anggota tim harus saling percaya satu sama lain. Seringkali dianggap bahwa pimpinanlah yang perlu mendapatkan kepercayaan dari karyawan/timnya, namun banyak yang tidak menyadari pentingnya kepercayaan dalam dua arah lainnya. Karyawan yang tidak percaya pada pimpinannya cenderung akan bekerja seadanya, tidak mau melakukan inovasi-inovasi karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pimpinannya, dan berencana untuk keluar dari perusahaan tersebut kapanpun. Padahal kondisi ini bukanlah yang ideal agar organisasi dapat berkembang dengan baik.

Pimpinan yang tidak mempercayai karyawannya kemungkinan besar akan melakukan pekerjaan dengan cara micromanaging, menahan informasi untuk pribadi, bekerja sendiri atau dengan sekelompok orang tertentu saja. Kenyataannya kemampuan untuk mendelegasikan pekerjaan membuat pimpinan dan karyawan bertanggung jawab dan mencerminkan rasa saling percaya satu sama lain. Selain itu, apabila pimpinan mempercayai karyawan/timnya akan melatih dan membimbing skill serta tanggung jawab kepemimpinan, dimana akan menjadi bekal yang baik bagi pengembangan organisasi di masa depan.

Dalam interaksi sehari-hari, terkadang pimpinan tidak menyadari tindakan yang dilakukan yang kerap kali menimbulkan rasa tidak percaya pada pimpinan dan organisasi. Seperti hanya memberikan informasi kepada senior manajemen daripada ke seluruh tim sehingga menjadi rumor tanpa mengetahui mana yang informasi yang benar atau salah; membuat ‘tim’ dalam tim sehingga membuat beberapa karyawan merasa tidak dianggap atau persepsi adanya karyawan favorit dalam tim tersebut; kurangnya keselarasan antara tanggung jawab dan wewenang sehingga pekerjaan menjadi tidak jelas dan menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan; hingga menciptakan silo dalam organisasi sehingga mengganggu kerja tim antar bagian/departemen.

Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan pimpinan untuk mendapatkan kepercayaan dari karyawan. Misalnya dengan mempertahankan transparansi dan komunikasi sehingga karyawan bisa terbuka dan memberikan performa terbaiknya untuk organisasi. Ini juga harus didukung dengan memberikan arahan, dukungan, pembagian tugas yang adil dan merata, melakukan rotasi pada tugas/proyek, memfasilitasi rapat-rapat yang mendukung kinerja, sehingga akan menciptakan budaya kerja yang positif. Pertanyaannya apakah ‘rasa percaya’ sudah terbangun dengan positif di lingkungan kerja anda sekarang? Yuk coba kita refleksikan

Remote Leadership

Saat ini kondisi dunia kerja sudah menuju kesimbangan baru. Semakin banyak perusahaan/organisasi yang berani berpindah dari pola kerja kantoran yang konvensional menjadi pola kerja hybrid/WFH/WFA. Tantangan terbesar bagi perusahaan/organisasi yang mulai bertransformasi saat ini sebenarnya bukan pada pekerjaan jarak jauhnya (remote work), melainkan di kepemimpinan jarak jauh (remote leadership). Sekarangpun banyak tools, sistem dan perangkat teknologi yang memudahkan pegawai beradaptasi menghadapi perubahan ke remote working dengan biaya terjangkau. Namun kendala terbesarnya adalah adanya kebutuhan besar bagi para pemimpin untuk beradaptasi dengan praktek kepemimpinan jarak jauh. Bila tak dilakukan, maka transformasi remote working tidak akan berhasil.

Mari kita lihat salah satu contoh di lapangan, perusahaan yang memiliki aplikasi Customer Relationship Management (CRM) sudah seharusnya lebih mudah untuk sukses menjaring konsumen dan pangsa pasar, dibanding perusahaan tanpa CRM. Implementasi software-software CRM sebenarnya telah ada selama beberapa dekade terakhir, dan relatif mudah digunakan dan dipahami. Namun penelitian menunjukkan bahwa selama 13 tahun terakhir, antara 30 hingga 60% implementasi sistem CRM gagal total. Data menunjukkan bahwa alasan utama kegagalan tersebut adalah karena CEO tidak memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk membuatnya sukses.

Begitu pula inisiatif dalam remote working yang sudah pasti memanfaatkan aplikasi-aplikasi terkini yang lazim: seperti Zoom, Dropbox, Teamviewer, Hive, dll. Bila para pemimpinnya tidak menggunakan pendekatan kepemimpinan yang tepat, cita-cita remote working bisa jadi sebuah bencana dan buang-buang tenaga/waktu perusahaan. Peter Drucker yang dianggap sebagai bapak manajemen modern percaya bahwa orang menjadi pemimpin yang lebih baik jika mereka belajar mengelola diri sendiri, kemudian belajar mengelola tim, dan akhirnya belajar mengelola peluang. Mengelola diri sendiri mengacu pada penggunaan waktu dan keterampilan komunikasi. Mengelola tim mengacu pada disiplin membimbing tim menuju misi yang jelas, dan tujuan yang bermakna. Maka, jika seseorang pandai mengatur waktu, komunikasi, dan tim, maka mengelola peluang akan menjadi rutinitas yang sederhana.

Learning to Manage Yourself: Time and Communication

Kamu memenangkan tiket untuk mengobrol dengan Elon Musk. Kamu harus memilih apakah lebih suka bertukar pikiran melalui email dengan dia atau mengadakan pertemuan tatap muka sambil dia menggunakan papan tulis. Yang mana yang akan kamu pilih? Preferensi yang sama berlaku untuk individu di tim yang lebih memilih untuk mengadakan pertemuan tatap muka daripada menerima email. Komunikasi lebih efektif jika berbicara secara langsung, dan kurang efektif jika ditulis melalui email, apalagi informasi dengan teks cenderung terbatas dalam mengekspresikan emosi dan suasana kebatinan. Namun yang cukup menggelikan, mengapa CEO/pimpinan menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengirim email serta berkomunikasi via teks.

Tantangan komunikasi yang efektif adalah ketika kita meningkatkan efektivitas, waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya juga meningkat. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pertemuan tatap muka membutuhkan waktu jauh lebih lama daripada mengirim email. Elon Musk mungkin lebih suka mengirim email saja dengan beberapa pemikirannya, daripada menghabiskan satu jam waktunya untuk mempersiapkan dan menjamu kamu secara langsung. Scott Ambler, mantan kepala di IBM Agile, mengilustrasikan efektivitas komunikasi berbagai channel dimana efektivitas komunikasi serta waktu yang dibutuhkan berkorelasi positif. CEO/pimpinan mengirim email karena waktu mereka lebih sedikit.

Oleh sebab itu, pendekatan komunikasi yang tepat dan kesediaan meluangkan waktu oleh pimpinan kepada anggota tim disaat remote working harus menjadi prioritas. Remote working secara full time (full WFH/WFA) bukan merupakan opsi optimal. Manusia sebagai makhluk sosial tetap membutuhkan interaksi yang dekat agar dapat membangun kontekstual dan trust dengan sesama rekan kerja.Frekuensi 1-2 kali pertemuan tim strategis dengan tatap muka dalam 1 minggu normalnya sudah cukup untuk mengefektifkan komunikasi. Jadi, bagi perusahaan yang ingin mengadopsi remote working, melakukan rapat koordinasi/evaluasi strategis tatap muka 1-2 kali seminggu sepertinya angka yang ideal untuk dipraktekkan, sisanya, kamu dapat bekerja dari rumah/diluar kantor. Sedangkan pertemuan lain yang kurang strategis/cenderung teknis, dapat dilakukan dengan channel komunikasi lain non-tatap muka.

Learning to Manage a Team: Defining Parameters and Providing Leeway

Cobalah bertanya pada pegawai high performers suatu perusahaan mengenai praktek manajemen kerja terbaik, sebagian besar pasti menginginkan kondisi dimana ada parameter/ukuran yang jelas untuk pekerjaan mereka, dan disaat yang sama diberikan ruang kebebasan serta kepercayaan untuk mengeksekusi hal-hal yang masih dalam domain mereka. Pegawai yang baik pasti menginginkan kejelasan ekspektasi dari pimpinan tentang arah tujuan perusahaan mau kemana, kejelasan jalur karir, serta diberikan kewenangan tanpa harus terus dipelototin dan diajari terlalu sering oleh si bos.

Pada saat konsep remote working berjalan, para pemimpin harus mampu menggabungkan kemampuan untuk menetapkan aturan yang ketat (harapan dan parameter kerja) dengan kemampuan untuk memberikan otonomi dan kepercayaan (kemandirian bagi pegawai untuk membuat keputusan sendiri). Dengan kata lain, kepemimpinan yang efektif berkaitan dengan micromanaging parameter dan macromanaging eksekusi. Dengan adanya kejelasan tujuan dari pimpinan, serta akuntabilitas kerja yang baik, maka para pegawai yang sedang remote working dapat mencari solusi dengan kreatif, tanpa harus dimonitor terlalu intens oleh supervisornya yang terkadang malah kontraproduktif.

Emphatetic Leader

Studi global terakhir yang dilakukan oleh qualtrics memberikan fakta bahwa 46% pekerja telah mengalami penurunan kesehatan mental. Hal ini disebabkan beberapa hal: 67% merasakan peningkatan terhadap stress, 57% peningkatan anxiety, 54% mengalami peningkatan kelelahan mental, 53% mengalami peningkatan kesedihan, 50% merasakan peningkatan kemarahan dan 28% mengalami gangguan konsentrasi. Secara umum pekerja telah merasakan penurunan kesehatan mereka. Hal ini tentunya merupakan sinyal kuat kepada perusahaan untuk segera memberi perhatian. Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada kinerja perusahaan.

Fakta lain yang serupa disampaikan oleh Academy of Management Journal. Pegawai yang mengalami perlakuan buruk di tempat kerja, akan mengalami penurunan kinerja yang signifikan. Mereka juga menjadi cenderung menjadi lebih individualistis dan timbul perasaan tidak ingin menolong rekan kerja yang lain. Penelitian Georgetown University juga menambahkan bahwa perlakuan buruk selain menurunkan kinerja dan kolaborasi tetapi juga meningkatkan turnover pegawai.

Ketika masalah di atas sudah mengemuka, perlu dicarikan solusi. Suatu studi yang dilakukan oleh Catalyst terhadap 889 orang menyimpulkan sousinya adalah empati. Ketika pemimpin berempati dengan bawahannya kondisi kerja membaik. 67% menyatakan lebih inovatif, dibanding 13% yang tidak memiliki pimpinan yang empati. Sebanyak 76% lebih engaged kepada pekerjaan dibanding 32% yang tidak. Sebanyak 62% pekerja wanita menyatakan tidak akan pindah kerja, dibanding hanya 14% yang tidak. 86% merasakan keseimbangan antara hidup dan bekerja dibanding 60% yang tidak.

Apabila salah satu solusi terbaik dari penurunan mental adalah pemimpin yang empati, maka sudah seharusnya perusahan berusaha mengembangkan empati dari para pimpinannya. Empati sendiri oleh CCL diartikan sebagai “having the ability to understand the needs of others, and being aware of their feelings and thoughts”. Dalam banyak kasus empati bisa ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda, tapi anda bisa berlatih dengan beberapa cara, antara lain mendengar pendapat dan masukan bawahan, jangan berusaha menginterupsi bawahan ketika berbicara, hadir dan berkomunikasi di lingkungan kerja mereka, jangan mudah men-judge orang lain, memperhatikan bahasa tubuh mereka dan membicarakan hal personal dengan mereka.

Menurut Mindtools, ada tiga tahap dalam berempati:
1. Cognitive empathy: yaitu memahami kondisi emosi orang lain,
2. Emotional empathy: yaitu ikut merasakan dan berbagi emosi dengan orang lain, dan
3. Compassionate empathy: yaitu melakukan aksi untuk mendukung orang lain.

Yang perlu dijaga oleh anda dalam berempati adalah keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan bawahan. Anda telah ditunjuk sebagai pimpinan oleh perusahaan, sehingga harus memastikan target kerja tercapai. Namun sebagai pimpinan anda dituntut untuk memahami kondisi dan situasi yang terjadi pada anak buah anda. Kemampuan untuk berempati tidak terkait dengan karakter seseorang, namun bisa dilatih. Semakin anda berlatih, maka kemampuan anda untuk berempati semakin tinggi.

Di dalam situasi ketidakpastian dan kondisi yang terus berubah, kesehatan mental pegawai menjadi faktor penting dalam bekerja. Sudah sewajarnya perusahaan dan para pemimpin lebih serius untuk menerapkan empati di tempat kerja. Pada akhirnya para pemimpin dan perusahaan yang akan mendapat menfaatnya. Selamat mencoba.

Kepemimpinan ala Angsa

Mungkin ada yang pernah melihat ketika rombongan angsa terbang bersama? Mereka akan membentuk formasi seperti huruf V. Tentu ada alasannya mengapa demikian dan ternyata ada banyak pelajaran kepimimpinan dan kerja sama tim lho dalam formasi terbang tersebut. Eh gimana? Kok bisa? Penasaran? Yuk, kita terbang lebih lanjut.

Gerombolan angsa terbang bersama dengan formasi V tersebut akan menambah momentum 71% lebih besar dibandingkan dengan jika terbang sendirian. Inilah kekuatan dari kerja sama tim dan persatuan jika tim bekerja bersama-sama menuju tujuan organisasi. Semua akan berusaha, saling menyemangati, dan mendukung maju bersama. Tim yang hebat adalah tim yang dapat mengenali dan menggali kekuatan dan kelemahaan tiap anggota dan dapat memanfaatkan kekuatan yang ada dan membantu kelemahan yang lain. Bekerja sendiri mungkin akan lebih cepat, tetapi bekerja sama akan menghasilkan lebih banyak.

Jika ada salah satu anggota angsa yang “keluar” dari garis formasi, secepatnya angsa itu akan merasakan hambatan karena terbang sendirian dan akan segera kembali ke formasi untuk tetap menjaga keseimbangan dan flow terbang tim. Setiap kerja sama tim tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Banyak kepala, banyak ide. Jika ada satu anggota tim sedang tidak di dalam lingkaran kerja sama, tentu saja akan muncul risiko dan produktivitas akan terganggu. Hal yang harus dilakukan leader dan anggota tim yang lain adalah, cepat lakukan dialog kolaboratif atau coaching untuk mendiskusikan hal yang dialami anggota tersebut. Temukan solusi dan jelaskan bagaimana mereka dapat berkontribusi dan peran nyata dalam kemajuan tim.

Ketika pimpinan angsa merasa lelah, dia akan terbang di posisi belakang, dan salah satu angsa lainnya akan menggantikan posisi menjadi pimpinan terbang yang baru. Hal ini membangun trust dan kepercayaan diri semua anggota untuk secara bergilir melakukan tugas strategis, memimpin, dan mengambil keputusan. Sebagai seorang pimpinan, juga seharusnya trust kepada anggota timnya dalam melaksanakan tugas, dan melakukan persiapan regenerasi kepimpinan. Setiap anggota tim mempuinyai keterampilan, kemampuan, dan bakat unik masing-masing. Dengan pempimpinan yang percaya kepada semua anggota tim dengan berbagi tanggung jawab dan akuntabilitas, maka akan terbentuk tim yang lebih kuat dan saling mendukung.

Angsa terbang dalam formasi dan mengeluarkan suara seperti klakson untuk saling memberikan semangat, yel-yel, dukungan dan mendorong angsa di bagian depan untuk menjaga kecepatannya. “Klakson” ini artinya adalah pengakuan, pujian, feedback membangun untuk sesame anggota tim agar tetap saling semangat, menjaga phase kerja, komunikasi yang sehat, dan menciptakan suasana kerja yang kondusif karena komunikasi berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Ketika ada seekor angsa yang sakit atau kelelahan, dua angsa akan keluar dari formasi dan membantu angsa sakit tersebut keluar formasi dan istirahat. Dua angsa tersebut akan menemani, mendukung, membantu, dan menjaga angsa sakit tersebut. Mereka akan tinggal bersama angsa sakit sampai angsa itu sembuh dapat terbang kembali atau bahkan mati. Lalu mereka akan kembali terbang mengejar kawanan lama mereka. Tim hebat akan berdiri bersama dan saling mendukung bila menghadapi masalah. Saling membantu dan menjaga sesame anggota tim untuk tetap menjaga kekompakkan, kerja sama tim dan kesejahteraan satu sama lain.

Banyak hal yang dapat kita pelajari di sekitar kita. Hal yang dibutuhkan adalah perhatian dan lebih memahami situasi yang terjadi. Sebagai pemimpin atau calon pemimpin di masa depan, apakah teman-teman sudah lebih memerhatikan keadaan disekitarnya? Tetap belajar hal baru setiap hari ya tentunya agar kita semua bisa terbang lebih tinggi bersama-sama!

Sumber:

  1. Power Resource Center
  2. Leader Shift Project

Yuk Kita Cuti!

Siapa yang disini jatah cuti tahunannya masih banyak? Atau jangan-jangan ada yang sudah minus alias ‘ngutang’ nih jatah cutinya karena sering digunakan. Nah kira-kira kenapa ya setiap perusahaan di dunia wajib memberikan hak cuti kepada karyawannya.

Cuti tahunan merupakan kesempatan penting bagi karyawan untuk istirahat sejenak dari tempat kerja dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Setiap negara memiliki aturan yang berbeda-beda terkait jumlah cuti tahunan. Namun pada umumnya setiap negara memiliki minimum cuti tahunan yang terdiri dari hari libur berbayar dan hari libur nasional. Sebagai contoh, negara Indonesia memberikan 12 hari untuk hari libur berbayar dan 15 hari untuk hari libur nasional per tahunnya sehingga cuti per tahun berjumlah 27 hari, Australia memberikan 20 hari untuk hari libur berbayar dan 10 hari untuk hari libur nasional per tahunnya sehingga cuti per tahun berjumlah 30 hari, rata-rata negara-negara di Eropa memberikan minimal 20-30 hari untuk hari libur berbayar diluar hari libur nasional (dengan Perancis paling banyak memberikan jumlah cuti tahunan dan Ireland paling sedikit memberikan jumlah cuti tahunan), sedangkan di Amerika tidak ada persyaratan nasional untuk hari libur berbayar atau paid sick days sehingga cuti ditentukan oleh masing-masing perusahaan. Menurut, Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika melaporkan bahwa 76% pekerja Amerika yang memiliki paid time off (PTO)/ hak untuk cuti hanya 5-10 hari per tahun.

Menurut salah satu studi yang dilakukan, cuti tahunan penting bagi kesehatan dan kesejahteraan karyawan. Dari sisi organisasi, mungkin banyak yang berpikir bahwa dengan tidak cuti, karyawannya dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dan menjadi lebih produktif. Kenyataannya malah sebaliknya, tidak mengambil cuti akan menyebabkan stress dan burnout yang menurunkan produktivitas. Dengan mengambil cuti tahunan membuat karyawan lebih ‘fresh’ dan bahagia, meningkatan mood, serta seimbang work-lifenya sehingga akan menjadi lebih termotivasi dan produktif lagi. Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh American Psychology Associaton, dengan cuti akan membantu mengurangi stress karena sejenak kita ‘meng-istirahat-kan’ diri dari tugas-tugas atau lingkungan pekerjaan yang secara tidak sadar menyebabkan perasaan stres dan kecemasan. Dimana ini dapat membantu kesehatan fisik dan mental termasuk mengurangi dampak stres seperti masalah pada perut, sakit kepala, atau kesulitan dalam berkonsentrasi, yang akan berpengaruh pada berkurangnya izin sakit karyawan.

Dengan mengetahui pentingnya menggunakan hak cuti tahunan, sudah sepatutnya organisasi memberikan kemudahan bagi karyawannya untuk cuti. Namun faktanya, rata-rata karyawan di Inggris hanya menggunakan 62% dari hak cuti tahunan mereka. Begitu juga di Jepang hanya 51,1% yang menggunakan hak cutinya. Ternyata banyak juga karyawan yang tidak menggunakan hak cutinya yang disebabkan oleh beberapa alasan seperti terlalu sibuk, beban pekerjaan yang tinggi, takut tertinggal dalam pekerjaannya, keinginan untuk naik gaji, ‘terlalu malu’ untuk meminta cuti, ingin terlihat memiliki kemauan untuk bekerja ekstra, serta tidak mempercayai orang lain untuk melakukan pekerjaannya. Padahal istirahat sejenak dari pekerjaan akan membuat seseorang kembali fokus dan mengembalikan energi yang berujung pada tercipatanya budaya kerja yang baik, employee engagement, dan produktivitas.

Munculnya fenomena ‘leaveism’ (seorang karyawan menggunakan cuti tahunan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan) telah menjadi lebih umum sekarang ini. Banyak yang menganggap istirahat dari pekerjaan tidak terlalu penting, padahal time-out sejenak memegang peranan penting sehingga seorang karyawan tidak berujung menjadi burnout. Burnout ditandai dengan kelelahan emosional, penurunan kinerja, pengambilan keputusan yang buruk, tingkat kesalahan yang lebih tinggi, dan cenderung kurangnya empati terhadap rekan kerja. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa manfaat jangka pendek yang dicapai dari kerja yang berlebihan dan penundaan cuti tahunan, akan menyebabkan efek jangka panjang dari hilangnya produktivitas, kesalahan dalam bekerja, dan karir yang singkat.

Quotes dari Alexander Babinets ini menggelitik saya: “I have never believed that vacations are luxuries. They are necessities-just like shelter, clothes and food, they make us feel like humans and not like animals that care only for survival.” Coba direnungkan ya dan ayo sekarang kita lihat kembali jatah cuti kita dan gunakan sebaik-baiknya.

NOKIA: dulu jagoan jadi nggak relevan

Sebagian besar dari kita tentu mengenal Nokia, bahkan menjadi pengguna produk pada masanya. Siapa yang tidak ingat “banana phone” keluaran Nokia yang sangat populer. Tahun 2007 adalah puncak kejayaan Nokia yang berhasil menguasai 51% pangsa cellphone di seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Apple saja sekarang hanya mampu menguasai 25% pangsa pasar, sehingga terlihat bagaimana Nokia bisa mendominasi pasar pada waktu itu. Nokia mengubah mindset bahwa cellphone juga dikaitkan dengan fashion sehingga mendapat respons yang luar biasa.

Namun demikian hanya dalam waktu enam tahun, Nokia kemudian hampir mengalami kebangkrutan, dan akhirnya diakuisisi oleh Microsoft seharga 7.2 miliar dollar. Ada apa dengan Nokia sehingga dalam waktu cepat bisa terlempar dari kompetisi cellphone pada waktu itu?

Kesalahan pertama Nokia adalah terlalu fokus kepada pembuatan hardware. Desain yang menarik tentu menjadi daya tarik pembeli, tetapi cellphone tidak bisa berfungsi ketika tidak memiliki sistem operasi. Sementara pesaingnya telah mulai mengembangkan sistem operasi android dan IOS, Nokia ketinggalan karena terus menggunakan Symbian sebagai sistem operasinya. Berbeda dengan symbian, android dan IOS sudah berbasis aplikasi.

Kesalahan berikutnya Nokia ketika pesaingnya seperti samsung, motorola, huawei sudah mengadopsi android ketika google memasuki pasar di tahun 2008, Nokia tetap bersikeras menggunakan sistem operasinya sendiri yaitu Symbian. Akhirnya Nokia menyerah, pada tahun 2011 mereka beralih menggunakan windows phone bekerjasama dengan microsoft. Keputusan tersebut fatal karena akhirnya windows phone gagal sehingga Nokia kehilangan dominasinya sebagai penguasa pasar. Android sendiri sudah terbukti sekarang digunakan 80% smartphone saat ini. Ketika akhirnyapada tahun 2014 Nokia memutuskan beralih ke android, semuanya sudah terlambat.

Nokia juga memiliki masalah dengan struktur organisasinya. Ketika memutuskan mengubah organisasi berdasarkan hirarki pada tahun 2004 menjadi organisasi matriks, ternyata keputusan ini bermasalah. Keinginan agar lebih inovatif dengan matriks organisasi, ternyata malah menimbulkan krisis. Dalam organisasi matriks manager memiliki beberapa kewenangan, dan ini menimbulkan konflik sehingga inovasi terhambat dan proses pengambilan keputusan juga menjadi lama. Sebagai perbandingan, Apple sebagai pesaing tetap menggunakan organisasi hirarki dimana Steve Jobs sebagai puncak hirarki tersebut.

Terakhir, Nokia tidak mampu mengantisipasi gelombang smartphone di awal tahun 2000-an. Ketika kompetitor mulai beralih ke smartphone, Nokia memilih fokus ke pembuatan cellphone yang berkualitas baik, murah, tahan lama dan menarik. Ternyata keinginan pasar berbeda, ketika Apple keluar di pasar, semua orang menginginkan smartphone tersebut. Nokia gagal mengantisipasi kebutuhan pasar padahal pada waktu itu posisinya masih sebagai pemimpin pasar. Apple setelah mengeluarkan smartphone segera mengambil alih posisi sebagai pemimpin pasar hingga kini.

Ini adalah salah satu bukti bahwa yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan. Seperti Charles Darwin mengatakan “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one most adaptable to change”. Lingkungan perusahaan terus berubah, dan yang mampu mengantisipasi atau memanfaatkan perubahan tersebut yang akan mampu bertahan dan meraih kesuksesan. Teknologi berkembang sangat cepat dan demografi konsumen juga berubah. Generasi muda memiliki perilaku yang berbeda. Kekuatan ekonomi negara juga bergeser. Sumber daya alam menipis. Isu sustainability mengemuka. Pandemi belum ada tanda akan berakhir. Kesemua ini adalah dinamika yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Adalah tidak mungkin perusahaan tidak beradaptasi dan tetap mengharapkan hasil yang sama.

Bagaimana perusahaan di tempat anda bekerja? Semoga ikut beradaptasi mengikuti perubahan.

Holacracy

Pernah lihat film the Intern (2015) yang dibintangi Robert de Niro dan Anne Hathaway? Bila kamu menonton, pasti ingat perusahaan retail pakaian bernama About the Fit yang sekilas terlihat amat menyenangkan. Seluruh anggota tim di perusahaan dapat berkomunikasi dengan luwes seakan-akan tiada sekat antara atasan dan bawahan. Kondisi demikian serupa dengan konsep Holacracy, yaitu sistem kerja yang memberikan kebebasan penuh kepada setiap individu untuk bekerja dan berkarya sesuai dengan kapabilitas semaksimal mungkin tanpa batasan yang signifikan dari atasan langsung, dengan demikian perusahaan diharapkan dapat berjalan secara lebih responsif dan berorientasi pada tujuan. Bahkan holacracy tidak memiliki struktur organisasi baku, namun sangat dinamis dan mudah berubah sepanjang waktu.

Setiap orang dalam organisasi holacracy bertanggung jawab penuh atas tugas dan target yang ingin dicapai tanpa perlu melapor kepada supervisor atau manager dan tidak perlu menunggu perintah pekerjaan. Lalu bagaimana bila tidak ada bos atau manajer yang mengarahkan? Jadi pada pendekatan Holacracy, perusahaan membentuk tim-tim kecil yang independen dan saling terhubung. Tiap tim punya otoritas mengambil keputusan sendiri: mereka diberi suatu target dan tujuan besar, lalu mereka memutuskan sendiri gimana caranya mencapai tujuan tersebut. Intinya yaitu tentang self-management. Dengan holacracy, tiap orang dan tim akan memiliki sense of belonging yang lebih tinggi ke organisasi tempat bekerjanya karena mereka merasa berkontribusi secara langsung atas keputusan penting perusahaan. Oleh sebab itu organisasi holacracy dapat mendorong inovasi pegawai, sense of community, memberdayakan pegawai apapun levelnya, serta meminimalisir proses bisnis dan berbagai meeting yang tidak penting.

Pada gambar diatas, seluruh komponen pegawai pada sistem holocracy dapat berkontribusi langsung terkait fungsi timnya. Bahkan seorang CEO pun dapat memiliki portofolio kerja. Sistem ini memang terdengar sangat sesuai dengan generasi millennials yang suka dengan kecepatan proses dan informalitas bekerja. Akan tetapi sistem holacracy masih sulit diterapkan oleh banyak perusahaan, baik startup atau konvensional karena membutuhkan perubahan mindset yang besar. waktu yang dibutuhkan untuk bertransisi juga cukup panjang karena tidak semua pihak dan perusahaan dapat menerima dan nyaman dengan konsep holacracy. Holacracy pada dasarnya cocok bagi organisasi yang fokus terhadap inovasi, ingin mengubah cara orang bekerja dan meningkatkan kinerja pegawai, mempercepat pengambilan keputusan, mencapai tujuan dengan resources terbatas, dan mengungkap bakat-bakat terpendam dan ide brilian dari para pegawai.

Namun layaknya pendekatan keorganisasian lainnya, holacracy bukan tanpa kekurangan. Beberapa isu masih harus diperhatikan, yaitu (1) kepemimpinan yang kurang terlegitimasi dapat menimbulkan risiko tim menjadi disorganized dan tidak efektif, apalagi bila ketua tim yang ditunjuk bukan orang yang tepat. (2) Pada holacracy tidak ada blame game atau saling menyalahkan, sehingga ada potensi pegawai menjadi free rider terhadap capaian tim. Merekapun tidak dapat ditindak karena memang tidak ada formal authority yang memintanya melakukan tugas tertentu secara langsung. (3) Holocracy cenderung sulit diimplementasikan karena pada dasarnya, manusia terbiasa hidup dalam hierarcy sosial, perubahan mindset pegawai agar self-managed tidak mudah diterapkan dengan cepat, namun butuh proses dan pelatihan yang panjang.

Nah, dunia kerja sudah semakin berubah bukan? Siapkah kamu melakukan revolusi besar terhadap sistem organisasi di perusahaan atau organisasi kamu?

Information Source:

holacracy.com, wrike.com, majalah.kliksaja.co, hbr.org, kumparan.com, ziliun.com

Coaching: Manfaat Bagi Atasan dan Bawahan

Hasil riset menunjukkan bahwa efektivitas pengembangan seseorang 70% ditentukan melalui on the job training, 20% dari hasil coaching dan 10% dari formal training. Hasil penelitian ini mengajak kita untuk mengubah cara pandang bahwa kita dikembangkan perusahaan apabila dikirim mengikuti program pelatihan atau pendidikan yang dilakukan oleh pihak eksternal. Ternyata efektivitas keikutsertaan dalam pelatihan formal hanya 10%, sementara biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Pengembangan on the job training amat sesuai dengan karateristik milenial dimana mereka menghargai sebuah proses daripada dilakukan pendampingan. Mengalami kesulitan, mampu keluar dari masalah, sukses menyelesaikan tugas merupakan proses yang dinikmati para milenial dalam pelaksanaan tugas. Sudah sewajarnya bila perusahaan banyak menekankan pengembangan karyawannya dengan metode ini. Yang berikutnya adalah coaching. Namun pelaksanaan coaching menjadi masalah karena membutuhkan pihak selain karyawan yaitu atasan. Perlu dikaji apakah atasan paham tugasnya untuk memberikan coaching dan ketika paham mampu melakukannya. Hasil survey menunjukkan 52% dari atasan tidak pernah diberikan pelatihan menjadi mentor. Sementara 79% dari atasan mendapatkan informasi bagaimana menjadi mentor justru dari internet.

Wajar kalau kemudian milenial merasa tidak dikembangkan, karena perusahaan memang tidak pernah mempersiapkan atasan dengan kemampuan coaching yang baik. Di lain pihak, atasan juga menganggap proses coaching kurang penting, sehingga tidak merasa perlu melakukan proses tersebut dan apalagi belajar bagaimana menjadi coach yang baik. Ini adalah gejala umum di banyak perusahaan, sehingga pelaksanaan coaching tidak seragam dan dilakukan berdasarkan pemahaman atasan.

Dick Grote, pakar performance management, dalam artikelnya “every manager needs to practice two types of coaching” menjelaskan ada dua jenis coaching yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah calendar-driven coaching dan kedua adalah event-driven coaching.

Calendar-driven coaching dilakukan secara formal dan terstruktur di waktu tertentu seperti awal, pertengahan atau akhir tahun. Sesuai aturan seorang atasan akan menginisiasi diskusi dengan bawahan, dan mengisi formulir sesuai yang dipersyaratkan. Seorang atasan akan banyak melakukan pertanyaan untuk menggali masalah yang dihadapi oleh bawahan dalam bekerja. Pada akhir sesi atasan akan menyampaikan ekspektasi dan rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan oleh bawahan. Terkadang rekomendasi ini kemudian masuk ke dalam rencana pengembangan individu untuk kemudian dapat ditindaklanjuti secara formal.

Yang kedua, event-driven coaching, pelaksanaannya lebih informal dan bisa dilakukan kapan saja. Pihak yang menginisiasi coaching juga bisa dari bawahan dan tidak melulu harus dari atasan. Misalnya seorang bawahan setelah melakukan presentasi meminta feedback atasan terhadap materi dan cara komunikasi atau presentasi. Apa yang perlu diperbaiki, sehingga lebih baik di masa mendatang. Bisa juga seorang atasan dalam keseharian memanggil bawahan untuk kemudian secara langsung memberikan evaluasi dan masukan kepada bawahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Dengan demikian inisitiaf jenis coaching ini bisa dilakukan baik oleh atasan maupun bawahan.

Apabila calendar-driven coaching dilakukan di kantor, maka event-driven coaching bisa dilakukan dimana saja dan bahkan dapat dalam bentuk pesan teks tidak dharus dalam bentuk sebuah dialog langsung. Atasan yang baik akan dengan senang hati memberikan coaching, sebabnya ketika bawahan lancar atau mengerti dengan jelas ekpektasi atasan, maka penyelesaian tugas akan lebih lancar dan sesuai harapan. Dengan demikian, anda menjadi merugi ketika tidak meminta masukan setelah sebuah event. Hubungan atasan bawahan juga bisa terjalin lebih erat ketika anda melakukannya, karena atasan juga merasa dihormati dengan dimintakan masukan atau pendapat.

Milenial butuh pengembangan, atasan perlu pekerjaan lancar. Oleh karena itu kedua pihak perlu berinisiatif. Ketika manusia menjadi aset paling berharga, tentunya kita selalu ingin aset tersebut selalu berkembang. Sudahkah anda minta di-coaching belakangan ini?

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kehidupan dalam pekerjaan tidaklah selalu berjalan mulus. Setiap orang yang bekerja, seringkali dihadapkan dengan berbagai hambatan dan kesulitan. Bahkan, seringkali kesulitan yang ada di tempat kerja sering berdampak buruk khususnya terhadap kesehatan mental dan kehidupan sosial karyawan. Salah satu isu yang sering menjadi bahan pembicaraan namun tidak cukup mendapat perhatian adalah terkait dengan isu pelecehan seksual atau sexual harassment di tempat kerja. Tanpa disadari, tindakan pelecehan seksual di kantor ternyata memiliki dampak yang serius terhadap kesejahteraan karyawan dan citra perusahaan atau organisasi.

Dalam perspektif psikologis, pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang dipandang sebagai bentuk ofensif atau mengancam kenyamanan seseorang. Apabila didefinisikan secara umum, pelecehan seksual dapat digambarkan sebagai sebuah tindakan yang tidak “diminta”, meliputi tindakan fisik, verbal dan non-verbal yang bersifat seksual dan mempengaruhi martabat wanita maupun pria. Begitu pula di tempat kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya berbicara bahwa korbannya hanyalah wanita. Studi UN Women pada tahun 2012, mengungkapkan bahwa baik pria maupun wanita menjadi korban pelecehan seksual, meskipun rasio perempuan yang menjadi korban jauh lebih besar.

Pelecehan di tempat kerja telah ada selama beberapa dekade dan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Berdasarkan artikel berjudul “Sexual Assault and Mental Health” yang ditulis oleh Mental Health America tahun 2019, tindakan pelecehan seksual di tempat kerja memberikan ketidaknyamanan kepada para korbannya baik secara fisik maupun mental. Sebuah tindakan pelecehan seksual saja dapat menyebabkan efek negatif jangka pendek dan jangka panjang pada korban. Hal Ini mengarah pada kondisi depresi dan stres pasca-trauma. Karyawan yang menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja mungkin dapat merasa terhina, kehilangan harga diri, dan banyak lagi. Seorang akademisi dari Walden University juga mengungkapkan bahwa tindakan pelecehan seksual ini juga dapat menyebabkan masalah di tempat kerja seperti turnover yang lebih tinggi, ketidakhadiran, kepuasan kerja yang lebih rendah, dan penurunan kinerja. Pada karyawan pria maupun wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual rata-rata merasakan emosi negatif seperti malu, takut dan depresi serta penurunan harga diri, kepuasan kerja, dan rasa nyaman mereka di kantor.

Apabila tidak direspon dengan cepat, tidak peduli seberapa besar atau kecil insiden pelecehan seksual akan banyak berpengaruh baik terhadap perusahaan maupun terhadap karyawannya. Respon yang terlambat dapat membuat korban berhenti dari pekerjaan mereka. Jika isu pelecehan seksual di tempat kerja diabaikan, citra perusahaan juga akan terganggu. Bayangkan apabila sebuah perusahaan dicap sebagai perusahaan yang kental dengan karyawan-karyawan yang suka melakukan pelecehan seksual. Tentunya akan menimbulkan persepsi yang buruk di mata masyarakat.

Agar dapat meminimalisir dan mencegah tindakan pelecehan seksual di kantor, manajemen perusahaan diharapkan memiliki kebijakan efektif dan dikomunikasikan dengan baik yang bertujuan untuk mencegah pelecehan. Kebijakan harus dipantau dan keberhasilannya ditinjau secara berkala. Manajemen juga harus mengambil kesempatan untuk mengingatkan karyawan tentang keberadaan kebijakan dan isinya, menyoroti pesan utama kebijakan – seperti kebijakan “tanpa toleransi” terhadap pelecehan dan bagaimana melaporkan pelecehan. Manajemen dapat mengomunikasikan kebijakan dan kontennya menggunakan, misalnya melalui buletin internal, papan pengumuman fisik atau digital, rapat staf, atau penyampaian informasi terkait meningkatnya risiko pelecehan kepada staf sebelum acara penting. Perusahaan juga dapat menyediakan layanan counceling atau kotak suara bagi para korban yang ingin menyampaikan kegelisahan atas tindakan pelecehan seksual yang dideritanya.

Selain itu, manajemen perusahaan harus secara proaktif berusaha untuk menyadari apa yang terjadi di tempat kerja. Apabila memerhatikan dengan benar mungkin ada tanda-tanda peringatan bahwa pelecehan sedang terjadi, di luar mengetahuinya dari laporan pengaduan informal dan formal. Misalnya, ada karyawan yang sering absen karena sakit, perubahan perilaku, komentar dalam wawancara (exit interview), penurunan kinerja, atau adanya aksi menghindar dari rekan kerja tertentu. Manajemen perusahaan harus memberi karyawan kesempatan untuk mengangkat masalah mereka.

Selain kebijakan secara perusahaan, korban pun harus turut aktif membuka dirinya dan berterus terang atas apa yang dialami. Hal ini agar dampak-dampak pelecehan seksual yang disebutkan sebelumnya tidak semakin besar dan tindakan pelecehan seksual dapat diminimalisir.

Employee Turnover

Apabila saya menyebut kata ‘turnover’, apa yang pertama kali muncul di benak kalian semua? Perusahaan atau organisasi seperti apa ya yang membuat turn over menjadi tinggi?
Sebelumnya kita coba bahas sedikit ya pengertian turnover atau istilah dalam bahasa indonesianya yaitu perputaran karyawan.

Employee turnover merupakan tingkat atau jumlah karyawan yang keluar dari suatu perusahaan dan digantikan oleh karyawan yang baru. Turnover bisa terjadi dalam dua cara. Pertama, pergantian yang bersifat voluntary yang artinya karyawan berhenti dari pekerjaan/mengundurkan diri sendiri dari pekerjaannya. Kedua, yang bersifat involuntary atau karyawan yang dipecat.

Tingkat turnover yang tinggi memiliki implikasi yang besar bagi perusahaan manapun dan sebagian besar ditentukan oleh seberapa bahagia karyawan di tempat kerjanya sehingga menjadi enganged dengan perusahaanya. Dalam hal ini HR memiliki peran penting untuk menciptakan pengalaman dan lingkungan kerja yang positif dengan meningkatkan keterlibatan karyawan sehingga dapat menjadi salah satu komponen penting untuk menjaga tingkat turnover tetap rendah.

Turnover juga menjadi komponen penting dari profitabilitas suatu perusahaan secara keseluruhan. Karena untuk melakukan proses seleksi, rekrutmen serta training untuk karyawan baru membutuhkan uang yang tidak sedikit, belum lagi waktu yang dibutuhkan sebelum karyawan tersebut sudah siap dan dapat berkontribusi penuh pada tugas dan tanggung jawabnya.

Nah sekarang kira-kira bagaimana nih guys menentukan turnover suatu perusahaan tinggi atau rendah? Dari beberapa sumber, ada yang menyatakan bahwa high turnover terjadi apabila 28% karyawan baru di suatu perusahaan berhenti dalam 90 hari pertama kerja mereka. Atau banyak juga sumber yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat turnover untuk semua jenis pekerjaan adalah 3,5%. Walaupun ada beberapa industri yang memang rata-rata tingkat turnovernya tinggi seperti industri food service, seni, hiburan, konstruksi, dan sales, dimana tingkat turnovernya bisa sampai 6,1%.

Tingkat turnover dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Turnover rate (%) = (Jumlah karyawan yang keluar/Rata-rata jumlah karyawan)x100. Coba guys, kira-kira kalau kalian hitung-hitung turnover di perusahaan kalian bekerja masing-masing, hasilnya gimana? Hehe apakah termasuk dengan turnover tinggi atau tidak? Penyebab turnover yang tinggi ini sering kali disebabkan hasil dari pengalaman kerja yang negatif/pengalaman buruk yang membuat karyawan memutuskan berhenti. Apabila generasi anak muda jaman sekarang yang sangat berani untuk speak up dan mengambil risiko dengan meninggalkan pekerjaannya apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.

Seperti pertanyaan saya diawal, kira-kira perusahaan seperti apa sih yang membuat turnover karyawannya menjadi tinggi? Berikut rangkuman dari beberapa sumber:
1. Kurangnya peluang untuk mengembangkan potensi diri
2. Kompensasi (gaji dan benefit lainnya) yang tidak cukup/memadai
3. Manajemen perusahaan yang buruk seperti micromanagement, komunikasi yang buruk, tujuan/perencanaan perusahaan yang tidak fokus/tidak jelas
4. Lingkungan kerja yang penuh dengan ‘toxic’
5. Proses rekrutmen, training, promosi, mutasi yang buruk

Studi yang dilakukan oleh Harvard menemukan 2 variabel penting dalam employee turnover yaitu kepuasaan karyawan dengan pekerjaannya (seperti prestasi, pengakuan, kesempatan berkembang, tanggung jawab) dan tekanan lingkungan baik dari dalam/luar perusahaannya (seperti peraturan perusahaan, fasilitas, work-life balance). Dimana dari 2 variabel ini, dapat memperlihatkan 4 tipe/karakteristik karyawan dalam memutuskan untuk tetap berada di suatu perusahaan atau keluar.

Seperti yang kita semua tahu bahwa perusahaan dengan tingkat turnover yang tinggi juga membutuhkan biaya yang besar dan memberikan dampak negatif terhadap citra perusahaan tersebut. Sehingga sebaiknya SDM yang sudah ada diberdayakan sebaik mungkin sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan terus diberikan ruang untuk improvement agar merasa dihargai, puas dalam pekerjaannya dan akan enganged dengan sendirinya pada rolenya dan memberikan output yang maksimal bagi perusahaannya.


Informal Leaders

Salah satu syarat perusahaan bisa bertahan dalam situasi ketidakpastian yang tinggi seperti sekarang adalah kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Perkembangan teknologi dimana seluruh aspek kehidupan kita sudah disentuh oleh digitalisasi, kita juga berada dalam masa transisi generasi X ke milenial, dan terakhir pandemi dalam dua tahun belakangan ini memaksa perusahaan untuk terus beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dalam proses perubahan, salah satu unsur terpenting adalah keberadaan informal leaders.

Informal leaders menurut business dictionary adalah “An individual within an organization that is viewed as someone worth listening to due to their perceived experience and reputation among peers. The informal leader does not hold any position of formal authority or power over the peers choosing to follow their lead but can influence the decisions of others”. Jadi informal leaders tidak harus memgang jabatan formal, mereka didengarkan dan berpengaruh kepada pegawai yang lain. Informal leaders inilah dalam suatu proses perubahan yang bisa menggerakkan orang lain dalam perusahaan untuk berubah. Oleh karena itu perusahaan harus mampu mengidentifikasi siapa saja informal leaders di dalam perusahaan.

Jon Katzenbach, Carolin Oelschlegel, and James Thomas dalam artikelnya di forbes menjelaskan ada 4 tipe informal leaders. Pertama adalah pride builders. Orang ini adalah motivator sejati dalam lingkungan kerja. Umumnya first line manager yang menjadi katalis perubahan lingkungan. Mereka paham dengan kondisi lingkungan kerja dan paham bagaimana melakukan perubahan yang diperlukan. Tipe kedua adalah exemplars. Mereka adalah para role model baik dengan perilaku, pengetahuan atau kompetensinya. Exemplars umumnya adalah di middle dan top management. Mereka amat dihormati dan merupakan influencers yang efektif bagi peer-nya. Tipe ketiga adalah networkers. Mereka adalah pusat informasi di dalam perusahaan. Tipe ini punya hubungan baik dengan semua pihak dan dapat berkomunikasi dengan baik secara terbuka. Ketika anda ingin ide perubahan dapat terkomunikasi dengan baik, tipe ini harus dilibatkan. Terakhir adalah early adopters. Mereka adalah orang yang memiliki antusiasme tinggi dengan hal baru misalnya teknologi, proses dan cara kerja. Sebaiknya ketika melakukan pilot project perubahan mereka harus dikutsertakan.

Karena perannya yang penting, apakah informal leader bisa dikembangkan? Bisa dan harus dikembangkan agar proses perubahan dapat berjalan dengan lancar. Hanya saja metode pengembangan mereka tidak dilakukan secara formal melalui training atau seminar, tetapi melalui sebuah social learning. Group coaching dengan mentor tertentu cukup efektif untuk dilakukan. FGD kecil diantara informal leaders untuk pembahasan topik tertentu bisa juga dilakukan dengan efektif Terakhir, menonton atau sharing video terkait dengan materi perubahan secara periodik juga bentuk pengembangan yang efektif untuk dilakukan. Dalam suatu proses perubahan, terkadang keberadaan mereka terabaikan, pada mereka menjadi garda terdepan dalam perubahan. Untuk itu para pelaksana program perubahan harus menaruh perhatian khusus kepada informal leaders.

Dalam proses perubahan, bukan berarti peran formal leaders tidak diperlukan, tapi kesuksesan perubahan banyak ditentukan oleh informal leaders. Mereka menjadi pemimpin diantara pegawai, okeh karena itu setiap pendapat dan tindakannya amat mempengaruhi lingkungan sekitar. Apabila perusahaan kamu sedang melakukan perubahan, coba identifikasi siapa saja informal leaders di perusahaan. Mulai berkomunikasi dengan mereka agar mendapat dukungan. Pertama agar mereka aware dengan rencana perubahan. Tahap selanjutnya mereka mengerti maksud dari rencana perubahan. Setelah mengerti tentunya diharapkan mereka bisa menerima perubahan dan akhirnya memiliki komitmen untuk mendukung perubahan. Apabila komitmen sudah diperoleh, anda tinggal menunggu perubahan akan bergulir dengan sendirinya. Selamat mencoba.

Tujuh Dimensi Etos Kerja

Tujuh Dimensi Etos Kerja

Oleh : Aldi Firmansyah Rubini

Apakah Anda pernah bekerja dengan seseorang yang pintar dan berkemampuan tinggi tapi tidak dapat berbaur dengan Anda atau rekan lainnya di kantor dengan alasan “Kayaknya orang ini gak punya Work Ethic yang baik ya”? Sebenarnya apa itu work ethic? Dan, apa yang harus dimiliki seseorang dalam pekerjaannya sehingga dapat dinilai memiliki etos bekerja yang cukup?

Lingkungan pekerjaan saat ini tidak hanya serba cepat, tetapi juga sangat kompetitif. Agar suatu perusahaan atau instansi dapat mengimbangi hal tersebut dan tetap berada dalam posisi terdepan, perusahaan juga perlu berinvestasi pada tenaga Sumber Daya Manusia yang memiliki etos kerja yang baik. Selain dapat memberikan nilai tambah kepada perusahaan, SDM berkualitas yang memiliki etos kerja dapat menjadi nilai tambah untuk seseorang berpeluang dapat mencapai tingkat karir yang tinggi. Oleh karena itu, etos kerja wajib dimiliki agar dapat menunjang kehidupan karir seseorang.

Berdasarkan Journal of Managerial Issues, 22 (1) yang ditulis oleh akademisi bernama Raymond K., dan rekannya, konsep “etos kerja” terus berubah-ubah dan berevolusi seiring berkembangnya zaman. Dari mulai pekerja yang penurut, loyal, disiplin, rajin ke kantor dan bekerja keras disebut sebagai orang yang punya etos kerja yang baik, hingga pekerja yang asalkan dapat menyelesaikan tugas dengan benar walaupun bekerja dapat dimana saja dan berkomunikasi dengan rekan serta atasan kerja dengan baik dapat disebut sebagai orang yang memiliki etos kerja yang juga baik. Di jurnal tersebut juga menyatakan bahwa terdapat tujuh dimensi etos kerja yang dapat dilihat sebagai penilaian, yaitu Self Reliance, Morality/Ethics, Leisure, Hard Work, Centrality of Work, Wasted Time, dan Delay of Gratification.

Self Reliance berbicara tentang bagaimana seseorang dapat bekerja secara independent dan mandiri. Seseorang yang memiliki Self Reliance yang tinggi dapat bekerja dengan bertanggungjawab dan tidak akan mudah bergantung pada orang lain. Morality/Ethics merupakan salah satu dimensi yang penting. Morality/Ethics berbicara tentang karakter, kebiasaan dan etika dengan lingkungan sosial di sekitar tempat ia bekerja. Yang dapat ditanyakan terkait Morality/Ethics adalah apakah seseorang bekerja dengan perilaku yang baik atau buruk baik terhadap rekan sesama, bawahan maupun atasannya. Leisure merupakan dimensi yang berbicara tentang bagaimana seorang pekerja dapat berperilaku secara flexible di lingkungan kerja. Flexibel dalam hal ini berkaitan erat dengan keinginan seorang pekerja untuk berkontribusi dalam kegiatan non-pekerjaan yang sifatnya dapat mencairkan suasana dalam suatu lingkungan pekerjaan, seperti perayaan ulang tahun perusahaan, sharing knowledge, dan hal lainnya. Hard Work merupakan dimensi yang berkaitan erat dengan komitmen pekerja dalam melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh. Pekerja yang ditempatkan pada bidang yang sesuai, cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap tempat ia bekerja. Dimensi Centrality of Work berbicara terkait dengan tingkat fokus yang harus dimiliki seseorang. Fokus ini tidak harus selalu urusan pekerjaan, namun ketika ada kegiatan di luar pekerjaan ia pun dapat fokus untuk berkontribusi dalam kegiatan dimaksud. Wasted Time berbicara terkait bagaimana seseorang memiliki kemampuan time management yang baik untuk meningkatkan produktivitas dalam bekerja. Seorang pekerja yang sering tidak peka terhadap waktu pengerjaan tugas, akan dipandang sebagai seseorang yang tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Sedangkan dimensi yang terakhir, yaitu Delay of Gratification atau kemampuan seorang pekerja untuk dapat menolak keuntungan pribadi demi menjaga kredibilitas tempat ia bekerja.

Ketujuh dimensi ini dapat digunakan untuk melihat sejauh mana seseorang memiliki tingkat etos kerja yang baik. Apabila ketujuh dimensi ini dimiliki oleh seorang pekerja, maka ia dapat menjadi salah seorang pekerja yang beretos kerja baik. Namun, jangan lupa juga bahwa dalam bekerja harus selalu memiliki sikap simpati dan empati serta saling menghormati dan menghargai antar sesama pekerja agar pekerjaan dan produktivitas dalam bekerja dapat maksimal.

Manajemen dan Kepemimpinan

Manajemen dan Kepemimpinan adalah dua kata yang tentunya tidak asing di telinga. Atau bahkan overrated karena terlalu sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari di pekerjaan. Berbagai pelatihan mengenai dua hal tersebut juga tentunya sering diadakan untuk para professional. Sebenarnya apakah kedua hal tersebut sama? Atau malah berbeda? Atau saling berkaitan?

Mengutip Kotter dalam tulisannya yang berjudul “What Leaders Really Do” dalam Harvard Business Review, “Management and leadership both involve deciding what needs to be done, creating networks of people to accomplish the agenda, and ensuring that the work actually gets done. Their work is complementary but each system of action goes about the tasks in different ways.” Keduanya sama-sama dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan dan saling melengkapi tetapi tentunya dengan cara yang berbeda. Manajemen berkaitan sistem bekerja sedangkan kepemimpinan berkaitan dengan orang-orang yang melakukannya. Manajemen adalah mengenai menghadapi hal kompleks. Sedangkan kepemimpinan adalah mengenai menghadapi perubahan. Bagaimana menghadapi VUCA World yang sudah pernah juga diulas dalam artikel Baca Pikir.

Perencanaan atau Pemberian Arahan

Manajemen mengatasi hal rumit dengan melakukan perencanaan dan penganggaran biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut. Hal ini dirancang untuk hasil yang sistematis dan teratur. Kepemimpinan mengatasi perubahan dengan pemberian arahan. Hal mendasar dalam kepemimpinan adalah pemberian arahan yang jelas kepada anggota tim. Pimpinan mengumpulkan berbagai informasi dan data dan melihat pola, hubungan, dan saling mengaitkannya. Proses ini tentunya bukan menghasilkan sebuah rencana, karena yang dilakukan pimpinan adalah menciptakan visi dan strategi. Visi dari pimpinan juga tidak harus super canggih dan “fancy”, yang terpenting adalah visi tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh seluruh anggota tim, menyasar langsung untuk pegawai dan stakeholders, dan juga mudah diimplementasikan dan terukur.

Mengatur atau Menyelaraskan

Manajemen mengatur dan membangun sistem kepegawaian dengan menerapkan sistem yang tepat dan efisien seperti struktur pekerjaan, struktur organisasi, pegawai yang sesuai dengan kualifikasi pekerjaan. Sedangkan kepemimpinan melakukan penyelarasan pegawai dengan berkomunikasi dengan sebanyak-banyaknya pegawai. Komunikasi ini bertujuan agar pegawai paham dengan arahan dan target yang pimpinan berikan dan sama-sama berkomitmen untuk mencapai target tersebut.

Mengatur atau Memotivasi

Proses mengorgisir membentuk organisasi untuk mencapai target dan menjaga proses agar tetap berjalan sesuai rencana, memastikan kualitas tetap terjaga dan mengetahui langkah korektif yang harus diambil bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai. Sedangkan sebagai pimpinan, harusnya mampu untuk memastikan dan memiliki energi positif untuk membantu anggota timnya melewati kendala pekerjaan. Memberikan motivasi dan menginspirasi anggota tim tidak dengan tidak memaksa kehendak untuk menimbulkan sense of belonging, recognition, dan self-esteem dari anggota timnya.

Apakah pimpinan di tempatmu bekerja sudah mencerminkan hal-hal tersebut?

Sumber:

  1. What Leaders Really Do – Kotter
  2. Asana.com
  3. Forbes.com

Toxic Superstar

Toxic Superstar

Bila kamu menemui seorang karyawan/pegawai/manajer/pimpinan yang luar biasa bagus kinerjanya, namun hampir seluruh rekan kerja/kolega di kantor tidak menyukai perilaku orang ini, maka dapat dipastikan dia adalah Toxic Superstar. Familiar bukan? Saya yakin kamu mulai membayangkan orang-orang di kantor yang seperti ini, ya kan?

Toxic superstar merupakan istilah yang digunakan bagi seorang pekerja yang high achiever (berkinerja tinggi), namun memiliki perilaku amat buruk di lingkungan kantor. Kebiasaan buruk tersebut bisa berupa merendahkan pegawai lain, menyalahgunakan kekuasaan, mengadu domba, melakukan fitnah, suka marah-marah, sombong, sukar menerima masukan, atau segala macam perilaku yang merusak suasana dan lingkungan kerja di kantor.

Toxic superstar ada di hampir seluruh organisasi atau perusahaan. Namun tidak semua organisasi paham tentang fenomena ini dan justru merasa keadaan di kantor baik-baik saja, bahkan banyak pemimpin perusahaan yang amat tergantung oleh toxic superstar sehingga enggan untuk melakukan tindakan korektif. Padahal toxic superstar bisa memicu kerusakan organisasi yang lebih besar pada jangka panjang dan mengancam eksistensi organisasi.

Lalu bagaimana solusi untuk menghadapi Toxic Superstar? Ada strategi yang disebut GPS. Pertama, GOAL, pemimpin dan pembuat keputusan harus jelas menetapkan tujuan/tindakan yang akan dilakukan terhadap toxic superstar, biasanya ada dua tujuan yang bisa dipilih:

  1. Menyingkirkan toxic superstar ini, tapi kinerja perusahaan jangan sampai menurun.
  2. Mempertahankan toxic superstar ini, tapi jangan sampai membuat karyawan/pegawai lain meninggalkan perusahaan atau resign.

Kedua, POSITION, pemimpin dan pembuat keputusan harus melihat secara “helicopter view” dimana posisi perusahaan saat ini, apakah sesuai dengan visi jangka panjang, apakah perilaku tertentu dapat ditolerir, apakah ada values/nilai-nilai dalam perusahaan yang perlu ditegakkan, apakah perlu ada mekanisme stick and carrot, dan sebagainya. Diagnostic seperti ini wajib dilakukan pemimpin bila ingin perusahaan/organisasinya tetap bertahan.

Ketiga, STRATEGY, tanyakan dan pastikan hal-hal ini sebelum pemimpin memutuskan mau berbuat apa terhadap toxic superstar:

  1. Apakah dia masih mampu belajar (learning)?
  2. Apakah organisasi/perusahaan masih punya waktu dan sumber daya untuk melatih orang ini?
  3. Apakah dia masih memiliki motivasi untuk berubah?

Bila jawabannya YA, pemimpin harus mengajari (COACH) toxic superstar tentang hal-hal yang ditolerir atau tidak dalam perusahaan, sehingga perilaku-perilaku buruknya tidak terulang. Dari berbagai kasus, tujuan kedua jauh lebih sulit dan lebih mahal untuk dilakukan karena toxic superstar kebanyakan memiliki kemampuan beradu argumen yang mahir, bahkan tidak jarang ketika toxic superstar diberi feedback, dia justru malah membalas memberi feedback.

Bila jawabannya TIDAK, maka pemimpin harus memecat (FIRE) toxic superstar, sembari mencari talent pengganti yang sepadan untuk perusahaan sebelum toxic superstar ini pergi. Bisa melalui profesional hire, atau knowledge transfer dari toxic superstar ke pegawai lain tanpa si toxic superstar tahu dia akan dipecat.

Source:

https://mitsloan.mit.edu
https://www.idntimes.com
https://www.bizjournals.com
https://dan-kerber.medium.com
https://www.thirty30.com

Favoritism (2)

Tulisan ini terinspirasi dari kekalahan Manchester United yang kesekian kali di musim ini. Hujatan dan permintaan manajer OGS dipecat marak kembali. Selain dianggap kurang memiliki kemampuan taktikal, OGS dianggap memfavoritkan beberapa pemain meskipun di musim ini bermain jelek. Sementara pemain lain dengan kualitas yang baik dan dibeli dengan harga mahal tidak dimainkan. Rumornya ini menjadi sumber konflik internal pemain sehingga mengganggu kebersamaan tim.

Favoritism sendiri diartikan sebagai praktek memberikan perlakuan istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang sehingga merugikan orang lain. Di dunia kerja hal ini merupakan hal yang biasa dimana hasil survei Georgetown University menjelaskan bahwa senior eksekutif melihat dalam proses promosi 92% dilakukan di dunia kerja dilakukan berdasarkan favoritism. Mereka juga menjelaskan bahwa 84% dilakukan oleh perusahaan mereka sendiri, dan bahkan sekitar 25% dari senior eksekutif ini mengakui bahwa mereka melakukan praktek tersebut.

Favoritism sendiri merupakan sesuatu yang wajar dan alami. Dari sekian baju yang kita miliki, tentu ada yang kita amat suka. Dari sekian banyak teman yang ada, tentu ada yang paling cocok. Demikian juga dengan anak buah. Pemimpin memiliki sekian banyak anak buah, tetapi dia merasa ada yang paling cocok. Hal tersebut tidak dapat dihindari, namun jangan sampai kemudian hanya memberikan kesempatan kepada anak buah tersebut dan tidak kepada yang lain. Boleh lebih cocok dengan seseorang, tetapi harus tetap adil dan profesional dalam hal pekerjaan dengan anak buah yang lain. Jangan sampai tugas yang menantang atau menarik hanya diberikan kepada seseorang saja secara berulang kali. Kesempatan ini harus diberikan juga kepada anak buah yang lain untuk menciptakan keadilan.

Kita juga harus mampu membedakan antara favoritism dengan penghargaan atas kinerja yang baik. Terkadang seseorang diberikan kesempatan bukan karena perlakuan istimewa, tapi memang bekerja keras dan mengerjakan tugas dengan baik melebih ekspektasi sehingga mendapat kepercayaan. Hal ini bukanlah favoritism karena diperoleh dari sebuah kerja keras. Akan tetapi bila perlakuan istimewa tersebut diperoleh dari hubungan keluarga, kesamaan asal daerah atau kedekatan personal maka itu bisa dikatakan favoritism. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati mendefinisikan suatu kondisi ke dalam favoritism.

Sebagai seorang pemimpin, seperri OGS di Manchester United, dia harus memberika kesempatan bermain kepada pemain yang lain. Apalagi ketika pemain inti sedang bermain buruk, atasan harus memberikan kesempatan yang lain untuk bermain. Jangan terus memaksakan pemain tertentu saja karena yang dirugikan akhirnya adalah tim atau perusahaan. Suasana kerja juga kurang kondusif, kepercayaan kepada atasan jadi rendah dan kinerja tim menjadi buruk. Tidak ada hal baik dari favoritism.

Apa yang bisa dilakukan ketika anda menemukan hal ini di kantor? Pertama adalah berusaha membicarakan hal ini dengan orang yang tepat. Kedua, berusaha memahami mengapa orang tersebut mendapat keistimewaan. Ketiga, tetap bekerja keras dan profesional serta tidak memusuhi orang yang mendapatkan keistimewaan. Keempat, tetap berfikiran positif dan bersabar dalam bekerja. Terakhir, terus mencari kesempatan untuk mendapat tugas yang menantang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi anda.

Favoritism adalah sesuai hal yang biasa, perlu diterima namun bukan menjadi halangan bagi anda untuk terus berkarya. Tetap semangat dan berkarya, karena kesempatan tersebut bisa datang secara tiba-tiba dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tetap semangat!

Psychological Safety

Pernah ngerasa enggak berani ngasih pendapat di depan bos karena takut pendapat kita berbeda dengan pendapat bos? Atau ga asing sama inside jokes “nanti mutasi ke Papua lho!” Lalu jadi was-was, ngelakuin apa aja jadi takut. Dalam bekerja memang benar kita harus berhati-hati sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku, tapi kalau ketakutannya menjadikan gangguan secara psikologis, enggak enak juga ya.

Jadi apa sih yang dimaksud psychological safety di tempat kerja? Mengutip dari website ccl.org, psychological safety adalah It’s a shared belief held by members of a team that others on the team will not embarrass, reject, or punish you for speaking up. Keadaan dimana setiap orang di organisasi tersebut mempunyai kesamaan nilai untuk tidak saling menjatuhkan, saling support, tidak menyalahkan, dan membuat setiap orangnya berani mengungkapkan pendapatnya. Keadaan seperti ini tentu saja tidak lepas dari peran pimpinan untuk menciptakan lingkungan bekerja yang aman untuk setiap anggota timnya.

Studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa keamanan psikologis memberikan beragam manfaat. Tim yang berisikan berbagai orang dengan sudut pandang dan keahlian berbeda akan menciptakan perspektif yang beragam. Perspektif ini dapat menimbulkan inovasi dan kreativitas. Namun, bila lingkungan kerja kurang aman untuk mengakomodir hal tersebut, misalnya anggota tim merasa bila idenya kurang sesuai, dapat menimbulkan potensi “berbahaya”, tentu saja iklim berani mengeluarkan pendapat, tidak akan terbentuk.

Dalam setiap organisasi, tentunya bentuk psychological safety yang ingin diciptakan beragam. Namun, terdapat tiga besaran yang dirangkum dari berbagai sumber.

  • Aman menjadi diri sendiri

Pemimpin dapat menciptakan keamanan psikologis agar anggota timnya terbuka dan berani menjadi dirinya sendiri tapi harus mencoba menjadi orang dan menutupi identitasnya, dan mencoba untuk fit in. Berpura-pura menjadi orang lain, tentunya dapat melelahkan secara emosional. Aman untuk mengungkap pendapat. Dengan menjadi diri sendiri dengan tetap menjadi profesionalitas dan bekerja di lingkungan yang supportive, menciptakan rasa inklusif, tanpa membedakan. Pemimpin dan semua anggota tim dapat terus sama-sama menciptakan sinyal positif, proaktif, dan komunikasi terbuka.

  • Aman untuk berbicara mengungkapkan pendapat

Keamanan psikologis juga dapat membantu pegawai lebih banyak dan berani berbicara mengungkap pendapatnya di tempat kerja. Ketika diperlukan untuk saling memberikan tantangan yang membangun untuk pengambilan keputusan. Banyak pegawai yang takut untuk berbicara tentang fakta yang terjadi karena takut dengan potensi efek yang akan terjadi setelahnya. Misalnya jadi kurang disukai atau merasa terancam.

  • Aman untuk mengambil risiko dan terjadi kesalahan

Keamanan psikologis menjadikan pegawai melihat tantangan sebagai peluang, berani mencoba hal baru. Dalam organisasi yang memiliki growth mindset culture, mengambil risiko didorong karena merupakan bagian pembelajaran dan berinovasi. Untuk menumbuhkan growth mindset, pimpinan seharusnya bukan hanya mempraktikkan growth mindset behavior, seperti membuka ruang kesalahan terjadi dan fokus pada progress, tetapi juga menjadi role model kepada anggota timnya untuk mendorong perilaku timnya secara luas untuk saling terbuka.

Apakah kamu sudah merasa aman secara psikologis di tempat bekerja?

Death By Meeting

Kita semua tentu pernah merasa bosan waktu lagi meeting. Pikiran jadi kemana-mana, asyik lihat smartphone; asyik whatsapp dengan orang lain atau sibuk memperhatikan media sosial orang lain. Pemimpin rapat juga nggak peduli dan sibuk sendiri. Kita disconnect dengan jalannya rapat dan hadir hanya sebatas fisik tidak ikut kontribusi pada pembahasan topik. Bayangkan kalau sebagian besar rapat yang kita ikut amat membosankan, berapa banyak waktu yang kita habiskan percuma. Padahal statistik menjelaskan setiap hari ini dunia ini ada sekitar 11 juta meeting, sekitar 55 seminggu dan 220 juta meeting dalam sebulan. Berapa banyak waktu yang terbuang percuma ketika sebagian besar meeting yang diadakan tersebut membosankan bagi peserta.

Patrick Lencioni dalam bukunya “death by meeting” menjelaskan bahwa meeting yang membosankan merupakan salah satu masalah terbesar di kantor. Faktor utama yang membuat meeting menjadi membosankan adalah kemampuan dari pemimpin meeting. Pelaksanaan tidak boleh satu arah, harus dibuat menarik dan melibatkan seluruh peserta. Selain itu ada dua hal komponen penting sebuah meeting yang membosankan menurut Lencioni. Pertama lack of drama, dan kedua adalah lack of context or purpose. Sebuah meeting menjadi menarik apabila ada drama dalam pelaksanaannya. Drama tersebut diatur oleh pemimpin meeting. Drama bisa berupa topik yang kontroversial yang dapat memicu perdebatan dalam pembahasannya. Konflik antar peserta meeting yang sengaja dibuat agar terjadi perdebatan dalam pembahasannya. Namun semua masih dalam koridor yang ditentukan dan dapat dikendalikan oleh pemimpin meeting. Dengan demikian meeting masih berjalan dengan lancar dan menghasilkan suatu kesepakatan.

Hal kedua adalah lack of context or purpose. Banyak terjadi kita mengikuti meeting karena sebuah keterpaksaan atau kegiatan rutin, sehingga sekedar hadir dan tidak memiliki keinginan berkontribusi lebih jauh dalam pembahasan. Lagi-lagi dibutuhkan kemampuan pemimpin rapat untuk sejak awal menjelaskan mengapa meeting diadakan, apa saja yang akan dibahas dan keputusan apa yang diharapkan dihasilkan dalam meeting. Ketika kita idak paham dengan topik yang dibahas, kita cenderung menjadi pendengar dan setelah sekian lama berusaha mengikuti dan kemudian merasa tidak bisa mengikuti pembahasan, kemudian kita disconnect dengan pembahasan. Namun ketika sejak awal kita sudah paham topik yang dibahas dan peran yang diharapkan, kita akan berupaya mempersiapkan. Dengan demikian apabila semua peserta meeting melakukan hal yang sama, pelaksanaan meeting akan berjalan dengan lancar dan mampu menghasilkan sebuah kesepakatan.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ketrampilan pemimpin meeting menentukan kualitas dari sebuah meeting. Celakanya sebagian besar dari pimpinan tidak pernah diajarkan secara khusus bagaimana memimpin meeting dengan baik. Yang dilakukan adalah hasil sebuah proses keikutsertaan pada meeting sebelumnya. Padahal rapat-rapat yang diikuti sebelumnya belum tentu memberikan sudah sesuai dengan standar meeting yang baik. Yang lebih celaka adalah banyak pimpinan yang kurang suka melaksanakan meeting. Lencioni mengibaratkan mereka seperti seorang ahli bedah yang tidak suka melakukan bedah. Tugas seorang pimpinan adalah melakukan koordinasi bawahan, dan koordinasi tersebut dilakukan melalui meeting. Sehingga kalau pimpinan tidak suka melakukan meeting, bagaimana dia melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas di unit kerjanya.

Sudah saatnya perusahaan memberikan perhatian yang besar dalam pelaksanaan meeting mereka. Menyusun sebuah standar, template atau video yang bisa digunakan sebagai rujukan menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian seluruh karyawan bisa mendapat pemahaman bagaimana melaksanakan meeting dengan baik, dan tidak perlu merasakan kebosanan seperti yang Lencioni jelaskan dalam bukunya.

Tetap semangat.

Work From Anywhere

Work From Home (WFH) sih udah biasa ya, kalo Work From Anywhere (WFA) apa ya? Lebih keren lagi nih kayaknya. Kuy bahas biar bisa sotoy dikit-dikit depan mertua atau temen. Seperti makna bahasa inggrisnya, WFA artinya kita bisa bekerja dimanapun: di kafe, mall, restoran, gym, pantai, kebun binatang, atau ditengah hutan sekalipun, selama ada koneksi internet yang stabil. Asik kan, tidak terikat lagi oleh tempat (kantor) yang harus di datangi pagi-pagi, macet-macetan, absen, duduk, ngopi-ngopi, menatap kubikel, dsb.

Ceritanya gimana sih bisa muncul WFA. Jadi begini… Pandemi Covid-19 menyisakan duka mendalam untuk sanak saudara yang telah berpulang. Namun ternyata dibalik musibah selalu ada hikmah. Kehidupan masyarakat (terutama perkotaan) berubah bentuk menjadi lebih “digital”. Layanan online shopping, online food delivery, online teaching, work from home, menjadi rutinitas dan kebiasaan sehari-hari. Adaptasi dunia kerja di tahun pertama pandemi terasa amat berat karena seluruh generasi angkatan kerja, baik itu gen Z sampai dengan gen Baby Boomer “dipaksa” melek metode kerja masa kini, yaitu Work From Home (WFH).

Keharusan untuk WFH mengharuskan perusahaan meminimalisir biaya operasional yang tak lagi digunakan, seperti sewa ruangan kerja, kubikel, meeting room, listrik, membership parkiran, cleaning service, pajak, dll. WFH memberi prospek efisiensi yang masif dan feasible, dimana perusahaan dipaksa keluar dari zona nyaman dan mengakselerasi technological progress. Saat pandemi dianggap selesai, orang tidak lagi diwajibkan pemerintah untuk tinggal dirumah dan meminimalkan interaksi dan mobilitas. Namun perusahaan tidak bisa serta merta menyuruh seluruh pegawainya untuk masuk kantor serentak karena sudah terlanjur melakukan cut loss akibat covid-19. Pegawai yang sudah tidak betah berlama-lama di rumah akhirnya cukup nyaman bepergian kesana kemari, asalkan pekerjaan tetap diselesaikan dengan baik. Inilah awal mula ide WFA, bahwa kerja dimanapun sebenarnya tidak menjadi masalah asalkan bidang pekerjaan sesuai dan performa kerja tetap terjaga.

Dari sisi kinerja, sebuah studi dari Nicholas Bloom (Stanford University) menemukan bahwa ketika pegawai memilih kebijakan WFH, produktivitas mereka meningkat sebesar 13%. Ketika pekerja yang sama diberi pilihan antara tetap di rumah dan kembali ke kantor, mereka yang memilih dirumah mengalami peningkatan performa kerja lebih jauh: 22% lebih produktif daripada sebelum eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang mungkin harus menentukan sendiri situasi kerja yang cocok untuk karakter diri mereka, untuk beberapa orang, lokasi kerja tertentu bisa menjadi mood-booster yang ampuh dalam menyelesaikan tugas-tugas kantor. Setuju?

Selaksa data dan penelitian yang lain pun menyimpulkan bahwa praktik WFA membawa banyak benefit, beberapa diantaranya:

  • Meningkatkan produktivitas dan mood kerja pegawai
  • Menghemat biaya tempat tinggal, transportasi (commuting), dan makanan pegawai
  • Meningkatkan employee retention & engagement pegawai (Faktanya, 74% pegawai dari survei Owllabs mengatakan bahwa opsi WFA akan membuat mereka cenderung tidak ingin resign)
  • Mengurangi kegiatan rapat yang tidak penting
  • Mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota, dsb.

Di sisi lain, layaknya sebuah inovasi dengan berbagai risikonya, WFA juga dianggap memiliki efek negatif yang patut dipertimbangkan, beberapa diantaranya:

  • WFA mungkin tidak cocok untuk semua orang, pasti ada kelompok pegawai lain yang lebih suka ke kantor secara fisik
  • Mengurangi rasa kebersamaan, kolaborasi, dan kekompakan tim akibat minimnya sosialisasi antar pegawai
  • Risiko bocornya keamanan data pegawai dan data perusahaan
  • Kesulitan dalam penilaian kinerja, terutama menilai interpersonal skill dan leadership
  • Sulit menjalankan fungsi mentoring dari atasan ke bawahan
  • Kekhawatiran keberlangsungan karir bila pegawai jarang berinteraksi langsung dengan atasan, dll.

Melihat plus-minus penerapan WFA di tempat kerja, ada beberapa langkah dan kebijakan yang mungkin bisa dilakukan untuk mengadopsi (atau tidak) metode kerja WFA, yaitu:

  1. Mengidentifikasi karateristik organisasi beserta unit-unitnya, apakah WFA cocok atau tidak. Bisa saja pada organisasi/unit/fungsi tertentu dapat dilakukan WFA, sedangkan yang lain tidak. Selain itu diperlukan penghitungan nilai biaya dan menfaatWFA terhadap organisasi.
  2. Melakukan kebijakan transisi. WFA adalah sebuah keputusan besar yang menyangkut seluruh aspek operasional organisasi. Bilapun dilakukan, ada baiknya organisasi melakukannya secara bertahap, misalnya 2 hari dalam seminggu WFA, dan 3 hari tetap ke kantor, semakin lama frekuensi ke kantor dikurangi sembari dimonitor kinerja dan produktivitas pegawai.
  3. Membuat peraturan, panduan, atau SOP yang jelas mengenai remote working, bila perlu disertai enforcement yang kuat terhadap pelanggaran kedisipinan WFA, seperti pegawai yang menghilang (ghosting), bocornya data pegawai/perusahaan, ketepatan waktu hadir online, kebijakan perjalanan (travelling), dsb.

Kebijakan WFA memang menggiurkan saat ini. Namun jangan lupa, manusia adalah makhluk sosial, ada kebutuhan jiwa untuk terhubung dengan jiwa yang lain. Meskipun WFA diadopsi, regular meeting tetap wajib dilakukan secara rutin untuk membangun kolaborasi dan hubungan personal yang baik antar pegawai. Nah, siapkah tempat kerja kamu dengan WFA?

Apa yang Membuat Kita Menunda Pekerjaan?

Menunda-nunda pekerjaan atau biasa yang disebut dengan istilah procrastination seringkali terjadi dalam kehidupan kita. Procastionation ini dapat berupa menahan diri untuk memulai pekerjaan atau menunda untuk menyelesaikan pekerjaan. Procastinator atau orang yang suka menunda-nunda pekerjaan tidak dapat disamakan dengan orang malas sepenuhnya. Pemalas biasanya dengan mudahnya tidak akan melakukan pekerjaan dan merasa baik-baik saja. Seorang procrastinator sebenarnya memiliki keinginan untuk melakukan pekerjaannya hanya saja tidak dapat mendorong dirinya untuk memulai pekerjaan.  Beberapa orang merasa lebih dapat bekerja lebih produktif ketika memulai pekerjaan mendekati tenggat waktu atau deadline. Mungkin itu benar, tapi seringkali menunda pekerjaan akan membuat kita merasakan perasaan bersalah, tidak efektif dan memperpanjang rasa stres. Lalu, kenapa ada saja orang yang menunda pekerjaan?

Seorang akademisi dan penulis buku berjudul “The Feeling Good Handbook”, Dr. David Burns, menyatakan terdapat sepuluh alasan seseorang menunda pekerjaan. Pertama, procrastinator meyakini prinsip “Sebelum melakukan sesuatu harus merasa termotivasi”. Prinsip ini menjadi sebuah mindset yang mendorong seseorang untuk harus masuk di situasi atau mood yang memotivasi untuk melakukan pekerjaan. Beratnya adalah ketika situasi yang mendukung mood ini tidak kunjung datang. Kedua, procrastinator memudahkan segala sesuatu. “Tenang, ini gampang bisa dikerjakan cepat”, merupakan perkataan yang sering dikatakan oleh seorang procrastinator. Ketiga, ternyata seorang procrastinator sebenarnya takut menghadapi “real failure”. Jadi daripada dia merasakan kegagalan atas apa yang dikerjakannya, dia cenderung menghindarinya dengan cara menundanya. Keempat, ada procrastinator yang sebenarnya adalah seorang perfeksionis. Sebelum melakukan satu hal, orang ini akan berusaha untuk menyiapkan segala sesuatunya sampai sempurna sehingga tidak segera memulai pekerjaan yang seharusnya. Kelima, kurang tegas ketika menerima pekerjaan atau instruksi juga berpengaruh terhadap motivasi kita melakukan pekerjaan. Ketika ada pekerjaan yang dirasa tidak disukai, tidak setuju atau keberatan maka tegaslah untuk mengatakan tidak, karena apabila kita menyetujuinya kita akan dengan enggan melakukan pekerjaan tersebut.

Lima faktor penyebab procastionation lainnya dipengaruhi dari luar (external factor). Yang pertama adalah lack of rewards. Seseorang bisa menjadi procrastinator karena hal yang dilakukannya tidak diberikan penghargaan yang sesuai dengan usahanya. Selain itu, faktor berikutnya adalah adanya pernyataan “sebaiknya” bukan “seharusnya”. “Sebaiknya kamu lakukan A”, pernyataan seperti itu akan membuat seseorang melihat tugasnya menjadi tidak penting dan tidak urgent. Ketiga, apabila seseorang merasa tidak nyaman di lingkungan pekerjaannya atau tidak menyukai atasannya, maka dia menunda pekerjaan sebagai ekspresi ketidaksukaannya. Seorang procrastinator menunda pekerjaan sebagai bentuk pemberontakan dari standar, nilai dan ekspektasi yang didapatnya Misalnya seorang karyawan yang sudah bekerja dengan baik namun mendapatkan nilai yang buruk.

Sebenarnya, menunda pekerjaan bukanlah selalu hal yang baik. Hal ini dikarenakan, ketika kita menunda pekerjaan, kita justru menghabiskan waktu dan energi kita untuk dapat mengerjakan hal yang lebih berarti. Apabila kita ingin mengurangi kebiasaan menunda pekerjaan, kita harus bisa mengidentifikasi alasan atau faktor apa yang membuat kita menunda pekerjaan, merencanakan goal dan disiplin untuk menjalankan rencana tersebut dengan mengatur prioritas pekerjaan. Hargailah usaha yang kita lakukan dari setiap pekerjaan yang kita selesaikan dengan memberikan self-reward, seperti segelas kopi hingga reward lain yang lebih besar dari setiap pencapaian pekerjaan yang dilakukan untuk memotivasi kita.

It’s All About Your Attitude

Mendapatkan kesempatan untuk kembali ke bangku sekolah setelah 6-7 berkutat dengan pekerjaan kantor yang kadang menantang tapi tak jarang juga membosankan, bagaikan menghirup udara segar di pegunungan. Refreshing, namun juga campur aduk. Apalagi kesempatan belajar ini saya dapatkan di kota idaman saya sejak lama, New York City! Bersemangat tapi di sisi lain juga was-was. Takut.

Ada cerita yang ingin dibagi sedikit mengenai salah mata kuliah yang saya ambil di term ini, Leadership and Team Building. Mengutip leadership quotation yang dilontarkan oleh Professor saya di awal sesi. “Leadership and learning are indispensable to each other” yang merupakan kutipan dari John F. Kennedy. Kepemimpinan dan proses belajar adalah dua hal yang berkaitan dan saling memerlukan satu sama lain.

Bukan berarti, sudah menjadi pimpinan tertinggi di suatu posisi tertentu, membuat seseorang merasa puas dan berhenti untuk belajar, berkembang, untuk menjadi lebih baik. Dunia ini tidak berhenti berputar dan selalu ada perubahan perbaikan yang terjadi. Ya, sama halnya seperti dunia yang berputar seperti roda, memiliki siklus. Professor saya menjelaskan mengenai cycle of self-development. Mungkin ini hal yang sudah kita tahu tapi juga mungkin tidak kita sadari. We need the cycle keep alive! It’s continuous learning of life. 

Poin yang ini saya bahas kali ini adalah siklus pertama yaitu attitude. Bagaimana kita memiliki kecapakan emosional yang baik dengan mencerminkan sikap positif. Selalu merasa ingin tahu (in a positive way), haus akan belajar, berkembang, menggali ilmu sebanyak-banyak dari manapun dan siapapun. Berpikiran terbuka dan sikap positif untung menyerap ilmu dari sekitar. Don’t block your mindset!

Sebagai pimpinan yang sudah berada di pucuk tertinggi posisi tertentu, kadang memiliki sikap dan mindset yang paling tahu segalanya. Professor saya sempat bercerita di kelas. Dia pernah memberikan coaching class untuk senior leaders di suatu perusahaan. Terdapat leader yang merasa perusahaannya sudah menghasilkan billion dollars dan merasa sudah paham segalanya, untuk apa lagi berada dalam coaching class tersebut. Padahal mungkin saja kelas tersebut dapat membantu untuk menghasilkan lebih dari billion, tambah Professor saya sambil tertawa.

Positive attitude juga bukan hanya berpengaruh ke dalam diri seseorang. Aura ini juga dapat terpancar keluar dan memepengaruhi sekitar. Sebagai pimpinan yang memiliki positive attitude, suasana dan lingkungan kerja kepada bawahan juga lebih menyenangkan, komunikasi lebih lancar dan cair, produktivitas yang digadang-gadang dalam pekerjaan juga lebih mudah dicapai. Sebagai anak buah, saya juga lebih senang berdiskusi dengan pimpinan yang hangat dan bersikap terbuka dengan masukan dan aspirasi anak buahnya.

Hal ini juga yang dapat saya ambil. Konteksnya tak hanya sebagai leader, tapi juga sebagai individu. Bagaimana sikap dan ketakutan saya belajar di negara orang. It’s all about the mindset and attitude, bagaimana saya menyikapi ketakutan saya masuk di dunia baru. Tidak apa banyak tidak tahu, ya namanya juga proses dalam self-development. Apalagi mendapatkan kesempatan belajar di kota yang kata Alicia Keys “concrete jungle where dreams are made of, and there’s nothing you can do”. Yup! There’s nothing you can do but please don’t forget to bring your positive attitude and mindset wherever you go!

Salam dari (Queens) New York City!

Keberagaman di Tempat Kerja

Ketika datang di kota New York bulan lalu, saya terkesima dengan betapa diverse atau beragamnya kota megapolitan ini. Rasanya seperti semua orang dari seluruh dunia berkumpul di sini. Dari mereka yang berkulit putih pucat sampai dengan mereka dengan warna kulit mendekati RGB #000000. Berbagai macam bangsa dari berbagai benua, bahasa dan cara bicara, bentuk tubuh, gaya dan warna rambut, style pakaian, usia, agama, tinggi badan, orientasi gender, difabilitas, dan masih banyak variasi lainnya…

Tidak hanya tampilan luar, diversity dan keberagaman juga ada “di dalam”. Orang yang saya temui memiliki cara pandang yang beragam, memiliki cerita masing-masing mengapa mereka berada di kota New York, pengalaman hidup dan tujuan hidup yang berbeda-beda, dan sebagainya.

Keberagaman ini membuat kota New York hidup, berwarna, dan seperti memiliki segalanya.

Sama seperti kota New York, apabila keberagaman atau diversity dapat diterapkan di organisasi, organisasi akan mendapatkan manfaat. Contohnya keberagaman dalam organisasi antara lain: keberagaman skill, latar belakang, dan pengalaman dalam satu tim, keberagaman gender di C-suite, dan sebagainya. Manfaatnya apa saja? Cekidot ya!

1) Meningkatkan performa organisasi
McKinsey melaporkan organisasi dengan management yang diverse memiliki 35% financial return yang lebih tinggi dari rata-rata organisasi lainnya. Selain itu, analisa McKinsey menyatakan keberagaman gender di level eksekutif (komposisi pria dan wanita) akan membuat perusahaan mencetak keuntungan yang lebih besar. BCG pun memliki hasil analisa yang sama.

Dengan anggota tim yang beragam, setiap orang akan membawa perspektif dan kontribusi yang berbeda dalam pekerjaan sehingga menghasilkan deliverable dan keputusan yang lebih baik. Riset menunjukkan tim yang diverse memilliki kemampuan pengambilan keputusan 60% lebih baik.

2) Mendorong kreativitas dan inovasi
Keberagaman di tempat kerja tentunya mendorong inovasi. Kalau tim terdiri dari orang-orang yang kurang lebih sama, cara menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan akan begitu-begitu saja. Tapi ketika tim terdiri dari orang dengan pengalaman, skill, usia yang berbeda, input yang didapatkan akan lebih kaya dan dapat menghasilkan hasil yang kreatif dan inovatif.

3) Meningkatkan reputasi dan menjadi employer of choice
Buat anak jaman now, cari kerja bukan hanya melulu masalah gaji. Anak jaman now mencari perusahaan yang dimana mereka akan merasa diterima – bagaimanapun macam pegawainya. Berdasarkan hasil study Glassdoor, 76% pencari kerja mengatakan diversity dalam tempat kerja menjadi salah satu faktor penting dalam memilih tempat kerja atau tawaran pekerjaan.

Contoh lain, organisasi yang menerima teman-teman difabel sebagai pegawai dapat memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat. Sebagai imbal balik, masyarakat pun akan semakin “sayang” dengan organisasi tersebut.

Sekian tulisan singkat saya. Keberagaman menurut saya harus dirayakan, diembrace – bukan ditekan. Menurut kalian, kalau tempat kerja kalian memiliki pegawai yang lebih beragam, kira-kira akan seperti apa ya?

Yuk komen di kolom komentar.

Golem and Pygmalion Effect

Menurut kamu, apakah ekspektasi seorang atasan terhadap bawahannya dapat memengaruhi kinerja bawahan? Kalau berdasarkan riset Rosenthal di tahun 1911, jawabannya Ya. Konsepnya sebenarnya sama seperti self fulfilling prophecy, jadi bila kita membayangkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa, maka besar kemungkinan kita akan mendapati dia berperilaku seperti yang kita bayangkan. Memang tidak terjadi di setiap situasi, tapi menurut riset setidaknya fenomena ini lebih sering kejadian di antara atasan ke bawahan.

Pada Pygmalion effect, harapan atasan yang tinggi terhadap bawahan disinyalir mampu meningkatkan kinerja bawahan. Nama “Pygmalion” sendiri berasal cerita Yunani tentang seorang pematung bernama Pygmalion, yang membangun patung seorang wanita yang begitu cantik sehingga dia jatuh cinta, dan patung itu kemudian hidup menjadi manusia asli. Dalam konteks kepemimpinan, bila seorang atasan cenderung memberikan lebih banyak kepercayaan, kebebasan, dan tanggung jawab kepada bawahan. Atasan akan cenderung bekerja lebih dekat dengan bawahan untuk mencari solusi masalah, daripada hanya memberi tahu mereka bagaimana sesuatu harus dilakukan. Efek positif dari pendekatan tersebut meliputi peningkatan produktivitas, tingkat komitmen dan motivasi bawahan yang lebih baik, mempermudah buy-in terhadap strategi dan tujuan organisasi, kepercayaan diri bawahan yang lebih baik, meningkatkan inovasi, dan lain sebagainya.

Sayangnya, hal sebaliknya ternyata bisa juga terjadi. Ini yang disebut Golem Effect. Dalam sebuah mitologi, Golem adalah makhluk yang dibangun dari tanah liat dan lumpur, dirancang untuk melayani tuannya, dan akhirnya membawa masalah dan kehancuran. Golem effect menggambarkan proses di mana atasan berekspektasi bawahannya akan berkinerja rendah, hal ini menyebabkan perilaku atasan men-justifikasi seluruh output yang mereka bayangkan dari bawahan. Atasan bisa saja menjadi acuh dan kurang memberi perhatian, serta tidak memberikan kesempatan dan kepercayaan lebih terhadap bawahan, atasan tersebut juga percaya bahwa bawahannya tidak memiliki keterampilan, potensi, atau kemauan untuk berhasil. Hal ini mengarah pada perubahan gaya kepemimpinan, di mana atasan akan cenderung menetapkan target dan deadline yang lebih strict, memberikan lebih banyak tugas rutin, terlalu sering memantau bawahan, dan memberikan tugas operasional daripada strategis.

Entah dikomunikasikan atau tidak, ketika dihadapkan dengan kenyataan ini, bawahan menjadi kurang termotivasi dan underperformed, sehingga ramalan dan bayangan si atasan di awal tadi justru menjadi realita. Efek lanjutnya, besar kemungkinan gaya kepemimpinan atasan menjadi arogan dan keras, lebih sering menggunakan power ketimbang empati. Tanpa disadari, konsekuensi negatif dari efek Golem sangat besar ke bawahan, yaitu kurangnya kepercayaan diri bawahan, kurangnya trust terhadap rekan kerja dan atasan, rendahnya produktivitas, kecenderungan bawahan berperilaku oportunis, kurang inovatif, dan yang paling buruk, bawahan akan minta dipindahkan atau bahkan resign. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan bila diamanahkan untuk memimpin sebuah tim. Rasanya kita setuju bila pygmalion effect itu bagus dan golem effect itu buruk. Untuk menghindari Golem effect resepnya cukup sederhana namun kadang sering dilupakan: kita harus terbiasa menghindar dari judgement terlalu dini sebelum melihat karakter dan potensi seseorang yang sesungguhnya. Seringkali kita menilai orang dari penampilan, posisi/jabatan, latar belakang orang tua, almamater, dan lain sebagainya. Padahal kita perlu ingat bahwa, one soul has its own universe, banyak cerita dari hidup seseorang yang tak mungkin bisa disimpulkan hanya dengan sekejap mata atau selantun cerita. Di banyak organisasi, hal-hal “remeh” seperti ini biasanya bukan menjadi isu untuk dibahas, kita terbiasa nyaman dengan stigma bahwa ketika seseorang naik menjadi pemimpin, dia akan otomatis mampu menjadi pemimpin yang adil, peduli terhadap bawahan, dan cenderung memiliki “pygmalion effect”. Padahal tidak seperti itu, bad leader/manager with golem effect problem really do exist, dan isu ini ada baiknya menjadi concern organisasi pada saat membuat program pembekalan kepemimpinan.

Learning Wallet

Salah satu aspek yang diinginkan karyawan dari sebuah perusahaan adalah pengembangan diri. Hal ini sejalan dengan hasil survey bahwa 87% dari milenial percaya bahwa pengembangan dan pembelajaran merupakan aspek terpenting dalam pengelolaan SDM di perusahaan. Namun sayangnya statistik juga menjelaskan bahwa 29% tempat mereka bekerja sekarang tidak memiliki program pengembangan secara formal. Terdapat sekitar 59% karyawan saat ini merasa tidak mendapat pengembangan dari perusahaan dan ketrampilan yang mereka miliki merupakan hasil belajar sendiri. Bahkan 70% dari karyawan yang keluar dari perusahaan menyatakan alasan mereka karena mendapat kesempatan pengembangan diri yang lebih baik di tempat baru.

Sebagian perusahaan atau institusi telah menyadari pentingnya pengembangan SDM, dan kemudian membentuk unit sendiri seperti learning center atau corporate university. Namun sayangnya pengelolaannya belum dilakukan secara profesional dan dengan paradigma baru kebebasan memilih bentuk pengembangan. Pendirian unit tersebut tersebut belum dibarengi dengan alokasi anggaran yang memadai dan kebebasan memilih pengembangan diri oleh karyawan, sehingga anggaran dan pengembangan karyawan masih ditentukan secara sentral. Akhirnya selain kurang tepat sasaran, motivasi karyawan juga rendah pada saat mengikuti program tersebut. Namun kondisi ini juga selaras karena hanya 70% perusahaan yang berusaha mengukur efektivitas dari pelaksanaan program pengembangan yang mereka laksanakan.

Terakhir mulai populer yang dinamanakan konsep learning wallet. Konsep ini memberikan jawaban atas permasalahan yang disampaikan di atas. Di dalam konsep ini perusahaan memberikan alokasi anggaran pengembangan berdasarkan kinerja karyawan. Semakin baik, semakin besar alokasi yang diberikan. Setiap memiliki prestasi, karyawan mendapat insentif yang kemudian masuk ke dalam learning wallet atau dompet belajarnya. Uang ini bisa digunakan untuk mengikuti kegiatan pengembangan sesuai topik dan waktu yang diinginkan. Hal ini penting karena statistik menjelaskan 85% karyawan menginginkan pelaksanaan pengembangan disesuaikan dengan waktu mereka, sementara 33% mengatakan pengenbangan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan kebebasan memilih jadwal dan topik, karyawan tentu menjadi lebih termotivasi dalam mengikuti program yang dipilihnya.

Dalam pelaksanaannya bahkan kebebasan ini tidak berbatas, dimana perusahaan membolehkan karyawan memilih topik pengembangan yang tidak terkait dengan pelaksanaan tugas. Misalnya karyawan memilih pengembangan sesuai hobby yaitu fotografi. Ternyata berdasarkan hasil penelitian setelah menjalani pelatihan, kreativitas dan kepercayaan karyawan tersebut meningkat. Pelaksanaan tugas juga menjadi lebih baik dan kualitasnya meningkat. Sehingga perusahaan meyakini pengembangan diri dalam bentuk apapun akhirnya akan membawa manfaat bagi perusahaan.

Beberapa perusahaan di Indonesia sudah menerapkan konsep learning wallet. Salah satunya yang paling maju adalah Bank BNI. Kegiatan pengembangan dilakukan secara digital dan bisa dilakukan setiap saat. Hal ini merujuk kepada kecenderungan bahwa kegiatan pengembangan formal di kelas, semakin ditinggalkan dan 90% milenial lebih memilih pengembangan mobile-based training. Dengan demikian learning center atau corporate university lebih fokus untuk menyusun bahan pengajaran yang dapat di-upload dalam sistem, sehingga kapan saja bisa diakses oleh karyawan sesuai ketersediaan waktu mereka. Perusahaan memang akan sedikit effort di awal untuk menyiapkan infrastruktur, tetapi apabila sudah bisa berjalan, maka efektivitas pelaksanaan pengembangan akan jauh lebih tinggi. Monitoring dan evaluasi juga akan lebih mudah dilakukan karena semua akan dilakukan secara digital.

Sepertinya ke depan konsep learning wallet ini semakin populer di Indonesia karena lebih sesuai dengan kebutuhan generasi. Apalagi hampir tidak ada karyawan yang tidak memiliki smartphone, sehingga pelaksanaan mobile-based training lebih mudah dan inklusif. Perusahaan yang memiliki cabang di seluruh Indonesia tidak perlu kawatir tidak mendapat pengembangan, karena seluruh karyawan bisa melakukan pengembangan melalui smartphone mereka. Semoga.

Work Stress

Apakah kamu sedang merasa stres atau banyak pikiran akhir-akhir ini? Terkait pekerjaan, urusan dirumah, atau hubungan dengan orang-orang disekitar kamu? Terlebih dengan pandemi yang belum juga usai tidak tau sampai kapan pastinya akan membuat kita sering cemas dan stres memikirkan banyak hal.

Jika kamu saat ini bekerja, pastinya tahu bagaimana rasanya stres di tempat kerja. Banyaknya pekerjaan dengan deadline yang bersamaan, rapat terus menerus, dan faktor pemicu stres lainnya. Nah sebelum bahas tentang stres di tempat kerja, kita bahas sedikit ya apa itu stres. Stres adalah reaksi tubuh terhadap tantangan atau tuntutan yang akan menguras diri kita baik secara fisik maupun emosional. Tingkat stres umumnya tinggi di tempat kerja dan karenanya perlu dikelola. Stres kerja berkembang ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkan serta dapat meningkat ketika kita merasa tidak mendapatkan dukungan penuh dari atasan dan rekan kerja atau merasa tidak dapat mengendalikan pekerjaannya. Berikut beberapa gejala stres yang mungkin bisa menjadi pengingat bagi kita untuk dapat segera kita identifikasi sendiri.

Secara alamiah, tubuh dan pikiran kita akan merespon terhadap pemicu stres yang ada di sekitar kita, dimana akan langsung ‘mengaktifkan’ reaksi fisik yang disebut respon fight or flight. Manusia mengembangkan respon rasa takut yang terkoordinasi ini untuk melindungi diri dari ‘bahaya’ di lingkungan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika kita menghadapi stres di tempat kerja setiap hari? Seiring waktu, stres kerja kronis dapat menyebabkan sindrom psikologis yang dikenal sebagai burnout. Tanda-tanda burnout seperti kelelahan yang luar biasa, sinisme, dan rasa tidak berdaya dengan pekerjaannya. Stresor terkait pekerjaan tertentu terkait erat dengan burnout, berikut pembagian stresor agar lebih mudah dipahami.

Work ContentWork Context
Konten Pekerjaan (pekerjaan yang monoton, tidak bervariasi, tidak menantang, tidak berarti, tidak menyenangkan)Pengembangan karir, status, dan gaji (gaji yang tidak memadai, ketidakadilan dalam pengembangan karir, ketidakamanan kerja, promosi yang kurang, sistem evaluasi/penilaian kinerja yang tidak jelas/tidak adil)
Beban dan kecepatan kerja  (terlalu banyak/sedikit pekerjaan, bekerja dibawah tekanan waktu)Peran di organisasi (peran tidak jelas)
Jam kerja (yang ketat, tidak fleksibel, panjang, yang tidak dapat diprediksi, sistem shift yang dirancang dengan buruk)Hubungan interpersonal (kurangnya komunikasi antara rekan kerja, penindasan, pelecehan, kekerasan)
Partisipasi dan kontrol (kurang partisipasi dalam pengambilan keputusan, kurang kontrol dalam metode kerja, jam kerja, lingkungan kerja)Kultur organisasi (komunikasi yang buruk antar pegawai, kepemimpinan yang buruk, kurangnya kejelasan tentang tujuan organisasi)
 Home-work interface (ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang dianut di tempat kerja dan dirumah)

Bagaimana stres kerja dapat mempengaruhi well-being seseorang?

Efek jangka panjang terhadap stres kerja dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Dalam suatu penelitian menghubungkan burnout dengan gejala kecemasan dan depresi, bahkan beberapa kasus sampai menjadi masalah kesehatan mental yang serius. Selain itu, dalam penelitian tersebut menunjukkan orang yang lebih muda yang secara rutin menghadapi beban kerja yang berat dan tekanan waktu yang ekstrim pada pekerjaan lebih mungkin untuk mengalami gangguan depresi berat dan gangguan kecemasan umum.

Tingkat stres yang tinggi di tempat kerja dapat memengaruhi kesehatan fisik juga. Aktivasi berulang dari respons fight or flight dapat mengganggu sistem tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Pelepasan berulang hormon stres kortisol dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kemungkinan gangguan autoimun, penyakit kardiovaskular, dan penyakit Alzheimer. Stres kronis juga dapat mempengaruhi kesehatan dengan mengganggu perilaku sehat, seperti olahraga, makan seimbang, dan tidur.

Dari sisi organisasi, stres kerja juga dapat merugikan organisasi. Burnout pada karyawan akan otomatis mengurangi produktivitas dan kinerja, meningkatnya ketidakhadiran (absen), meningkatnya turnover karyawan, tidak termotivasi dalam bekerja, berkurangnya komitmen untuk bekerja, serta memicu konflik antara rekan kerja sehingga membuat lingkungan kerja yang tidak nyaman yang juga memicu stres kerja. Selain itu, organisasi juga kecil kemungkinannya untuk berhasil dalam pasar yang kompetitif. Stres kerja merupakan masalah yang cukup serius bagi suatu organisasi apabila tidak dicegah atau ditangani dengan baik seperti memiliki manajemen yang baik sebagai bentuk dari pencegahan stres di organisasi.

Sekarang pertanyaanya apakah stres kerja dapat dikelola dan diatasi? Berikut beberapa keterampilan yang diajarkan dalam terapi perilaku kognitif yang dapat membantu mengelola stres kerja:

  1. Strategi relaksasi. Relaksasi membantu melawan efek fisiologis dari respons fight or flight. Contoh, duduk nyaman dengan mata tertutup. Tarik nafas selama 10 detik, lalu hembuskan selama 20 detik. Setiap kali Anda melepaskan ketegangan otot, pikirkan “santai” untuk diri sendiri. Keterampilan ini dapat membantu mengurangi gejala kecemasan.
  2. Penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah adalah strategi active coping dengan mengambil langkah-langkah spesifik ketika menghadapi masalah atau tantangan. Langkah-langkah ini termasuk mendefinisikan masalah, melakukan brainstorming untuk mencari solusi, memberi peringkat solusi, mengembangkan rencana tindakan, dan menguji solusi yang dipilih.
  3. Mindfulness. Mindfulness adalah kemampuan untuk memperhatikan keadaan saat ini dengan rasa ingin tahu, keterbukaan, dan penerimaan. Stres dapat diperburuk ketika kita menghabiskan waktu untuk merenungkan masa lalu, mengkhawatirkan masa depan, atau mengkritik diri sendiri. Dengan adanya sikap mindfulness membantu melatih otak untuk menghentikan kebiasaan berbahaya ini. Cara mudah dan simpel yang dapat dilakukan sendiri yaitu dengan meditasi atau berjalan santai, cara ini merupakan terapi berbasis kesadaran efektif untuk mengurangi gejala depresi dan kecemasan.
  4. Menilai kembali pikiran negatif. Stres dan rasa khawatir yang berlebihan dapat membuat seseorang mengembangkan pikiran alam bawah sadar untuk menafsirkan segala situasi secara negatif. Misalnya, selalu membuat kesimpulan negatif dengan sedikit atau tanpa bukti (contoh: “atasan saya berpikir saya tidak kompeten”) dan meragukan kemampuan dirinya untuk mengatasi stres (contoh: “Hidup saya akan berantakan jika saya tidak mendapatkan promosi”).

Saat ini, stres menjadi suatu masalah besar yang hampir dihadapi oleh setiap orang. Sehingga cara terbaik untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir stres dari kehidupan kita adalah dengan memahami penyebab stres dan kemudian mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya. Banyak sumber menyatakan bahwa beban kerja menjadi penyebab terbesar stres karena setiap profesi itu pasti ada kesulitan dan tantangan baru setiap harinya. Namun, bekerja menjadi hal yang tidak dapat kita hindari dan harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup.

Oleh karena itu, suatu organisasi harus fokus pada pengelolaan stres kerja karena karyawan adalah sumber ‘pendapatan’ dan sumber dayanya, sehingga menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi organisasi untuk dapat menghilangkan atau meminimalisir. Ada banyak cara yang bisa dilakukan seperti melakukan interaksi antara atasan dan bawahan atau acara yang membangun kultur/atmosfer yang menyenangkan di lingkungan kerja. Karena seperti yang dikemukakan oleh Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya, kebutuhan aktualisasi diri seorang karyawan harus diperhatikan, yang diperlukan untuk setiap perusahaan, karena hanya bekerja dan bekerja saja tidak dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan, tetapi karyawan yang termotivasi pasti membawa dampak yang positif untuk perusahaan. Jadi, ayo lebih fokus pada manajemen stres daripada kerja terus menerus.

Sumber:

  1. Work Organization & Stress, Protecting Workers’ Health Series No.3, WHO, 2004
  2. Harvard Health Publishing, Harvard Medical School, 2019
  3. https://www.educba.com/stress-management-strategies/

Exit Interview

Exit interview itu bukan interview biasa.

Organisasi membuat kesalahan apabila hanya menganggap exit interview sebatas kegiatan operasional ketika pegawai resign. Exit interview memiliki peran strategis yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi sebagai competitive intelligence untuk membuat tempat kerja menjadi lebih baik dan bersaing dengan kompetitornya.

Make It Strategic

Exit interview bukanlah hanya “interview”. Tetapi sebuah program yang dirancang dengan seksama agar organisasi mengetahui tiga hal berikut: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Dengan exit interview program yang baik, organisasi dapat mengetahui what works what doesn’t, hidden opportunity and challenges, mendorong engagement pegawai, dan meningkatkan kemampuan mendengar para Pimpinan.

Berdasarkan maturity dari exit interview program yang dilakukan oleh organisasi, berikut tingkatannya:

Organisasi yang percaya bahwa exit interview program adalah hal strategis memiliki Pimpinan yang mau mendengar dan memastikan follow-up action dilakukan. Organisasi tersebut mempunyai strategic committee yang bertugas memantau desain, eksekusi, dan hasil dari exit interview program. Komite tersebutmelakukan meeting sedikitnya 1 tahun sekali. Selain itu, organisasi melibatkan para line manager dalam exit interview program.

Riset yang dilakukan oleh Spain & Groysberg ke ratusan organisasi (disampaikan dalam artikel “Making Exit Interview Counts”) menunjukkan bahwa kurang dari 1/3 organisasi menyampaikan hasil analisa ke Senior Leader. Data tersebut hanya disampaikan ketika diminta. Spain & Groysburg juga mencontohkan manfaat exit interview program di sebuah perusahaan yang memiliki maturity level yang baik.

Di salah satu bagian perusahaan tersebut, setengah dari pegawainya keluar – sebagian resign, sebagian pindah ke bagian lain. Exit interviewnya dipelajari dan didapat bahwa akar permasalahan terletak pada Pimpinan. Pimpinan di bagian tersebut memiliki leadership skill yang buruk, seperti kurang mengapresiasi anak buah, tidak mengomunikasikan visi dan strategi dengan baik, dan sebagainya. Tidak hanya berhenti di sini, Manajemen kemudian mengevaluasi sistem promosi dan menemukan kelemahan bahwa promosi mengutamakan technical skill daripada leadership skill. Dari sini, sistem promosi diperbaiki.

Seluruh proses ini juga memperlihatkan kepada pegawai eksisting bahwa Manajemen mendengar dan merespon hasil dari exit interview. Hal ini dapat meningkatkan engagement pegawai.

The Techniques

Kesuksesan exit interview program bergantung pada dampak positif yang dihasilkan. Untuk mewujudkannya, sumber data harus baik dan berkualitas. Berikut rangkuman teknik exit interview yang dapat dilakukan:

To Conclude

Organisasi harus mulai melihat exit interview bukan sebagai aktivitas HR biasa, tetapi sesuatu yang lebih strategis dimana organisasi bisa mendapatkan informasi berharga untuk kebaikan organisasi.

Exit interview tidak seharusnya menjadi diskusi pertama pegawai yang membahas uneg-uneg yang dirasakan. Diskusi seperti itu harus terjadi sebelum pegawai resign dan dilakukan secara berkala di keseharian pegawai untuk menangkap tiga objektif dari exit interview: 1) Mengapa pegawai tinggal, 2) Mengapa pegawai resign, 3) Bagaimana organisasi perlu berubah. Apabila hal ini dilakukan secara rutin dan hasil diskusi ditindaklanjuti, organisasi bisa mempertahankan pegawai sebagai aset terbaiknya (retensi) dan membuat tempat kerja yang lebih baik lagi bagi pegawainya.

Tetap semangat dan salam sehat!

Tagged : / / /

Affinity Bias

Kita mungkin cukup familiar dengan frase “nggih”, sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti “iya”. Atau “naon“ yang berarti “apa“ dalam bahasa Sunda. Di berbagai tempat kerja kita juga sering menemui karyawan/pegawai satu suku yang masih memakainya. Sebenarnya sah-sah saja dan tidak ada yang salah, jika memang untuk urusan personal dan bisa mempermudah komunikasi.

Namun yang cukup menggelitik, kebiasaan ngomong bahasa daerah asal menjadi habit di komunikasi resmi, bahkan ke jenjang pimpinan di Ibukota Jakarta yang notabene berlatar betawi. Ada kecenderungan seorang bawahan asal Jawa untuk menggunakan bahasa Jawa ke bos nya yang juga Jawa, begitu pula seorang bos yang berasal dari suku Padang, cenderung sering memakai bahasa Padang ke bawahannya yang orang Padang. Padahal dalam meeting, banyak karyawan disekitarnya yang bukan orang Jawa/Padang yang mungkin saja akan bengong sendiri, mati gaya, atau malah merasa bukan bagian dari tim.

Dalam situasi lain yang lebih krusial, misalnya dalam proses seleksi karyawan. Kita pasti sering menemui pewawancara yang memberi nilai lebih tinggi ke kandidat yang punya latar belakang sama dengan si pewawancara, bisa dari suku, agama, ras, atau interest yang sama, padahal bukan itu key criteria yang dicari oleh perusahaan. Alih-alih mencari kandidat terbaik untuk organisasi, interviewer malah terjebak memilih kandidat yang suboptimal hanya karena atribut personal yang tidak relevan bagi objektif perusahaan. Pewawancara seharusnya menggali informasi calon karyawannya apakah sesuai dengan kompetensi/pengalaman yang dibutuhkan, dan juga menggali kesesuaian dengan values perusahaan, sehingga tidak ada masalah cultural fit di tempat kerja.

Dua contoh kecil diatas merupakan fenomena yang disebut affinity bias, yaitu kecenderungan seseorang terhubung dengan orang lain yang memiliki latar belakang, kepercayaan, dan minat yang sama. Dan banyak contoh lainnya yang sering kita jumpai. Kita akan lebih cenderung berteman, mempekerjakan, atau bekerja bersama dengan orang-orang yang mirip dengan kita. Sekali lagi tidak ada yang salah dengan preferensi pribadi ke seseorang. Malah kita semua memiliki kecenderungan alami untuk berada di sekitar orang-orang yang dapat “connect” dengan kita sehingga membuat kita merasa nyaman. Dan jujur ​​​​saja, tidak ada seorang pun yang ingin dikelilingi oleh orang-orang yang membuat kita tidak nyaman bukan?

Namun demikian, affinity bias dapat menjadi sumber berbagai macam masalah bila kita tidak sadar telah melakukannya di situasi dan posisi yang tidak tepat. Affinity bias seringkali menjadi sumber diskriminasi dan ketidakadilan di tempat kerja. Affinity bias yang kronis dapat menutupi objektivitas kita dalam menilai seseorang sehingga kita akan sering berprasangka buruk dan stereotyping terhadap orang lain. Yang lebih parah, affinity bias juga sering menjadi pemicu terbentuknya “geng” di tempat kerja. Geng Jawa, geng Batak, geng Kristen, geng Islam, geng UI, geng UGM, dan lain sebagainya. Bukankah hal tersebut kita sadari sering menjadi sumber perpecahan yang tidak produktif bagi organisasi.

Dalam hal lain, affinity bias dapat membuat seseorang kesulitan untuk “connect” dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya, cenderung narrow-minded dan sulit menerima masukan positif dari orang yang berlatar belakang berbeda. Rasanya kita juga sepakat bahwa ide-ide cemerlang lebih sering datang dari tim yang diverse atau heterogen daripadatim yang homogen. Menghasilkan ide dan gagasan yang brilian adalah hal penting untuk survivability perusahaan dalam jangka panjang, apalagi perusahaan teknologi dan start-up masa kini yang amat tergantung dari inovasi. Oleh karena itu, kita akan sering menemui perusahaan teknologi dan start-up yang lebih inklusif dan diverse. Nah, bila inklusivitas merupakan salah satu values perusahaan Anda, maka meminimalisir efek affinity bias di lingkungan kerja merupakan salah satu prioritas yang harus dicermati.

Lalu bagaimana mengatasi atau paling tidak mengurangi affinity bias. Sejujurnya kita tidak akan bisa lepas dari affinity bias, namun me-manage sisi emosional dapat menjadi faktor kunci kapan affinity bias diperlukan atau tidak. Pertama, terbiasalah melatih diri dalam suasana dan lingkungan yang berbeda, Anda bisa jalan-jalan ke tempat/negara berbeda, berdialog dengan orang yang berbeda, berteman dengan bermacam-macam orang dengan latar belakang berbeda, dan lain sebagainya. Dengan membawa diversity ke inner circle, otak kita akan ter-hard-wired terbiasa menilai orang sesuai personality dan capacity yang dimiliki, bukan karena latar belakang dan informasi yang belum lengkap. Sehingga kita mampu sampai pada beberapa kesimpulan sederhana dalam hidup ini, bahwa tidak semua bule berbahasa inggris itu pintar, tidak semua orang kulit hitam itu bau, tidak semua orang Padang itu pelit, tidak semua orang Cina mata duitan, tidak semua orang Makassar itu kasar, tidak semua orang Jawa itu lembut, tidak semua orang baik itu harus sama seperti kita, dan berjuta contoh lainnya.

Pada lingkup organisasi, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi affinity bias sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap objektif perusahaan. Pertama, perusahaan bisa mengukur seberapa kuat affinity bias yang terjadi pada karyawan di tempat kerja. Alat ukur psikologisnya sudah ada dan tidak sulit untuk dilakukan. Dari sana, kita bisa melakukan tindakan preventif dan kuratif. Tindakan preventif dapat berupa pelatihan diversity rutin terhadap karyawan, baik pada level eksekutif, manajerial, maupun operasional. Sehingga awareness, understanding, acceptance, dan commitment terhadap keberagamandapat terbentuk. Sedangkan tindakan kuratif dapat berupa perbaikan SOP, sistem kerja, peraturan internal, serta mekanisme stick and carrot, guna mempromosikan inklusifitaspadasetiap divisi/tim.

Bagaimana dengan tempat kerja Anda, sudahkah inklusif dan jauh dari affinity bias?

Aktualisasi Diri dalam Dunia Kerja

Sebagai manusia kita memiliki banyak kebutuhan dalam hidup. Begitu juga dalam karier/dunia kerja, salah satu tujuan yang ingin dicapai setiap individu adalah aktualisasi diri. Sayangnya, masih banyak orang yang belum memahami secara utuh cara untuk mencapainya. Padahal mencapai hal ini merupakan salah satu kunci mencapai kepuasan kerja, bahkan beberapa ahli psikologi menyebutkan bahwa aktualisasi diri dapat menjadi salah satu faktor seseorang merasa meaningful di tempat kerjanya.

Sebelumnya kita bahas sedikit ya tentang teori aktualisasi diri. Pasti semua orang sudah sangat familiar dengan Hierarchy of Needs-nya Abraham Maslow, seorang Psikolog asal Amerika Serikat. Dalam ‘segitiga kebutuhan’ yang digambarkan oleh Maslow, aktualisasi diri berada di puncak dari pemenuhan kebutuhan seseorang, sehingga menurut Maslow tidak banyak manusia yang dapat memenuhi kebutuhan ini.  Aktualisasi diri adalah keinginan seseorang dalam mencapai kebutuhan, dengan menggunakan semua kemampuan yang dimiliki. Dengan aktualisasi diri seseorang akan mengetahui cara terbaik untuk memanfaatkan kemampuan yang ada di dalam dirinya, lalu mengambil langkah-langkah untuk mencapai impian tersebut.

Untuk lebih mudahnya, berikut beberapa karakteristik individu yang menerapkan aktualisasi diri:

  1. Mampu menerima kekurangan orang lain dan diri sendiri, seringkali dengan humor dan toleransi. Tidak hanya menerima orang lain sepenuhnya, namun juga jujur pada diri sendiri daripada berpura-pura untuk mengesankan orang lain.
  2. Cenderung mandiri dan tidak bergantung pada faktor eksternal untuk mengarahkan hidupnya.
  3. Dapat memupuk hubungan yang dalam dan penuh kasih dengan orang lain.
  4. Cenderung memancarkan rasa syukur dan mempertahankan penghargaan yang dalam bahkan untuk berkat yang biasa dalam hidup.
  5. Mampu menganalisis situasi dengan cepat.
  6. Jarang bergantung pada lingkungan atau budaya mereka untuk membentuk opini mereka.
  7. Cenderung memandang hidup sebagai misi yang memanggil mereka untuk mencapai tujuan di luar dirinya.

Dengan mengembangkan karakteristik aktualisasi diri, kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita. Lalu bagaimana cara menerapkan aktualisasi diri di tempat kerja? Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan.

  1. Belajar menerima diri
  2. Kenali diri
  3. Belajar merasa nyaman dengan lingkungan sekitar
  4. Bersikap jujur
  5. Jangan terlalu mencemaskan pendapat orang lain
  6. Menghargai hal-hal kecil dalam hidup
  7. Mengembangkan rasa belas kasih

Mungkin terlihat mudah dan simpel untuk dilakukan, namun kita sebagai manusia harus ingat bahwa dengan aktualisasi diri tidak selalu membuat hidup kita berjalan mulus, pasti terdapat hambatan dan masalah yang akan dihadapi, hanya saja kemungkinan besar kita bisa melaluinya dengan baik.

Sekarang pertanyaannya, mengapa aktualisasi diri di dunia kerja menjadi penting? Menurut Gopinath, salah satu cara untuk meningkatkan kepuasan kerja seseorang adalah melalui aktualisasi diri. Dalam sebuah penelitian, aktualisasi diri dianggap sebagai keadaan motivasi tertinggi seseorang sehingga mampu mengekspresikan kemampuan/potensi terbaik yang ada di dalam dirinya. Dari penelitian tersebut, ditemukan 3 faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu lingkungan kerja, remunerasi, serta hubungan dengan rekan kerja dan atasan. Ketika atasan membantu karyawan untuk melakukan aktualisasi diri, maka kepuasan kerja dan komitmen pada organisasi akan meningkat.

Selain itu dari sisi organisasi, dengan memenuhi kebutuhan aktualisasi diri karyawannya berarti akan memaksimalkan potensi individu di tempat kerjanya, yang pada akhirnya akan membuat karyawan ingin melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan dalam posisinya dan termotivasi untuk sukses di karirnya. Seorang karyawan yang mengaktualisasikan dirinya akan merasa diberdayakan dan dipercaya, yang akan mendorong engagement terhadap organisasinya. Sebagai sebuah organisasi, salah satu kunci untuk memastikan kebutuhan ini terpenuhi adalah dengan memberikan kesempatan pada karyawan untuk dapat sukses di karirnya. Disinilah peran atasan untuk dapat melihat keterampilan dan kemampuan masing-masing karyawannya, dengan terlibat aktif membantu dan memberikan peran yang sesuai. Untuk merasa telah terpenuhi aktualisasi dirinya, seorang karyawan harus merasa tertantang di posisinya namun tidak kelebihan atau kewalahan beban kerja.

Sesuai dengan teori dan observasi yang dilakukan oleh Maslow, ia menyebutkan beberapa orang terkenal dari latar belakang pekerjaan, pendididikan, dan kehidupan yang memenuhi kriteria/karakteristik seseorang yang telah mencapai aktualisasi diri seperti Albert Einstein, Abraham Lincoln, Eleanor Roosevelt, dan Thomas Jefferson. Woow nama-nama orang hebat semua ya.. Nah siapa nih di sekitar kalian yang menurutmu sudah berada di puncak kebutuhan tertingginya? Apakah atasan kalian? Atau mungkin kalian? Atau kira-kira organisasi tempat kalian bekerja sudah membantu kalian untuk dapat mengaktualisasikan diri? Yuk coba kita resapi dan pikirkan dulu, agar jadi semakin semangat dan terpacu untuk melihat dan menggali potensi di dalam diri masing-masing? Yuk semangat!

Sumber:

  1. Prera, A (2020, Sept 04). Self-actualization. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/self-actualization.html
  2. Gopinath, R. (2020). An Investigation of the Relationship between Self-Actualization and Job Satisfaction of Academic Leaders. International Journal of Management, 11(8), 753-763.
  3. https://www.indeed.com/career-advice/career-development/maslows-hierarchy-of-needs

Budaya Kompetitif atau Kolaboratif?

Dalam menjalankan bisnisnya, setiap perusahaan atau organisasi memiliki budayanya masing-masing. Beberapa perusahaan besar, seperti Amazon misalnya memiliki budaya hiper-kompetitif yang mengutamakan hasil dan menggambarkan situasi dimana “yang paling gigih dan berkinerja tinggi yang bertahan”. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pendekatan kompetitif terhadap budaya tempat kerja sungguh menarik karena memberikan suatu tekanan yang secara tidak langsung memotivasi, menyelaraskan dan meningkatkan kinerja karyawan. Akan tetapi, sebagian lain menyatakan bahwa budaya kompetitif dapat memberikan dampak negatif terhadap perusahaan dan tidak lebih baik dari budaya kolaboratif. Lantas, manakah budaya perusahaan atau organisasi yang terbaik?

Di samping dampak positif dari budaya kompetitif yang disebutkan di atas, sebenarnya tersimpan aspek negatif yang perlu menjadi pertimbangkan, seperti tekanan mental karyawan, potensi pelanggaran etika bekerja dan peningkatan risiko pekerjaan lainnya. Dengan adanya budaya kompetitif karyawan cenderung akan membandingkan kinerja antara satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan tujuan hingga prestasi, terkadang segala cara dilakukan agar mendapat “kemenangan”. Terdapat suatu potensi karyawan akan “menghalalkan segala cara” untuk bisa bertahan. Karena kompetisi antar individu, maka pendekatan seperti ini kurang mementingkan cara dan kepentingan terbaik dari rekan kerja atau organisasi secara keseluruhan.

Berbeda halnya dengan perusahaan berbudaya kolaboratif. Budaya ini memiliki pendekatan yang mendorong, individu, tim dan fungsi dalam organisasi untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Budaya kerja kolaboratif biasanya memiliki ciri-ciri seperti memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antar karyawan, organisasi memberdayakan karyawan dengan baik, konflik yang sehat dan produktif serta ada aspek pembelajaran dari setiap pekerjaan yang dilakukan karyawan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan konsultan bisnis, LSA Global, berjudul Top Employee Engagement Trend pada tahun 2018 menunjukan bahwa  kolaborasi dan kerja sama tim memiliki dampak yang luar biasa bagi produktivitas karyawan dalam suatu perusahaan dan meningkatkan intensi karyawan untuk loyal bekerja pada perusahaannya.

Akan tetapi budaya kolaborasi ini tidak selalu menghasilkan dampak yang positif. Untuk bisa  mencapai budaya kolaboratif yang sempurna, dibutuhkan waktu agar karyawan, tim atau fungsi bisa berjalan dengan seirama. Selain itu, bisa jadi budaya ini dirasa tidak menarik bagi orang yang berkinerja tinggi dan merasa terjebak dalam dinamika tim. Ketika tim bertambah besar, tingkat frustasi dalam menyelaraskan tim dapat berdampak negatif dan masif karena berbicara terkait banyak orang.

Lantas budaya manakah yang lebih baik?

Mungkin jawabannya tidak ada yang tepat dan sangat bergantung pada bagaimana suatu pekerjaan harus diselesaikan ketika menjalankan strategi. Bagi perusahaan yang memiliki strategi untuk memberikan keunggulan pada pelanggan seperti Amazon, misalnya, mungkin budaya kompetitif cocok untuk diterapkan. Namun, jika dalam strategi perusahaan memerlukan kerja tim di seluruh fungsi, persaingan antar individu justru dapat menghambat pencapaian atau strategi yang dijalankan oleh perusahaan.

Dalam dunia pekerjaan, produktivitas menjadi hal yang esensial. Suasana, lingkungan dan budaya kerja sangat berpengaruh dalam mendorong kinerja dan membangkitkan semangat bekerja. Suasana, lingkungan pekerjaan dan budaya kerja yang sesuai dengan strategi dan visi perusahaan dan nyaman bagi karyawannya dipercaya dapat meningkatkan produktivitas vice versa. Sebagai pemimpin suatu perusahaan, kita diharapkan untuk menciptakan keseimbangan yang tepat antara kebutuhan dan strategi perusahaan dengan kebutuhan dan karakteristik karyawan.

Employee Wellbeing: What and Why

Hampir dua tahun kita melakukan pekerjaan dari rumah dengan keharusan karena pandemi. Tentu saja ada pro dan kontra mengenai keadaan ini. Hal yang menyenangkan adalah pegawai bisa bekerja di rumah, fleksibel mengatur waktu mengurus keluarga, tidak perlu buang waktu di jalan karena ya macet jalanan. Kontranya tentu ada.

Tidak dapat dipungkiri pandemi menyebabkan kurangnya interaksi sosial secara langsung dengan teman dan keluarga, load pekerjaan yang berlebihan, jam kerja yang tidak ada batasnya, Hal ini dapat menimbulkan burnout atau kondisi kelelahan fisik dan emosional yang menyebabkan bingung, gelisah, hilangnya motivasi, dan tujuan. Menurut survei yang dilakukan oleh Gallup, 76% pegawai yang mengalami burnout dikarenakan oleh mismanagement, beban kerja berlebihan atau perlakuan tidak adil di pekerjaan.

Untuk menghindari terjadinya hal ini, langkah yang dapat menjadi perhatian pimpinan adalah employee wellbeing. Employee wellbeing saat ini bukan hanya sekedar kondisi pegawai yang jarang sakit secara fisik, namun sudah menjadi lebih luas.  Menurut e-days.com employee wellbeing terkait dengan kesehatan dan kebahagiaan pegawai yang artinya sudah bukan hanya mengenai Kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental.

Bahkan sebelum pandemi terjadi, menurut survei yang dilakukan oleh Zapier menyatakan bahwa sebagian besar pegawai terutama Gen Z dan Millenial – masing-masing 91% dan 85% – menyatakan bahwa perusahaan seharusnya memikirkan dengan baik wellbeing pegawai dengan memiliki mental health work policy di tempat bekerja.

Menurut Prowell Model, terdapat tiga besaran aspek yang harus diperhatikan dalam membuat program employee wellbeing – mental, fisik, dan sosial. Aspek mental – terkait dengan kognitif dan emosional pegawai. Selanjutnya aspek fisik – terkait dengan kebugaran, kesehatan raga, dan nutrisi gizi. Selanjutnya adalah faktor sosial – memiliki hubungan keseimbangan hidup antara kehidupan kantor dan sosial.

Karatina berkepanjangan tentu saja berimbas kepada kinerja pegawai dan dapat meningkatkan rasa bosan, jenuh, cemas, dan stres. Lalu mengapa memperhatikan employee wellbeing itu penting terutama ini saat pandemi ini? Alasannya adalah:

  • Mengurangi pegawai absen dan biaya kesehatan

Johnson & Johnson memperkirakan program wellness and wellbeing menghemat $259 juta untuk biaya perawatan Kesehatan selama lebih dari 10 tahun terakhir.

  • Meingkatkan employee engagement

Dengan memerhatikan kesehatan fisik dan mental, pegawai akan lebih merasa terhubung, kesehatan fisik dan kebahagiaan mental juga akan meningkat.

  • Meningkatkan produktivitas

Pegawai yang dapat mengatasi rasa stresnya dengan baik akan lebih sedikit kemungkinan mengalamin burnout dan akan lebih fokus menyelesaikan pekerjaannya.

  • Menarik dan mempertahankan pegawai

Persaingan talenta terbaik sangatlah kompetitif. Tentu saja kandidat berkualitas memiilki banyak banyak opsi untuk memilih perusahaan yang memberikan nilai lebih yang memikirkan kesehatan dan kesejahteraan pegawainya dengan baik

Sumber:

  1. Digitalhrtech.com
  2. Face2facehr.com
  3. E-days.com
  4. Semoscloud.com
  5. Innovativeworkplaceinstitute.org

Change Power Index: Seberapa mampu untuk berubah?

Di dunia yang konstan dengan perubahan, seberapa siap organisasi Anda menghadapi perubahan? Apakah organisasi Anda akan “menari” bersama perubahan, atau tergilas olehnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal yang harus dilakukan pertama kali oleh organisasi adalah memahami kapasitas diri sendiri untuk berubah. As Peter Drucker said, “You can’t manage what you can’t measure”. Namun, belum ada alat yang dapat mengukur kapasitas organisasi dalam beradaptasi menghadapi perubahan.

Dalam Harvard Business Review edisi Juli 2021, konsultan Bain & Company’s memperkenalkan sebuah metric yang dapat mengukur kemampuan organisasi untuk berubah yang dinamakan Change Power Index. Metric ini didapatkan setelah mempelajari inisiatif transformasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan selama satu dekade lebih. Dari risetnya, mereka menemukan 9 elemen Change Power yang dapat memprediksi kemampuan perusahaan dalam beradaptasi menghadapi perubahan (lihat tabel). Untuk mengetahui Change Power Index sebuah organisasi, pegawai mengisi survey mengenai ke 9 elemen di dalam organisasi mereka. Dari survey tersebut, organisasi akan mengetahui kekurangan dan kelebihan mereka di tiap elemen, mengetahui ranking/posisi Change Power mereka dibandingkan dengan organisasi lain dan kemudian menentukan langkah selanjutnya dalam transformasi.

Bain & Company’s mengetes metric tersebut untuk mengetahui hubungannya dengan performa organisasi. Mereka berkolaborasi dengan 2.000 pegawai dari 37 organisasi global dengan industri yang bervariasi dan menemukan bahwa Change Power Index berbanding lurus dengan performa organisasi. Organisasi dengan Change Power Index yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak profit, lebih cepat mengumpulkan revenue, memiliki Pimpinan dan budaya organisasi yang dinilai lebih baik oleh pegawai, dan memiliki lebih banyak pegawai yang engaged dan inspired.

Berdasarkan survey kepada 2.000 pegawai dari 37 organisasi tersebut, Bain & Company’s membuat 4 kategori besar dari kacamata kapabilitas organisasi untuk berubah yaitu:

Dengan mengukur dan memahami kapasitas organisasi sendiri untuk berubah melalui Change Power Index, organisasi dapat menentukan langkah selanjutnya maupun langkah perbaikan yang diperlukan untuk menjadi organisasi yang resilient di dunia VUCA.

Jadi, seberapa mampu organisasi Anda untuk berubah?

Photo credit: Freepik

Tagged : /

Presenteeism

Kita mungkin familiar dengan istilah absenteeism, atau ketidakhadiran. Dalam dunia kerja kita pun paham dampak dari ketidakhadiran pegawai tanpa alasan yang jelas terhadap produktivitas. Namun, tahukah Anda ada ancaman yang lebih berbahaya bagi kinerja dan budaya organisasi/perusahaan Anda yang disebut presenteeisme?

Presenteeism didefinisikan sebagai penurunan produktivitas akibat pegawai yang tetap datang bekerja meskipun sedang memiliki masalah kesehatan dan/atau masalah pribadi yang tidak terekspose. Meskipun pegawai secara fisik hadir di tempat kerja, namun mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan tugas pekerjaan dengan optimal dan cenderung membuat kesalahan akibat sedang sakit (tidak fit) atau sedang stress.

Tidak seperti absenteeism, presenteeism lebih sulit untuk diidentifikasi oleh organisasi/perusahaan karena lebih tidak kasat mata dan cenderung sulit dilacak. Di kantor, sepertinya hampir tidak mungkin untuk mengetahui secara sekilas, mana pegawai yang benar-benar kerja produktif dan mana yang “tampak produktif” namun pikirannya sebenarnya lagi kemana-mana. Entah karena lagi punya penyakit, atau sedang stress/depresi. Tak jarang kan kita menemui pegawai yang bersikeras tetap ngantor meskipun sedang tidak enak badan, alasannya banyak, bisa dari pegawainya yang ambisius ingin dianggap berdedikasi tinggi, sungkan terhadap kolega kalau tidak hadir ke kantor, atau yang paling klasik: takut mengecewakan bosnya.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Willis Towers Watson Health & Benefit menemukan lebih dari setengah (51%) pekerja mengklaim tempat kerja mereka dipengaruhi oleh budaya penilaian negatif bila tidak hadir karena sakit. Selain itu, 54% mengklaim bahwa pegawai berada di bawah tekanan untuk kembali bekerja sebelum mereka pulih sepenuhnya dari penyakit atau cedera. Hal ini menunjukkan bahwa ada masalah struktural terkait dengan kebijakan HR atau proses bisnis yang menimbulkan insentif/disinsentif bila izin tidak masuk kantor.

Studi Harvard Business Review terhadap 29.000 pekerja menemukan bahwa kerugian produktivitas karena presenteeism mencapai lebih dari $150 miliar dolar per tahun. Pun studi oleh Statistics Canada menunjukkan bahwa produktivitas yang hilang karena presenteeism bisa 7,5 kali lebih besar daripada absenteeism. Bila ditambah lagi oleh riwayat stress, penyakit jantung, hipertensi, migrain, gangguan pencernaan, sakit punggung, atau penyakit lain, maka rasio kerugian produktivitas meningkat menjadi 15 kali lebih besar.

Studi tentang presenteeism memang relatif terbatas dibanding saudara kembarnya, absenteeism. Leksi presenteeism sendiri baru populer sekitar tahun 2000 dan sebuah studi menyebut hanya 14% perusahaan yang serius mempelajari atau menangani presenteeism. Meskipun demikian, masih ada kabar baik, yaitu banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan divisi HR sebuah organisasi atau perusahaan untuk membantu pegawai menangani hal-hal yang mengarah pada presenteeism sebelum lepas kendali dan merusak organisasi:

(1) Mereview dan mengubah praktik leadership dalam perusahaan atau organisasi. Banyak CEO atau pemimpin yang belum paham bahwa lebih lama dikantor bukan berarti lebih produktif. Sayangnya pemimpin kita masih banyak yang merasa kurang happy bila pegawainya sering sakit, bahkan ada yang hobi memindahkan pegawai sakit atau anti banget punya pegawai sakit.

(2) Memperbaiki kebijakan yang men-discourage ketidakhadiran karena sakit. Masih sering kan kita temui kebijakan penilaian kinerja dari pimpinan ke bawahan yang menggunakan track record jumlah absensi karena sering sakit atau cuti, daripada hasil kualitas pekerjaannya. Bila masih seperti itu, ada baiknya me-review lagi kebijakan penilaian kinerja pegawai.

(3) Menemukan keseimbangan beban kerja dan ritme kerja pegawai. Ini juga bukan tugas mudah bagi pimpinan dan manajemen organisasi, karena terkait dengan restrukturisasi organisasi yang lebih efisien, formasi pegawai, sampai analisa beban kerja. Padahal dengan ritme dan beban kerja yang seimbang, akan mengurangi fenomena parkinson law dan dapat membantu pegawai mengatur work life balance.

(4) Menyediakan channel bagi pegawai terkait kesehatan fisik dan pikiran. Dalam hal ini, perusahaan menyediakan fasilitas konseling psikolog bagi pegawai dan keluarganya. Selain itu, didukung pula oleh layanan telemedicine yang dapat memberi konsultasi kesehatan gratis. Dua jenis fasilitas ini harus independen dari divisi HR dan bersifat confidential, namun dapat memberi rekomendasi kepada pimpinan atau HR mengenai tindakan yang seharusnya dilakukan ke pegawai bersangkutan.

(5) Mempromosikan budaya healthy lifestyle dan work-life balance, dimana pimpinan sebagai role model. Tidak akan ada ceritanya anak buah work-life balance bila bos-nya hobi lembur tiap hari plus suka ngambek/marah-marah.

Nah, bagaimana dengan tempat kerja Anda? Adakah gejala presenteeism?

Meaningful Work

Sebagian besar hidup kita habiskan di tempat kerja, tetapi apakah kita nyaman dengan pekerjaan dan suasana kerja? Banyak penelitian menjelaskan hubungan antara kebahagiaan di kantor menentukan produktivitas yang akhirnya menentukan tingkat kinerja. Dengan demikian setiap kita berangkat ketempat kerja, suasana hati akan menentukan kinerja. Sedemikian pentingnya sehingga Edward Deming mengatakan, “Management’s overall aim should be to create a system in which everybody may take joy in his work.” Namun sayangnya belum banyak yang menaruh perhatian kepada hal ini.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Achievers Work Institute, ditemukan fakta bahwa 59 persen alasan seseorang keluar dari pekerjaannya terkait dengan suasana kerja. Work-life balance, corporate culture, ketidakcocokan dengan peer kerja dan perbedaan antara corporate dengan personal values menjadi alasan yang utama. Sebanyak 36 persen memang masih mengatakan remunerasi menjadi alasan, tetapi remunerasi yang bagus saja tidak cukup untuk menahan seseorang untuk keluar dari pekerjaannya. Seseorang mungkin bertahan di suatu pekerjaan, tapi tidak merasakan “joy in his work” seperti yang dijelaskan Deming.

Bagaimana kita menjelaskan “joy at work”? Kalau diterjemahkan langsung adalah “kegembiraan di tempat kerja”. Seseorang merasakan hal tersebut apabila terkoneksi dengan “meaning” dan “purpose” pekerjaannya sehingga menghasilkan sebuah “success” dan “fulfillment”. Seseorang harus memahami tujuan dan makna dari kerja yang dilakukan, sehingga pada akhirnya bisa merasakan sebuah kesuksesan dan kepuasan bekerja. Ralph Waldo Emerson mengatakan, “The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well.” Dengan demikian kita berangkat kerja dan gembira bertemu dengan peer kita belum cukup, kita perlu memastikan waktu kita di tempat kerja bermanfaat, dihargai, diperhatikan dan juga mampu membuat suatu yang berbeda untuk suatu perubahan. Ada kebutuhan dalam diri kita bahwa yang kita kerjakan bermanfaat, mendapat apresiasi dan mengubah tempat kerja menjadi lebih baik dari sebelumnya.


Dave Ulrich menjelaskan “An abundant organization enables its employees to be completely fulfilled by finding meaning and purpose from their work experience. This meaning enables employees to have personal hope for the future and create value for customers and investors. When we ask people how the feel about their work, we can quickly get a sense of how work helps them fulfill the things that matter most in their lives”. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Deming dan Ralph Waldo Emerson bahwa pekerjaan menjadi bermakna bagi seseorang ketika memberikan nilai tambah bagi tempat kerja atau peer kerja. Dengan demikian suasana kerja yang nyaman, peer kerja yang asyik, boss yang baik, meskipun menjadi dasar kita melangkah ke tempat kerja dengan suasana hati gembira, belum cukup untuk menjadikan hidup bermakna. Ketika suasana kerja yang nyaman kemudian mengantarkan kita untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan mampu mengubah suasana kerja atau kinerja di tempat kerja, baru kemudian hidup kita menjadi lebih bermakna.

Menghasilkan suatu perubahan tidak bisa dilakukan secara individu. Seorang pekerja, meskipun bisa cukup kreatif untuk melakukan inovasi dalam pekerjaannya, namun harus diberikan diberikan ruang oleh tempat bekerja. Di Indonesia dengan budaya paternalis yang kental, seorang atasan harus mampu tidak saja memberikan ruang untuk berkreasi tetapi juga harus menjadi teman diskusi yang baik untuk memastikan bahwa tugas yang dilakukan akan bermanfaat kepada tempat kerja. Atasan tersebut kemudian yang akan memastikan bahwa tugas yang telah diselesaikan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan kewenangannya.

Hal ini yang menjadi alasan milenial memilih untuk berwirausaha. Bukan semata karena probabilitas menjadi lebih kaya, tetapi mereka ingin melihat apa yang dikerjakannya membuat sebuah perbedaan, diakui dan mampu mengubah dunianya menjadi lebih baik. Yuk, bagi teman yang berkarir di tempat kerja untuk merenung untuk memikirkan bagaimana tugas yang dilakukannya menjadi lebih bermakna bagi hidup. Ketika peluang untuk membuat perbedaan tersebut ada, maka manfaatkan dengan baik. Namun ketika peluang tersebut minim, jangan ragu untuk keluar dari zona kenyamanan kalian. Hidup hanya sekali, jadikan penuh makna. Salam sehat.

Bekerja Lembur, Pilihan Positif atau Eksploitatif?

Bekerja overtime atau biasa kita kenal dengan istilah lembur merupakan salah satu istilah yang sering kita dengar dalam dunia pekerjaan. Faktor yang membuat seseorang kerja lembur sangatlah banyak, dari masalah pekerjaannya hingga masalah internal dalam diri yang dimiliki. Kalau dari sisi permasalahan pekerjaan misalnya karena proyek atau pekerjaannya membengkak di luar proporsi atau target yang seharusnya, deadline pekerjaan yang tiba-tiba mendesak atau desakan secara tidak langsung dari atasan atau pimpinan perusahaan untuk bekerja dengan lembur. Meskipun begitu, ada juga orang yang melihat lembur sebagai peluang atau sesuatu yang dilakukan secara sukarela demi mendapatkan kompensasi tambahan atau fleksibilitas jadwal yang lebih besar. Apakah lembur bisa menjadi pilihan positif bagi karyawan atau justru dilihat sebagai sesuatu yang berpotensi eksploitatif?

Di era pandemi COVID-19 ini, kita disuguhkan dengan opsi bekerja dari rumah atau bisa dikenal dengan work from home (WFH). Konsep WFH mungkin masih terasa asing di telinga kita sebelum pandemi menyerang, namun semenjak pandemi COVID-19 kita justru semakin dekat dengan kondisi bekerja dari rumah. Dengan kebijakan WFH ini, kita memang mendapatkan privilege dengan waktu bekerja yang lebih fleksibel. Namun, ternyata kebijakan WFH ini juga menyumbangkan fakta terkait kerja lembur di situasi saat ini, yaitu peningkatan waktu bekerja atau overtime yang tidak terukur.

Berdasarkan kajian World Economy Forum, ternyata terdapat kaitan antara WFH dengan kerja lembur. Dari survey yang dilakukan kepada 31 juta pekerja dari 21 ribu perusahaan, ternyata salah satu hasil kajiannya mengemukakan fakta bahwa banyak pekerja yang merasa waktu kerja jadi lebih panjang dan lebih terasa tereksploitasi. Di satu sisi kebijakan WFH memang memberi kesempatan bagi para karyawan untuk mengatur dan mengelola jadwalnya sendiri. Namun, di sisi lain terdapat semakin kaburnya ‘garis’ antara pekerjaan dan waktu hidup pribadi. Lantas apa saja manfaat dan dampak negatif dari lembur terhadap karyawannya?

Lembur menawarkan beberapa manfaat tertentu bagi pekerja. Meskipun di beberapa kasus yang ada lembur merupakan opsi, ada juga lembur yang diwajibkan. Tentunya kewajiban lembur ini apabila disandingkan dengan kompensasi yang baik pun masih dapat memberi manfaat positif bagi karyawan, seperti memberikan kesempatan karyawan untuk mendapatkan ekstra pendapatan berdasarkan perhitungan jam lembur yang dilakukan, menawarkan kesempatan untuk bekerja di jam-jam produktif seseorang yang mungkin baru dapat aktif bekerja di sore atau malam hari, dan tentunya memberikan keleluasaan dan fleksibilitas dalam bekerja. Apabila lembur ini mendapatkan kompensasi yang adil, mungkin bisa jadi pilihan bagi karyawan yang betul-betul membutuhkan. Dari berbagai manfaat yang ada, bagaimana dampak negatif dari lembur?

Tentu saja kerja lembur dapat berdampak signifikan terhadap karyawan, khususnya dari sisi kesehatan dan produktivitas. Bekerja berlebihan dapat menyebabkan kelelahan dan stres. Sehingga karyawan perlu memastikan bahwa ia mendapatkan waktu istirahat yang cukup apabila mengambil lembur terlalu banyak. Lembur juga sebenarnya bisa sangat membatasi produktivitas kita, karena kita bekerja berjam-jam dan tidak memberikan otak kita istirahat yang dibutuhkan untuk dapat bekerja dengan baik. Menghabiskan waktu terlalu lama di kantor pun dapat menyebabkan karyawan kehilangan motivasi dan menjadi kurang aktif. Jadi, bekerja lembur tidak selalu menjamin kualitas dari pekerjaan yang dilakukan meskipun sudah melakukan usaha ekstra.

Keseimbangan yang tepat antara pekerjaan dan kehidupan sangatlah penting. Apabila kita dapat menjaga keseimbangan tersebut kita juga dapat menjaga kesejahteraan dan motivasi kita dalam bekerja. Ketika kita terlalu banyak kerja lembur pun, berarti kita tidak dapat memprioritaskan kehidupan pribadi kita. Semakin banyak lembur yang dilakukan, semikin sedikit waktu yang dimiliki untuk bertemu teman, berinteraksi dengan keluarga dan semikin sedikit waktu yang dimiliki untuk bersantai. Padahal hal tersebut adalah hal yang penting untuk menjaga kesehatan mental kita.

Tagged : / /

Habis Covid, Muncul Kerja Hybrid

Pandemi Covid memang belum diketahui kapan akan berakhir, mungkin khususnya di Indonesia. Saat kita melihat berita di New York sudah mulai pesta pora dengan selebrasi kembang api yang merupakan awal mula New Yorkers akan membuka kembali “pintu gerbang” kepada dunia dengan senyuman hangat dan tangan terbuka. Tentu saja hal yang berbeda terjadi di negara tercinta kita. Angka kasus positif yang meledak terus naik sampai awal Juli 2021.

Keadaan ini tentunya memberikan banyak pengaruh dan adaptasi terhadap kehidupan sehari-hari. Cara berinteraksi bermasyarakat, anak-anak kita sekolah, dan juga pastinya cara kita bekerja. Istilah work from home (WFH) bukan hal asing lagi selama pandemi ini. Konsep WFH lambat laun semakin bergeser menjadi hybrid working. Artinya konsep bekerja menjadi luas dan pengaturan cara kerja yang lebih fleksibel. Pegawai dapat mengatur jadwal bekerjanya sesuai dengan kebutuhannya. Mereka dapat memilih bekerja di kantor atau dimanapun lokasinya sesuai kenyamanan dan keamanan masing-masing.

Sebelumnya banyak orang memilki mindset bekerja adalah di kantor, tentunya dengan pandemi ini konsep tersebut menjadi tidak valid lagi. Bekerja bisa dilakukan dimana saja, tak harus di gedung kantor. Bekerja seharusnya bukan lagi dilihat secara fisik dimana kita melakukan kegiatan tersebut tetapi harusnya dilihat dari output yang dihasillkan sesuai target. Perusahaan luar tentu saja sudah lebih dahulu menerapkan konsep hybrid working, seperti Microsoft, Google, Facebook, dan Twitter. Nama-nama besar di bidang teknologi yang pastinya dukungan teknologi pendukung kerjanya sudah sangat amat mumpuni. Teknologi digital tentunya menjadi kunci utama dalam mendukung perubahan dan competitive advantage.

Lalu bagaimana dengan pendapat pegawai mengenai konsep WFH atau hybrid working ini? Apakah hal ini yang sebenarnya mereka inginkan dalam bekerja? Survei yang dilakukan McKinsey pada Desember 2020-Januari 2021 terhadap 5.043 pegawai tetap yang bekerja di sektor korporasi maupun pemerintah di kawasan Asia, Australia, Eropa, Latin Amerika, dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa lebih dari 50% pegawai menginginkan bekerja dari rumah setidaknya tiga hari bahkan lebih dalam seminggu.

Polling lainnya juga dilakukan oleh Gartner, Perusahaan Riset dan Konsultansi asal Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 48% pegawai cenderung akan memilih work remotely setelah pandemi covid ini. Angka ini tentu saja mengalami kenaikan sebelum covid, yang sebelumnya sebesar 30%. Hal ini menunjukkan bahwa covid dapat mengubah cara pandang dan preference pegawai terhadap cara mereka bekerja. Tentunya organisasi juga harus dapat menangkap fenomena tersebut dengan menentukan strategi yang sesuai.

Namun pada kenyataannya, survei yang dilakukan oleh McKinsey memberikan hasil bahwa 68% organisasi belum memiliki rencana dan visi yang jelas mengenai hybrid working ini. Lalu apakah kita siap melakukan pekerjaan dengan cara hybrid? Apa saja yang harus diperhatikan untuk memulai hybrid working ini? Dirangkum dari berbagai sumber, terdapat lima besar key factors yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan hybrid working:

  • Communication

Dalam menyiapkan hybrid working, hal pertama yang harus disiapkan adalah strategi komunikasi yang akan digunakan, baik formal maupun informal. Komunikasi harus dapat tetap berjalan dengan lancar dimanapun pegawai bekerja dan semua pegawai dapat menerima pesan dan informasi yang sama. Bukan berarti sama sekali tidak ada face-to-face meeting, tetapi lebih diatur penjadwalannya dan mekanismenya.

  • Culture

Budaya kerja yang baik berdasarkan transparansi dalam suatu organisasi tentu menjadi kunci utama dalam efektivitas bekerja hybrid. Hal penting lainnya adalah trust. Tentunya saja rasa percaya ini membutuhkan dua pihak. Organisasi tidak bisa mengharapkan pegawai untuk percaya bila organisasi tidak menciptakan budaya saling percaya terlebih dulu dan memperlihatkannya kepada pegawai. Dikutip dari agiledrop.com “by making trust one of your core values, you’ll be able to invest less on-going effort into things like daily checkups and micromanagement”.

  • Leadership

Hybrid working menawarkan fleksibilitas pegawai mengatur jadwal pekerjaannya masing-masing. Tentu saja ini dapat menimbulkan pertanyaan bagi pimpinan, apakah anak buah saya akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk nonton Youtube atau mencoba resep baru dibandingkan menyelesaikan pekerjaannya? Kembali lagi ke poin sebelumnya, trust adalah yang utama. Setiap pimpinan dapat mengatur outcome-based objective dan membuat setiap anak buahnya bertanggung jawab akan penyelesaian target tersebut. Juga para pimpinan dapat memberikan dukungan dan alat kerja yang dibutuhkan pegawai agar efektif dalam bekerja. Tentu juga yang tidak kalah penting adalah, pimpinan harus memastikan kesehatan fisik dan mental para pegawainya. Bukan hanya menuntut kerja, kerja, dan kerja siang dan malam.

  • Technology

Di era seperti saat ini tentu saja teknologi menjadi banyak jawaban atas resah dan gelisah penerapan hybrid working. Teknologi adalah kunci penerapan saluran komunikasi organisasi kepada seluruh pegawai. Teknologi juga pastinya digunakan dalam penyelesaian pekerjaan.

  • Agility

Faktor terakhir kunci sukses kerja hybrid adalah embracing agility. Ini bukan berarti akan memilih dan tetap bekerja dengan cara yang sama secara terus menerus setiap saat, tetapi kita harus bisa beradaptasi dengan situasi terkini. Terlebih lagi, agility memberikan tambahan competitive advantage dengan selalu mengusung inovasi dan perubahan di masa depan.

Pandemi ini bagaikan blessing in disguise. Mau tidak mau “memaksa” kita untuk selalu beradaptasi dengan keadaan dan tidak kaku dengan rutinitas. Berubah dan beradaptasi untuk hal yang lebih baik, efisien, dan inovatif. Kalau mengingat lagi kutipan dari Charles Darwin, “Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu bertahan, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan”.

Sumber:

  1. McKinsey.com
  2. Gartner.com
  3. Envoy.com
  4. Agiledrop.com
  5. Detik.com

Pandemic Life?

Ada yang sudah pernah nonton film Contagion, The Flu, atau Train to Busan? Bagi yang sudah menonton ketiga film tersebut pasti tahu betul bahwa film tersebut memiliki kesamaan dengan situasi dan kondisi yang kita alami dan jalani sekarang selama kurang lebih 1.5 tahun. Penyebarann virus mematikan menyerang suatu negara hingga memakan banyak korban jiwa. Rasanya seperti skenario sebuah film ya keadaan kita sekarang? Jujur tidak pernah terlintas dibenak saya sedikit pun menjalani kehidupan seperti itu.

Kita (dan hampir seluruh manusia di belahan dunia) sudah menjalankan kehidupan ‘new normal’ selama ini. Seketika dunia dituntut untuk berubah dengan cepat dan manusia terpaksa melakukan kebiasaan baru. Sebenarnya apa saja sih hikmah dan pembelajaran yang bisa kita ambil dari pandemi ini bagi diri sendiri dan suatu organisasi?

Bagi diri sendiri tentunya ada dampak positif dan negatif yang kita rasakan. Kita bahas yang positif dulu ya.
1. Waktu dengan keluarga. Tentunya kita menjadi mempunyai lebih banyak waktu berkualitas dengan keluarga. Dulu banyaknya waktu yang terbuang untuk komuter rumah-kantor sekarang bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, misalnya seperti memasak, olahraga, bermain dengan anak, memandikan anak, dan lain-lain. Contoh nyata seperti sumber dari CNN pada Kamis (22/4/2021), Art Markman, seorang Professor di Departemen Psikologi University of Texas di Austin, mencatat bahwa beberapa orang telah menggunakan waktu mereka untuk berolahraga, yang selama ini dihabiskan untuk perjalanan sehari-hari mereka saja.
2. Hobi baru. Pasti banyak diantara kita yang juga ‘ikut’ memiliki hobi baru seperti kolektor tanaman hias, ikan cupang, bersepeda, atau memasak. Memang terdengar unik karena banyaknya waktu yang bisa digunakan dirumah disalurkan untuk hal yang positif dan membuat imunitas semakin baik.
3. Peka terhadap kesehatan dan lingkungan yang menjadi lebih bersih. Berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor dan pesawat dapat mengurasi emisi karbondioksida di lingkungan sekitar. Sehingga udara menjadi lebih bersih dan membuat semakin banyak orang yang mau berjalan kaki atau wisata ke alam untuk kesehatan fisik dan mentalnya. Selain itu, dikutip dari situs British Medical Journal, pandemi memberikan dampak positif pada perubahan perilaku manusia. Publik menjadi lebih serius dalam menanggapi pesan kesehatan masyarakat dan lebih peduli terhadap kesehatan.

Sedangkan dampak negatif virus corona yang hingga saat ini sedang dialami semua orang hampir di setiap negara, tak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya. Meningkatnya tingkat stress juga menjadi dampak tidak langsung yang dirasakan. Hingga kini belum diketahui kapan pandemi COVID-19 selesai, sehingga yang bisa dilakukan adalah menerapkan usaha pencegahan demi melindungi diri, keluarga, dan sekitar.

Banyaknya sektor-sektor bisnis yang harus lay-off, merugi, bahkan gulung tikar membuat ekonomi di Indonesia masih di jurang resesi. Sebagai suatu organisasi banyak yang bisa dipelajari dengan pandemi ini. Berdasarkan hasil survei Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang Naker) menyebutkan sebanyak 40,6% perusahaan mengatakan bahwa kondisi perusahaannya sangat merugi di masa pandemi Covid-19. Sementara 47,4% menjawab perusahaannya merugi.

Organisasi dituntut untuk dapat adaptif menghadapi situasi yang serba baru dan 180% berbeda dari biasanya. Seperti artikel dari McKinsey&Company, The Future of Work: Understanding what’s temporary and what’s transformative, menyatakan bahwa suatu organisasi harus dapat mengevaluasi 3 area kunci yang tidak hanya muncul karena adanya pandemi tetapi juga berkembang pasca pandemi. 1. Perubahan sementara pada sistem operasional karena merespon krisis pandemi. 2. Perubahan permanen pada cara bekerja sehari-hari. Suatu organisasi sekarang dituntut untuk dapat melakukan transformasi digital dan otomasi proses bisnis agar dapat ‘bertahan’ di era pandemi ini. 3. Jenis/tipe pekerjaan baru yang muncul karena pandemi.

Selain itu, data dari McKinsey Global Institute menyatakan bahwa 20-25% tenaga kerja dapat bekerja dari jarak jauh (remote) selama 3 hari atau lebih dalam seminggu di perekonomian yang maju. Banyak pekerja yang juga sependapat dengan data tersebut, termasuk saya, mengapa? Mengutip pernyataan Adam Grant terkait produktivitas adalah suatu tujuan dan proses, bukan suatu tempat. Yang didorong oleh mengapa dan bagaimana kita bekerja, bukan tempat dimana kita bekerja. Fleksibilitas yang menjadi kunci. Pekerja yang diberikan kesempatan atau dilibatkan untuk memberikan suara dalam proses pengambilan keputusan, akan lebih ‘attach’ pada organisasinya dan bekerja dengan produktif.

Jadi, apakah organisasi tempat anda bekerja sudah siap dengan perubahan besar yang akan terjadi pasca pandemi selesai? Pandemi covid ini menjadi turning point bagi organisasi untuk dapat adaptif dan agile. Dan apakah kita semua juga akan berubah tingkah laku dan kebiasaannya dalam menjalani kehidupan sehari-hari?

Karir dan Keahlian

Berapa banyak dari kita yang sering ditanya waktu kecil, cita-citanya apa? kalo udah gede mau jadi apa? Ada yang menjawab jadi dokter, jadi artis, jadi youtuber, dan lain sebagainya. Kebanyakan memang nggak kejadian. Ada yang ingin jadi dokter, tapi ujung-ujungnya jadi guru; ada yang kepingin jadi guru, tapi jadi pilot; ada yang mau jadi pilot, malah jadi driver ojol, dll. Ketika kita ditanya hal semacam itu, sebenarnya ada ekspektasi melekat dalam diri tidak disadari. Seiring bertambahnya usia anak-anak menjadi remaja dan dewasa, tentunya mereka sudah bisa menilai dan mengukur kemampuan dirinya untuk mengikuti atau malah mengubah ekspektasi masa depannya. Ada yang merasa kurang mahir matematika, akan sebisa mungkin menghindari jalur pendidikan dan karir yang banyak terkait matematika. Bukan karena benar-benar tidak bisa, tapi mungkin butuh effort lebih besar untuk memahaminya dibandingkan orang yang lebih naturally gifted. Alhasil, dia akan fokus ke bidang lain dimana dia akan lebih efisien dalam berpikir dan menghasilkan solusi, mungkin jadi ahli biologi, dokter, dan sebagainya.

Hal yang sama dapat kita temui dalam organisasi, ada pegawai yang jago berhitung, ada yang jago bernegosiasi, ada yang jago administrasi, ada yang jago marketing, dan ada juga yang jago memimpin. Yang sering menjadi masalah, sebagian besar pegawai tidak ditempatkan sesuai dengan minat dan bakatnya. Pegawai yang tidak mahir berhitung ditempatkan di unit kerja yang banyak perhitungan; pegawai yang tidak capable memimpin disuruh memimpin tim; pegawai yang tidak begitu paham berkomunikasi ditugaskan meng-handle humas dan stakeholders. Saya yakin bukannya tidak bisa, hanya saja akan tidak efektif dan efisien dalam proses kerjanya, bisa buang-buang waktu, tenaga, uang, ataupun reputasi organisasi. Bayangkan misalnya Anda pegawai senior yang sudah bekerja selama 15 tahun, Anda sangat paham serta passionate di bidang marketing, dan antusias meng-upgrade diri mengikuti perkembangannya setiap waktu. Suatu ketika Anda di pindahkan ke unit akuntansi dan pengadaan. Saya sih yakin Anda pasti bisa, kalau mau belajar lagi, namun apa iya akan sejago peers Anda yang sudah lama dan berpengalaman di tempat tersebut, tentunya tidak. Lebih penting lagi, apakah Anda masih punya energi, motivasi, dan waktu untuk mulai belajar dari nol. Tidak semua orang memiliki hal ini, bahkan bisa dibilang sangat langka.

Pada level pimpinan tinggi fenomenanya justru lebih menarik, misalnya seorang Direktur Compliance yang sudah expert selama 20 tahun dipindahkan menjadi Direktur Pemasaran. Kita bisa argue bahwa ini bukan perkara defisiensi kompetensi, sebab skill yang dibutuhkan di tingkat atas mungkin “hanya” kepemimpinan. Namun banyak yang tidak menduga bahwa amatlah sulit mendapat legitimasi dan pengakuan sebagai pemimpin bila tidak dipercaya oleh para bawahannya yang kemungkinan besar jauh lebih ahli dalam bidang pemasaran. Butuh extraordinary leader bila tim pemasaran ini ingin bekerja dengan optimal. Leader yang baru harus mau belajar dan berani bilang “Pengetahuan saya tidak begitu dalam tentang marketing, so I need help from all of you guys”. Bila tidak dilakukan, decision making si pemimpin bisa saja dipertanyakan oleh bawahannya, dan menimbulkan permasalahan demotivasi pegawai. Dengan kata lain, sang pemimpin harus bisa gain trust sebelum memberi komando sana-sini. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapat trust dari bawahan. Mungkin bisa kita bahas di artikel lainnya. Intinya di level pimpinan tetap bisa movement cross unit/expertise, tapi tidak mudah dan butuh orang yang benar-benar trushworthy dan exceptional leader.

Kita semua sepakat bahwa tidak ada seorang manusia pun yang menguasai dan paham semua hal. Sudah hukum alam bahwa setiap orang diciptakan dengan expertise dan peran masing-masing. Lalu bagaimana idealnya untuk sebuah organisasi me-manage karir dan keahlian?  Analoginya mudah, ingetkah Anda waktu remaja di sekolah kita belajar semua mata pelajaran dasar untuk kemudian diarahkan ke minat dan bakat IPS atau IPA. Atau seorang dokter yang pada awalnya belajar sebagai dokter umum sebelum menjadi dokter spesialis/sub-spesialis. Organisasi juga begitu, di masa awal seorang pegawai bekerja sebagai staf atau manajer, idealnya dia harus belajar dari seluruh unit utama, tidak perlu mendalam, namun dia harus tahu pekerjaan kolega-koleganya apa saja. Itulah mengapa kita sering menemui pegawai muda perusahaan/institusi modern yang setiap 2-3 tahun pindah-pindah unit. Kita menyebutnya generalis, alias orang yang kompeten pada banyak hal, meskipun tidak begitu mendalam. Pada saat level karir dan personality pegawai lebih mature, pegawai ini harus difokuskan ke satu bidang keahlian, atau disebut juga spesialis. Disaat yang sama organisasi harus terus membekalinya dengan kemampuan untuk memimpin dan me-manage pegawai dibawahnya. Ini juga yang amat sering dilupakan orang-orang HR.

Mengapa konsep generalist first, specialist later banyak lebih ideal. Pertama, biaya lebih hemat bagi organisasi untuk melatih banyak pegawai junior dengan skill-skill dasar, ketimbang melatih mereka dengan skill tingkat lanjut yang mahal. Kedua, organisasi akan sangat mudah mencari kader-kader pemimpin pada saat pegawai tersebut mencapai kedewasaan karir dan personality. Dengan menjadi Jack of All Trades, biasanya orang akan lebih fleksibel serta mudah melihat big picture dari sebuah permasalahan. Organisasi kemudian hanya perlu mengarahkan pegawai menjadi spesialis dan membekali pegawai-pegawai ini dengan pelatihan tingkat lanjutan sesuai minat dan bakat terbaiknya. Ketiga, fleksibilitas dan competitiveness di pasar tenaga kerja. Mencari pegawai yang bagus untuk di grooming oleh organisasi memang tidak mudah, namun bila organisasi Anda lebih fleksibel dan generalis dalam persyaratan, Anda akan dengan mudah menemukan pegawai yang extraordinary. Kadang kita terlalu sibuk fokus mencari orang dengan skill teknikal luar biasa sampai melupakan untuk melihat lebih dalam ke karakternya. Padahal kita sama-sama memperhatikan salah satu gejala sosial bahwa kebanyakan orang-orang  yang sukses dan besar, biasanya bukanlah orang yang waktu bersekolah ranking satu. Keempat, meningkatkan engagement pegawai. Menyediakan kesempatan jalur karir spesialis, atau menjadi Master of One saat pegawai beranjak menjadi pemimpin merupakan sebuah value proposition yang sangat menarik bagi pegawai. Dia akan lebih percaya diri di dalam dan luar organisasi dengan expertise yang dimiliki. Organisasi tidak perlu takut pegawai akan dibajak oleh employer lain, selama organisasi pintar me-manage motivasidan memonitor engagement pegawai. Kelima, membentuk pegawai versatilist, yaitu seseorang yang dapat menjadi spesialis untuk disiplin tertentu, sementara pada saat yang sama dapat beralih ke peran lain dengan mudah. So, bagaimana dengan tempat Anda bekerja, sudah kelihatan kah mau ke arah mana kebijakan karir pegawainya?

BTS Meal – A strong ARMY and what organizations can learn from them

Saya tahu BTS Meal diluncurkan tanggal 9 Juni dari IG Explore saya sehari sebelumnya (maklum, bukan ARMY XD). Tapi saya bener-bener tidak menyangka BTS Meal bisa bikin OJOL tumpah ruah di store McDonald’s sampai Polisi dan Satpol PP menyegel dan menutup store McDonald’s (FYI, BTS Meal memang diatur ga boleh dine-in ya temans, katanya untuk menghindari kerumunan ARMY di store). Kelanjutan dari “fenomena” ini, 32 store McDonald’s kena sanksi (sanksi tertulis atau sanksi pemberhentian operasi) dan kantong makanan BTS Meal yang ada logo BTS (kantong saja loh ya, tidak dengan makanannya) dijual di marketplace dengan harga fantastis hingga jutaan rupiah!

Whoa, ARMY! You got my attention!

Jadi kepo, ARMY sama BTS ini hubungannya seperti apa sih, kok ARMY bisa segitu militannya? Bahkan, Harvard Business School sampai membuat case study khusus tentang BTS.

Buat yang belum paham BTS, BTS merupakan boyband asal Korea yang ada sejak 2013 dan terdiri dari 7 member. BTS kepanjangan dari “Bangtan Sonyeondan” dan fans mereka menamakan dirinya ARMY “Adorable Representative M.C. for Youth”. BTS menjadi artis yang berhasil menjual lebih dari 500 ribu keping album pada tahun 2020 selain Taylor Swift. BTS memecahkan banyak rekor di Youtube maupun Spotify hingga masuk Guiness World Records 2020.

Sepanjang periode 2013-2020, terdapat 2.395.082.950 (2 miliar!) mention tentang BTS di media sosial dengan rata-rata 958.597 mention setiap harinya. Berdasarkan riset Hyundai Research Institute, BTS membantu perekonomian Korea Selatan sebesar $3,6 milyar US dolar dan 800 ribu wisatawan asing mengunjungi Korea Selatan karena BTS (70% dari total jumlah turis tahunan). Ketika perusahaan rekaman BTS (Big Hit Entertainment) go public, label tersebut bernilai $4 milyar US dolar dengan harga saham per lembar $115. Ga usah ditanya, ARMY pun berbondong-bondong membeli sahamnya.

Dari kacamata organisasi, fenomena global BTS ini seperti membenarkan teori atau konsep yang saya ketahui dalam pengelolaan organisasi. Cekidot!

1) Misi BTS yang genuine dan konsisten, serta role-modelling

Tidak sekedar bermusik dan mengusung lagu dengan tema umum percintaan, BTS memiliki misi untuk membawa perubahan di masyarakat, khususnya mengenai self-love, kesehatan mental, kepercayaan diri, dan sebagainya. Sejak 2013, BTS secara genuine dan konsisten menggaungkan hal tersebut dalam lirik lagunya maupun di dalam setiap kesempatan yang diberikan seperti ketika diundang untuk memberikan speech di kantor Perserikatan Bangsa Bangsa (catet: satu-satunya grup k-pop yang diundang untuk berbicara di PBB).

Tidak hanya omong doang, member BTS pun hidup sejalan dengan misi dan nilai yang mereka yakini (role modeling). Dengan orisinalitas, konsistensi, dan memberikan contoh, sungguh ini merupakan hal yang menular! ARMY dapat merasakannya, terkoneksi (relate) dengan misi BTS, dan mencontohnya. Member BTS “Suga” yang berhasil mengatasi rasa ketidakpercayaan diri, berhasil menyemangati ARMY untuk percaya diri. Member BTS yang dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi diikuti oleh ARMY dengan berdonasi di berbagai platform salah satunya ARMY Indonesia di KitaBisa.Com.

Organisasi tidak cukup hanya memiliki misi dan tujuan.  Misi dan tujuan organisasi harus secara genuine dan konsisten dihidupkan dan dirasakan oleh semua orang di dalam organisasi yang dimana Pimpinan memegang peranan penting di sini. Pimpinan dalam organisasi pun harus memberi contoh dengan menjadi role model sehingga misi dan nilai organisasi tidak hanya sekedar tulisan di dinding, “hiasan” di annual report, ataupun berhenti di ucapan.

Menurut Vicki Tenhaken dalam bukunya “Lesson From Century Club Companies: Managing for Long-Term Success”, perusahaan yang bertahan hidup lebih dari 100 tahun adalah mereka yang memiliki misi dan budaya yang kokoh. Bermodalkan ini, organisasi menjadi magnet bagi talent terbaik. Gallup mengatakan bahwa solidnya kesamaan visi berpengaruh terhadap engagement pegawai. Kalau gini, ya saya jadi ga heran kenapa OJOL pesanan ARMY bisa menuhin store McD.

2) Kompaknya member BTS

Walaupun anggotanya tidak sedikit alias 7 orang, member BTS solid, saling mendukung satu sama lain. ARMY melihat member BTS benar-benar peduli satu sama lain. Anggota termuda BTS “Jungkook” pernah berkata bahwa dia paling tidak bisa melihat kakak-kakaknya di BTS bersedih. Bayangkan kalau Pimpinan di organisasi kita sesolid dan sekompak member BTS, kompak memiliki satu visi, saling bersinergi, tidak saling menjatuhkan, dan tidak saling berantem, organisasi akan semakin dahsyat. Bawahan pun akan mencontoh, pegawai semakin solid.

ARMY arguably salah satu fandom tersolid di dunia. Di bulan Juni 2020, ketika BTS berdonasi sebesar $1 juta US dolar kepada gerakan ‘Black Lives Matter’. ARMY di seluruh dunia langsung mengikuti dengan melakukan crowdfunding yang berhasil mengumpulkan 1 juta dolar juga dalam waktu 24 jam dalam gerakan #MatchAMillion. WOW!!

Again, hal ini mengonfirmasi teori Gallup yang mengatakan bahwa engagement yang tinggi bersumber dari hubungan kuat dan asik di antara pegawai. Mengacu Change Model milik Kotter yang dimana langkah ke-4 adalah “Enlist a Volunteer Army”: Yes, this solid BTS ARMY is definitely a strong force for change!

3) BTS menjaga hubungan baik dengan ARMY

Tidak hanya solid sesama member, member BTS mempunyai hubungan baik dengan ARMY, salah satunya dengan rutin membuat konten sosial media agar terus connect dengan ARMY. Kalau member BTS kita analogikan sebagai Pimpinan tertinggi di organisasi, Pimpinan perlu secara reguler berinteraksi dengan para pegawai dengan cara yang efektif agar terus dirasakan kehadirannya, semangatnya, serta aspirasi pegawai tersampaikan (misal: blusukan, townhall meeting, BoD letter, dan sebagainya). Bagi Pimpinan di level tengah atau atasan langsung, hubungan yang baik dengan anak buah meningkatkan trust yang berdampak kepada kualitas dan kecepatan pekerjaan dan tentunya menciptakan suasana kerja yang nyaman (Forbes). Cara BTS berkomunikasi dengan ARMY mengonfirmasi teori Dale Carnegie dalam bukunya “How to Win Friends & Influence People” bahwa skill berinteraksi dengan orang lain menjadi ‘koentjie’ dalam meng-influence orang lain.

All in all, despite “the chaos” publicized during BTS Meal launching, I saw the positives. Dan saya pun ter-influenced! Di perjalanan pulang kantor tanggal 9 Juni itu, saking penasaran, saya ikut membeli BTS Meal via drive-thru di store McDonald’s dekat rumah yang kebetulan tidak ramai. Sambil menulis artikel ini pun, lagu-lagu BTS terdengar di telinga saya.

Sekian. Salam sehat. Dan BORAHAE!

Tagged : / / /

Tempat Kerja Bikin Bangga?

Masih bangga ga bekerja di tempat saat ini?”. Beberapa waktu lalu terlontar pertanyaan seperti ini, lalu sontak saya dan teman-teman saya sambil senyum-senyum mencoba menjawab dengan bijak. Pertanyaan simple dan lugas tapi kok ya berat sekali memberikan jawaban yang sesuai. Kalau kata lagunya Raisa, ya serba salah.

Jawaban yang diberikan cukup beragam. Ada yang jawab dengan lantang “Bangga banget lah! Masa enggak?”. Tak sedikit juga yang merespon “Hmm yaa mayan deh gitu.”, bahkan ada yang hanya menjawab dengan senyuman berjuta makna. Pertanyaan yang sama dapat menimbulkan reaksi yang berbeda. Kenapa ya? Kok bisa? Banyak faktor yang membuat pegawai merasa bangga ataupun tidak terhadap tempat mereka bekerja.

Jika pegawai tidak merasa bangga, bagaimana dengan kinerjanya? Apakah ada hubungan antara rasa kebanggaan pegawai dengan tingkat kinerja yang dihasilkan? Jawabannya saya dapati dari forbes.com. Employees who lack pride don’t feel a sense of ownership and are not willing to go the extra mile. Jelas disebutkan bahwa pegawai yang kurang bangga akan tempat mereka bekerja tidak akan merasa memiliki dan terikat atas organisasi tersebut. Diawali dengan ketidakbanggaan, lalu tidak merasa terikat, dan akhirnya berpengaruh dengan kinerjanya, tidak mau memberikan kinerja terbaiknya karena ya, buat apa?

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh pimpinan untuk meningkatkan rasa bangga pegawainya terhadap organisasi? Pertama adalah satisfaction dan engagement. Kedua hal ini merupakan saudara yang tidak dapat dipisahkan. Jika pegawai puas dengan organisasi dan pekerjaannya, maka tingkat engagement akan naik dan menghasilkan kebanggaan pegawai.

Kepuasan pegawai terhadap leadership pimpinan juga sangat berpengaruh. Pimpinan dapat membangun tingkat engagement pegawai dengan cara menginspirasi, mengapresiasi, dan memotivasi; mengomunikasikan visi dan values organisasi; membangun kerja sama tim dan kolaborasi; dan jadilah role model sesungguhnya, walk the talk.

Data survei Gallup dengan menggunakan CliftonStrengths assessment menunjukkan bahwa 67% pegawai yang engage sangat setuju bahwa manager mereka fokus terhadap strengths atau karakter positif mereka dalam bekerja. Data lain dari Gallup juga menyebutkan bahwa pegawai yang fokus dapat memaksimalkan strengths mereka dalam bekerja akan enam kali lebih engage.

Ketika pegawai diperlakukan secara adil di dalam organisasi, dipastikan kebanggaan akan muncul. Namun bila sebaliknya yang terjadi, sudah dipastikan apa yang muncul setelahnya. Ditambah lagi, rasa bangga bukan hanya mengenai bagaimana organisasi “memperlakukan” pegawainya tetapi juga bagaimana pegawai dapat melihat organisasi dapat memberikan dampak positif dan kontribusi terhadap lingkungan eksternal.

Faktor terakhir yang tidak dapat dipungkiri untuk meningkatkan kebanggaan pegawai adalah bagaimana organisasi peduli akan pengembangan karir dan peningkatan skill, pengetahuan, dan wawasan pegawai untuk bersama-sama mencapai tujuan dan target organisasi.

Mungkin bisa jadi checklist bersama, apakah organisasi tempat Anda bekerja saat ini sudah menciptakan faktor-faktor di atas? Mungkin ada yang sudah, tak banyak juga yang belum. Jadi, apakah masih bangga?

Working Mom

“Mother is the heartbeat in the home; and without her, there seems to be no heartthrob.” —Leroy Brownlow. Siapa yang setuju dan familiar dengan quotes diatas? Saya sebagai ‘newbie mom’ ingin mengacungkan jari setinggi-tingginya. Ibu menjadi pemeran utama bagi keluarganya dirumah. Mungkin bagi ibu-ibu diluar sana yang sudah mengemban tugas mulia menjadi seorang ibu akan paham betul maknanya.

Menjadi seorang ibu memiliki tanggung jawab, perjuangan, dan tantangan yang tak mudah dilalui dalam mendidik dan membesarkan anaknya, terlebih jika merangkap menjadi working mom atau ibu pekerja. Berbagai kewajiban dirumah yang harus dilakukan yang seolah tak ada habisnya dan tugas-tugas kantor yang juga menyita waktu dan emosi setiap harinya membuat ibu harus dapat membagi peran sebaik-baiknya. Dilema seringkali dirasakan bagi para working mom. Saat dikantor kepikiran anak dirumah, saat dirumah kepikiran deadline pekerjaan. Seakan ingin membelah diri berada di dua tempat secara bersamaan.

The International Labor Organization menyebutkan bahwa 70% wanita-wanita di negara maju telah terlibat dalam ekonomi global dan begitu pun di negara berkembang dilaporkan bahwa 60% wanita yang telah menikah dan memiliki anak mengambil bagian dalam perekonomian keluarga. Sedangkan di Indonesia, laporan dari BPS tercatat sebesar 35% partisipasi angkatan kerja wanita dan ibu pekerja menggunakan waktu mereka selama 40 jam per minggu selama lima hari dengan fasilitas dan kompensasi yang memadai.

Dari data-data diatas terlihat bahwa jumlah working mom cukup mendominasi hampir di seluruh dunia. Memilih menjadi seorang working mom bukanlah merupakan pilihan yang mudah. Memilih bukan berarti salah atau benar, melainkan adanya konsekuensi yang akan dihadapai baik bagi dirinya, anak, dan keluarga. Yuk yang pertama kita bahas, apa saja ya konsekuensi atau dampak dari working mom untuk anak-anaknya?

Working mom telah menghabiskan banyak waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas dari tempat kerja. Para working mom berusaha untuk melaksanakan kedua-dua peran (sebagai ibu dan pekerja) dalam satu interaksi keseimbangan peran agar dapat menghasilkan kesejahteraan (Nomaguchi et al, 2005). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, working mom memiliki pengaruh yang baik kepada anak-anak usia sekolah dengan membekali dirinya dengan sikap otonomi (kemandirian) dan kualitas merawat anak-anaknya dengan lebih baik. Selain itu, working mom juga akan memberikan pengaruh kesehatan mental yang lebih baik dan dapat memberikan keuntungan bagi anak-anak khususnya remaja karena adanya penghasilan tambahan dan stimulasi sosial dan kognitif sehingga mewujudkan interaksi yang lebih positif dan menjaga kualitas attachment dengan keluarga (Kalil& Siol-Guest, 2004).

Penelitian lain yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Development menunjukan bahwa anak dari working mom memiliki pencapaian akademis yang lebih tinggi, karier yang lebih sukses, serta menghasilkan skor kognitif yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan working mom memiliki kestabilan finansial yang lebih baik sehingga dapat memberikan fasilitas yang memadai untuk anak. Waktu yang terbatas dan tuntutan pekerjaan juga membuat working mom berusaha lebih efisien dalam mendampingi tumbuh kembang anak sehingga menajdi lebih sensitif dengan kebutuhannya. Working mom yang bisa menjadikan waktu keluarga sebagai prioritas dan berkomitmen untuk perkembangan anak mereka mampu membangun ikatan yang sehat dengan anak layaknya ibu yang tidak bekerja.

Begitu pula American Psychological Association, menganalisis dan menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari working mom tidak memiliki masalah perilaku, sosial, atau kesulitan belajar yang signifikan. Prestasi di sekolah pun tidak tertinggal. Para working mom tidak hanya membantu keluarga secara ekonomi, tetapi juga membantu diri sendiri secara profesional dan emosional jika melakukan pekerjaan yang disukai, serta membantu anak.

Namun dibalik adanya dampak positif working mom bagi anaknya, ada juga konsekuensi yang dirasakan oleh ibu sebagai individu. Working mom akan lebih rentan untuk merasa lelah dan tertekan karena adanya tuntutan untuk menyeimbangkan peran sebagai karyawan, ibu, dan istri. Dimana perasan stress ini dapat mempengaruhi hubungan dengan anak dan tingkah laku anak ke depannya. Rasa bahagia dengan peran sebagai working mom akan membantu ibu untuk bersikap positif dengan anak dan menghabiskan waktu yang berkualitas dengan mereka, tanpa terganggu dengan stres keseharian. Hal ini didukung oleh studi Milkie, et al. (2015), dimana ditemukan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan oleh orangtua dengan anaknya, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan emosi dan kognitif mereka. Waktu yang berkualitas lebih dibutuhkan, dibandingkan kuantitasnya.

Jadi apapun peran yang seorang ibu pilih tidak ada yang lebih baik satu dari yang lainnya, tetap ada konsekuensi masing-masing. Hal yang lebih penting adalah dukungan yang diberikan oleh lingkungan di sekitarnya agar ibu merasa bahagia dan berdaya dengan posisi yang mereka pilih. Dan bagi semua working mom diluar sana, pentingnya lingkungan kerja yang kondusif bagi wanita serta sejalan dengan peraturan pemerintah tentang perlindungan pekerja wanita di tempat kerja, agar hak-haknya dapat terpenuhi serta dapat efektif dan efisien membagi waktu yang baik dengan keluarga karena ibu yang bahagia adalah kunci kebahagiaan keluarga.

Tagged : /

Apakah Leadership Diperlukan?

            Belakangan ini jagat Twitter diramaikan dengan sebuah cuitan yang isinya menyatakan bahwa kemampuan “leadership” atau kepemimpinan bukan merupakan skill yang esensial. Lanjut lagi cuitan tersebut menyatakan bahwa, tidak semua orang senang berada dalam posisi memimpin dan banyak orang yang lebih senang diberi tugas yang jelas untuk dikerjakan dibandingkan jadi pemimpin. Namun, banyak pula orang yang menyatakan bahwa leadership itu penting dan wajib dimiliki setiap orang. Apakah kemampuan leadership itu sepenting itu dan memang betul-betul diperlukan?

            Dari berbagai jurnal dan artikel yang penulis dapatkan, termasuk salah satunya adalah artikel berjudul “Importance of Leadership in Organizational Development”, menyatakan bahwa kemampuan leadership memiliki peranan penting dalam sebuah organisasi. Bahkan, suatu organisasi atau perusahaan sangat sulit untuk bekerja dengan efisien tanpa memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkemampuan leadership yang efektif. Leadership merupakan suatu kemampuan yang akan dibutuhkan dimanapun dan kapanpun.

            Seringkali “leadership” dipandang sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang dalam hal memimpin orang lain. Padahal konsep leadership sangatlah luas dan tidak terbatas hanya dalam hal kemampuan memimpin orang lain saja. Terdapat tiga tahapan atau level kemampuan leadership, yaitu self-leadership (leading yourself), team-leadership (leading team or entity) dan organization/business-leadership (leading business).

            Kemampuan memimpin tidak harus disandingkan dengan objek eksternal, seperti memimpin orang lain, bawahan atau karyawan. Tingkatan pertama yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk bagaimana ‘memimpin’ diri sendiri. Ketika berbicara mengenai konsep “leading yourself” artinya kita berbicara mengenai bagaimana berdamai dengan diri kita sebagai individu yang bekerja dan beraktivitas, baik secara fisik maupun emosional. Dalam tingkatan ini kita harus mampu mengontrol perasaan, komunikasi, empati hingga bagaimana mengelola pekerjaan yang diberikan dengan baik dan memiliki time management yang baik. Apakah seorang fresh graduate atau karyawan entry level bisa terlihat leadership-nya dalam tahap ini? Bisa, kita hanya perlu mengecek faktor-faktor di atas ketika berinteraksi dengannya.

            Setelah kemampuan ‘memimpin’ diri sendiri, tingkatan selanjutnya adalah kemampuan dalam hal memimpin tim atau kelompok. Di tingkat ini, faktor-faktor seperti kemampuan berkomunikasi yang lebih baik dan kemampuan mendelegasikan pekerjaan/tugas menjadi penting untuk dilihat. Empati dan kerendahan hati pun menjadi salah satu hal yang penting untuk dimiliki, karena tahap leadership ini adalah memerlukan kita untuk mendengarkan curahan hati rekan tim. Pemimpin dalam tahap ini juga harus memiliki visi yang jelas dan nyata, agar dapat mendapatkan trust dari rekan timnya. Di tahapan ini pun seharusnya sudah tidak ada lagi permasalahan dengan time management. Hal ini dikarenakan seharusnya kemampuan mengelola waktu sudah selesai pada tahap awal ‘memimpin’ diri sendiri. Oleh karena itu, pada level supervisor, manager atau first line management di banyak perusahaan atau organisasi, lembur sudah tidak dihitung karena pekerjaannya sudah dituntut untuk beres dengan time management issue.

            Tahapan yang paling tinggi yang dimiliki seorang leader adalah leading business. Ini merupakan suatu kemampuan yang lebih kompleks dan memiliki tanggung jawab yang tinggi. Hal ini dikarenakan, pada tahapan ini seseorang tidak hanya memimpin satu tim dalam sebuah departemen/bagian tapi memimpin lintas fungsi. Leading business merupakan kemampuan dalam mengintegrasikan berbagai fungsi dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Faktor kuat yang harus dimiliki seseorang pada tahap ini adalah kecerdasan/ketajaman dalam berbisnis/berorganisasi, decision making, memiliki visi yang semakin jelas dan kemampuan berkomunikasi di tingkat yang lebih advance.

            Ada aspek atau faktor yang selalu muncul dari ketiga tahapan leadership, yaitu komunikasi. Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dan seringkali menjadi penentu nasib seseorang dalam bekerja. Apabila kita tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, niscaya akan mendapatkan kesulitan pada saat berada di posisi ‘dipimpin’ ataupun ‘memimpin’.

            Leadership itu penting dan selalu akan dipakai dimanapun. Tidak perlu jauh-jauh, ketika kita memiliki asisten rumah tangga sebenarnya kita sudah berada dalam posisi menjadi pimpinan. Kemampuan kita dalam mengarahkan pekerjaan, membagi tugas, mengajarkan agar sesuai dengan standar dan kebiasaan orang rumah, memberikan fasilitas yang cocok bagi dia agar merasa ‘betah’ bekerja di rumah kita, merupakan bagian dari leadership. Jadi, masih merasa leadership itu tidak penting dan tidak diperlukan?

Tagged : /

People Analytics

Jaman now promosi kerja masih pake cara “urut kacang”? Ketinggalan zaman!

Jaman now makin banyak organisasi yang pakai People Analytics untuk dapetin kandidat pegawai yang paling tepat dan terbaik untuk mengisi posisi tertentu. Dan People Analytics manfaatnya ga cuma ini aja, gaes. Masih banyak manfaat lainnya. Tapi sebelum kemana-mana, kita kenalan dulu yuk sama People Analytics.

People Analytics definisi singkatnya adalah penggunaan data pegawai (data-driven) untuk membuat keputusan bisnis yang lebih baik. Data pegawai yang multidimensional dianalisa untuk mendapatkan statistical insights yang dipakai dalam proses rekrutmen, evaluasi kinerja, promosi jabatan, kompensasi, kolaborasi antar pegawai, dan lain-lain, yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi dan menciptakan lingkungan kerja yang baik bagi pegawai.

People Analytics dikenal juga dengan nama lain seperti HR Analytics, Talent Analytics, atau Workforce Analytics. Muncul sejak satu dekade yang lalu, People Analytics semakin popular dalam 5 tahun terakhir dengan semakin populernya big data analytics, semakin tersedianya data SDM, semakin meningkatnya kemampuan komputasi komputer dan maraknya analytics tools, serta meningkatnya ROI (Return on Investment) dari pemanfaatan data analytics. Menurut Nucleus Research, ROI dari business analytics meningkat dari $10,66/dolar yang diinvestasikan (2011) ke $13,01/dolar yang diinvestasikan (2014) dan trend-nya semakin naik. DDI mengatakan organisasi yang memanfaatkan People Analytics secara optimal performanya berpotensi 3,1x lebih baik dibandingkan dengan peers-nya.

Contoh pemanfaatan People Analytics antara lain sebagai berikut: Pemanfaatan People Analytics tidak hanya akan menjawab berapa turn-over rate pegawai (rate pegawai resign), tetapi juga menjawab:

1) Apakah pegawai yang keluar adalah regretted loss bagi organisasi?

2) Mengapa pegawai memilih untuk resign?

3) Prediksi pegawai-pegawai yang berpotensi resign dalam 12 bulan ke depan.

Dengan mengetahui insight seperti ini, organisasi dalam melakukan perbaikan, membuat retention program yang lebih baik, atau melakukan mitigasi agar high-performing employees tidak resign. Salah satu kisah sukses pemanfaatan People Analytics adalah Project Oxygen milik Google yang meng-capture praktik para Manajer terbaik Google, kemudian diimplementasikan dalam sesi coaching yang berhasil meningkatkan performa pegawai berkinerja rendah.

Salah satu kunci sukses analytics adalah penggunaan model analytics secara disiplin (berdasarkan riset yang dilakukan dalam penulisan buku “The Power of People: Learn How Successful Organisations Use Workforce Analytics to Improve Business Performance” oleh Jonathan Ferrar). Di bawah ini adalah model analytics yang dikembangkan oleh Jonathan Ferrar – dinamakan “The Eight Step Model for Purposeful HR Analytics”. Selain itu, menurut salah satu artikel Harvard Business Review, sukses People Analytics dapat lebih dioptimalkan dengan tidak hanya menganalisa atribut pegawai, tetapi juga menganalisa interaksi yang dilakukan oleh pegawai (relational analytics) karena hasil riset menunjukkan bahwa kesuksesan pegawai tergambar dari interaksi/hubungan-nya dengan orang lain.

Wejangan terakhir, People Analytics tidak sesimpel penerapan teknologi, kemudian organisasi akan dengan sendirinya sukses. Tidak. Implementasi People Analytics sebenarnya adalah perubahan organisasi yang besar yang mengubah budaya, dari yang awalnya bukan data-driven menjadi data-driven. Apakah organisasi Anda sudah siap, misal, ketika promosi pegawai tidak lagi memakai mekanisme “urut kacang” atau tidak lagi berdasarkan kedekatan personal? Hal ini harus dipertimbangkan sebelum implementasi People Analytics. Bahkan Change Management pun dapat dilibatkan untuk mendukung suksesnya implementasi People Analytics.

Vulnerability (Kerapuhan)

“Kau tak tahu betapa rapuhnya aku”

“Bagai lapisan tipis air yang beku”

“Sentuhan lembut kan hancurkan aku”

Diatas adalah sepenggal lirik dari lagu “Rapuh” yang dipopulerkan oleh Joeniar Arif di awal tahun 2000-an. Ada yang masih ingat atau pernah dengar? Hehe… Lucu juga ya, lagu rapuh tapi dibawakan oleh penyanyi pria maskulin yang tampak sangar. Namun bukan rapuh emosional yang akan kita bahas kali ini. Tapi berkaitan tentang membuat sebuah tim yang hebat dengan modal rapuh (vulnerable). Lho kok bisa? Ya memang bisa, apa yang tidak bisa di jaman sekarang yang serba cepat berubah. Malah sebuah artikel hangat dari Harvard Business Review oktober tahun lalu melansir bahwa pemimpin di era saat ini membutuhkan vulnerability, bukan bravado (sikap sok pahlawan).

Pasca puncak pandemi Covid-19, tatanan dunia baru sudah menuju new normal, bukan tatanan sunda empire ya, beda kalo itu. New normal yang dimaksud disini yaitu cara-cara baru dalam menjalankan aktivitas manusia sehari-hari. Yang paling kentara, orang-orang menjadi lebih perhatian dengan aspek kesehatan. Orang yang biasa kerja ke kantor, sekarang sudah terbiasa kerja dari rumah. Orang yang sering ke pasar, sekarang rajin belanja online. Orang yang biasanya ke ATM, mulai biasa internet banking, dan lain sebagainya. Transformasi digital di berbagai bidang pun menjadi lebih cepat akibat pandemi. Lambat laun, organisasi yang tidak responsif akan tertinggal dari kompetitor.

Kita semua paham bahwa kemajuan peradaban manusia adalah hasil dari implementasi collective knowledge multi generasi, bukan individual effort. Steve Jobs dan Dennis Ritchie meninggal di bulan dan tahun yang sama (Oktober 2011). Namun hanya sedikit orang yang tahu tentang Dennis Ritchie. Tanpa Steve Jobs (pendiri Apple), mungkin tak akan ada ipad, ipod, iphone, macbook, dan produk overpriced Apple. Tapi tanpa Dennis Ritchie (penemu C & UNIX), takkan ada windows, atau bahasa dasar programming, dan kita semua hanya akan melihat angka binary (1 dan 0) di layar monitor seperti film The Matrix.

Begitu pula Albert Einstein yang di gadang sebagai manusia tercerdas dengan menemukan kesetaraan massa dan energi E=MC2 sehingga menjadi dasar pembuatan bom atom. Namun hanya sedikit yang kenal dengan Marie Curie yang sebenarnya juga sangat krusial dengan penemuan riset mengenai radioaktivitas sehingga dia lazim disebut “The woman behind the bomb”.  Intinya, kemajuan peradaban manusia adalah hasil collective effort, meskipun ada beberapa figur yang lebih terekspose di mata publik.

Dalam sebuah organisasi yang agile dan adaptif terhadap perubahan, sudah pasti terdapat tim yang hebat di dalamnya. Sedangkan tim yang hebat, terdiri dari anggota tim yang mampu bekerja sama dengan baik. Lalu bagaimana sih bekerjasama dalam tim yang baik? Daripada ribet dengan konsep dan definisi abstrak, yuk kita coba ke jaman batu kala manusia masih primitif:

Bayangkan kita berada dalam sebuah suku (tribe) nomaden di hutan belantara. Saat waktunya berburu, biasanya ada yang memimpin, kadang kepala sukunya langsung, atau ksatria tangguh dengan kepemimpinan yang baik.

Untuk sukses mendapat buruan, tim pemburu ini harus bekerjasama satu sama lain. Ada tim pengintai (scout), tabib (physician/shaman), pemanah (archer), dan juga tentunya seorang ketua tim (chief). Untuk mengambil keputusan mau kemana, dia butuh pendapat tim pengintai/scout, untuk mendapat informasi kondisi anggotanya, dia butuh tabib, dan untuk mengeksekusi binatang buruan, dia butuh pemanah.

Situasi di dalam hutan tidak dapat diprediksi, kadang ada hewan buas, perubahan cuaca, atau bertemu musuh dari suku lain. Ketua tim hanya punya sepasang mata, dia tidak bisa mengamati keadaan di sekeliling timya dengan sempurna. Dia butuh seluruh anggota untuk berbicara pada saat ada ancaman datang, atau hal lain yang membuat tim efektivitas tim menjadi rapuh (vulnerable).

Seorang pemanah yang vulnerable karena tergigit ular, harus bilang ke tabib untuk diobati. Seorang scout yang vulnerable karena kesulitan memanjat pohon untuk melihat situasi dari ketinggian, harus bilang ke anggota lain untuk membantunya memanjat. Seorang tabib tua yang vulnerable karena terlalu lelah berjalan, harus bilang ke ketua tim untuk beristirahat sejenak. Seorang ketua tim yang vulnerable karena ragu membuat keputusan, harus minta pendapat/informasi dari anggota tim lain. Dengan begitu, seluruh komponen tim akan menutupi kekurangan masing-masing dan berburu dengan efektif dan efisien dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi.

Logikanya sama saja pada sebuah tim pada suatu organisasi. Setiap orang dalam tim tersebut harus mampu mengutarakan vulnerability mereka dalam bekerja, sehingga anggota tim yang lain akan dapat membantu mereka. Ketua tim juga tidak terkecuali, karena pada dasarnya menjalankan organisasi bukan one man show, tapi band of brothers. Namun Sebelum itu, kita tahu bahwa tidak semua orang nyaman mengutarakan vulnerability-nya. Ada yang takut di bully, atau dipandang inkompeten. Nah, kita harus aware kapan kita aman mengutarakan vulnerability sehingga kita dapat memperbaiki kekurangan kira dalam bekerja. Ada 3 syaratnya:

Pertama, pastikan pemimpin Anda terbiasa dan nyaman mengutarakan vulnerability-nya, sehingga kita tahu bahwa dia toleran terhadap kekurangan anggota tim dan bersedia membantu Anda dengan pengalaman, pengetahuan, maupun kebijaksanaannya. Akan susah bila Anda mendapati pemimpin yang merasa dirinya superman dan paham akan segala hal serta tidak mentolerir kesalahan. Bila Anda punya pemimpin jenis ini, sebaiknya Anda jangan menunjukkan vulnerability Anda.

Kedua, pastikan suasana kerja Anda embrace vulnerability, misalnya ada kolega yang baik dan dengan senang hati membantu Anda. Ada diskusi/chat di saat break atau weekend yang tidak melulu soal kerjaan, dan ada aktivitas bersama yang dilakukan untuk membangun kekompakan tim, seperti sering makan siang bersama, karaoke selepas jam kantor, pulang bareng, sepedahan bareng di akhir pekan, dan lain sebagainya. Intinya, segala aktivitas yang menumbuhkan trust di dalam tim.

Ketiga, pastikan Anda memiliki batasan dalam pikiran Anda sejauh mana kebutuhan mengutarakan vulnerability, jangan over-expose sampai ke permasalahan pribadi yang sebenarnya bisa Anda handle sendiri tanpa bantuan orang lain, atau terlalu fokus terhadap satu kolega saja, sehingga menganggap Anda sebagai beban/burden organisasi.

Jadi, vulnerability is good or not, tergantung dimana dan pada siapa Anda bekerja. Show trust to the right people, and it will amaze you how they will trust you back.

Office Politics

Kita mulai artikel dengan definisi Merriam Webster dari politik kantor yaitu “aktivitas, sikap, perilaku yang digunakan untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan atau keuntungan di dalam sebuah perusahaan”. Bila diartikan demikian, tidak salah kalau kemudian konotasi dari politik kantor adalah cenderung negatif. Generasi milenial apalagi generasi selanjutnya yang amat independen dan transparan sehingga mereka pasti merasa nggak peduli mengenai politik kantor. Hal itu wajar saja, selama mereka tidak punya kepentingan terhadap kantor. Pergi, bekerja lalu pulang. Demikian setiap hari. Akhir bulan terima gaji. Simpel. Tapi ketika seseorang mulai berfikir bagaimana mendapat nilai kinerja yang bagus, bonus yang besar atau promosi yang cepat, mereka akan segera disadarkan dengan realita bahwa politik kantor ada dimana-mana dan tidak dapat dihindari.

Terdapat sembilan fakta penting mengenai politik kantor yang perlu dipahami[1]. Yang paling pertama, kita tidak bisa menghindar dari politik kantor. Dia ada dimana-mana. Kedua, orang harus paham bahwa peraturan yang tidak tertulis di dalam suatu perusahaan terkadang lebih penting daripada yang tertulis. Ketiga, peraturan yang berlaku akan selalu berubah mengikuti siapa yang sedang berkuasa. Keempat, adalah sebuah realita bahwa terkadang orang yang mendapat promosi bukanlah orang yang terbaik. Kelima, seluruh keputusan dalam perusahaan dipengaruhi oleh kepentingan orang yang sedang berkuasa. Keenam, ada lingkaran kecil orang di dalam perusahaan yang ikut memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam perusahaan. Ketujuh, kelompok kecil ini amat berkuasa dan sulit bagi orang lain untuk masuk ke dalam lingkaran ini. Kedelapan, pergantian pimpinan akan selalu mengubah budaya, aturan dan suasana kerja. Yang terakhir, seseorang tidak akan sukses apabila hanya bergantung pada talenta dan kerja keras. Untuk sukses seseorang harus punya hubungan baik dengan yang berkuasa. Asli nggak menarik, tapi itu adalah sembilan fakta yang harus diterima.

Dengan demikian jelas bahwa politik kantor akan ada kapan saja dan dimana saja. Mau tidak mau apabila kita punya “kepentingan” di kantor, maka kita harus mengetahui dan berkenalan dengan politik kantor. Apakah kita bisa menghindar? Bisa, sepanjang kita tidak memiliki “kepentingan” dengan pekerjaan atau perusahaan. Tetapi bila sebaliknya, kita harus mampu bertahan. Bagaimana cara supaya bisa bertahan? Ternyata ada 5 hal yang bisa dilakukan agar kita bisa bertahan dari politik kantor[2]

Pertama, selalu bertindak profesional dalam bekerja. Selalu berfikir positif dan siap membantu kepada yang membutuhkan. Banyak mendengar dan memperoleh informasi dan memberi masukan bila diperlukan. Selalu berfikir sebelum berbicara.

Kedua, minta tolong kepada orang yang tepat. Identifikasi orang yang bisa membantu, komunikasi dengan jujur dan terbuka. Menahan diri untuk bicara banyak dengan terhadap orang tertentu. Selalu ingat apa yang dikatakan bisa diteruskan kepada seluruh pihak di dalam perusahaan.

Ketiga, cari tahu siapa orang penting di dalam perusahaan. Orang penting ini baik yang sifatnya formal maupun informal. Umumnya mereka paham apa yang terjadi di perusahaan. Berusahalah berhubungan dengan orang-orang ini.

Keempat, lindungi dan bela tim anda. Selalu lindungi teman dan anak buah anda dari serangan orang lain. Cegah perbedaan sedini mungkin sehingga tidak menyebar lebih luas.

Kelima, jangan tidak peduli politik kantor, tetapi berusaha memahami dan menerima. Politik kantor adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dalam bekerja. Tidak perlu resisten dan berusaha menerima serta bisa bertahan dalam perubahan situasi apapun.

Semoga dengan lebih memahami politik kantor kamu bisa lebih terbuka dan memahami serta berusaha bertahan dalam situasi apapun di lingkungan kerja kamu. Salam sehat!


[1] “The 9 Most Frustrating Facts About Office Politics”, Bonnie Marcus, Forbes, January, 2015

[2] “Office Politics is a Fact of Life—Here Are 5 Ways To Survive and Thrive in Even the Most Difficult Environment”, Peter Economy, Inc.com, June, 2018

Toxic Positivity

 “When positivity is used to silence the human experience, it becomes toxic. – Jamie Long, Samara Quintero (Author “Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes”)

Beberapa waktu lalu, salah satu teman saya tiba-tiba mencak-mencak di telepon kepada saya:

“Ini gimana sih? Setiap kali cerita ke circle gw klo gw kesel dan mau resign karena udah ga tahan sama lingkungan kantor yang toxic, jawabannya selalu “Udah sabar aja”, “Kurang bersyukur lu. Masih bersyukur punya kerjaan” atau “Positive thinking aja”. Ya itu ga salah si… Tapi bukan berarti gw ga bersyukur loh. Dan sekarang gw malah makin tambah kesel!!”

Nah, ini adalah contoh konkrit “toxic positivity” di kehidupan kita.

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah sikap positif berlebihan yang menekan atau menghindari perasaan negatif yang sebenarnya dirasakan, baik dilakukan oleh orang lain ke diri kita, ataupun kita ke diri kita sendiri. Toxic positivity itu berarti di setiap saat, apapun yang kita hadapi – mau terjadi tragedi sekalipun, kita harus selalu positif. Padahal hidup kita ini ga selalu semulus kulit artis Korea, kawans.

Berarti positive thinking itu jelek donk? Ga begitu juga. Positive thinking pasti ada baiknnya, tetapi segala sesuatu yang berlebihan, tentunya tidak baik.

Perasaan yang kita rasakan adalah respon natural dari seorang manusia yang tentunya otentik dan valid. Dan perasaan yang muncul adalah “teriakan” dari value yang kita yakini, atau cerminan dari hal yang kita anggap penting. Ga mungkin kita marah-marah kalau hal tersebut ga melanggar value yang kita pegang. Ga mungkin kita sedih kalau hal tersebut bukan hal yang penting. Kalau dikembalikan ke cerita teman saya, dia merasa penting untuk berada di lingkungan kerja yang baik.

Menurut Dr Susan David – pencetus konsep Emotional Agility dan founder dari Institute of Coaching at McLean Hospital of Harvard Medical School, perasaan negatif yang muncul dalam diri seseorang dapat dianggap sebagai data. Data dapat dipelajari untuk diketahui penyebab mengapa perasaan yang kurang enak itu timbul dan selanjutnya menentukan langkah konkrit untuk mengatasinya.

Dampak buruk dari Toxic Positivity

Dampak buruk dari toxic positivity bisa bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:

  1. Tidak sehat, berdampak buruk pada kesehatan mental
    Dengan mengenyampingkan respon otentik dan valid manusia dan berpura-pura bersikap positif atau berpura-pura kuat padahal sebenarnya di dalam diri sudah hancur lebur, ini sudah pasti tidak sehat. Apalagi dengan adanya tekanan dari lingkungan sekitar untuk selalu positif, sehingga ketika seseorang sedang merasa tidak positif – sedih, burn-out, marah, stress berat, dan lain-lain, muncul rasa bersalah dan gagal dalam diri seseorang karena tidak bisa memenuhi ekspektasi lingkungan. Hal ini dapat berujung kepada kecemasan bahkan depresi.
  1. Emosi negatif semakin kuat, masalah tidak selesai
    Ketika sesuatu yang otentik ditekan terus-menurus, lama-lama meledak. Masalah pun tidak selesai. Daripada ditekan, emosi negatif harus diterima dan direspon dengan tepat. Di masa pandemi COVID-19 ini, bahkan semakin mudah untuk merasakan emosi yang kurang baik. Menurut survey yang dilakukan oleh Campbell dan Gavett pada 1,500 orang di 46 negara “What COVID-19 Has Done to Our Well-Being”, 85% responden merasa general well-being telah menurun sejak pandemi – dengan penyebab utama di antaranya penurunan kesehatan mental, meningkatnya tuntutan pekerjaan, dan perasaan terisolasi.
  1. Less resilient
    Toxic positivity akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menghadapi kondisi di dunia ini sebagaimana adanya. Seseorang akan menjadi kurang resilient padahal resiliency adalah salah satu kualitas yang dibutuhkan oleh seseorang, khususnya seorang Leader/Pimpinan untuk menghadapi dunia yang semakin tidak menentu.

Bagaimana cara menghadapi Toxic Positivity?

Dalam sesi singkat TED, Dr Susan David menceritakan beberapa tips dalam menghadapi emosi yang kurang mengenakkan yang timbul dalam diri kita:

  1. Beri nama pada emosi negatif dengan jelas
    Kebanyakan dari kita kalau sedang merasakan emosi negatif, biasanya mengungkapkan dengan istilah umum semacam “Gw bete nih”. Emosi tersebut dapat diberi nama dengan jelas sehingga kita dapat mengidentifikasi penyebabnya dan mengaktifkan “readiness potential” – kemampuan dalam diri manusia untuk membuat perubahan yang konkrit untuk mengatasi itu.
  1. Beri jarak antara kita dengan emosi negatif
    Misal ketika sedang merasa burn-out, hindari mengucapkan “Saya burn-out”. Tetapi ganti dengan “Saya notice kalau saat ini saya sedang merasakan burn-out”. Menurut Dr Susan, hal ini memberi jarak antara kita dengan emosi kita – “We own our emotions. They don’t own us”. Hal ini membuat bagian dari diri kita untuk muncul, maju ke depan mengatasi emosi itu.
  1. Curahkan dalam tulisan
    Ketika tidak bisa bercerita ke orang lain, kita dapat mencurahkan perasaan negatif tersebut dalam tulisan. Kita berbicara jujur apa yang kita rasakan melalui tulisan.

Last but not least, masyarakat dan lingkungan juga memiliki peran penting dalam menghadapi toxic positivity karena sepertinya sudah menjadi norma di masyarakat untuk terus positif. We are human-being – yang sangat normal memberikan respon negatif ketika sesuatu yang kurang baik terjadi.

Kembali kepada cerita teman saya di awal, daripada memaksa dia untuk bersikap positif padahal sudah jelas dia sedang dalam kondisi kesal, bingung, dan sebagainya, respon lebih baik yang dapat dilakukan oleh circle-nya adalah mengakui bahwa apa yang sedang dirasakan dia adalah valid atau berusaha membantu. Misal “I’m listening” atau “Sepertinya ada yang salah dengan kantor kamu. Apa yang bisa aku bantu?”.

Pada akhirnya, masalah sebenernya bukan pada apakah seseorang memiliki emosi negatif. Tidak ada yang salah dengan seseorang yang merasa sedih atau burn-out. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang terjebak oleh emosi negatif tersebut dan berakibat buruk pada hidupnya dan lingkungan sekitarnya – keluarga, pertemanan, bahkan pekerjaan.

It’s Okay to Not Be Okay.

Tagged : /

Tentang Loyalitas

Apa sih loyalitas? Kita sering mendengar tapi juga sering gagal paham artinya apa, maksudnya gimana, dan sebenarnya penting atau tidak buat kita. Umumnya, kata loyalitas sering bersanding dengan diksi kesetiaan, kepercayaan, kejujuran, dedikasi, dan sebagainya. Itu semua benar, karena memang dimensi loyalitas luas sekali. Mulai dari hubungan di antara dua orang manusia, sampai ke urusan loyalitas konsumen, ataupun antara pegawai dan organisasi kerja.

Dari lingkup kecil, jika anda setia dan berdedikasi pada seseorang atau sesuatu, maka anda adalah orang yang loyal. Orang yang loyal akan dapat diandalkan dan senantiasa jujur, kadang kejujurannya seperti pil pahit, namun kita tahu bahwa banyak obat bentuknya pil pahit, layaknya kritik tidak pernah ada yang enak didengar, meskipun datang dari orang yang paling loyal terhadap kita. Namun sebenarnya kita tahu bahwa kita butuh kritik membangun dari sudut pandang orang lain.

Loyalitas membutuhkan asas resiprokal untuk mempertahankan sebuah hubungan, artinya kita tidak bisa berharap pihak lain loyal sementara kita tidak loyal, vice versa. Kalaupun bertahan, hubungan itu hanya sementara dan dapat dengan mudah berakhir, layaknya unstable equilibrium dalam persamaan matematika, atau kelereng di ujung tanduk. Saat fakta disloyalitas diketahui pihak yang loyal, relasi akan berakhir dan kadang dengan ending yang dramatis.

Di sisi lain, loyalitas yang resiprokal ibarat stable equilibrium, atau seperti kelereng ditengah bejana lengkung (mangkok), meskipun kelereng terguncang naik dan turun, tapi akan tetap kembali ke titik tengahnya. Analoginya dalam sebuah hubungan, akan ada naik turun karena saling mengkritik dan mengutarakan ekspektasi, tapi kita tahu bahwa itu dilakukan dengan tujuan positif agar masing-masing pihak menjadi lebih baik. Loyalitas yang kuat akan mampu bertahan di tengah berbagai ujian, ujian yang paling sering ditemukan biasanya di kala salah satu pihak sedang dalam keadaan buruk. Pihak yang lain dituntut tetap di sisinya untuk membantu dan mendukungnya. Ibarat seorang sahabat yang tidak akan meninggalkan anda ketika anda terpuruk secara fisik ataupun psikis. Bila pihak itu justru memanfaatkan anda atau justru berbuat jahat, maka anda sebenarnya loyal dengan orang yang salah.

Lalu apa yang harus kita lakukan bila menghadapi sebuah relasi dengan loyalty mismatch. Hanya ada 2 solusi, pertama anda bisa mencoba mengubah loyalitas orang/pihak lain yang berbeda dengan anda, tentunya dengan keyakinan bahwa hal tersebut baik untuk orang/pihak tersebut, patut dicoba namun jangan kecewa dengan risiko diserang balik. Solusi kedua, anda sebaiknya menjauh (distancing) dari relasi tersebut. Tidak ada gunanya mempertahankan relasi dengan pihak yang memiliki values dan prinsip yang berbeda. Energi anda akan habis. Ujung-ujungnya anda akan rugi waktu dan tenaga yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membangun loyalitas dengan yang lain. Anda bisa saja berpura-pura baik dan memiliki values yang sama dengan orang/pihak tersebut untuk kepentingan pribadi jangka pendek, namun itu menjadikan anda lesser human being, karena tidak loyal terhadap values anda sendiri.

Analogi serupa juga sama untuk scope lebih luas, yaitu hubungan antara pegawai dengan organisasi tempat bekerja. Untuk memiliki pegawai yang loyal, organisasi juga harus loyal terhadap pegawainya. Ukurannya tidak hanya uang/salary, kalau hanya uang ya apa bedanya dengan bisnis prostitusi, tidak ada kekuatan hubungan, hanya sekedar transaksi and that’s it. Pegawai merupakan bagian dari organisasi dan ada kebutuhan untuk dilihat, didengar, dan dikembangkan, sehingga kualitas mereka meningkat sebagai manusia. Pegawai yang disloyal hampir selalu disebabkan oleh 2 hal: (1) Pegawai yang diperlakukan berbeda atau tidak adil, bisa dari kesalahan sistem organisasi, atau kesalahan manajemen (boss dan manajer), dan yang kedua karena (2) Bad cultural fit yang disebabkan perbedaan values antara pegawai dan organisasi.

Pegawai yang disloyal ciri-cirinya umumnya mudah diidentifikasi, mereka terlihat demotivasi, disengaged, tidak excited terhadap pekerjaan, suka komplain, suka bekerja sendiri, sulit fokus, dan suka mencari kesibukan atau kesempatan diluar. Lalu apa yang harus dilakukan organisasi menghadapi masalah loyalitas pegawai.

Pertama, organisasi harus memastikan bahwa seluruh sistem dan kebijakan internal organisasi dilakukan dengan intensi memberikan yang terbaik terhadap pegawai dan mengutamakan asas adil dan transparan, sehingga setiap pegawai mendapat opportunity dan perlakuan yang sama, tidak diskriminatif, apalagi atas dasar yang tidak jelas.

Kedua, organisasi harus menghilangkan toxic boss dan toxic manager yang memicu ketidakadilan di dalam sebuah tim. Toxic boss dan toxic manajer bukan cuma dongeng, penyakit ini hampir selalu ada di setiap organisasi. Yang jadi masalah bila toxic boss dan toxic manajer jumlahnya sangat banyak dan sangat powerful sehingga menjadi mata rantai culture organisasi itu sendiri.

Ketiga, organisasi harus membantu pegawai yang disloyal dengan masalah bad cultural fit, bekerja di tempat lain dengan values yang lebih cocok untuknya, bagaimanapun organisasi memiliki andil kesalahan ketika meng-hire pegawai tersebut dan seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama untuk memperbaikinya, tentunya dengan intensi yang baik ke pegawai tersebut, bukan hanya sekedar melepas/mengeluarkan pegawai begitu saja. Kadang dengan perlakuan yang baik, pegawai tersebut bisa saja sukses di tempat lain, dan kemudian dapat mendukung organisasi kita dari luar bukan.

“Loyalty is a decision. A resolution of the soul” – Pascal Mercier –

Mencari “Connectors” Untuk Pengembangan Diri dan Karir

Karateristik utama dari milenial adalah mencari pengembangan diri. Tingkat kepuasan bekerja mereka banyak ditentukan dengan sampai sejauh mana dirinya berkembang dalam suatu pekerjaan atau perusahaan. Remunerasi merupakan hal penting, namun bukan menjadi yang terpenting. Sehingga apabila mereka merasa tidak berkembang setelah sekian lama dalam pekerjaannya, mereka akan berusaha mancari “jalan keluar’. Jalan keluar bisa berarti pindah ke unit kerja lain, bekerja di perusahaan lain, melanjutkan studi atau melakukan sabbatical leave[1] untuk mengembangkan diri.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Gallup,  sebanyak 87% dari milenial mengatakan bahwa pengembangan diri dan karir adalah hal terpenting bagi mereka dalam bekerja. Jauh lebih besar dibanding dengan generasi lain yang hanya 47% menyatakan bahwa hal tersebut adalah teramat penting. Apabila demikian apa yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan?

Milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 dan 2000. Dengan demikian di angkatan kerja sekarang mereka sudah berusia antara 20-40 tahun. Ada yang baru lulus kuliah, sampai dengan sudah ada yang menjadi CEO di perusahaan 500 Fortune. Indonesia sendiri juga sudah menempatkan milenial di posisi penting. Menteri Pendidikan Nasional kita sekarang Nadiem Makarim lahir di tahun 1984. BUMN juga mulai memberi ruang untuk milenial, contohnya pada Fajrin Rasyid, eks presiden Bukalapak, menjadi Direktur Digital PT Telkom. Presiden Jokowi juga bahkan menunjuk Staf Khususnya dari generasi milenial.

Sedemikian pentingnya kedudukan milenial dalam angkatan kerja sekarang, dan sudah sewajarnya perusahaan atau organisasi memberikan perhatian lebih kepada aspirasi mereka. Sejalan dengan hasil survey yang dilakukan Gallup, konsultan PWC juga menyatakan dalam laporannya “millenials at work: reshaping the workplace in financial service” bahwa kebutuhan utama para milenial adalah pengembangan diri dan karir. Dengan demikian terdapat dua fokus utama bagi para praktisi pengelola sumber daya manusia di perusahaan, yaitu membuka ruang pengembangan kompetensi dan karir yang seluas-luasnya. Gagal dalam memberikan kesempatan ini dapat berakibat fatal, yaitu pegawai milenial akan mencari jalan keluar. Yang dikawatirkan mereka bukan hanya disenganged dari pelaksanaan tugas tetapi actively disengaged. Kondisi ini akan membawa dampak buruk pada suasana kerja perusahaan.

Dalam sebuah artikel di Harvard Business Review, dijelaskan ada empat karateristik jenis pimpinan terkait dengan pengembangan anak buah. Pertama Teachers Manager, yang mengembangkan anak buah berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dan terlibat langsung dalam memberikan feedback kepada anak buah. Yang kedua adalah Always-On Managers, yang mendedikasikan waktunya setiap saat untuk selalu mengembangkan anak buahnya setiap aspek pengetahuan yang dibutuhan. Connectors, yang tidak mengembangkan anak buah secara langsung namun menghubungkan mereka dengan orang yang ahli dengan subyek yang dibutuhkan. Cheerleader Managers, yang memberikan dukungan tetapi tidak memberikan feedback atau menghubungkan dengan orang yang ahli.

Sekilas kita menginginkan tipe yang Always-On Managers yang selalu menyediakan waktu untuk pengembangan diri kita. Namun berdasarkan hasil penelitian tipe pimpinan yang paling efektif adalah yang jenis connectors. Mereka tidak perlu selalu meyediakan waktu bagi kita atau harus memahami segala macam hal untuk mampu memberikan coaching kepada kita. Tetapi mereka cukup paham kepada siapa kita harus bertanya dan membuka jalan bagi kita untuk bertanya lebih lanjut tentang subyek yang ingin kita ketahui. Kita tidak butuh pimpinan yang “superman” mengerti segala hal, tetapi ternyata kita lebih butuh pimpinan yang gaul, paham siapa ahli apa dan juga mau membuka kesempatan bagi kita untuk belajar lebih banyak dengan yang “lebih ahli”. Syukur apabila kemudian mereka malah kemudian membuka diri untuk belajar dari kita mengenai subyek tersebut. Mari kita berhenti sejenak dari rutinitas, dan evaluasi pimpinan kita tipe yang mana mereka. Apabila kita tidak mendapatkan connectors dalam diri mereka, jangan putus asa, kita cari orang yang bisa menjadi connectors kita sepanjang mereka membuka diri untuk membantu pengembangan diri kita. Tetap semangat dan jaga kesehatan.


[1] The sabbatical definition is “a break from work” during which employees can pursue their interests, like traveling, writing, research, volunteering or other activities (or even rest). During that time, the employee is still employed at their organization, but they don’t need to perform their normal job duties or report to work.

Kepuasan Kerja, Work-Life Balance dan Produktivitas Kinerja

Di dunia bisnis pada era globalisasi seperti saat ini, para perusahaan berlomba-lomba dalam persaiangan usaha yang ketat dengan menggunakan segala sumber daya atau resources yang dimiliki perusahaan. Persaingan usaha menjadi sesuatu yang sangat menjadi perhatian setiap perusahaan ditambah dengan kondisi dimana perusahaan harus bertahan dengan kondisi pandemi global yang sangat berdampak terhadap operasional dan performa perusahaan. Jangankan bersaing, banyak dari perusahaan yang kini harus menjalankan bisnisnya dengan memaksimalkan sumber daya yang terbatas namun harus tetap menghidupkan perusahaannya dengan baik. Di antara semua sumber daya yang menopang perusahaan, sumber daya manusia, dalam hal ini karyawan, memiliki peranan dan kontribusi yang sangat penting dan dominan.

Karyawan merupakan sebuah aset bagi perusahaan. Selain memiliki peran yang sangat penting, karyawan merupakan sumber daya yang dominan demi mencapai tujuan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Akan sangat sulit bagi perusahaan untuk beroperasi dengan lancar dan mencapai tujuannya apabila karyawannya tidak mampu mengeksekusi tugas dan fungsinya dengan baik. Terlebih lagi, masih banyak perusahaan yang menuntut karyawan dengan tekanan pekerjaan tanpa memerhatikan kepuasan kerja karyawannya. Padahal, banyak pendapat dan survei menyatakan bahwa untuk mempertahankan kinerja karyawan agar tetap produktif, perusahaan harus memerhatikan kepuasan kerja karyawannya yang tidak lepas dari beberapa faktor yang salah satunya adalah work-life balance.

Work-life balance merupakan sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendefinisikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti bernama Lockwood dalam risetnya berjudul “Work/Life Balance: Challenges and Solutions”, menyatakan bahwa keadaan seimbang pada dua tuntutan di mana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan menurut penulis jurnal lainnya, Greenhaus menyatakan bahwa work-life balance adalah sejauh mana suatu individu terikat secara bersama di dalam pekerjaan dan keluarga, dan sama-sama puas dengan peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarganya. Work-life balance menjadi hal yang sangat penting karena dapat berpengaruh kepada kepuasan kerja seorang karyawan dan bagaimana produktivitas seorang karyawan bekerja pada suatu perusahaan.

Seringkali karyawan dihadapkan pada porsi pekerjaan yang menuntut dirinya untuk bekerja melebihi jam regular tempat dirinya bekerja. Deadline tugas yang diberikan terkadang menuntut karyawan untuk menggunakan jam lembur (overtime) untuk menyelesaikannya. Rapat kerja yang diadakan hingga larut malam, serta perjalanan bisnis atau dinas ke luar kota yang akhirnya membuat kebutuhan dengan keluarga dan lingkungan terdekatnya hingga kebutuhan pribadi jadi terganggu juga turut menyertai tekanan perusahaan pada karyawannya. Karyawan dituntut untuk melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal namun seringkali perusahaan mengesampingkan keseimbangan kehidupan karyawannya. Tidak sedikit perusahaan yang memberikan jumlah tugas atau pekerjaan yang berlebihan yang mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja karyawan hingga kepuasan kinerja karyawan. Padahal, ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.

Di Singapura, pemerintahnya mendukung permintaan masyarakatnya yang menginginkan work-life balance dalam kehidupan bekerja. Hingga saat ini, sistem work-life balance mulai diterapkan di beberapa lembaga pemerintahan seperti waktu bekerja sesuai dengan porsi yang telah ditentukan. Setelah beberapa waktu kebijakan work-life balance ini diterapkan, hasilnya menunjukkan hal yang positif, seperti produktivitas kerja meningkat, pengeluaran berkurang dikarenakan angka keluar-masuk karyawan berkurang, angka ketidakhadiran atau absen semakin menurun dan komitmen karyawan kepada perusahaan pun semakin tinggi. Hasil ini kemudian menjadi catatan bagi jajaran perusahaan bahwa jika menerapkan work-life balance kepada karyawannya di tempat kerja maka perusahaan tersebut akan menjadi lebih menyenangkan, efisien, dan produktif.

Berbeda dengan di Indonesia. Berdasarkan salah satu survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia terhadap pengangguran yang ada di Indonesia, jumlah penganguran di negeri ini berkisar di angka 9 juta. Adapun sebesar 85% responden dari survei mengaku kalau mereka tidak memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh akademisi bernama Uki Yonda Asepta, belum banyak perusahaan yang melihat work-life balance sebagai isu. Namun dengan perkembangan jaman dan teknologi yang cukup pesat, Generasi Milenial (Gen Y) sudah mulai sadar akan isu ini. Kepentingan dan kebutuhan personal hingga keluarga seringkali memberikan dampak kepada bagaiman karyawan mengelola pekerjaan dan profesionalitasnya. Alhasil banyak karyawan yang mengalami kondisi burn-out dan tingkat turnover menjadi sangat tinggi. Bagi perusahaan, isu ini menjadi penting karena dapat menyebabkan turunnya produktivitas dan efisiensi kerja karyawan.

Melihat itu semua, perusahaan dan jajaran manajemen SDM perusahaan harus mulai memerhatikan work-life balance ini baik untuk karyawan maupun keberlanjutan bisnis yang dijalankan. Komitmen menjalankan work-life balance perlu dimulai dari dua belah pihak, baik jajaran manajemen perusahaan maupun karyawannya. Manajemen perusahaan bisa memulai dengan mendorong perkembangan budaya yang mengutamakan aspek kepercayaan dan respect dalam perusahaan. Perusahaan juga memiliki peran untuk mengetahui kebutuhan karyawan yang berbeda-beda dan mengadopsi pendekatan yang bisa mendorong work-life balance karaywan dalam perusahaan. Sebagai karyawan, kita juga harus aktif memberikan suara dan pendapat terkait dengan hal-hal yang sekiranya dapat memberikan kepuasan kerja terhadap karyawan dan dampak positifnya terhadap perusahaan.

Tagged : / /

Think Positive

Seorang pria bernama Eric sedang berjalan-jalan di batas kota bersama anjingnya yang bernama Nova. Nova melihat seekor kelinci dan semangat mengejarnya hingga tali kekangnya lepas dari Eric. Nova berlari semakin jauh dan Eric tidak bisa mengejarnya lagi. Eric sudah berusaha mencari Nova, bahkan selama beberapa hari, namun Nova tidak lagi ditemukan. Eric begitu sedih karena dia sangat sayang dengan anjingnya. Setelah beberapa hari, seorang wanita cantik bernama Vanessa mengetuk pintu rumah Eric dan membawa Nova yang dia temukan dekat rumahnya. Berawal dari sini, Eric dan Vanessa kemudian bercengkerama, berkencan, jatuh cinta, dan kemudian akhirnya menjadi pasangan suami istri.

Di suatu hari pada saat mengemudi untuk menjemput Vanessa, Eric mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Dokter melakukan tindakan medis yang diperlukan dan CT scan bagian kepala Eric untuk mengecek trauma di kepala. Dokter memberi kabar ke Eric bahwa dia tidak mengalami cedera berat akibat kecelakaan itu, tetapi mereka menemukan tumor kecil di otaknya. Tumor itu berada pada tahap perkembangan sangat dini dan dapat dengan mudah diangkat. Eric merenung, di satu sisi dia mendapat berbagai kesulitan hidup, namun di sisi lain, kesulitan tersebut membawanya ke sesuatu yang lebih baik. Bila Nova tidak pernah hilang, mungkin dia tidak pernah bertemu wanita yang sekarang menjadi istrinya, bila Eric tidak mengalami kecelakaan, mungkin tumor di otaknya tidak akan ditemukan. Ini adalah kisah singkat “The Nova Effect” dari The Pursuit of Wonder.

Cerita ini mirip dengan kisah “The Chinese Farmer” oleh Alan Watts yang menceritakan tentang seorang petani Tionghoa yang suatu ketika kudanya kabur saat sedang menggembala. Semua tetangga yang tahu kabar tersebut datang untuk bersimpati. Mereka berkata, “Kami turut bersedih mendengar kudamu melarikan diri. Ini hal yang sangat disayangkan dan merugikan.” Petani itu membalas, “Mungkin.” Keesokan harinya kuda itu kembali dengan membawa tujuh ekor kuda liar ke sang petani, dan semua orang yang tahu kembali berkata ke petani, “Wah, demikian beruntung ya, sekarang kamu memiliki delapan kuda! ” Petani itu kembali berkata, “Mungkin.”

Beberapa hari kemudian, putra dari sang petani mengalami kecelakaan jatuh saat menunggangi kuda, dia terlempar dan kakinya patah. Para tetangga berkata, “Ya ampun, kami turut bersedih, itu kejadian yang sangat buruk” dan petani itu menjawab, “Mungkin.” Keesokan harinya petugas wajib militer datang ke rumah sang petani untuk mengambil para pemuda yang sehat agar menjadi tentara membela negaranya di medan perang, dan mereka menolak putra sang petani karena dia mengalami patah kaki. Semua tetangga pun datang dan berkata, “Ini berita bagus, putramu tidak jadi ikut perang dan bisa terus bersamamu” Sekali lagi, sang petani menjawab, “Mungkin.”

Dua cerita fabel diatas hanya beberapa contoh kecil dari berbagai fenomena yang dialami setiap orang, setiap hari. Dalam suatu masa, kita kadang mengalami berbagai hal yang diluar ekspektasi. Kita sering mengeluh bahwa ini adalah hal buruk, namun kita juga sering overjoyed dengan hal-hal yang menurut kita baik, padahal bisa saja itu adalah awal sebuah petaka.

Seluruh fase dan dinamika kehidupan adalah proses terintegrasi dengan kompleksitas yang sangat tinggi, dan sangat tidak mungkin untuk mengatakan apakah sesuatu yang terjadi itu baik atau buruk – karena kita tidak pernah tahu apa yang akan menjadi konsekuensi dari sebuah kemalangan. Begitu juga kita tidak pernah tahu apa konsekuensi dari sebuah keberuntungan. Respon yang optimal adalah, kita harus memilki awareness yang tinggi akan eksistensi diri. Melihat diri sendiri dari sudut pandang orang ketiga yang menarasikan cerita hidup kita, kadang kita mesti keluar dari bingkai rutinitas terkini, dan membaca timeline kehidupan personal dari masa lalu, saat ini, dan proyeksi masa depan. Harapannya, kita akan selalu postif menghadapi hal-hal terburuk dalam hidup, tidak patah asa, dan juga tidak berlebihan menikmati kesenangan hingga lupa diri akan tujuan yang lebih besar. Sayangnya menjadi aware terhadap eksistensi diri sendiri adalah hal yang esoterik, tidak semua orang mampu, dan tidak semua orang bisa konsisten melakukannya. Namun, langkah kecil yang mungkin mudah dilakukan adalah kita harus selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur bahwa kita “ada” di dunia ini untuk menikmati setiap momen bersama orang-orang tercinta yang peduli dengan kita. Jadi, yuk berpikir positif setiap waktu!

Mengapa Berubah?

Dulu waktu orang bilang kesehatan itu mahal, kita nggak begitu mengerti maksudnya. Tapi pandemi yang kita alami sekarang mengajarkan makna “mahal” tersebut. Pertama, mahal dalam arti bisa fatal karena lalai menjaga kesehatan nyawa bisa menjadi taruhannya. Beruntungnya vaksinasi sudah mulai dilakukan, namun sambil menunggu giliran sebaiknya protokol  kesehatan adalah yang terbaik untuk menghindari virus. Makna mahal yang kedua adalah terkait dengan biaya. Ketika kita terpaksa banyak interaksi dengan orang dan ingin memastikan kondisi kesehatan kita akan terus menerus melakukan tes baik swab atau rapid, tentu biayanya tidak murah.

Kejadian pandemi ini kemudian “memaksa” orang untuk mengubah perilakunya. Yang dulu sering kumpul-kumpul alias gaul, sekarang terpaksa banyak diam di rumah. Yang dulu kalau makan seenaknya saja, sekarang mulai mikir soal menu sehat dan jumlah kalori. Yang dulu nggak pernah olah raga, menjadi rajin rutin berolah raga. Mengapa mau berubah? Karena ingin lebih sehat dan lebih imun terhadap virus.  Semua ingin hidup, nggak ada yang mau meninggal. Persis seperti yang Darwin sampaikan, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change”.

Lalu sebenarnya apa saja yang membuat seseorang bisa berubah perilakunya dan bagaimana kita bisa mengubah perilaku seseorang?

Selalu berangkat dari pertanyaan dasar “what’s in it for me?” dalam suatu proses perubahan. Seseorang mau berubah bila mengetahui ada manfaatnya. Adalah absurd mengharapkan seseorang berubah tetapi tidak bisa menggambarkan mengapa mereka harus berubah. Ini yang dikatakan John P. Kotter dalam 8 steps of leading change, tahap pertamanya yaitu creating sense of urgency. Ada urgensi sehingga seseorang atau organisasi mau berubah. Bahkan saking pentingnya urgensi dalam suatu proses perubahan, Kotter kemudian menulis satu buku khusus membahas mengenai topik tersebut. Jika sudah paham mengapa harus berubah, berarti sudah separuh perjalanan proses perubahan.hanya tinggal bagaimana melakukan perubahan. Misalnya ingin imunitas lebih tinggi? Upayanya minum suplemen, olah raga teratur, tidur yang cukup dan menjaga pola makan. Yang umumnyalebih sulit justru menemukan urgensi pada seseorang atau organisasi, sehingga kalau kalau sudah ada maka selanjutnya akan lebih mudah.

Jadi mengapa seseorang mau berubah? LifeHack menjelaskan ada tiga hal yang menyebabkan seseorang berubah: sudah lebih paham, sudah cukup lama menderita, dan sudah lelah akan hal yang sama. Orang sudah lebih paham mengenai manfaat dari kesehatan, sehingga mereka akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat. Orang sudah cukup menderita dengan penyakitnya, sehingga akan secara drastis mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat sehingga lepas dari penyakit yang dideritanya. Seseorang keluar dari pekerjaannya karena situasinya sudah unbearable, dia ingin lebih sehat secara batin sehingga lebih less pressure. Ketiga hal utama tersebut yang bisa mendorong seseorang untuk berubah.

Namun demikian, ada juga orang yang cenderung tidak mau berubah. Mengapa demikian? Henry Edberg menjelaskan faktor penyebab orang tidak mau berubah. Pertama, tidak berani berubah. Mereka takut akan resiko kegagalan. Namun seseorang harus berani mengambil resiko, dan terkadang meskipun hasilnya memang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun orang tersebut akan merasakan sensasi luar biasa karena sudah berani melangkah keluar dari comfort zone yang ada. Kedua adalah lingkungan yang kurang mendukung. Orang sungkan untuk memutus hubungan dengan lingkungan dengan lingkungan meskipun tidak mendukung. Namun berubah bukan berarti kemudian kita harus keluar dari lingkungan tersebut, cukup minimalisir interaksi dalam lingkungan tersebut. Ketiga adalah cepat menyerah setelah gagal. Biasanya setelah melakukan perubahan dan tidak langsung berhasil, seseornag dalam keraguan. Kawatir kalau gagal akan dicemooh sama orang lain. Pada saat itu sebenarnya kita sedang diuji keteguhan hati, sampai seberapa besar keinginan kita untuk berubah. Keempat adalah kita belum merasakan penderitaan yang sangat. Hal ini menyebabkan kita menyepelekan urgensi perubahan. Padahal kalau kita mau duduk sejenak melakukan refleksi serta mengambil pelajaran dari orang lain, urgensi tersebut akan terlihat. Terakhir adalah mau berubah tapi nggak tauk gimana caranya. Yang perlu dilakukan adalah cari orang yang sudah pengalaman. Ajak diskusi untuk menggali informasi. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Banyak buku atau artikel serta menonton video yang bisa memberikan informasi.

Jadi gimana? Mau duduk sejenak melakukan refleksi dan memikirkan urgensi perubahan nggak? Yuk lakukan sesering mungkin agar bisa menjadi manusia yang lebih baik di masa mendatang. Salam.

Our greatest glory is not in never failing, but in rising everytime we fall” (confucius)

Mengapa Sedikit Wanita di Pucuk Pimpinan?

Dari 270 juta penduduk Indonesia dengan perbandingan jumlah pria wanita yang seimbang alias 1:1, berapa banyak wanita yang menduduki posisi pucuk pimpinan? Mari kita lihat Kabinet Indonesia Maju. Dari total 38 menteri/setingkat, hanya ada 7 wanita dalam kabinet Presiden Jokowi tersebut. 18% saja. Berapa banyak wanita Indonesia yang kamu ingat menduduki posisi pucuk pimpinan perusahaan/organisasi di negara kita ini? Atau pucuk pimpinan di tempat kamu bekerja?  Sepertinya proporsi wanitanya belum banyak ya.

Skala global pun tidak kalah sedikitnya. Penduduk dunia sebanyak 7,6 miliar orang dengan perbandingan 1:1 antara pria dengan wanita, hanya 21 negara yang dipimpin oleh wanita dari total 193 negara (11% saja). Di Amerika, wanita menjadi penyumbang 47% tenaga kerja negeri Paman Sam tetapi proporsi CEO wanita hanya sekitar 5% pada perusahan Standard & Poor’s 500.

Apa karena wanita kalah secara kompetensi dibandingkan pria?

Berdasarkan artikel Harvard Business Review berjudul “Research: Women Score Higher Than Men in Most Leadership Skills”, wanita mengalahkan pria di hampir seluruh aspek kemampuan leadership. Kemampuan leadership wanita yang outstanding antara lain pengambilan inisiatif, orientasi pada hasil, serta integritas dan kejujuran yang tinggi.

Grameen Bank (The Bank for the Poor) berhasil membantu masyarakat Bangladesh keluar dari jurang kemiskinan dengan memberikan microloan kepada Ibu dari keluarga, bukan kepada Ayah. Mengapa? Karena pinjaman tersebut terbukti lebih efektif dan membawa lebih banyak kebaikan kepada keluarga ketika dipinjamkan kepada Ibu. Total peminjam Grameen Bank 97% wanita.

Berdasarkan riset McKinsey & Co dan Credit Suisse, perusahaan dengan lebih banyak wanita di posisi pimpinan mempunyai performa keuangan yang lebih baik. Bahkan ada selentingan di masa krisis finansial 2008 yaitu ”If Lehman Brothers had been Lehman Sisters, the financial crisis might have been averted.” Penanganan pemimpin negara wanita dalam krisis pandemi COVID-19 saat ini dirasa lebih baik dibanding dengan male counterpart-nya.

Nah, dengan kemampuan wanita yang ga kalah dengan pria, mengapa wanita masih mendapat porsi minim dalam posisi kepemimpinan? Banyak faktor yang mempengaruhi tetapi jika ditarik garis besar, terdapat 2 faktor yang sekiranya mempengaruhi: workplace (tempat bekerja) dan society (masyarakat).

Workplace & Society VERSUS Women

Di tempat kerja maupun di masyarakat, terdapat kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari merugikan wanita dalam mencapai posisi pucuk pimpinan.

Sebagai contoh: wanita dicap lebih memrioritaskan keluarga dibandingkan dengan pria sehingga diberikan kesempatan berbeda dengan pria di tempat bekerja. Hasil meta-analisa yang disampaikan dalam Harvard Business Review berjudul “What Most People Get Wrong About Men and Women?”, pria dan wanita memiliki prioritas yang sama terhadap keluarga. Selain itu, hasil meta-analisa juga menyatakan bahwa pria dan wanita sebenarnya memiliki ambisi, sikap, dan kemampuan yang setara dalam berkarir.

Atau ketika seorang wanita mendapatkan mentorship dari mentor pria karena populasi pimpinan pria lebih banyak dibanding wanita. Hubungan mentorship antara wanita dengan mentornya yang kebetulan seorang pria dapat disangka “aneh-aneh”. Hal ini membuat wanita merasa tidak nyaman. The same goes ketika mentor seorang wanita mempunyai mentee seorang pria.

Di bawah ini segelintir contoh kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari dapat mempengaruhi proporsi wanita menempati jajaran pimpinan:

  1. Ketika Wanita Melakukan Kesalahan Dalam Pekerjaan

Ketika wanita melakukan kesalahan dalam pekerjaan, wanita akan dinilai lebih kurang kompeten dan lebih rendah statusnya dibandingkan jika pria melakukan kesalahan yang sama. Sebuah riset di firma akunting besar menduga bahwa sedikitnya wanita di pucuk pimpinan disebabkan oleh wanita memilih untuk memrioritaskan keluarga, tetapi hasilnya menyatakan hal yang berbeda. Ketika pimpinan pria dan wanita di firma tersebut sama-sama mengatakan bahwa mereka akan menerima jabatan pimpinan apabila ditawarkan, pimpinan wanita memiliki kekhawatiran apabila mereka dinilai gagal dalam menjalankan tugas kepemimpinan tersebut, hal tersebut akan membahayakan karir mereka dan karir mereka akan sulit recover.

  1. Performance Appraisal

Dalam sebuah artikel Harvard Business Review diceritakan seorang Managing Director melakukan investigasi mengapa banyak wanita di perusahaannya memilih berhenti bekerja setelah melahirkan anak. Setelah ditelusuri penyebabnya adalah performance appraisal. Saat Pimpinan terpaksa menentukan performance rating anak buahnya dengan distribusi normal, wanita yang meninggalkan kantor untuk maternity leave mendapat nilai yang lebih rendah dibanding dengan peers-nya dengan alasan mereka bekerja tidak penuh selama setahun. Padahal ketika wanita tersebut bekerja, performance mereka sama baiknya atau bahkan lebih baik dari peers-nya yang mendapatkan performance appraisal lebih tinggi. Hal ini tentunya memperkecil kesempatan wanita untuk promosi dan menurunkan moral wanita dengan memberikan kesan bahwa menjadi seorang wanita tidak dalam posisi on-track untuk menempati pucuk pimpinan di tempat bekerja.

  1. Social Pressure

Society pressure is real on working women. Menurut Forbes, wanita bekerja harus berhadapan dengan cibiran ketika menyempatkan dirinya mengunjungi sekolah anaknya seperti: “Baru kelihatan ya selama ini”. Berbeda dengan pria yang bahkan akan dipuji ketika berkunjung ke sekolah anaknya. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa bersalah pada wanita bekerja karena dianggap tidak menjadi Ibu yang baik. Wanita bekerja tersebut melakukan additional effort (di luar tantangan pekerjaannya) untuk berhadapan dengan rasa bersalahnya and make peace with it.

Tidak sedikit hasil riset dan bukti nyata yang memperlihatkan bahwa keberadaan lebih banyak wanita pada jajaran pimpinan membawa lebih banyak manfaat, seperti performa keuangan yang lebih baik, membawa cara pandang yang segar di tengah-tengah pemimpin pria, dan sebagainya. Apabila organisasi serius untuk meningkatkan proporsi wanita dalam posisi pimpinan, kepercayaan, stereotyping, dan perlakuan yang ada di organisasi perlu dilihat kembali dengan hati-hati untuk melihat apakah merugikan wanita untuk mencapai posisi pucuk pimpinan. Wanita juga perlu diberi kesempatan yang sama dengan pria di tempat kerja. Kalau kesempatan saja tidak diberikan, bagaimana bisa membuktikan?

Selain itu, masyarakat tentu harus mendukung dengan cara sedikit demi sedikit mengubah cara pandang bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab seorang wanita/Ibu saja, tetapi tanggung jawab yang setara antara kedua orang tua.

Transformasi Digital di Dunia Kerja

Transformasi Digital di Dunia Kerja

Sudah hampir setahun pandemi COVID-19 melanda berbagai negara di dunia. COVID-19 secara tidak langsung memberikan dampak yang luar biasa besar terhadap perubahan pola hidup masyarakat luas. Lembaga pendidikan ditutup dan memaksa para murid dan guru untuk berkegiatan belajar mengajar di rumah. Begitu pula dengan banyaknya perusahaan yang menerapkan kebijakan bekerja dari rumah, atau yang dikenal dengan istilaah Work From Home (WFH). Teknologi dan transformasi digital merupakan aspek yang dirasakan sangat penting demi menunjang kegiatan-kegiatan tersebut. Sudah banyak perusahaan yang menerapkan transformasi digital demi mendukung pelaksanaan pekerjaan para pegawainya demi mencapai tujuan perusahaan. Namun, tidak sedikit dari kebijakan perubahan pola kerja yang mengandalkan teknologi ini menimbulkan tantangan pada saat penggunaan, baik dirasakan oleh perusahaan atau pemberi kerja maupun pekerja yang menggunakannya.

Teknologi digital sangat memiliki peran krusial untuk mendorong efisiensi dan kecepatan pekerjaan. Akan tetapi, transformasi digital dalam suatu perusahaan tidak hanya tentang persoalan teknologi saja. Transformasi digital dengan dukungan teknologi yang modern juga memerlukan perubahan mindset atau pola pikir tentang bagaimana perusahaan memberikan nilai lebih bagi stakeholders dan konsumennya. Tanpa didukung dengan keterampilan para pekerjanya dalam menggunakan sistem digital, hal tersebut bisa jadi berjalan tidak seperti yang diharapkan.

Berdasarkan Digital Transformation Trends Survey di tahun 2018 dalam penerapan transformasi digital di beberapa perusahaan, tantangan terbesar yang dihadapi oleh perusahaan bukanlah terkait dengan perubahaan sistem atau teknologi yang diterapkan. Namun, sebesar 74% merespon bahwa hal yang tersulit dengan adanya transformasi digital dan proses bisnis adalah perubahan budaya perusahaan. Secara umum, manusia sangat sulit untuk menerima perubahan hingga merasa skeptis terhadap penerapan teknologi seperti ini. Hal inilah yang membuat sebagian orang berpikir dan merasa kesulitan dengan penerapan teknologi digital dalam bekerja. Selain hal itu, penerapan transformasi digital juga memberikan tantangan-tantangan lainnya, seperti banyaknya pekerja berusia lanjut yang sulit beradaptasi menggunakan teknologi, timbulnya gaya hidup baru yang menuntut perusahaan memberikan kenyamanan dan keseimbangan waktu kerja (work life balance), sulitnya mendapatkan pekerja yang berkemampuan digital yang baik, hingga hambatan dari sisi regulasi dan ketentuan yang menyulitkan penerapan transformasi digital.

Tantangan-tantangan tersebut sebenarnya bisa diminimalisir asalkan perusahaan dapat memberikan komitmen sepenuh hati terhadap penerapan transformasi digital kepada para karyawannya. Dalam hal ini, pimpinan perusahaan harus dapat menyampaikan visi, tujuan dan ekspektasi yang jelas kepada karyawannya terhadap penerapan transformasi digital di perusahaannya. Komunikasi dapat dilakukan dengan menyampaikan manfaat, kelebihan dan makna dari pekerjaan para karyawannya yang harus diubah secara digital. Pimpinan perusahaan yang terus berkomunikasi dan menerima feedback dari karyawannya serta terus menyempurnakan penerapan transformasi digital akan mendorong semangat bekerja pada karyawannya. Peran pimpinan untuk menjadi role model dalam proses implementasi transformasi digital adalah hal yang penting. Pimpinan harus berada di formasi paling depan dalam memakai teknologi baru yang akan diimplementasikan agar karyawan terdorong untuk ikut memakainya. Selain itu, pelatihan yang rutin sangatlah diperlukan khususnya bagi karyawan yang memerlukan perhatian khusus, seperti karyawan lanjut usia. Dengan memberikan pelatihan rutin, niscaya para pekerja akan termotivasi dalam menggunakan teknologi yang seharusnya banyak memberikan kemudahan dalam bekerja.

Perusahaan juga dapat terus meningkatkan employee experience dalam menggunakan teknologi. Berdasarkan penelitian IDC Market Spotlight di tahun 2020, employee experience mengacu pada bagaimana yang dirasakan dan dialami oleh karyawan saat bekerja dengan atasan, kolega dan ekosistem secara luas termasuk ekosistem digital yang diterapkan dalam perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan harus mampu untuk memahami karyawannya, baik dari segi keterampilan, pengetahuan, pengalaman dan hal yang disukai oleh para karyawannya. Dari pemahaman akan karyawan-karyawannya, perusahaan kemudian dapat memberikan alat, sistem atau solusi digital yang tepat pada orang yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Apabila perusahaan tidak dapat memberikan teknologi atau sistem yang tepat, kurang berjalan dengan baik dan cenderung kuno, karyawan justru tidak dapat bekerja secara produktif dan cepat. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat kebahagiaan karyawan dan motivasinya.

Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus dihadapi oleh perusahaan dalam menerapkan transformasi digital dalam perusahaan. Namun di samping itu semua, karyawan juga harus terus meningkatan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan terkait dengan kapasitasnya menggunakan teknologi digital. Oleh karena itu pula, literasi digital untuk saat ini menjadi hal yang penting untuk dimiliki seseorang yang bekerja pada perusahaan yang sudah menerapkan transformasi digital pada perusahaannya.

Bos Ideal

Sebuah survey terbaru yang dilakukan oleh DDI menjelaskan bahwa mayoritas sebesar 57% keluar dari pekerjaannya karena bos mereka. Bahkan 14% dari 57% tersebut keluar tidak hanya sekali tetapi beberapa kali dari pekerjaan hanya karena masalah dengan bos mereka. Hanya 12% yang menyatakan tetap di pekerjaannya meskipun bermasalah dengan bos, dan sebanyak 32% baru mulai berfikir akan keluar.

Sebegitu dahsyatnya pengaruh seorang bos kepada keberadaan anak buahnya. Memangnya bos seperti apa sih yang diidamkan oleh mereka? Ada nggak sih bos yang ideal di dunia nyata? Pemain MU pasti mencari sosok pengganti Sir Alex Ferguson. Liverpool sedang menikmati masa bulan madu dengan Juergen Klopp. Klub basket San Antonio Spurs pasti khawatir kehilangan Greg Popovich.

Topik ini sudah ada sejak dulu kala, dan sudah banyak teori dan buku yang ditulis. Mulai dari Kurt Lewin dengan 3 gaya kepemimpinan otoriter, partisipatif dan delegasi, kemudian Jim Collins dengan Good To Great, sampai dengan Dave Ulrich dengan Leadership Code-nya. Semua teori tentu bagus disimak dan yang lebih penting lagi adalah mengambil pelajaran untuk diterapkan dalam keseharian kerja kita.

Memimpin dengan visi dan nilai tertentu. Seorang pemimpin harus memiliki visi, kemana arah tujuan pelaksanaan tugas. Dia harus mampu meyakinkan bahwa destinasi akhir misalnya adalah ke Bandung. Dengan demikian anak buah tidak ada yg berfikir tujuan akhir mereka di Medan atau Denpasar. Untuk bisa mencapai destinasi tersebut, seorang pemimpin harus memiliki nilai tertentu. Bahwa semua penumpang di bis menuju bandung tersebut perilakunya harus (misalnya) transparan, memiliki integritas dan bertanggung jawab. Dia adalah orang pertama yang harus menjadi contoh dari perilaku tersebut dalam perjalanan ke Bandung.

Mampu mengambil keputusan strategis. Tentu perjalanan ke Bandung tidak akan semudah yang kita bayangkan. Banyak keputusan yang harus diambil. Kendaraan apa yang digunakan. Ketika jalan tol ditutup, harus reroute lewat mana. Berapa pemberhentian yang akan dilakukan dan dimana. Mengambil tindakan kalau ada penumpang yang “nakal” tidak sesuai dengan nilai yang disepakati. Kesemua itu menuntut seorang pimpinan harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan. Mana keputusan yg boleh didelegasikan ke supir dan mana keputusan strategis yg harus dia ambil sehingga destinasi dapat ditempuh sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Mempersiapkan anak buah untuk menjadi pengganti. Seorang pemimpin harus mampu mengidentifikasi anak buah yang potensial yang akan menggantikan dirinya. Kita tidak mengetahui apakah sepanjang jalan kondisi pimpinan akan baik-baik saja, atau kurang sehat atau bahkan harus keluar dari bis karena ada keperluan lain. Pemimpin sudah mempersiapkan bahwa perjalanan harus tetap dilakukan dengan siapa menjadi pimpinan. Sang calon pengganti tidak bisa serta merta siap, namun harus sering diajak diskusi. Diberi penjelasan. Ditambah pengetahuannya. Diberikan cara untuk mencari jalan keluar apabila ada halangan. Dengan demikian, sang calon pengganti ini akan siap bila tiba waktunya di sepanjang perjalanan harus menggantikan. Jangan sampai malah sang pengganti mengubah tujuan tidak ke Bandung, malah ke Serang. Kemudian menyalahkan pimpinan yang lama karena mengambil tujuan ke Bandung.

Terus menerus belajar untuk memahami perkembangan di seputar dunia kerja. Sepanjang perjalanan ke Bandung pasti akan banyak dinamika. Ternyata ada opsi kendaraan yang lebih baik. Ada bis yang lebih nyaman. Kecepatan bis sebaiknya berapa agar lebih efisien. Alternatif rute baru sehingga bisa lebih efektif mencapai tujuan. Kesemua informasi itu tidak akan diperoleh apabila pimpinan tidak mau belajar atau mendengar masukan tentang hal yang baru. Ketika seorang pimpinan selalu merasa lebih benar dan lebih paham dari yang lain, maka sudah bisa diproyeksikan bahwa destinasi akhir tidak akan tercapai. Semua halangan dan semua tantangan selama perjalanan perlu didiskusikan bersama untuk memastikan perjalanan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Gagal untuk menerima masukan mengenai rute alternatif baru misalnya, akan membuat bis kita akan tertinggal dengan bis lain yang tujuannya sama.

Sekali lagi memang tidak ada rumus pimpinan yang ideal seperti apa. Tapi setidaknya berdasarkan survei, studi banding, riset akan diperoleh karakter umum seorang pemimpin. Karakter umum ini bisa berbeda setiap orang. Menurut kamu sendiri boss yang ideal kriterianya seperti apa?

Burn Out

Teman-teman, pernah ngga sih kalian ngerasain stress di tempat kerja yang terlalu sering, sampe-sampe tempat kerja kita rasanya udah “bukan gue banget”, pengen resign tapi masih butuh pendapatan yang stabil, tugas-tugas di depan mata juga entah mengapa udah ngga menarik lagi. Pokoknya segalanya terasa hampa di hati. Tau ngga kalo kondisi seperti ini istilah kerennya disebut juga “burnout”. Kalo di translate ke bahasa kita sih artinya “terbakar habis”. Tapi dari definisi umumnya, “burnout” artinya kehilangan passion dari sebuah pekerjaan, disertai rasa kelelahan mental, fisik, atau emosional, yang disebabkan oleh stress di tempat kerja secara terus menerus dan tidak terselesaikan. Pada 2019, World Health Organization (WHO) memasukkan fenomena “burnout” ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11), meskipun sebenarnya bukan penyakit medis. Riset WHO juga menyebut bahwa stress di tempat kerja melanda hampir 615 juta penduduk dunia dan menyebabkan kerugian $1 triliun per tahunnya karena produktivitas kerja yang menurun.  

Sebuah survei dari Gallup terhadap 7500 orang pekerja menemukan 5 penyebab utama “burnout” seseorang. Pertama, perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Siapa sih yang suka dengan ketidakadilan, kita sudah kerja banting tulang tapi yang dapat kredit justru orang lain; unequal opportunity; atau bisa juga benefit kerja yang kita dapat lebih rendah daripada peers kita. Kedua, beban kerja yang berlebihan. Setiap orang memiliki ambang batas stamina berpikir dan beraktivitas. Bila batas tersebut terlewati, maka kondisi fisik dan psikis akan menurun dan justru membuat kita tidak produktif dan stress. Jadi, jika pekerjaan kamu setiap hari mengharuskan kamu untuk kerja lebih dari 8 jam sehari bahkan lembur hampir tiap hari, mungkin ada baiknya mencari opsi pekerjaan di tempat lain. Ketiga, visi yang tidak jelas. Mencari arti dari sebuah pekerjaan bukan perkara mudah. Bila pemimpin perusahaan/organisasi di tempat kamu tidak mampu menunjukkan visi perusahaan ke depan mau seperti apa, maka kamu akan terjebak dengan rutinitas yang monoton. Mata kelihatan lesu padahal baru datang di pagi hari, dan setiap hari kita bekerja hanya untuk uang. Tidak lebih.

Keempat, kurangnya komunikasi dan dukungan atasan. Atasan yang merasa exclusive dan egosentrik dapat menurunkan morale bawahannya. Bagaimanapun, bawahan memiliki kebutuhan untuk mendapat feedback yang baik dan juga kredit/pujian/apresiasi atas prestasi kerjanya. Begitu pula atasan juga memiliki kebutuhan untuk memonitor bawahannya agar performa kerja menjadi prima dan sustainable dalam jangka panjang. Kurangnya empati dari supervisor dapat membuat bawahan semakin acuh dan merasa bukan bagian penting dari perusahaan. Kelima, tekanan deadline pekerjaan yang tidak masuk akal. Siapa sih yang suka ketika pulang kerja tiba-tiba dapat WA dari bos yang minta kita menyelesaikan tugas di rumah dan harus selesai malam ini atau besok pagi? Kalo hanya terjadi sekali dua kali setahun sih mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau terjadi di tempat kerja kamu hampir tiap minggu, itu tanda yang tidak sehat yang hampir pasti memicu stress dan depresi.

Kebanyakan orang merasa bahwa fenomena burnout disebabkan oleh pegawai yang bermasalah; dia tidak kompeten, dia tidak tahan banting, dia tidak pantas bekerja di sini, dia punya masalah mental, dia gila, dan lain-lain. Padahal tidak. Burnout adalah masalah organisasi. Ada dua sisi, satu adalah permasalahan menciptakan motivasi, dan kedua adalah permasalahan benefit fisik. Lingkungan dan sistem kerja yang mendorong motivasi bekerja harus dibangun oleh pemimpin perusahaan dan manajemen. Misalnya memberikan pekerjaan yang menantang, apresiasi atas pencapaian pegawai, kesempatan melakukan hal yang “meaningful” bagi orang lain, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perlakukanlah pegawai layaknya “owner”, dan mereka akan menunjukkan hebatnya kinerja mereka, bukan sebagai “tools” yang replaceable. Di samping itu, perusahaan juga harus mampu menyiapkan “physical” benefit yang cukup bagi kelangsungan hidup pegawai. Misalnya standar gaji dan bonus; fasilitas kerja, administrasi/kebijakan perusahaan yang fleksibel, akuntable, dan efisien; hubungan kerja dan pola komunikasi antar unit yang baik; serta keamanan di masa pensiun. Dua faktor ini adalah kunci bagi perusahaan untuk menghindari fenomena burnout para pegawainya dan me-retain talent-talent terbaiknya.

Toxic Leader

Boys and girls, pernah gak sih kalian ketemu bos-bos yang perilakunya gak layak dicontoh? Kalian juga  merasa tindak-tanduk bos-bos ini merusak suasana di tempat kerja? Gak enak kan punya bos kayak gini. Bos semacam ini lebih populer disebut Toxic Leader. Ciri-ciri Toxic Leader sebenarnya sangat banyak, yang paling sering ditemui biasanya berciri arogan, mudah tersinggung (baper), kurang empati, kurang berintegritas, diskriminatif, hipokrit, narsistik, dan manipulatif. Ciri-ciri tersebut tidak harus dimiliki semuanya oleh seorang Toxic Leader, perpaduan beberapa traits tersebut mungkin saja kita temui pada seorang Toxic Leader. Pola kepemimpinan Toxic Leader hampir selalu autokratik (top-down), pola kerjanya kebanyakan micromanaging (control freak), dan punya kebiasaan hypercritical (mengkritik bawahan secara berlebihan), namun ada pula yang hypocritical (enggan memberi kritik ke bawahan). Pakar leadership dan ex-CEO GE, Jack Welch, menyebut bahwa salah satu bentuk leadership terburuk adalah seorang pemimpin yang enggan mengkritik anak buahnya disaat mereka berbuat kesalahan, namun menghukum mereka pada saat periode penilaian kinerja.

Menurut beberapa penelitian ilmiah, lahirnya Toxic Leader dimulai dengan initial condition kurangnya kecerdasan emosional dan permasalahan psikologis seseorang. Sebelumnya banyak yang menduga bahwa kurangnya skill teknikal dan kognitif menjadi penyebab seorang leader menjelma menjadi Toxic Leader. Namun kenyataannya, banyak Toxic Leader yang justru sangat cerdas dengan reasoning skill yang tinggi. Nama Jeff Skilling mungkin agak asing di telinga kita orang Indonesia, bagaimana dengan Enron? Ya, dia adalah mantan CEO Enron di era 90-an yang menggemparkan dunia keuangan dengan keterlibatannya dalam salah satu kasus penipuan/fraud dan insider trading terbesar di dunia. Dari konteks leadership, Jeff Skilling “memanipulasi” para bawahannya bahwa kondisi perusahaan baik-baik saja, dan dia juga tidak segan menghukum pegawai yang tidak sejalan dengan dia. Para pegawai pun patuh dan menyembunyikan fakta perusahaan yang sebenarnya karena takut dipecat.

Toxic Leader sejatinya akan menumbuhkan benih-benih Toxic Culture di lingkungan kerja. Dan pada akhirnya, suasana Toxic Culture akan menciptakan lebih banyak Toxic Leader/toxic manager di dalam organisasi. Ibarat racun yang menyebar ke seluruh tubuh, Toxic Leader harus cepat disingkirkan. Ini akan mudah dilakukan bila kita menemukan Toxic Leader pada level mid-management. Chairman atau CEO bisa dengan mudah menyingkirkannya. Namun hampir tidak mungkin menyingkirkan Toxic Leader jika dia justru merupakan orang nomor satu (Chairman atau CEO) dalam sebuah organisasi. Kadang cara satu-satunya adalah meminta bantuan dari luar organisasi, bisa pemegang saham pengendali atau stakeholder lain. Untuk melakukan hal ini juga tidak mudah, banyak risiko yang dipertaruhkan, seperti reputasi organisasi yang tercoreng atau malah menyerang balik pegawai whistle blower sehingga dia kehilangan jabatan, nama baik, pekerjaan, atau dalam beberapa kasus ekstrim mengancam keselamatan pribadinya.

Setidaknya ada 3 mekanisme pada saat Toxic Leader semakin menghasilkan Toxic Culture. Pertama, ketidakmampuan mengelola prioritas. Leader yang efektif tahu apa yang menjadi tujuan terpenting dari organisasinya dan mampu meyakinkan bawahannya untuk mengikuti tujuan tersebut. Pada saat leader tidak mampu membuat prioritas, maka akan banyak rapat-rapat tidak produktif, yang mengurusi hal-hal pseudo-important, membuat goals terlalu banyak dan tidak fokus. Dampaknya, dapat membuat bawahannya menjadi kebingungan mana pekerjaan yang harus diselesaikan.

Kedua, persaingan tidak sehat. Persaingan adalah hal yang biasa dalam sebuah organisasi. Tapi terkadang seorang leader tidak sadar tentang pentingnya membangun lingkungan persaingan yang sehat diantara bawahannya. Sebabnya bisa bermacam-macam, Toxic Leader mungkin lebih prefer bekerja dengan seseorang yang dekat secara personal, kedaerahan, kesukuan, agama, atribut fisik, dan sebagainya, tanpa melihat kinerja sebenarnya. Serta tidak memberi kesempatan bawahan yang lain untuk menunjukkan kemampuannya, hanya karena malas reinvent the wheel melakukan coaching. Hal ini sering disebut favoritisme (lihat artikel Bacapikir.com tentang Favoritisme). Persaingan yang tidak sehat menurunkan trust antar pegawai, sehingga akan timbul demotivasi, perilaku self-protection dan bahkan self-interest yang semakin mengarah ke konflik dalam organisasi.

Ketiga, konflik yang tidak produktif. Konflik diantara pegawai atau unit organisasi adalah sebuah hal yang umum terjadi. Seorang leader yang baik harus mampu mengelola konflik dan menyelesaikannya dengan objektif. Namun seorang Toxic Leader justru menjadi bagian dari konflik tersebut. Perilaku yang seharusnya inklusif, tapi malah meng-exclusive kan diri dan merasa yang paling benar. Seringkali yang dipermasalahkan justru bukan goals utama organisasi, tapi justru perkara yang tidak produktif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok leader yang berkinerja tinggi, sebanyak 87% dari mereka mampu mengatasi konflik dan 82% bertukar feedback satu sama lain. Dan kelompok leader yang berkinerja rendah, hanya sebanyak 44% dari mereka yang mampu mengatasi konflik dan hanya 52% yang bertukar feedback satu sama lain. Hasil akhirnya sangat jelas, pada kelompok leader berkinerja tinggi akan memiliki tim dengan keterikatan pegawai (employee engagement) yang tinggi, yaitu 87%, sedangkan untuk kelompok leader berkinerja rendah, employee engagement timnya akan drop ke 45%.

Jadi, bagi organisasi yang ingin berbenah mencegah toxic leader menjadi toxic culture. Cara pertama adalah menyingkirkan toxic leader tersebut jika sudah tidak bisa berubah/diubah. Bila tidak bisa disingkirkan, maka cara lain adalah menciptakan sistem kerja (strategic management, human resources & culture management, performance management, dsb) yang tidak memungkinkan ketiga mekanisme diatas terjadi. Ya.. sembari berdoa semoga si toxic leader tidak ngutak-ngatik sistem kerja tersebut. 😊

Favoritisme

Kita sudah bekerja sebaik mungkin, tapi nggak dapat kondite yang bagus. Kita sudah dedikasi waktu pikiran dan tenaga kepada perusahaan, tapi nggak dapat promosi juga. Kita terus melihat rekan yang lebih junior mendapat promosi lebih dahulu, padahal kerjanya biasa saja. Sampai kemudian kita mendengar bahwa rekan junior tersebut adalah satu almamater dengan atasan kita. Rasanya kesal banget, tetapi itulah dunia kerja. Hal itu biasa disebut dengan favoritism atau di Indonesiakan menjadi favoritisme. Seseorang mendapat kesempatan lebih besar dibanding yang lain, bukan karena kinerja tetapi hal di luar kinerja. Contoh lainnya adalah seseorang yang terus menerus mendapat tugas yang lebih menantang, padahal tidak sesuai dengan kemampuan dan kinerjanya sementara ada rekan lain yang lebih mampu tidak mendapat kesempatan. Berhubung kinerja terkit langsung kesempatan promosi dan bonus, maka favoritisme menjadi masalah penting dalam bekerja.

Favoritisme punya bentuk lain, yaitu nepotisme. Seseorang mendapat kesempatan tugas atau karir yang lebih baik dari yang lain karena hubungan keluarga. Ada sebuah survey di Amerika Serikat memberikan fakta bahwa 22% dari anak laki-laki akhirnya bekerja di perusahaan yang sama dengan ayahnya. Tentunya hasil suvey ini tidak selalu negatif, karena bisa saja anak yang direkrut memang memiliki kemampuan. Namun apabila dia direkrut melulu berdasarkan hubungan keluarga, maka termasuk kategori nepotisme.

Gimana praktek favoritisme dan nepotisme di Indonesia? Pada jaman orde istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) amat populer. Disilnyalir hampir semua pengusaha yang sukses di negeri ini ternyata memiliki hubungan dengan penguasa. Maka rumusnya mau sukses di Indonesia, maka jalinlah hubungan dengan keluarga pengusaha. Semua proyek menjadi lancar. Dunia pekerjaan juga tidak beda, penunjukkan seseorang menjadi seorang menjadi pejabat atau pemimpin BUMN harus terkait dengan penguasa. Di tingkat perusahaan, hal ini kemudian berlanjut dimana kita kenal istilah ABS atau asal bapak senang. Yang bisa menyenangkan atasan menjadi favorit dan merupakan kandidat utama menjadi pimpinan. Kompeten nggak? Nggak begitu penting. Oleh karena itu budaya KKN masih mendarah daging dan dipraktekkan meskipun di belakang layar.

Favoritisme dan nepotisme adalah hal yang biasa kita temukan di keseharian bekerja. Hal yang manusiawi namun memberikan dampak negatif yang luar biasa. Negara, khususnya Lembaga atau Perusahaan Negara tidak mampu berkinerja apabila masih ada praktek KKN. Apabila sebuah lembaga negara sangat penting bagi kehidupan rakyat banyak, maka bisa dipastikan karena ulah KKN ini maka rakyat yang akan menderita. Kaum pesimis akan mengatakan, “bangun bro, dunia tidak hanya hitam atau putih”. Benar, tetapi jangan ada toleransi untuk hal yang amat krusial seperti jabatan-jabatan penting di negeri ini.

Pratek ini tidak hanya terjadi di Indonesia tentunya. Kalau kita melihat film Jepang, Korea, Eropa dan Hollywood, favoritisme adalah hal yang biasa, dan selalu menjadi tema menarik dalam membuat film. Mari kita lihat hasil survey yang dilakukan oleh CBS mengenai favoritisme:

  • Sebanyak 56% dari pimpinan sudah mengetahui siapa yang akan dipromosikan walaupun proses seleksi belum dilaksanakan;
  • Setelah proses seleksi dilakukan 96% dari 56% kandidat tersebut mendapat promosi;
  • Budaya favoritism sudah dipraktekkan dimana-mana. 75% dari reponden menyaksikan hal tersebut, dan bahkan 23% dari responden ikut mempraktekkan. Lucunya dari 23% yang mempraktekkan tersebut sebanyak 83% mengatakan bahwa praktek favoritism adalah buruk;
  • Sebanyak 94% dari responden mengatakan bahwa perusahaan sudah memiliki sistem yang data meminimalisir praktek tersebut, namun dalam implementasinya berbeda;

Ada beberapa jenis dampak negatif dari praktek ini. Antara lain adalah demotivasi, penolakan, hilangnya pegawai yang potensial dan bahkan sampai tuntutan hukum. Apa yang harus dilakukan apabila kita dalam situasi seperti ini:

  • Evaluasi keadaan, jika kamu tidak bisa menerima kondisi ini, sebaiknya segera cari alternatif pekerjaan di tempat lain. Jangan lupa kalau pindah kerja, jangan hanya besaran gaji yang ditanya, tetap suasana dan budaya kerja di perusahaan tersebut menjadi amat penting;
  • Menerima keadaan sambil mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Barangkali situasi kantor akan berubah dan menjadi pebih baik ke depannya;
  • Ikut berubah dan secara aktif ikut berusaha untuk menyenangkan atas. Tapi bukan berarti menyenangkan untuk hal-hal yang tidak terkait dengan pekerjaan ya bro. Buat atasan tergantung dengan kamu dalam hal pekerjaan, pasti kamu jadi orang paling favorit bagi dia.

Sudah ada alternatif pilihan. Kamu mau pilih yang mana?

High Performance Organization (Bagian 1)

Engagement pegawai yang rendah, turnover rate pegawai yang tinggi, struktur organisasi yang terlampau rumit (vertikal maupun horizontal), kinerja di mata stakeholders yang biasa-biasa saja, pengambilan keputusan strategis yang tidak konsisten dan transparan, dan nuansa inkompetensi dalam jabatan strategis. Ini adalah beberapa indikasi organisasi atau perusahaan Anda dalam kondisi sakit (poor performance). Sayangnya, banyak top level manager/eksekutif yang tidak menyadari bahwa organisasi dibawah komandonya sedang mengalami hal tersebut, sampai pada suatu titik kegentingan yang sudah irreversible dan berujung pada keruntuhan atau kebangkrutan.

Loyonya kinerja organisasi tidak terlepas dari banyak faktor penyebab. Yang paling umum dan biasanya paling kasat mata adalah permasalahan inkompentensi pegawai (bisa bawahan atau pimpinan) dan sistem pendukung yang kurang baik, seperti kebijakan Manajemen SDM yang tidak tepat, Manajemen Kinerja yang tidak adil & transparan, proses bisnis yang ruwet, dan sistem pendukung lain yang belum optimal. Secara umum, kinerja sebuah organisasi merupakan agregat dari kinerja seluruh pegawai didalamnya. Tidak mungkin sebuah organisasi berkinerja baik, namun para pegawainya justru berkinerja buruk, begitu pula sebaliknya, tidak mungkin sebuah perusahaan berkinerja buruk, namun para eksekutif dan karyawannya berkinerja baik.

Teorinya, kinerja seorang pegawai dapat diukur dengan rumus sederhana: PERFORMANCE = ABILITY x MOTIVATION, dengan kata lain, kinerja (performance) merupakan fungsi dari kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Seseorang yang tidak bekerja dengan baik hanya ada dua inherent cause-nya: yaitu masalah kemampuan (ability) dan kemauan (motivation). Orang yang belum mampu bekerja dengan baik, itu menunjukkan kalau dia butuh dilatih. Sedangkan orang yang belum mau bekerja dengan baik, menunjukkan kalau dia butuh dimotivasi. Tidak ada cara lain.

Mengukur kompetensi pegawai dan kebutuhan pelatihan pun bukan perkara mudah, banyak organisasi atau perusahaan yang salah kaprah mengelola talenta terbaiknya akibat pengelolaan SDM yang tidak becus. Di sisi lain, perkara membangun motivasi pegawai akan lebih luas lagi spektrum masalahnya, bisa saja akar penyebabnya berasal dari kultur perusahaan yang buruk, salary dan fasilitas yang tidak memuaskan, skema pengembangan diri dan jenjang karir yang tidak jelas dan menghilangkan antusiasme bekerja, atau justru memang dasar pegawainya saja yang nggak beres. Bisa macam-macam. Saya sendiri percaya bahwa pucuk pimpinan adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap organisasi yang berkinerja buruk. Seperti rumus yang tadi saya sampaikan, akar masalah bisa dari pemimpin yang tidak kompeten dalam memimpin, atau tidak punya motivasi untuk memimpin dengan baik. Dan ingat, menjadi pemimpin bukan perkara tentang menyuruh-nyuruh orang saja, tapi harus mampu bijaksana, berani berbuat adil, lebih banyak mendengar daripada ngomong, result oriented, siap dikritik dan disalahkan, tidak baperan, serta decisive pada saat anak buah membutuhkan arahan dan keputusan.

The Century Club

Januari 1995. Pukul 5 pagi. Kota Kobe dihantam oleh gempa 20 detik berkekuatan 7,3 skala Richter yang menewaskan 6.000 orang lebih, melukai 40.000 orang, membuat 300.000 orang kehilangan rumah, merusak jaringan transportasi, dan meluluhlantakkan gedung bertingkat. Namun, ternyata terdapat gedung yang dapat bertahan dari gempa catastrophic ini karena memiliki fondasi yang kuat dan tepat dalam menghadapi gempa: base isolation.

Lihat barang di sekitar Anda. Anda dapat menemukan produk yang diproduksi oleh organisasi yang berumur lebih dari 100 tahun: Coca Cola di kulkas Anda atau General Electrics (GE) di perangkat elektronik Anda. Kira-kira hal apa ya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang digolongkan “Century Club” sehingga mereka dapat bertahan hidup 100 tahun lebih? Mengacu kepada Harvard Business Review dan hasil penelitian satu dekade Vicki Tenhaken terhadap organisasi “Century Club”, berikut garis besarnya.

Faktor pertama dan utama, mereka serius dengan fondasi mereka: misi, visi, nilai, dan budaya organisasi. Mereka percaya dan mempraktikkannya dalam tindakan sehari-hari, terlebih lagi Pimpinan. Terkadang organisasi “Century Club” tidak memiliki misi, visi, nilai, dan budaya tertulis. Tapi bagaimana hal tersebut dapat diteruskan dari generasi ke generasi? Hal tersebut dikarenakan Pimpinan secara konsisten menekankan dan memperlihatkan bahwa fondasi mereka (misi, visi, nilai, dan budaya organisasi) adalah hal krusial dalam mencapai sukses organisasi.

Kedua, organisasi “Century Club” memiliki manajemen perubahan dan kemampuan beradaptasi yang baik dalam menghadapi segala perubahan dan tantangan yang terjadi dalam seratus tahun terakhir, to name a few: Perang Dunia, depresi ekonomi, pandemi, kemajuan pesat teknologi, bencana alam, dan sebagainya. Semua pengalaman tersebut makin mengokohkan mereka sebagai organisasi.

Terakhir, terletak pada hubungan organisasi “Century Club” dengan stakeholder-nya: pegawai, pelanggan, dan masyarakat sekitar. Organisasi “Century Club” melihat pegawai, pelanggan, dan masyarakat sekitar sebagai faktor penting kesuksesan mereka. Pegawai dikembangkan dan dipelihara dengan baik oleh organisasi. Pegawai  pun memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi kepada organisasi. Dengan pelanggan, organisasi “Century Club” memiliki hubungan yang saling suportif dan penuh trust, yang memungkinkan pembelajaran bagi organisasi. Dengan masyarakat sekitar, organisasi “Century Club” memiliki komitmen untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar, baik secara sosial maupun komersial.

Organisasi “Century Club” memiliki semua hal tersebut di atas, tidak berat ke salah satu aspek saja. Bagaimana dengan organisasi yang Anda kelola?

Parkinson Law

“I’m young; I’m handsome; I’m fast. I can’t possibly be beat.” (Muhammad Ali)

Kata Parkinson dan quotes di atas mengingatkan kita kepada Muhammad Ali, The Greatest. Petinju terbesar sepanjang masa ini menghabiskan waktu tuanya bertarung dengan parkinson disease. Tapi kali ini kita tidak akan membahas mengenai parkinson pada Muhammad Ali, tetapi lebih kepada penyakit yang umumnya ada di organisasi. Parkinson law diartikan sebagai “work expands so as to fill the time available for its completion”. Jadi kalau manusia dikasih pekerjaan dan banyak waktu luangnya, dia akan kreatif mengisi waktu luangnya dengan akitivitas lain. Sayangnya aktivitas ini tidak terkait, dan ataupun bila terkait tidak menambah kualitas hasil. Ini menjadi alasan utama sebuah posisi perlu dihitung beban kerjanya.

Mengapa harus dihitung beban kerjanya? Karena beban kerja dengan alokasi yang tepat akan meghasilkan produktivitas yang optimal. Perhitungan beban kerja juga bisa dijadikan dasar alokasi jumlah manusia yang tepat untuk pelaksanaan tugas. Perhitungan beban kerja juga memberi informasi berapa waktu luang pada suatu posisi, sehingga organisasi bisa lebih mengetatkan beban tugas. Waktu luang berarti tambahan kerja yang tidak terlalu related sama pekerjaan, dan dalam jangka panjang malah membuat organisasi semakin besar dan inefisien. Kondisi Parkinson law ini terjadi di seluruh bentuk organisasi, namun umumnya ditemukan pada birokrasi. Struktur berjenjang dan rigid tidak memberikan fleksibilitas yang cukup untuk seseorang bisa berpindah tugas atau membantu pekerjaan di tempat lain.

Terdapat hubungan yang positif antara beban kerja dengan alokasi waktu yang diberikan. Semakin tinggi beban kerja, maka akan semakin banyak waktu yang dialokasikan. Namun pada suatu titik hubungan keduanya mencapai produktivitas optimal, dan setelah itu menurun. Oleh karena itu perencana organisasi yang baik akan lebih merekomendasikan memulai suatu organisasi dengan jumlah manusia yang sedikit, dan kemudian sambil berjalan beban akan dievaluasi sehingga diperoleh jumlah yang ideal. Permasalahan timbul ketika yang merencana organisasi mengakomodasi dan tidak memverikasi beban tugas berdasarkan masukan incumbent, hasilnya selalu waktu luang yang besar karena manusia biasanya selalu menghindari waktu kerja yang ketat. Sehingga secara total organisasi inefisien.

Bekerja dalam sebuah tim juga berpotensi besar mengalami kondisi parkinson law. Pertama, rencana kerja biasanya diberikan alokasi waktu luang. Kedua, setiap individu memiliki gaya bekerja yang berbeda. Dengan demikian dalam menyelesaikan sebuah kerja tim, ada orang yang memang memanfaatkan waktu dengan baik tetapi ada juga yang terlalu santai mengerjakan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Sehingga produktvitas tidak optimal. Atasan harus mampu menyusun alokasi waktu berdasarkan bawahan yang etos kerjanya baik, kalau tidak produktivitas akan menurun.

Kesimpulannya, menyusun sebuah organisasi bukanlah menyusun kotak-kotak jabatan saja, namun perlu juga dihitung beban kerja yang optimal. Perlu dihindari perhitungan atas dasar intuisi dan pengalaman saja, namun dilakukan secara ilmiah. Menyulitkan memang, namun dalam jangka panjang memberikan organisasi yang efektif dan efisien. Kecuali anda memang kurang peduli untuk bekerja efektif dan efisien, enjoy saja beban tugas yang rendah. Boleh asyik sendiri, tapi ingat jangan merugikan organisasi ya bro!

Budaya Kompetitif

Selesai menonton episode terakhir “The Last Dance” dipastikan banyak orang akan terinspirasi dan meniru Michael Jordan. Rasa kompetitif yang begitu tinggi menjadikan MJ sebagai pemain bola basket terbaik sampai dengan saat ini. Jangan hanya melihat kekayaan MJ yang sekarang mencapai 1.6 miliar dollar, namun perjalanan MJ untuk mendapatkan kekayaaan sebanyak itu amat menarik. MJ bahkan gagal masuk tim di SMA-nya tidak pernah putus asa dan terus berlatih, sehingga akhirnya bisa diterima dan kemudian mendapat beasiswa ke University of North Carolina (UNC). Kesuksesan tembakan di detik terakhir MJ menjadikan UNC menjadi juara NCAA. Tahun berikutnya setelah di-draft Chicago Bulls MJ menjadi rookie of the year, dan selanjutnya adalah sejarah. MJ memenangi kompetisi NBA sebanyak 6 kali. Seluruh episode “The Last Dance” menggambarkan betapa kompetitifnya MJ selama perjalanan karirnya, dan juga dalam menjalankan bisnisnya dengan Nike dengan brand “Jordan”. Tidak sedikit yang merasa kesal dengan arogansi MJ, namun mereka semua mengakui kehebatannya.

Cristiano Ronaldo juga demikian. Dikenal sebagai salah satu pesepakbola terkaya di dunia dengan kekayaan 460 juta dollar. Cristiano juga dikenal sebagai pesepakbola yang amat kompetitif, mnghabiskan waktu lebih lama dibanding teman satu tim. Dia sudah mulai berlatih satu jam sebelum waktu latihan bersama dan mengakhiri sesi dengan tambahan satu jam lagi untuk melatih tembakannya. Lima kali menjadi FIFA Player of The Year menjadi bukti kehebatannya, Apabila pesepakbola lain sudah memasuki usia pensiun pada usia 35, Cristiano masih berjaya dan menjadi andalan Juventus dalam merah scudetto Liga Italia. Disiplin dalam menjaga kebugaran menjadikan Ronaldo tetap fit dan bugar dalam usia sekarang. Cristiano juga dikenal sebagai sosok yang arogan, namun banyak yang mengagumi dan menjadikannya idola mereka.

Kita bisa melihat kesamaan antara Jordan dan Cristiano adalah kerja keras dan amat kompetitif. Cristiano tidak dikaruniai talenta yang luar biasa seperti Lionel Messi, tapi kerja keras menjadikannya lebih baik dari Messi. Banyak orang melihat mereka ketika sudah sukses, tetapi lupa untuk melihat proses mereka menjadi sukses dan menjaga kesuksesan mereka. Seperti kata Jenderal Norman Schwarzkopf, “success is sweet, but the secret is sweat”.

Bagaimana dengan budaya orang timur yang relatif malu dan tidak suka kompetisi? Mungkin ini menjadi masalah di dunia kerja di Asia dan Indonesia khususnya. Daripada mereka berupaya untuk bekerja keras dan berprestasi, yang dilakukan adalah menyenangkan pimpinan agar menjadi favorit sehingga karir menjadi lebih lancar. Hal ini sudah terjadi sekian lama, sehingga karyawan di perusahaan tersebut sibuk untuk melayani pimpinan saja. Setiap orang yang berfikir bahwa prestasi akan diikuti oleh karir akan kecewa dan demotivasi. Lebih parahnya apabila perusahaan masih memiliki ukuran keuangan sebagai sebuah indikator kesuksesan, namun tidak demikian dengan dunia birokrasi. Ukuran kinerja yang tidak jelas, membuat mereka tidak peduli dengan prestasi. Apabila terdapat ukuranpun kemudian dengan berbagai alasan dijustifikasi sehingga bisa diterima semua pihak. Pada akhirnya negara dan rakyat menderita dengan budaya yang demikian, karena tidak ada prestasi yang dihasilkan para pejabatnya.

Menteri negara BUMN yang baru, Erick Thohir, membawa perubahan. Beliau yang sudah dikenal sebagai pengusaha sukses tentunya tidak berniat mencari kekayaan lagi dari jabatannya. ET, panggilannya, melakukan reformasi di BUMN dan melakukan efisiensi dengan menghilangkan sekian banyak jabatan. Selain itu untuk kali pertama dalam sejarah menteri memiliki deputi di bidang human capital. Hal ini akan meningkatkan kinerja BUMN sehingga akan lebih kompetitif dan bersaing dengan perusahaan swasta. Seleksi kepemimpinan yang obyektif sesuai kinerja dan kompetensi akan memicu seluruh pejabat dan karyawan BUMN untuk berprestasi dan meninggalkan budaya menyenangkan atasan. Meskipun budaya tidak akan hilang dengan cepat, namun perjalanan sudah dimulai. Kita perlu dukung dan awasi bersama pelaksanaan tugasnya. Semoga kebiasaan pimpinan negeri ini untuk menitip akan semakin berkurang dan hilang. Semoga.

Organisasi Pembelajar

Salah satu karateristik milenial adalah mereka ingin selalu mendapatkan pengalaman dari yang yang dikerjakannya. Bila dalam proses penyelesaiannya mereka harus mengalami kesulitan, mereka tetap menikmati proses yang dijalani sampai selesai. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang perlu mendapat arahan pada setiap tahapan, mereka cenderung untuk melaksanakan tugasnya dengan cara dan jalannya sendiri. Saat ini milenial menjadi komposisi terbesar dari pekerja. Mereka sudah mencapai sekitar 60-70% dari total pekerja. Melihat karateristik milenial yang demikian, sudah saatnya organisasi juga menyesuaikan menjadi organisasi pembelajar sehingga memberi kesempatan kepada milenial untuk mengembangkan kompetensinya secara mandiri. 

Saat ini sistem informasi sudah semakin canggih, oleh karena itu organisasi harus mampu menciptakan sebuah mekanisme dimana pengembangan talenta tidak lagi tergantung inisiatif organisasi, tetapi lebih banyak atas dasar inisiatif talenta. Setiap orang didorong untuk peka terhadap lingkungan yang memberi pengaruh kepada kinerja organisasi. Setelah itu mereka diharapkan menyumbangkan pemikiran atau gagasan bagaimana organisasi beradaptasi dengan perubahan lingkungan tersebut. Apabila mekanisme ini sudah terbentuk dan berjalan dengan baik, maka akan terdapat sekian banyak gagasan untuk perubahan sehingga menjadikan organisasi atau perusahaan mampu beradaptasi dengan lingkungan dan bahkan mampu berkinerja lebih baik.

Tidak hanya menciptakan organisasi yang dinamis terhadap perubahan, tetapi organisasi juga perlu memberikan kesempatan pengembangan secara mandiri kepada talenta yang dimilikinya. Salah satu contoh adalah menciptakan materi atau modul pengembangan yang dapat diakses secara online. Dengan demikian talenta organisasi dapat mengakses materi tersebut setiap saat. Organisasi juga memberikan fasilitas ruang diskusi yang memadai baik secara online maupun fasilitas fisik. Dengan demikian proses diskusi berjalan dengan baik, sehingga interaksi tersebut kemudian secara perlahan akan mengembangkan talenta yang yang dimiliki secara optimal. Pelaksanaan seminar atau webinar juga diperbankan sehingga mereka dapat melakukan perbandingan apa yang dilakukan dengan kesuksesan orang lain. Organisasi perlu memastikan baik narasumber maupun diskusi yang terjadi bukan melulu kepada pengetahuan teknis, namun juga aspek perilaku manusianya. Dalam satu tingkatan tertentu, talenta hanya perlu diberikan inspirasi untuk kemudian mereka memotivasi diri sendiri untuk menjadi lebih baik.

Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pengmbangan mandiri tersebut, organisasi juga perlu melibatkan atasan melalui mekanisme mentoring. Ada beberapa alasan untuk melibatkan atasan, pertama atasan tentunya lebih berpengalaman dengan bisa menjadi narasumber. Selanjutnya atasan juga bisa sekaligus memantau proses diskusi apakah sudah selaras dengan kebutuhan organisasi. Terakhir, atasan juga bisa menjadi kepanjangan tangan organisasi untuk mengidentifikasi talent yang potensial untuk masuk ke dalam pool yang selanjutnya akan dikembangkan secara khusus dan sistematis oleh organisasi. Umumnya talenta akan lebih termotivasi apabila kegiatan yang dilakukannya mendapat perhatian atau dipantau oleh organisasi sehingga mereka akan berlomba-lomba untuk mengembangkan kompetensi mereka.

Kesalahan umum dalam pengelolaan talenta biasanya disebabkan oleh generation gap. Para pimpinan yang membuat keputusan berasal dari generasi sebelumnya yang memiliki karateristik dan pola pikir yang beda. Mereka berfikir dan kemudian membuat sebuah kebijakan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Sementara dunia sudah amat berubah, mereka lupa untuk menyesuaikan kebijakan yang disusun sesuai dengan obyeknya. Organisasi pembelajar salah satu jawabannya. Pelaksanaan pelatihan dalam kelas yang dilakukan secara masif sudah tidak sesuai lagi bagi milenial. Materi yang disusun secara terstruktur dan komprehensif juga bukan lagi masanya, setiap talenta harus diberikan kebebasan mengembangan diri sesuai dengan kebutuhannya, sementara kebutuhannya tidak selalu sama dengan kebutuhan organisasi.

Team Trust VS Micromanagement

In discussing team trust, please allow me to draw it from a Korean drama “Itaewon Class”. Drama ini menceritakan perjalanan Park Sae-royi membangun bisnis dari kedai kecil hingga menjadi perusahaan industri makanan yang sukses hingga mancanegara. Kesuksesan Sae-royi dicapai dengan bantuan timnya yang percaya kepada Sae-royi dan sebaliknya.

Di awal kedai berdiri, Chef kedai memasak dengan tidak becus sampai Manajer kedai mengusulkan kepada Sae-royi untuk memecatnya. Apa yang dilakukan Sae-royi sebagai pemilik kedai? Sae-royi memutuskan untuk tetap mempekerjakannya karena percaya bahwa dia dapat memasak masakan yang enak.

Kepercayaan dari Sae-royi membangkitkan moral dan semangat Chef untuk terus menyempurnakan masakannya hingga berhasil membuat “signature dishes” yang lezat sehingga kedai ramai pengunjung dan terkenal. Chef tersebut bahkan mengalahkan Chef restoran terkenal No. 1 di Korea (Janga) dalam kontes nasional “Kedai Terbaik di Korea” sehingga banyak yang berminat untuk membuka franchise kedai tersebut.

Dari sini kita melihat bahwa rasa percaya dari atasan meningkatkan moral dan percaya diri dari anggota tim. Anggota tim menjadi percaya bahwa mereka memegang peranan penting dalam mencapai kesuksesan tim. Hal ini membuat mereka dengan sendirinya engage dengan tujuan yang ingin dicapai dan all out memberikan yang terbaik untuk mencapai tujuan.

Menurut Forbes, mustahil ada sukses tanpa rasa saling percaya dalam tim. Kepercayaan dalam sebuah tim menghasilkan produktivitas lebih tinggi, deliverable lebih berkualitas, pengambilan keputusan yang lebih cepat dan lebih baik, mendorong terjadinya inovasi, dan tentunya, at the end of the day, menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Siapa sih yang ga mau suasana kerja yang nyaman?

Buat yang jadi atasan, beware, ada behaviour atasan yang merusak trust dalam tim, namanya micromanagement. Dan seremnya, banyak atasan yang tidak sadar mereka melakukan micromanagement tersebut.

Ciri-cirinya seperti apa? Antara lain:

1) Control freak, sering mengecek status progress pekerjaan walaupun sebenernya tidak perlu-perlu amat

2) Sering mengurusi hal perintilan yang seharusnya sudah tidak diurus oleh atasan dengan level jabatan dan gaji tersebut

3) Marah apabila pekerjaan tidak dilakukan sama persis dengan cara yang biasanya dilakukan oleh atasan, dan banyak hal lainnya.

Micromanagement dilakukan atasan dengan alasan agar tidak gagal. While it seems okay for short term result tapi long term wise, behaviour ini merusak. Behaviour ini mengancurkan moral dan mempreteli rasa percaya diri anggota tim karena mereka sudah dicap tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan tidak bisa menghasilkan deliverables yang berkualitas.

Behaviour atasan seperti itu tentu tidak menunjukkan trust kepada anggota timnya sendiri dan tentunya anggota tim akan berlaku hal yang sama. Kalau dalam satu tim sudah tidak saling percaya, bagaimana mau mencapai sukses dan tujuan akhir yang besar? To conclude, considering all of those benefits by establishing trust within a team, why we opt for other option? Having trust within a team is A MUST!

Suksesi Kepemimpinan

Kinerja sebuah organisasi ditentukan oleh talenta yang dimilikinya. Untuk itu banyak organisasi yang kemudian fokus kepada upaya mendapatkan talenta terbaik di pasar tenaga kerja. Mereka menyusun strategi sebaik mungkin agar dapat menarik talenta terbaik. Strategi tersebut dapat berupa kesempatan karir, remunerasi atau suasana kerja, yang kemudian diramu menjadi sebuah “branding” organisasi yang menarik. Namun demikian banyak organisasi kemudian tidak mengelola dengan baik talentanya sehingga kinerja organisasi kurang optimal. Seluruh talenta terbaik yang dimiliki perlu dikelola dengan baik sehingga organisasi memiliki kader pemimpin yang mumpuni Untuk itu diperlukan sebuah pengembangan kepemimpinan berkesinambungan di dalam sebuah organisasi.

Perbedaan pengelolaan talenta dengan pendekatan sebelumnya adalah organisasi hanya fokus kepada sejumlah talenta tertentu yang dipersiapkan menjadi pimpinan organisasi. Dasar pemikirannya adalah teori pareto, dimana 70% kinerja perusahaan ditentukan oleh 30% talenta yang dimiliki. Oleh karena itu organisasi hanya perlu fokus untuk mengidentifikasi 30% talenta terbaik yang dimiliki, dan kemudian mengembangkan mereka menjadi kader pimpinan sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana dengan sisa 70% talenta lainnya? Unit pengelola talent harus mampu menciptakan sebuah sistem yang mampu melakukan pengelolaan secara mandiri. Pengelolaan yang mendiri akan memberikan kesempatan pada unit pengelola talent untuk fokus kepada pengelolaan talenta terbaik dalam rangka suksesi kepemimpinan.

Pelaksanaan suksesi kepemimpinan yang baik dimulai dari proses identifikasi 30% jabatan pimpinan yang akan menentukan 70% kinerja dari organisasi. Kemudian fokus pengelolaan unit pengelola talenta lebih kepada pemenuhan posisi penting tersebut. Proses identifikasi ini tidak mudah dan tantangan yang dihadapi seluruh jabatan pimpinan kemudian dianggap penting. Ada dua faktor yang menjadi penyebab, pertama adalah budaya timur yang sungkan untuk menyatakan satu posisi tidak lebih penting dari yang lainnya. Kedua, unit pengelola organisasi bias sehingga membutuhkan bantuan dari pihak eksternal untuk mampu lebih obyektif menilai jabatan mana yang lebih penting. Mampu menentukan jabatan penting merupakan sebuah pencapaian tersendiri yang kemudian perlu diikuti dengan penyiapan talenta terbaik untuk menduduki posisi tersebut.

Umumnya ukuran yang digunakan adalah kinerja dan kompetensi. Berdasarkan dua hal ini organisasi akan mampu mendapatkan talenta terbaik. Namun menjadi talenta terbaik tersebut adalah terbaik untuk di posisinya yang dijabat saat ini, bukan untuk jabatan penting yang dituju. Untuk itu unit pengelola talenta harus mampu menilai potensi untuk jabatan yang dituju. Bagaimana menentukan tingkat potensi tersebut? Umumnya faktor yang digunakan adalah melakukan penilaian antara persyaratan kompetensi jabatan yang dituju dengan kompetensi yang dimiliki oleh talenta saat ini. Semakin kecil kesenjangan kompetensi yang dihasilkan, maka semakin tinggi potensi seseorang terhadap jabatan yang dituju. Kesalahan umum yang harus dihindarkan adalah menentukan kandidat tunggal pada jabatan yang dituju. Organisasi harus memiliki rasio tertentu, apakah berbanding 2 atau 3 sehingga seseorang tetap berkompetisi untuk mendapatkan posisi tersebut. Selama masa pengembangan talenta tersebut juga bisa tersingkir dan digantikan kandidat yang lebih baik, sehingga proses pengembangan untuk mendapatkan talenta terbaik terus berjalan.

Selanjutnya adalah proses pengembangan. Program pengembangan untuk mengisi kesenjangan kompetensi juga tidak melulu dalam bentuk pelatihan namun bisa berupa dalam bentuk penugasan pada suatu proyek tertentu atau keterlibatan pada tim atau kegiatan tertentu dalam organisasi. Kegiatan pengembangan juga tidak hanya terbatas pada kegiatan internal tetapi juga kegiatan eksternal sesesuai dengan persyaratan jabatan yang dituju. Keterlibatan seluruh pihak dalam organisasi menjadi faktor pendukung utama kesuksesan program pengembangan kepemimpinan organisasi. Unit pengelola bertindak sebagai fasilitator, namun pelaksana pengembangan adalah pimpinan saat ini yang bertanggung jawab mempersiapkan kader penggantinya.

Meritocracy VS Seniority

Globalisasi telah membawa arus perubahan besar kepada pengelolaan manusia. Dunia barat lebih menghargai merit dibanding senioritas. Cocok dengan kaum muda, karena mereka lebih termotivasi untuk berkinerja karena promosi tidak diberikan dalam waktu yang lama. Mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar ketika promosi. Namun demikian budaya di timur lebih mengutamakan senioritas. Negara seperti Jepang dan Korea memegang kuat tradisi timur dimana senioritas lebih memahami nilai dan budaya perusahaan. Mereka meyakini bahwa senioritas adalah pengalaman, sehingga semakin senior mereka dalam perusahaan maka semakin kompeten dalam pelaksanaan tugasnya. Manakah pendekatan yang terbaik? Sebelumnya kita memahami dulu pros and cons dari masing-masing pendekatan dan bagaimana sebaiknya penerapan di perusahaan kita?

Senioritas memberikan kepastian seseorang di dalam sebuah perusahaan. Pendekatan ini meyakini bahwa setiap manusia cukup fokus pada pelaksanaan tugasnya karena kesempatan promosi akan terbuka apabila ada senior yang pensiun atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendekatan ini juga memberikan kepastian, terlepas dari kinerjanya, bahwa seseorang pasti akan mendapatkan promosi pada waktunya. Namun di sisi lain, seseorang juga tidak akan terlalu motivasi untuk menghasilkan kinerja yang istimewa karena promosi tidak memperhatikan kinerja yang dihasilkan. Ada kemungkinan karyawan akan tidak optimal bekerja, sehingga secara umum kinerja perusahaan juga relatif biasa saja. Pendekatan ini disebut konservatif dan cenderung struktural dan birokratif.

Sebailknya merit memberikan motivasi kepada seseorang untuk berkinerja lebih baik. Mereka memahami bahwa dengan kinerja yang istimewa akan memberikan kesempatan karir yang lebih cepat dibanding yang lainnya. Apabila seluruh orang dalam perusahaan berfikiran demikian, maka pada akhirnya kinerja perusahaan juga akan terus meningkat. Di sisi lain kadang suasana dan budaya kerja terlupakan. Kinerja perusahaan yang baik tidak hanya bisa diperoleh oleh satu orang, tetapi melalui kerjasama yang baik. Suasana kompetitif dan ambisi yang tinggi terkadang membuat seseorang lupa untuk menjaga kerjasama tersebut, sehingga membuat pengaruh buruk pada suasana dan budaya kerja di dalam satu organisasi. Pada akhirnya tujuan akhir dan kinerja perusahaan tidak tercapai karena hal tersebut.

Idealnya memang perusahaan mampu memiliki karyawan yang senior dan berkinerja baik. Dengan demikian kata kunci sesungguhnya adalah menempatkan orang di jabatan yang paling sesuai dengan kompetensinya. Hal ini terlepas seseorang senior atau yunior. Mengutamakan kompetensi berarti yang senior harus tetap belajar dan mengembangkan diri, sementara bagi yang yunior kompetensi adalah sebuah kesempatan untuk menjadi kompeten sesegera mungkin dan mampu berkinerja sebaik mungkin. Kompeten bila dilaksanakan secara obyektif menjadi sebuah jawaban dari perdebatan senioritas dan meritokrasi. Perusahaan harus mampu membuat sebuah sistem yang handal yang mampu menjawab kebutuhan akan karyawan yang kompeten.

Salah satu solusi adalah melalui pengelolaan suksesi kepimpinan. Perusahaan harus mampu mengidentifikasi karyawan yang memiliki potensi terbaik, kemudian melakukan proyeksi masa depan kemana seseorang akan menduduki jabatan akhir yang krusial di perusahaan. Setelah itu perusahaan secara sistematis akan mengembangkan seseorang untuk siap dan kompeten di jabatan yang dituju. Perusahaan akan secara terus menerus melakukan monitoring dan evaluasi untuk memastikan kandidat pimpinan tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian pengelolaan suksesi ini membutuhkan dukungan luar biasa dari semua pihak dalam perusahaan agar bisa berjalan karena terdapat banyak gangguan dan hambatan dalam pelaksanaannya. Kita akan bahas mengenai hal ini dalam tulisan selanjutnya.