Siapa yang disini jatah cuti tahunannya masih banyak? Atau jangan-jangan ada yang sudah minus alias ‘ngutang’ nih jatah cutinya karena sering digunakan. Nah kira-kira kenapa ya setiap perusahaan di dunia wajib memberikan hak cuti kepada karyawannya.
Cuti tahunan merupakan kesempatan penting bagi karyawan untuk istirahat sejenak dari tempat kerja dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Setiap negara memiliki aturan yang berbeda-beda terkait jumlah cuti tahunan. Namun pada umumnya setiap negara memiliki minimum cuti tahunan yang terdiri dari hari libur berbayar dan hari libur nasional. Sebagai contoh, negara Indonesia memberikan 12 hari untuk hari libur berbayar dan 15 hari untuk hari libur nasional per tahunnya sehingga cuti per tahun berjumlah 27 hari, Australia memberikan 20 hari untuk hari libur berbayar dan 10 hari untuk hari libur nasional per tahunnya sehingga cuti per tahun berjumlah 30 hari, rata-rata negara-negara di Eropa memberikan minimal 20-30 hari untuk hari libur berbayar diluar hari libur nasional (dengan Perancis paling banyak memberikan jumlah cuti tahunan dan Ireland paling sedikit memberikan jumlah cuti tahunan), sedangkan di Amerika tidak ada persyaratan nasional untuk hari libur berbayar atau paid sick days sehingga cuti ditentukan oleh masing-masing perusahaan. Menurut, Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika melaporkan bahwa 76% pekerja Amerika yang memiliki paid time off (PTO)/ hak untuk cuti hanya 5-10 hari per tahun.
Menurut salah satu studi yang dilakukan, cuti tahunan penting bagi kesehatan dan kesejahteraan karyawan. Dari sisi organisasi, mungkin banyak yang berpikir bahwa dengan tidak cuti, karyawannya dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dan menjadi lebih produktif. Kenyataannya malah sebaliknya, tidak mengambil cuti akan menyebabkan stress dan burnout yang menurunkan produktivitas. Dengan mengambil cuti tahunan membuat karyawan lebih ‘fresh’ dan bahagia, meningkatan mood, serta seimbang work-lifenya sehingga akan menjadi lebih termotivasi dan produktif lagi. Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh American Psychology Associaton, dengan cuti akan membantu mengurangi stress karena sejenak kita ‘meng-istirahat-kan’ diri dari tugas-tugas atau lingkungan pekerjaan yang secara tidak sadar menyebabkan perasaan stres dan kecemasan. Dimana ini dapat membantu kesehatan fisik dan mental termasuk mengurangi dampak stres seperti masalah pada perut, sakit kepala, atau kesulitan dalam berkonsentrasi, yang akan berpengaruh pada berkurangnya izin sakit karyawan.
Dengan mengetahui pentingnya menggunakan hak cuti tahunan, sudah sepatutnya organisasi memberikan kemudahan bagi karyawannya untuk cuti. Namun faktanya, rata-rata karyawan di Inggris hanya menggunakan 62% dari hak cuti tahunan mereka. Begitu juga di Jepang hanya 51,1% yang menggunakan hak cutinya. Ternyata banyak juga karyawan yang tidak menggunakan hak cutinya yang disebabkan oleh beberapa alasan seperti terlalu sibuk, beban pekerjaan yang tinggi, takut tertinggal dalam pekerjaannya, keinginan untuk naik gaji, ‘terlalu malu’ untuk meminta cuti, ingin terlihat memiliki kemauan untuk bekerja ekstra, serta tidak mempercayai orang lain untuk melakukan pekerjaannya. Padahal istirahat sejenak dari pekerjaan akan membuat seseorang kembali fokus dan mengembalikan energi yang berujung pada tercipatanya budaya kerja yang baik, employee engagement, dan produktivitas.
Munculnya fenomena ‘leaveism’ (seorang karyawan menggunakan cuti tahunan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan) telah menjadi lebih umum sekarang ini. Banyak yang menganggap istirahat dari pekerjaan tidak terlalu penting, padahal time-out sejenak memegang peranan penting sehingga seorang karyawan tidak berujung menjadi burnout. Burnout ditandai dengan kelelahan emosional, penurunan kinerja, pengambilan keputusan yang buruk, tingkat kesalahan yang lebih tinggi, dan cenderung kurangnya empati terhadap rekan kerja. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa manfaat jangka pendek yang dicapai dari kerja yang berlebihan dan penundaan cuti tahunan, akan menyebabkan efek jangka panjang dari hilangnya produktivitas, kesalahan dalam bekerja, dan karir yang singkat.
Quotes dari Alexander Babinets ini menggelitik saya: “I have never believed that vacations are luxuries. They are necessities-just like shelter, clothes and food, they make us feel like humans and not like animals that care only for survival.” Coba direnungkan ya dan ayo sekarang kita lihat kembali jatah cuti kita dan gunakan sebaik-baiknya.
Category: Social
NOKIA: dulu jagoan jadi nggak relevan
Sebagian besar dari kita tentu mengenal Nokia, bahkan menjadi pengguna produk pada masanya. Siapa yang tidak ingat “banana phone” keluaran Nokia yang sangat populer. Tahun 2007 adalah puncak kejayaan Nokia yang berhasil menguasai 51% pangsa cellphone di seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Apple saja sekarang hanya mampu menguasai 25% pangsa pasar, sehingga terlihat bagaimana Nokia bisa mendominasi pasar pada waktu itu. Nokia mengubah mindset bahwa cellphone juga dikaitkan dengan fashion sehingga mendapat respons yang luar biasa.
Namun demikian hanya dalam waktu enam tahun, Nokia kemudian hampir mengalami kebangkrutan, dan akhirnya diakuisisi oleh Microsoft seharga 7.2 miliar dollar. Ada apa dengan Nokia sehingga dalam waktu cepat bisa terlempar dari kompetisi cellphone pada waktu itu?
Kesalahan pertama Nokia adalah terlalu fokus kepada pembuatan hardware. Desain yang menarik tentu menjadi daya tarik pembeli, tetapi cellphone tidak bisa berfungsi ketika tidak memiliki sistem operasi. Sementara pesaingnya telah mulai mengembangkan sistem operasi android dan IOS, Nokia ketinggalan karena terus menggunakan Symbian sebagai sistem operasinya. Berbeda dengan symbian, android dan IOS sudah berbasis aplikasi.
Kesalahan berikutnya Nokia ketika pesaingnya seperti samsung, motorola, huawei sudah mengadopsi android ketika google memasuki pasar di tahun 2008, Nokia tetap bersikeras menggunakan sistem operasinya sendiri yaitu Symbian. Akhirnya Nokia menyerah, pada tahun 2011 mereka beralih menggunakan windows phone bekerjasama dengan microsoft. Keputusan tersebut fatal karena akhirnya windows phone gagal sehingga Nokia kehilangan dominasinya sebagai penguasa pasar. Android sendiri sudah terbukti sekarang digunakan 80% smartphone saat ini. Ketika akhirnyapada tahun 2014 Nokia memutuskan beralih ke android, semuanya sudah terlambat.
Nokia juga memiliki masalah dengan struktur organisasinya. Ketika memutuskan mengubah organisasi berdasarkan hirarki pada tahun 2004 menjadi organisasi matriks, ternyata keputusan ini bermasalah. Keinginan agar lebih inovatif dengan matriks organisasi, ternyata malah menimbulkan krisis. Dalam organisasi matriks manager memiliki beberapa kewenangan, dan ini menimbulkan konflik sehingga inovasi terhambat dan proses pengambilan keputusan juga menjadi lama. Sebagai perbandingan, Apple sebagai pesaing tetap menggunakan organisasi hirarki dimana Steve Jobs sebagai puncak hirarki tersebut.
Terakhir, Nokia tidak mampu mengantisipasi gelombang smartphone di awal tahun 2000-an. Ketika kompetitor mulai beralih ke smartphone, Nokia memilih fokus ke pembuatan cellphone yang berkualitas baik, murah, tahan lama dan menarik. Ternyata keinginan pasar berbeda, ketika Apple keluar di pasar, semua orang menginginkan smartphone tersebut. Nokia gagal mengantisipasi kebutuhan pasar padahal pada waktu itu posisinya masih sebagai pemimpin pasar. Apple setelah mengeluarkan smartphone segera mengambil alih posisi sebagai pemimpin pasar hingga kini.
Ini adalah salah satu bukti bahwa yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan. Seperti Charles Darwin mengatakan “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one most adaptable to change”. Lingkungan perusahaan terus berubah, dan yang mampu mengantisipasi atau memanfaatkan perubahan tersebut yang akan mampu bertahan dan meraih kesuksesan. Teknologi berkembang sangat cepat dan demografi konsumen juga berubah. Generasi muda memiliki perilaku yang berbeda. Kekuatan ekonomi negara juga bergeser. Sumber daya alam menipis. Isu sustainability mengemuka. Pandemi belum ada tanda akan berakhir. Kesemua ini adalah dinamika yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Adalah tidak mungkin perusahaan tidak beradaptasi dan tetap mengharapkan hasil yang sama.
Bagaimana perusahaan di tempat anda bekerja? Semoga ikut beradaptasi mengikuti perubahan.
Holacracy
Pernah lihat film the Intern (2015) yang dibintangi Robert de Niro dan Anne Hathaway? Bila kamu menonton, pasti ingat perusahaan retail pakaian bernama About the Fit yang sekilas terlihat amat menyenangkan. Seluruh anggota tim di perusahaan dapat berkomunikasi dengan luwes seakan-akan tiada sekat antara atasan dan bawahan. Kondisi demikian serupa dengan konsep Holacracy, yaitu sistem kerja yang memberikan kebebasan penuh kepada setiap individu untuk bekerja dan berkarya sesuai dengan kapabilitas semaksimal mungkin tanpa batasan yang signifikan dari atasan langsung, dengan demikian perusahaan diharapkan dapat berjalan secara lebih responsif dan berorientasi pada tujuan. Bahkan holacracy tidak memiliki struktur organisasi baku, namun sangat dinamis dan mudah berubah sepanjang waktu.
Setiap orang dalam organisasi holacracy bertanggung jawab penuh atas tugas dan target yang ingin dicapai tanpa perlu melapor kepada supervisor atau manager dan tidak perlu menunggu perintah pekerjaan. Lalu bagaimana bila tidak ada bos atau manajer yang mengarahkan? Jadi pada pendekatan Holacracy, perusahaan membentuk tim-tim kecil yang independen dan saling terhubung. Tiap tim punya otoritas mengambil keputusan sendiri: mereka diberi suatu target dan tujuan besar, lalu mereka memutuskan sendiri gimana caranya mencapai tujuan tersebut. Intinya yaitu tentang self-management. Dengan holacracy, tiap orang dan tim akan memiliki sense of belonging yang lebih tinggi ke organisasi tempat bekerjanya karena mereka merasa berkontribusi secara langsung atas keputusan penting perusahaan. Oleh sebab itu organisasi holacracy dapat mendorong inovasi pegawai, sense of community, memberdayakan pegawai apapun levelnya, serta meminimalisir proses bisnis dan berbagai meeting yang tidak penting.
Pada gambar diatas, seluruh komponen pegawai pada sistem holocracy dapat berkontribusi langsung terkait fungsi timnya. Bahkan seorang CEO pun dapat memiliki portofolio kerja. Sistem ini memang terdengar sangat sesuai dengan generasi millennials yang suka dengan kecepatan proses dan informalitas bekerja. Akan tetapi sistem holacracy masih sulit diterapkan oleh banyak perusahaan, baik startup atau konvensional karena membutuhkan perubahan mindset yang besar. waktu yang dibutuhkan untuk bertransisi juga cukup panjang karena tidak semua pihak dan perusahaan dapat menerima dan nyaman dengan konsep holacracy. Holacracy pada dasarnya cocok bagi organisasi yang fokus terhadap inovasi, ingin mengubah cara orang bekerja dan meningkatkan kinerja pegawai, mempercepat pengambilan keputusan, mencapai tujuan dengan resources terbatas, dan mengungkap bakat-bakat terpendam dan ide brilian dari para pegawai.
Namun layaknya pendekatan keorganisasian lainnya, holacracy bukan tanpa kekurangan. Beberapa isu masih harus diperhatikan, yaitu (1) kepemimpinan yang kurang terlegitimasi dapat menimbulkan risiko tim menjadi disorganized dan tidak efektif, apalagi bila ketua tim yang ditunjuk bukan orang yang tepat. (2) Pada holacracy tidak ada blame game atau saling menyalahkan, sehingga ada potensi pegawai menjadi free rider terhadap capaian tim. Merekapun tidak dapat ditindak karena memang tidak ada formal authority yang memintanya melakukan tugas tertentu secara langsung. (3) Holocracy cenderung sulit diimplementasikan karena pada dasarnya, manusia terbiasa hidup dalam hierarcy sosial, perubahan mindset pegawai agar self-managed tidak mudah diterapkan dengan cepat, namun butuh proses dan pelatihan yang panjang.
Nah, dunia kerja sudah semakin berubah bukan? Siapkah kamu melakukan revolusi besar terhadap sistem organisasi di perusahaan atau organisasi kamu?
Information Source:
holacracy.com, wrike.com, majalah.kliksaja.co, hbr.org, kumparan.com, ziliun.com
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Kehidupan dalam pekerjaan tidaklah selalu berjalan mulus. Setiap orang yang bekerja, seringkali dihadapkan dengan berbagai hambatan dan kesulitan. Bahkan, seringkali kesulitan yang ada di tempat kerja sering berdampak buruk khususnya terhadap kesehatan mental dan kehidupan sosial karyawan. Salah satu isu yang sering menjadi bahan pembicaraan namun tidak cukup mendapat perhatian adalah terkait dengan isu pelecehan seksual atau sexual harassment di tempat kerja. Tanpa disadari, tindakan pelecehan seksual di kantor ternyata memiliki dampak yang serius terhadap kesejahteraan karyawan dan citra perusahaan atau organisasi.
Dalam perspektif psikologis, pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang dipandang sebagai bentuk ofensif atau mengancam kenyamanan seseorang. Apabila didefinisikan secara umum, pelecehan seksual dapat digambarkan sebagai sebuah tindakan yang tidak “diminta”, meliputi tindakan fisik, verbal dan non-verbal yang bersifat seksual dan mempengaruhi martabat wanita maupun pria. Begitu pula di tempat kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja tidak hanya berbicara bahwa korbannya hanyalah wanita. Studi UN Women pada tahun 2012, mengungkapkan bahwa baik pria maupun wanita menjadi korban pelecehan seksual, meskipun rasio perempuan yang menjadi korban jauh lebih besar.
Pelecehan di tempat kerja telah ada selama beberapa dekade dan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Berdasarkan artikel berjudul “Sexual Assault and Mental Health” yang ditulis oleh Mental Health America tahun 2019, tindakan pelecehan seksual di tempat kerja memberikan ketidaknyamanan kepada para korbannya baik secara fisik maupun mental. Sebuah tindakan pelecehan seksual saja dapat menyebabkan efek negatif jangka pendek dan jangka panjang pada korban. Hal Ini mengarah pada kondisi depresi dan stres pasca-trauma. Karyawan yang menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja mungkin dapat merasa terhina, kehilangan harga diri, dan banyak lagi. Seorang akademisi dari Walden University juga mengungkapkan bahwa tindakan pelecehan seksual ini juga dapat menyebabkan masalah di tempat kerja seperti turnover yang lebih tinggi, ketidakhadiran, kepuasan kerja yang lebih rendah, dan penurunan kinerja. Pada karyawan pria maupun wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual rata-rata merasakan emosi negatif seperti malu, takut dan depresi serta penurunan harga diri, kepuasan kerja, dan rasa nyaman mereka di kantor.
Apabila tidak direspon dengan cepat, tidak peduli seberapa besar atau kecil insiden pelecehan seksual akan banyak berpengaruh baik terhadap perusahaan maupun terhadap karyawannya. Respon yang terlambat dapat membuat korban berhenti dari pekerjaan mereka. Jika isu pelecehan seksual di tempat kerja diabaikan, citra perusahaan juga akan terganggu. Bayangkan apabila sebuah perusahaan dicap sebagai perusahaan yang kental dengan karyawan-karyawan yang suka melakukan pelecehan seksual. Tentunya akan menimbulkan persepsi yang buruk di mata masyarakat.
Agar dapat meminimalisir dan mencegah tindakan pelecehan seksual di kantor, manajemen perusahaan diharapkan memiliki kebijakan efektif dan dikomunikasikan dengan baik yang bertujuan untuk mencegah pelecehan. Kebijakan harus dipantau dan keberhasilannya ditinjau secara berkala. Manajemen juga harus mengambil kesempatan untuk mengingatkan karyawan tentang keberadaan kebijakan dan isinya, menyoroti pesan utama kebijakan – seperti kebijakan “tanpa toleransi” terhadap pelecehan dan bagaimana melaporkan pelecehan. Manajemen dapat mengomunikasikan kebijakan dan kontennya menggunakan, misalnya melalui buletin internal, papan pengumuman fisik atau digital, rapat staf, atau penyampaian informasi terkait meningkatnya risiko pelecehan kepada staf sebelum acara penting. Perusahaan juga dapat menyediakan layanan counceling atau kotak suara bagi para korban yang ingin menyampaikan kegelisahan atas tindakan pelecehan seksual yang dideritanya.
Selain itu, manajemen perusahaan harus secara proaktif berusaha untuk menyadari apa yang terjadi di tempat kerja. Apabila memerhatikan dengan benar mungkin ada tanda-tanda peringatan bahwa pelecehan sedang terjadi, di luar mengetahuinya dari laporan pengaduan informal dan formal. Misalnya, ada karyawan yang sering absen karena sakit, perubahan perilaku, komentar dalam wawancara (exit interview), penurunan kinerja, atau adanya aksi menghindar dari rekan kerja tertentu. Manajemen perusahaan harus memberi karyawan kesempatan untuk mengangkat masalah mereka.
Selain kebijakan secara perusahaan, korban pun harus turut aktif membuka dirinya dan berterus terang atas apa yang dialami. Hal ini agar dampak-dampak pelecehan seksual yang disebutkan sebelumnya tidak semakin besar dan tindakan pelecehan seksual dapat diminimalisir.
Planned Obsolescene
Sekitar seabad yang lalu, sekelompok pengusaha internasional terkemuka berkumpul di Jenewa, Swiss, untuk mengadakan konspirasi kartel yang tenar dengan nama “Phoebus”. Pesertanya adalah perwakilan tertinggi dari semua produsen bola lampu terbesar, diantaranya Osram dari Jerman, Philips dari Belanda, Compagnie des Lampes dari Prancis, dan General Electric dari Amerika Serikat. Kartel Phoebus merupakan organisasi/badan pengawas yang mengatur kebijakan pasar bola lampu pijar di seluruh dunia dan merupakan kartel pertama dalam sejarah yang memiliki jangkauan global.
Perusahaan-perusahaan ini ternyata berkolusi untuk merekayasa bola lampu pijar dengan masa pakai yang berkurang secara dramatis. Lampu yang biasanya mampu menyala sekitar 1500-2000 jam dibuat hanya bertahan hanya seribu jam, sehingga memungkinkan setiap perusahaan di dunia untuk menjual lebih banyak bohlam dan menaikkan harga. Praktek ini disebut juga PLANNED OBSOLESCENCE (Keusangan yang direncanakan), yaitu pengurangan umur produk secara sengaja untuk mempercepat renewal produk, agar konsumen lebih banyak repeat order/purchase. Prancis adalah negara pertama di dunia yang melarang praktik ini pada tahun 2015, dengan ancaman hukuman 2 tahun penjara dan denda mulai €300.000 hingga 5% omset tahunan.
Praktek Planned Obsolescence pun banyak terjadi di sekitar kita. Tidak perlu jauh-jauh, gadget yang kamu gunakan untuk membaca artikel ini (handphone/tablet/PC/Laptop) sudah pasti didesain oleh produsen untuk memiliki masa pakai maksimum. Bukan hanya itu, bagi kamu pengguna produk Apple, bila gadget kamu outdated, lalu kamu mengupgrade iOS, hampir pasti gadget kamu menjadi lebih lelet atau seringkali bermasalah, bahkan tidak jarang Apple mengancam penghentian support aplikasi pengguna gadget lama. Familiar bukan dengan kejadian seperti ini?
Bentuk planned obsolescence pun bermacam-macam, ada rekayasa fungsi, durabilitas, marketing, software, estetik, persepsi, serta mempersulit perbaikan produk. Bagi kamu pengguna mobil, kamu pasti paham bahwa hampir setiap tahun produsen mobil melakukan facelift dengan menambahkan fitur-fitur tertentu, dan terkadang melabeli dengan kalimat “All New”. Praktek ini pun disinyalir menjadi strategi planned obsolescence, membuat persepsi konsumen mobil lama berubah, merasa produknya ketinggalan jaman dan undesirable, padahal fungsi mobilnya masih bagus dan tidak ada masalah. Industri lain juga masih banyak lagi, contohnya edisi buku yang diupgrade setiap tahun, mode fashion yang berubah dengan melibatkan public figure, tinta printer yang sangat mahal bahkan kadang semahal printernya, dan lain sebagainya. Praktik planned obsolescence ini juga dianggap mengancam sustainability lingkungan karena mendorong overconsumption, dan mengakselerasi penumpukan limbah manufaktur/elektronik yang berbahaya.
Peraturan perlindungan konsumen di Indonesia mungkin belum sampai berfikir kesana, padahal di negara lain, perusahaan seperti Apple, Samsung, Microsoft, pun sudah kena denda jutaan dolar karena praktek planned obsolescence yang telah terbukti di pengadilan merugikan konsumen. Yah, di Indonesia jangankan sampai kesini, bahkan untuk kebijakan return policy konsumen saja belum selevel di luar negeri. Produsen lebih sering lepas tangan saat transaksi selesai. “Barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan”, “Penjual tidak menanggung segala kerusakan produk selain tertulis di garansi”, familiar bukan dengan frase ini? Klausula eksonerasi seperti kalimat tadi di beberapa negara diilegalkan. Bisa jadi sistem perpolitikan dan perumusan kebijakan di Indonesia masih di dominasi interaksi yang kuat dengan asosiasi cukong/ pengusaha dibanding dengan asosiasi konsumen. Tapi itu mungkin bahasan bacapikir episode lain.
Nah, kembali ke Planned Obsolescence, apa sih solusinya agar praktik semacam ini bisa diminimalisir efeknya, baik ke konsumen maupun produsen. Produsen suka dengan praktik ini karena meningkatkan profit, efisiensi, dan menjaga going concern perusahaan dalam jangka panjang. Sedangkan konsumen tidak suka dengan praktik ini karena menurunkan value produk yang dibeli dan menurunkan daya beli.
Opsi solusi pertama: Regulatory Approach
- Mengadopsi best practice standar minimum yang harus dipenuhi produsen, layaknya bidang penerbangan (alat pesawat) dan kedokteran (peralatan medis, obat-obatan), yang memiliki standar minimum kualitas, pengerjaan, material, redundansi, yang relatif ketat dan termonitor.
- Memperkuat layanan purna jual sampai dengan jangka waktu usia pakai maksimal dari produk-produk tertentu, termasuk pengkinian software bagi produk elektronik.
- Memberikan hak konsumen untuk memperbaiki/mengupgrade sendiri produk yang dibelinya dan mempermudah akses informasi tentang detail produk (manual produk, atau diagram skematik utk produk elektronik), yang selama ini banyak tidak transparan.
- Memberikan insentif bagi produsen pada saat mendukung inisiatif-inisiatif yang ramah lingkungan, ramah konsumen. Insentif dapat berupa insentif perpajakan, permodalan, inovasi, dan kemudahan lainnya.
Opsi solusi kedua: Paradigm Shift
- Mendorong perubahan mindset dan culture masyarakat untuk tidak mudah beralih/ mengupgrade produk selama produk masih berfungsi dengan baik.
- Memperkuat dan mempopulerkan second hand market agar masyarakat terbiasa menggunakan produk tangan kedua.
- Edukasi dan diseminasi informasi melalui berbagai media tentang cara upgrade/perbaikan produk dengan self-service.
Solusi untuk planned obsolescence memang tidak sesimpel yang dibayangkan meskipun praktik ini sudah awam dilakukan puluhan tahun, karena bentuk dan strategi perusahaan untuk mengeksploitasi pasar akan terus berubah sesuai perkembangan jaman, yang juga menuntut solusi permasalahan yang berbeda pula. Dari lingkaran yang lebih kecil, kita sebagai konsumen harus lebih aware dan jangan terbawa oleh arus corporate greed ya.
Source: appleinsider.com, bbvaopenmind.com, durabilitymatters.com, entrepreneur.com, euroconsumers.org, theparisreview.org, stopobsolescence.org, 9to5mac.com
Menguasai Ketakutan saat Public Speaking
Pernahkah Anda mengalami momen dimana harus berbicara di depan umum tapi tubuh Anda merasakan kegelisahan hingga ketakutan seketika sebelum mulai berbicara? Jika ya, berarti Anda tidak sendiri. Berdasarkan estimasi para ahli, 77% populasi di seluruh dunia memiliki tingkat kecemasan dalam hal public speaking atau kemampuan untuk berbicara di depan umum. Sebagian orang mampu mengendalikan kecemasan ini, namun kebanyakan tidak. Apakah sulit untuk menguasai ketakutan ketika melakukan public speaking?
Glossophobia atau ketakutan terhadap public speaking merupakan hal yang cukup sering terjadi. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Lisa Fritscher pada situs Verywell Mind yang sudah mendapatkan reviu dari Steven Gans, seorang psikiatris dan pengajar di Harvard Medical School, Glossophobia merupakan bagian dari Social Phobia atau ketakutan atas situasi sosial. Namun, yang membedakan dari gejala social phobia yang lain adalah orang yang memiliki Glossophobia tidak takut untuk ketemu orang atau mempertunjukan sesuatu di depan orang-orang, seperti menyanyi atau menari asalkan tidak harus berbicara di depan umum.
Tidak hanya pada orang dewasa, anak-anak pun terkadang memiliki Glossophobia. Contohnya pada saat di kelas. Ketika guru menanyakan sebuah pertanyaan pada murid di kelasnya, rata-rata murid di sekolah tersebut pasti berharap untuk tidak dipanggil namanya untuk menjawab pertanyaan meskipun mereka tahu jawabannya. Hal ini dikarenakan mungkin diri kita ingin menghindari untuk menjadi “public attention”.
Ya, ketika kita berbicara di depan umum, kita akan mendapatkan atensi dari orang di sekeliling kita. Bagi kita yang tidak biasa menjadi pusat perhatian akan cenderung gelisah pada saat menjadi “spotlight” publik. Gejalanya mulai dari berkeringat, detak jantung berdegup kencang, mulut kering, sulit bernapas, pusing, hingga tiba-tiba merasakan ingin buang air. Bagi Anda yang sulit mengontrol ketakutan ini, ternyata dapat membawa dampak yang kurang baik, lho!
Faktanya, di lingkungan pekerjaan dan proses meniti karir, seseorang akan dituntut untuk memiliki tingkatan public speaking yang cukup. Berpartisipasi pada pertemuan, mempresentasikan ide atau laporan, atau tugas lainnya yang membutuhkan seseorang untuk mampu berbicara di depan kolega-koleganya. Jika belum dapat mengontrol ketakutannya, maka seseorang akan kesulitan untuk melakukan pekerjaannya. Kalau terus dibiarkan, bisa menghambat karir atau mungkin kehilangan pekerjaan. Lebih jauh lagi, risiko yang lebih besar kalau kita tidak bisa mengontrol ketakutan ini, kita akan mengalami depresi atau kegelisahan tiada henti.
Ada beberapa cara untuk melatih menghadapi ketakutan saat public speaking. Salah satunya adalah melalui Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Terapi ini bertujuan untuk mengganti pesan ketakutan yang sampai ke otak dengan narasi positif kepada diri sendiri. Melalui terapi ini, seseorang akan mempelajari bagaimana teknik relaksasi diri dan apa yang harus dilakukan saat menghadapi “panic attack”, seperti mengatur nafas, berpikiran positif dan mengatur ritme jantung sebagaimana yang kita biasa lakukan saat berolahraga.
Hal lainnya yang dapat membantu untuk menurunkan ketakutan kita terhadap public speaking adalah dengan rutin bergabung dalam grup kecil yang melakukan aktivitas dialog aktif antar anggotanya. Melalui kebiasan rutin berbicara di depan anggota grup, selain meningkatkan kemampuan public speaking seseorang, kegiatan ini juga dapat membangun kemampuan “critical thinking” yang nantinya melengkapi kemampuan berdialog seseorang. Melalui cara ini, seseorang juga dapat meningkatkan kepercayaan diri, dimana rasa percaya diri sangat penting untuk menjadi modal dasar seseorang melakukan public speaking.
Bagaimana? Apakah sudah cukup membantu? Kita bisa memulai aktivitas rutin untuk mengontrol ketakutan kita ketika harus public speaking dengan cara-cara di atas mulai dari sekarang!
Psychological Safety
Pernah ngerasa enggak berani ngasih pendapat di depan bos karena takut pendapat kita berbeda dengan pendapat bos? Atau ga asing sama inside jokes “nanti mutasi ke Papua lho!” Lalu jadi was-was, ngelakuin apa aja jadi takut. Dalam bekerja memang benar kita harus berhati-hati sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku, tapi kalau ketakutannya menjadikan gangguan secara psikologis, enggak enak juga ya.
Jadi apa sih yang dimaksud psychological safety di tempat kerja? Mengutip dari website ccl.org, psychological safety adalah It’s a shared belief held by members of a team that others on the team will not embarrass, reject, or punish you for speaking up. Keadaan dimana setiap orang di organisasi tersebut mempunyai kesamaan nilai untuk tidak saling menjatuhkan, saling support, tidak menyalahkan, dan membuat setiap orangnya berani mengungkapkan pendapatnya. Keadaan seperti ini tentu saja tidak lepas dari peran pimpinan untuk menciptakan lingkungan bekerja yang aman untuk setiap anggota timnya.
Studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa keamanan psikologis memberikan beragam manfaat. Tim yang berisikan berbagai orang dengan sudut pandang dan keahlian berbeda akan menciptakan perspektif yang beragam. Perspektif ini dapat menimbulkan inovasi dan kreativitas. Namun, bila lingkungan kerja kurang aman untuk mengakomodir hal tersebut, misalnya anggota tim merasa bila idenya kurang sesuai, dapat menimbulkan potensi “berbahaya”, tentu saja iklim berani mengeluarkan pendapat, tidak akan terbentuk.
Dalam setiap organisasi, tentunya bentuk psychological safety yang ingin diciptakan beragam. Namun, terdapat tiga besaran yang dirangkum dari berbagai sumber.
- Aman menjadi diri sendiri
Pemimpin dapat menciptakan keamanan psikologis agar anggota timnya terbuka dan berani menjadi dirinya sendiri tapi harus mencoba menjadi orang dan menutupi identitasnya, dan mencoba untuk fit in. Berpura-pura menjadi orang lain, tentunya dapat melelahkan secara emosional. Aman untuk mengungkap pendapat. Dengan menjadi diri sendiri dengan tetap menjadi profesionalitas dan bekerja di lingkungan yang supportive, menciptakan rasa inklusif, tanpa membedakan. Pemimpin dan semua anggota tim dapat terus sama-sama menciptakan sinyal positif, proaktif, dan komunikasi terbuka.
- Aman untuk berbicara mengungkapkan pendapat
Keamanan psikologis juga dapat membantu pegawai lebih banyak dan berani berbicara mengungkap pendapatnya di tempat kerja. Ketika diperlukan untuk saling memberikan tantangan yang membangun untuk pengambilan keputusan. Banyak pegawai yang takut untuk berbicara tentang fakta yang terjadi karena takut dengan potensi efek yang akan terjadi setelahnya. Misalnya jadi kurang disukai atau merasa terancam.
- Aman untuk mengambil risiko dan terjadi kesalahan
Keamanan psikologis menjadikan pegawai melihat tantangan sebagai peluang, berani mencoba hal baru. Dalam organisasi yang memiliki growth mindset culture, mengambil risiko didorong karena merupakan bagian pembelajaran dan berinovasi. Untuk menumbuhkan growth mindset, pimpinan seharusnya bukan hanya mempraktikkan growth mindset behavior, seperti membuka ruang kesalahan terjadi dan fokus pada progress, tetapi juga menjadi role model kepada anggota timnya untuk mendorong perilaku timnya secara luas untuk saling terbuka.
Apakah kamu sudah merasa aman secara psikologis di tempat bekerja?
Work From Anywhere
Work From Home (WFH) sih udah biasa ya, kalo Work From Anywhere (WFA) apa ya? Lebih keren lagi nih kayaknya. Kuy bahas biar bisa sotoy dikit-dikit depan mertua atau temen. Seperti makna bahasa inggrisnya, WFA artinya kita bisa bekerja dimanapun: di kafe, mall, restoran, gym, pantai, kebun binatang, atau ditengah hutan sekalipun, selama ada koneksi internet yang stabil. Asik kan, tidak terikat lagi oleh tempat (kantor) yang harus di datangi pagi-pagi, macet-macetan, absen, duduk, ngopi-ngopi, menatap kubikel, dsb.
Ceritanya gimana sih bisa muncul WFA. Jadi begini… Pandemi Covid-19 menyisakan duka mendalam untuk sanak saudara yang telah berpulang. Namun ternyata dibalik musibah selalu ada hikmah. Kehidupan masyarakat (terutama perkotaan) berubah bentuk menjadi lebih “digital”. Layanan online shopping, online food delivery, online teaching, work from home, menjadi rutinitas dan kebiasaan sehari-hari. Adaptasi dunia kerja di tahun pertama pandemi terasa amat berat karena seluruh generasi angkatan kerja, baik itu gen Z sampai dengan gen Baby Boomer “dipaksa” melek metode kerja masa kini, yaitu Work From Home (WFH).
Keharusan untuk WFH mengharuskan perusahaan meminimalisir biaya operasional yang tak lagi digunakan, seperti sewa ruangan kerja, kubikel, meeting room, listrik, membership parkiran, cleaning service, pajak, dll. WFH memberi prospek efisiensi yang masif dan feasible, dimana perusahaan dipaksa keluar dari zona nyaman dan mengakselerasi technological progress. Saat pandemi dianggap selesai, orang tidak lagi diwajibkan pemerintah untuk tinggal dirumah dan meminimalkan interaksi dan mobilitas. Namun perusahaan tidak bisa serta merta menyuruh seluruh pegawainya untuk masuk kantor serentak karena sudah terlanjur melakukan cut loss akibat covid-19. Pegawai yang sudah tidak betah berlama-lama di rumah akhirnya cukup nyaman bepergian kesana kemari, asalkan pekerjaan tetap diselesaikan dengan baik. Inilah awal mula ide WFA, bahwa kerja dimanapun sebenarnya tidak menjadi masalah asalkan bidang pekerjaan sesuai dan performa kerja tetap terjaga.
Dari sisi kinerja, sebuah studi dari Nicholas Bloom (Stanford University) menemukan bahwa ketika pegawai memilih kebijakan WFH, produktivitas mereka meningkat sebesar 13%. Ketika pekerja yang sama diberi pilihan antara tetap di rumah dan kembali ke kantor, mereka yang memilih dirumah mengalami peningkatan performa kerja lebih jauh: 22% lebih produktif daripada sebelum eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang mungkin harus menentukan sendiri situasi kerja yang cocok untuk karakter diri mereka, untuk beberapa orang, lokasi kerja tertentu bisa menjadi mood-booster yang ampuh dalam menyelesaikan tugas-tugas kantor. Setuju?
Selaksa data dan penelitian yang lain pun menyimpulkan bahwa praktik WFA membawa banyak benefit, beberapa diantaranya:
- Meningkatkan produktivitas dan mood kerja pegawai
- Menghemat biaya tempat tinggal, transportasi (commuting), dan makanan pegawai
- Meningkatkan employee retention & engagement pegawai (Faktanya, 74% pegawai dari survei Owllabs mengatakan bahwa opsi WFA akan membuat mereka cenderung tidak ingin resign)
- Mengurangi kegiatan rapat yang tidak penting
- Mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota, dsb.
Di sisi lain, layaknya sebuah inovasi dengan berbagai risikonya, WFA juga dianggap memiliki efek negatif yang patut dipertimbangkan, beberapa diantaranya:
- WFA mungkin tidak cocok untuk semua orang, pasti ada kelompok pegawai lain yang lebih suka ke kantor secara fisik
- Mengurangi rasa kebersamaan, kolaborasi, dan kekompakan tim akibat minimnya sosialisasi antar pegawai
- Risiko bocornya keamanan data pegawai dan data perusahaan
- Kesulitan dalam penilaian kinerja, terutama menilai interpersonal skill dan leadership
- Sulit menjalankan fungsi mentoring dari atasan ke bawahan
- Kekhawatiran keberlangsungan karir bila pegawai jarang berinteraksi langsung dengan atasan, dll.
Melihat plus-minus penerapan WFA di tempat kerja, ada beberapa langkah dan kebijakan yang mungkin bisa dilakukan untuk mengadopsi (atau tidak) metode kerja WFA, yaitu:
- Mengidentifikasi karateristik organisasi beserta unit-unitnya, apakah WFA cocok atau tidak. Bisa saja pada organisasi/unit/fungsi tertentu dapat dilakukan WFA, sedangkan yang lain tidak. Selain itu diperlukan penghitungan nilai biaya dan menfaatWFA terhadap organisasi.
- Melakukan kebijakan transisi. WFA adalah sebuah keputusan besar yang menyangkut seluruh aspek operasional organisasi. Bilapun dilakukan, ada baiknya organisasi melakukannya secara bertahap, misalnya 2 hari dalam seminggu WFA, dan 3 hari tetap ke kantor, semakin lama frekuensi ke kantor dikurangi sembari dimonitor kinerja dan produktivitas pegawai.
- Membuat peraturan, panduan, atau SOP yang jelas mengenai remote working, bila perlu disertai enforcement yang kuat terhadap pelanggaran kedisipinan WFA, seperti pegawai yang menghilang (ghosting), bocornya data pegawai/perusahaan, ketepatan waktu hadir online, kebijakan perjalanan (travelling), dsb.
Kebijakan WFA memang menggiurkan saat ini. Namun jangan lupa, manusia adalah makhluk sosial, ada kebutuhan jiwa untuk terhubung dengan jiwa yang lain. Meskipun WFA diadopsi, regular meeting tetap wajib dilakukan secara rutin untuk membangun kolaborasi dan hubungan personal yang baik antar pegawai. Nah, siapkah tempat kerja kamu dengan WFA?
It’s All About Your Attitude
Mendapatkan kesempatan untuk kembali ke bangku sekolah setelah 6-7 berkutat dengan pekerjaan kantor yang kadang menantang tapi tak jarang juga membosankan, bagaikan menghirup udara segar di pegunungan. Refreshing, namun juga campur aduk. Apalagi kesempatan belajar ini saya dapatkan di kota idaman saya sejak lama, New York City! Bersemangat tapi di sisi lain juga was-was. Takut.
Ada cerita yang ingin dibagi sedikit mengenai salah mata kuliah yang saya ambil di term ini, Leadership and Team Building. Mengutip leadership quotation yang dilontarkan oleh Professor saya di awal sesi. “Leadership and learning are indispensable to each other” yang merupakan kutipan dari John F. Kennedy. Kepemimpinan dan proses belajar adalah dua hal yang berkaitan dan saling memerlukan satu sama lain.
Bukan berarti, sudah menjadi pimpinan tertinggi di suatu posisi tertentu, membuat seseorang merasa puas dan berhenti untuk belajar, berkembang, untuk menjadi lebih baik. Dunia ini tidak berhenti berputar dan selalu ada perubahan perbaikan yang terjadi. Ya, sama halnya seperti dunia yang berputar seperti roda, memiliki siklus. Professor saya menjelaskan mengenai cycle of self-development. Mungkin ini hal yang sudah kita tahu tapi juga mungkin tidak kita sadari. We need the cycle keep alive! It’s continuous learning of life.
Poin yang ini saya bahas kali ini adalah siklus pertama yaitu attitude. Bagaimana kita memiliki kecapakan emosional yang baik dengan mencerminkan sikap positif. Selalu merasa ingin tahu (in a positive way), haus akan belajar, berkembang, menggali ilmu sebanyak-banyak dari manapun dan siapapun. Berpikiran terbuka dan sikap positif untung menyerap ilmu dari sekitar. Don’t block your mindset!
Sebagai pimpinan yang sudah berada di pucuk tertinggi posisi tertentu, kadang memiliki sikap dan mindset yang paling tahu segalanya. Professor saya sempat bercerita di kelas. Dia pernah memberikan coaching class untuk senior leaders di suatu perusahaan. Terdapat leader yang merasa perusahaannya sudah menghasilkan billion dollars dan merasa sudah paham segalanya, untuk apa lagi berada dalam coaching class tersebut. Padahal mungkin saja kelas tersebut dapat membantu untuk menghasilkan lebih dari billion, tambah Professor saya sambil tertawa.
Positive attitude juga bukan hanya berpengaruh ke dalam diri seseorang. Aura ini juga dapat terpancar keluar dan memepengaruhi sekitar. Sebagai pimpinan yang memiliki positive attitude, suasana dan lingkungan kerja kepada bawahan juga lebih menyenangkan, komunikasi lebih lancar dan cair, produktivitas yang digadang-gadang dalam pekerjaan juga lebih mudah dicapai. Sebagai anak buah, saya juga lebih senang berdiskusi dengan pimpinan yang hangat dan bersikap terbuka dengan masukan dan aspirasi anak buahnya.
Hal ini juga yang dapat saya ambil. Konteksnya tak hanya sebagai leader, tapi juga sebagai individu. Bagaimana sikap dan ketakutan saya belajar di negara orang. It’s all about the mindset and attitude, bagaimana saya menyikapi ketakutan saya masuk di dunia baru. Tidak apa banyak tidak tahu, ya namanya juga proses dalam self-development. Apalagi mendapatkan kesempatan belajar di kota yang kata Alicia Keys “concrete jungle where dreams are made of, and there’s nothing you can do”. Yup! There’s nothing you can do but please don’t forget to bring your positive attitude and mindset wherever you go!
Salam dari (Queens) New York City!
Affinity Bias
Kita mungkin cukup familiar dengan frase “nggih”, sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti “iya”. Atau “naon“ yang berarti “apa“ dalam bahasa Sunda. Di berbagai tempat kerja kita juga sering menemui karyawan/pegawai satu suku yang masih memakainya. Sebenarnya sah-sah saja dan tidak ada yang salah, jika memang untuk urusan personal dan bisa mempermudah komunikasi.
Namun yang cukup menggelitik, kebiasaan ngomong bahasa daerah asal menjadi habit di komunikasi resmi, bahkan ke jenjang pimpinan di Ibukota Jakarta yang notabene berlatar betawi. Ada kecenderungan seorang bawahan asal Jawa untuk menggunakan bahasa Jawa ke bos nya yang juga Jawa, begitu pula seorang bos yang berasal dari suku Padang, cenderung sering memakai bahasa Padang ke bawahannya yang orang Padang. Padahal dalam meeting, banyak karyawan disekitarnya yang bukan orang Jawa/Padang yang mungkin saja akan bengong sendiri, mati gaya, atau malah merasa bukan bagian dari tim.
Dalam situasi lain yang lebih krusial, misalnya dalam proses seleksi karyawan. Kita pasti sering menemui pewawancara yang memberi nilai lebih tinggi ke kandidat yang punya latar belakang sama dengan si pewawancara, bisa dari suku, agama, ras, atau interest yang sama, padahal bukan itu key criteria yang dicari oleh perusahaan. Alih-alih mencari kandidat terbaik untuk organisasi, interviewer malah terjebak memilih kandidat yang suboptimal hanya karena atribut personal yang tidak relevan bagi objektif perusahaan. Pewawancara seharusnya menggali informasi calon karyawannya apakah sesuai dengan kompetensi/pengalaman yang dibutuhkan, dan juga menggali kesesuaian dengan values perusahaan, sehingga tidak ada masalah cultural fit di tempat kerja.
Dua contoh kecil diatas merupakan fenomena yang disebut affinity bias, yaitu kecenderungan seseorang terhubung dengan orang lain yang memiliki latar belakang, kepercayaan, dan minat yang sama. Dan banyak contoh lainnya yang sering kita jumpai. Kita akan lebih cenderung berteman, mempekerjakan, atau bekerja bersama dengan orang-orang yang mirip dengan kita. Sekali lagi tidak ada yang salah dengan preferensi pribadi ke seseorang. Malah kita semua memiliki kecenderungan alami untuk berada di sekitar orang-orang yang dapat “connect” dengan kita sehingga membuat kita merasa nyaman. Dan jujur saja, tidak ada seorang pun yang ingin dikelilingi oleh orang-orang yang membuat kita tidak nyaman bukan?
Namun demikian, affinity bias dapat menjadi sumber berbagai macam masalah bila kita tidak sadar telah melakukannya di situasi dan posisi yang tidak tepat. Affinity bias seringkali menjadi sumber diskriminasi dan ketidakadilan di tempat kerja. Affinity bias yang kronis dapat menutupi objektivitas kita dalam menilai seseorang sehingga kita akan sering berprasangka buruk dan stereotyping terhadap orang lain. Yang lebih parah, affinity bias juga sering menjadi pemicu terbentuknya “geng” di tempat kerja. Geng Jawa, geng Batak, geng Kristen, geng Islam, geng UI, geng UGM, dan lain sebagainya. Bukankah hal tersebut kita sadari sering menjadi sumber perpecahan yang tidak produktif bagi organisasi.
Dalam hal lain, affinity bias dapat membuat seseorang kesulitan untuk “connect” dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya, cenderung narrow-minded dan sulit menerima masukan positif dari orang yang berlatar belakang berbeda. Rasanya kita juga sepakat bahwa ide-ide cemerlang lebih sering datang dari tim yang diverse atau heterogen daripadatim yang homogen. Menghasilkan ide dan gagasan yang brilian adalah hal penting untuk survivability perusahaan dalam jangka panjang, apalagi perusahaan teknologi dan start-up masa kini yang amat tergantung dari inovasi. Oleh karena itu, kita akan sering menemui perusahaan teknologi dan start-up yang lebih inklusif dan diverse. Nah, bila inklusivitas merupakan salah satu values perusahaan Anda, maka meminimalisir efek affinity bias di lingkungan kerja merupakan salah satu prioritas yang harus dicermati.
Lalu bagaimana mengatasi atau paling tidak mengurangi affinity bias. Sejujurnya kita tidak akan bisa lepas dari affinity bias, namun me-manage sisi emosional dapat menjadi faktor kunci kapan affinity bias diperlukan atau tidak. Pertama, terbiasalah melatih diri dalam suasana dan lingkungan yang berbeda, Anda bisa jalan-jalan ke tempat/negara berbeda, berdialog dengan orang yang berbeda, berteman dengan bermacam-macam orang dengan latar belakang berbeda, dan lain sebagainya. Dengan membawa diversity ke inner circle, otak kita akan ter-hard-wired terbiasa menilai orang sesuai personality dan capacity yang dimiliki, bukan karena latar belakang dan informasi yang belum lengkap. Sehingga kita mampu sampai pada beberapa kesimpulan sederhana dalam hidup ini, bahwa tidak semua bule berbahasa inggris itu pintar, tidak semua orang kulit hitam itu bau, tidak semua orang Padang itu pelit, tidak semua orang Cina mata duitan, tidak semua orang Makassar itu kasar, tidak semua orang Jawa itu lembut, tidak semua orang baik itu harus sama seperti kita, dan berjuta contoh lainnya.
Pada lingkup organisasi, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi affinity bias sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap objektif perusahaan. Pertama, perusahaan bisa mengukur seberapa kuat affinity bias yang terjadi pada karyawan di tempat kerja. Alat ukur psikologisnya sudah ada dan tidak sulit untuk dilakukan. Dari sana, kita bisa melakukan tindakan preventif dan kuratif. Tindakan preventif dapat berupa pelatihan diversity rutin terhadap karyawan, baik pada level eksekutif, manajerial, maupun operasional. Sehingga awareness, understanding, acceptance, dan commitment terhadap keberagamandapat terbentuk. Sedangkan tindakan kuratif dapat berupa perbaikan SOP, sistem kerja, peraturan internal, serta mekanisme stick and carrot, guna mempromosikan inklusifitaspadasetiap divisi/tim.
Bagaimana dengan tempat kerja Anda, sudahkah inklusif dan jauh dari affinity bias?
Personal Branding
Pernah nggak kamu ngalamin waktu bos di kantor mau bikin presentasi pasti dia akan minta si A. Waktu mau bikin makalah pakai bahasa Inggris pasti yang disuruh si B. Waktu ada acara kantor, yang disuruh ngurus acara pasti si C. Ini artinya A, B dan C sudah punya personal branding sendiri di tempat kerja. Personal branding sendiri bahasa kerennya adalah “the conscious and intentional effort to create and influence public perception of an individual”. Jadi sebuah upaya yang dilakukan secara sadar dan disengaja oleh seseorang untuk menciptakan persepsi orang lain terhadap dirinya.
Apa sih pentingnya punya branding sendiri? Di dunia kerja yang semakin kompetitif seperti sekarang ini, penting bagi kamu men-differentiate diri kamu dengan orang lain. Dengan kata lain, kamu bukan orang biasa atau “just another face in the crowd”. Dengan personal branding, orang lain atau pimpinan langsung bisa ingat kamu pada saat dibutuhkan, atau merekomendasikan kamu kepada yang membutuhkan. Semakin banyak di perusahaan yang tauk kamu kompeten akan sesuatu dan punya perilaku yang biasa diandalkan, maka akan semakin baik bagi karir kamu di masa depan.
Yang perlu diingat membangun personal branding adalah sebuah proses. Proses yang dilakukan secara sadar dan disengaja, sehingga perlu persiapan. Perlu ditentukan hal apa yang akan menjadi branding kamu. Mau dikenal kompeten di suatu bidang atau punya perilaku yang bisa diandalkan orang lain? Setelah ditentukan, kembangkan kompetensi atau perilaku tersebut lebih dalam. Hal yang paling penting adalah tunjukkan dalam berbagai kesempatan. Orang Indonesia punya budaya sungkan, kamu perlu mengesampingkan budaya itu karena sedang membangun branding.
Namun demikian personal branding bisa juga terbentuk tanpa disengaja. Tapi karena tidak dilakukan secara sadar dan disengaja hasilnya bisa merugikan. Misalnya, kamu selalu diam dan tidak pernah berpendapat dalam meeting. Ini bisa saja diartikan kamu nggak kompeten atau nggak mengerti. Padahal belum tentu. Kamu hanya tidak terbiasa berpendapat atau terlalu malas untuk bicara. Bukan tidak mengerti substansi pembicaraan. Yang lain lagi misalnya setiap saat kamu selalu asyik dengan smartphone kamu, sehingga kurang banyak berinteraksi dengan teman kerja. Kamu dianggap sombong, padahal yang kamu lakukan dengan smartphone kamu adalah mencari informasi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh pimpinan.
Di jaman now sekarang, media sosial adalah hal yang umum digunakan. Hampir semua orang memiliki akun media sosial. Di seluruh dunia terdapat 3, 96 miliar akun atau 50 persen dari total penduduk dunia. Di Indonesia bahkan lebih dahsyat, terdapat 170 juta akun atau 62 persen dari total penduduk Indonesia. Untuk itu penggunaan media sosial semakin beragam, tidak saja sebagai platform komunikasi tetapi juga melakukan personal branding. Berdasarkan survei CareerBuilder 70 persen employer menggunakan media sosial sebagai salah satu tahap saringan. Sementara 43 persen kandidat yang ikut seleksi melihat media sosial employer untuk mengetahui lebih jauh value proposition yang ditawarkan. Oleh karena perkembangan tersebut, kayaknya kamu perlu lihat lagi akun kamu karena setiap postingan adalah bagian dari proses pembentukan branding kamu. Apabila kamu posting mengenai makan di luar, bisa diartikan sebagai orang yang easy going dan adventurous. Posting mengenai kegiatan ekstra kurikuler, bisa diartikan sudah paham bekerja dan melakukan koordinasi.
Karateristik milenial salah satu adalah mengutamakan career advancement, sehingga urusan personal branding menjadi penting. Nggak ada salahnya untuk berhenti sejenak menentukan branding apa yang diinginkan. Apakah saat ini sudah sejalan, atau masih banyak kesenjangan. Selamat mencoba.
Pandemic Life?
Ada yang sudah pernah nonton film Contagion, The Flu, atau Train to Busan? Bagi yang sudah menonton ketiga film tersebut pasti tahu betul bahwa film tersebut memiliki kesamaan dengan situasi dan kondisi yang kita alami dan jalani sekarang selama kurang lebih 1.5 tahun. Penyebarann virus mematikan menyerang suatu negara hingga memakan banyak korban jiwa. Rasanya seperti skenario sebuah film ya keadaan kita sekarang? Jujur tidak pernah terlintas dibenak saya sedikit pun menjalani kehidupan seperti itu.
Kita (dan hampir seluruh manusia di belahan dunia) sudah menjalankan kehidupan ‘new normal’ selama ini. Seketika dunia dituntut untuk berubah dengan cepat dan manusia terpaksa melakukan kebiasaan baru. Sebenarnya apa saja sih hikmah dan pembelajaran yang bisa kita ambil dari pandemi ini bagi diri sendiri dan suatu organisasi?
Bagi diri sendiri tentunya ada dampak positif dan negatif yang kita rasakan. Kita bahas yang positif dulu ya.
1. Waktu dengan keluarga. Tentunya kita menjadi mempunyai lebih banyak waktu berkualitas dengan keluarga. Dulu banyaknya waktu yang terbuang untuk komuter rumah-kantor sekarang bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, misalnya seperti memasak, olahraga, bermain dengan anak, memandikan anak, dan lain-lain. Contoh nyata seperti sumber dari CNN pada Kamis (22/4/2021), Art Markman, seorang Professor di Departemen Psikologi University of Texas di Austin, mencatat bahwa beberapa orang telah menggunakan waktu mereka untuk berolahraga, yang selama ini dihabiskan untuk perjalanan sehari-hari mereka saja.
2. Hobi baru. Pasti banyak diantara kita yang juga ‘ikut’ memiliki hobi baru seperti kolektor tanaman hias, ikan cupang, bersepeda, atau memasak. Memang terdengar unik karena banyaknya waktu yang bisa digunakan dirumah disalurkan untuk hal yang positif dan membuat imunitas semakin baik.
3. Peka terhadap kesehatan dan lingkungan yang menjadi lebih bersih. Berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor dan pesawat dapat mengurasi emisi karbondioksida di lingkungan sekitar. Sehingga udara menjadi lebih bersih dan membuat semakin banyak orang yang mau berjalan kaki atau wisata ke alam untuk kesehatan fisik dan mentalnya. Selain itu, dikutip dari situs British Medical Journal, pandemi memberikan dampak positif pada perubahan perilaku manusia. Publik menjadi lebih serius dalam menanggapi pesan kesehatan masyarakat dan lebih peduli terhadap kesehatan.
Sedangkan dampak negatif virus corona yang hingga saat ini sedang dialami semua orang hampir di setiap negara, tak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya. Meningkatnya tingkat stress juga menjadi dampak tidak langsung yang dirasakan. Hingga kini belum diketahui kapan pandemi COVID-19 selesai, sehingga yang bisa dilakukan adalah menerapkan usaha pencegahan demi melindungi diri, keluarga, dan sekitar.
Banyaknya sektor-sektor bisnis yang harus lay-off, merugi, bahkan gulung tikar membuat ekonomi di Indonesia masih di jurang resesi. Sebagai suatu organisasi banyak yang bisa dipelajari dengan pandemi ini. Berdasarkan hasil survei Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang Naker) menyebutkan sebanyak 40,6% perusahaan mengatakan bahwa kondisi perusahaannya sangat merugi di masa pandemi Covid-19. Sementara 47,4% menjawab perusahaannya merugi.
Organisasi dituntut untuk dapat adaptif menghadapi situasi yang serba baru dan 180% berbeda dari biasanya. Seperti artikel dari McKinsey&Company, The Future of Work: Understanding what’s temporary and what’s transformative, menyatakan bahwa suatu organisasi harus dapat mengevaluasi 3 area kunci yang tidak hanya muncul karena adanya pandemi tetapi juga berkembang pasca pandemi. 1. Perubahan sementara pada sistem operasional karena merespon krisis pandemi. 2. Perubahan permanen pada cara bekerja sehari-hari. Suatu organisasi sekarang dituntut untuk dapat melakukan transformasi digital dan otomasi proses bisnis agar dapat ‘bertahan’ di era pandemi ini. 3. Jenis/tipe pekerjaan baru yang muncul karena pandemi.
Selain itu, data dari McKinsey Global Institute menyatakan bahwa 20-25% tenaga kerja dapat bekerja dari jarak jauh (remote) selama 3 hari atau lebih dalam seminggu di perekonomian yang maju. Banyak pekerja yang juga sependapat dengan data tersebut, termasuk saya, mengapa? Mengutip pernyataan Adam Grant terkait produktivitas adalah suatu tujuan dan proses, bukan suatu tempat. Yang didorong oleh mengapa dan bagaimana kita bekerja, bukan tempat dimana kita bekerja. Fleksibilitas yang menjadi kunci. Pekerja yang diberikan kesempatan atau dilibatkan untuk memberikan suara dalam proses pengambilan keputusan, akan lebih ‘attach’ pada organisasinya dan bekerja dengan produktif.
Jadi, apakah organisasi tempat anda bekerja sudah siap dengan perubahan besar yang akan terjadi pasca pandemi selesai? Pandemi covid ini menjadi turning point bagi organisasi untuk dapat adaptif dan agile. Dan apakah kita semua juga akan berubah tingkah laku dan kebiasaannya dalam menjalani kehidupan sehari-hari?
BTS Meal – A strong ARMY and what organizations can learn from them
Saya tahu BTS Meal diluncurkan tanggal 9 Juni dari IG Explore saya sehari sebelumnya (maklum, bukan ARMY XD). Tapi saya bener-bener tidak menyangka BTS Meal bisa bikin OJOL tumpah ruah di store McDonald’s sampai Polisi dan Satpol PP menyegel dan menutup store McDonald’s (FYI, BTS Meal memang diatur ga boleh dine-in ya temans, katanya untuk menghindari kerumunan ARMY di store). Kelanjutan dari “fenomena” ini, 32 store McDonald’s kena sanksi (sanksi tertulis atau sanksi pemberhentian operasi) dan kantong makanan BTS Meal yang ada logo BTS (kantong saja loh ya, tidak dengan makanannya) dijual di marketplace dengan harga fantastis hingga jutaan rupiah!
Whoa, ARMY! You got my attention!
Jadi kepo, ARMY sama BTS ini hubungannya seperti apa sih, kok ARMY bisa segitu militannya? Bahkan, Harvard Business School sampai membuat case study khusus tentang BTS.
Buat yang belum paham BTS, BTS merupakan boyband asal Korea yang ada sejak 2013 dan terdiri dari 7 member. BTS kepanjangan dari “Bangtan Sonyeondan” dan fans mereka menamakan dirinya ARMY “Adorable Representative M.C. for Youth”. BTS menjadi artis yang berhasil menjual lebih dari 500 ribu keping album pada tahun 2020 selain Taylor Swift. BTS memecahkan banyak rekor di Youtube maupun Spotify hingga masuk Guiness World Records 2020.
Sepanjang periode 2013-2020, terdapat 2.395.082.950 (2 miliar!) mention tentang BTS di media sosial dengan rata-rata 958.597 mention setiap harinya. Berdasarkan riset Hyundai Research Institute, BTS membantu perekonomian Korea Selatan sebesar $3,6 milyar US dolar dan 800 ribu wisatawan asing mengunjungi Korea Selatan karena BTS (70% dari total jumlah turis tahunan). Ketika perusahaan rekaman BTS (Big Hit Entertainment) go public, label tersebut bernilai $4 milyar US dolar dengan harga saham per lembar $115. Ga usah ditanya, ARMY pun berbondong-bondong membeli sahamnya.
Dari kacamata organisasi, fenomena global BTS ini seperti membenarkan teori atau konsep yang saya ketahui dalam pengelolaan organisasi. Cekidot!
1) Misi BTS yang genuine dan konsisten, serta role-modelling
Tidak sekedar bermusik dan mengusung lagu dengan tema umum percintaan, BTS memiliki misi untuk membawa perubahan di masyarakat, khususnya mengenai self-love, kesehatan mental, kepercayaan diri, dan sebagainya. Sejak 2013, BTS secara genuine dan konsisten menggaungkan hal tersebut dalam lirik lagunya maupun di dalam setiap kesempatan yang diberikan seperti ketika diundang untuk memberikan speech di kantor Perserikatan Bangsa Bangsa (catet: satu-satunya grup k-pop yang diundang untuk berbicara di PBB).
Tidak hanya omong doang, member BTS pun hidup sejalan dengan misi dan nilai yang mereka yakini (role modeling). Dengan orisinalitas, konsistensi, dan memberikan contoh, sungguh ini merupakan hal yang menular! ARMY dapat merasakannya, terkoneksi (relate) dengan misi BTS, dan mencontohnya. Member BTS “Suga” yang berhasil mengatasi rasa ketidakpercayaan diri, berhasil menyemangati ARMY untuk percaya diri. Member BTS yang dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi diikuti oleh ARMY dengan berdonasi di berbagai platform salah satunya ARMY Indonesia di KitaBisa.Com.
Organisasi tidak cukup hanya memiliki misi dan tujuan. Misi dan tujuan organisasi harus secara genuine dan konsisten dihidupkan dan dirasakan oleh semua orang di dalam organisasi yang dimana Pimpinan memegang peranan penting di sini. Pimpinan dalam organisasi pun harus memberi contoh dengan menjadi role model sehingga misi dan nilai organisasi tidak hanya sekedar tulisan di dinding, “hiasan” di annual report, ataupun berhenti di ucapan.
Menurut Vicki Tenhaken dalam bukunya “Lesson From Century Club Companies: Managing for Long-Term Success”, perusahaan yang bertahan hidup lebih dari 100 tahun adalah mereka yang memiliki misi dan budaya yang kokoh. Bermodalkan ini, organisasi menjadi magnet bagi talent terbaik. Gallup mengatakan bahwa solidnya kesamaan visi berpengaruh terhadap engagement pegawai. Kalau gini, ya saya jadi ga heran kenapa OJOL pesanan ARMY bisa menuhin store McD.
2) Kompaknya member BTS
Walaupun anggotanya tidak sedikit alias 7 orang, member BTS solid, saling mendukung satu sama lain. ARMY melihat member BTS benar-benar peduli satu sama lain. Anggota termuda BTS “Jungkook” pernah berkata bahwa dia paling tidak bisa melihat kakak-kakaknya di BTS bersedih. Bayangkan kalau Pimpinan di organisasi kita sesolid dan sekompak member BTS, kompak memiliki satu visi, saling bersinergi, tidak saling menjatuhkan, dan tidak saling berantem, organisasi akan semakin dahsyat. Bawahan pun akan mencontoh, pegawai semakin solid.
ARMY arguably salah satu fandom tersolid di dunia. Di bulan Juni 2020, ketika BTS berdonasi sebesar $1 juta US dolar kepada gerakan ‘Black Lives Matter’. ARMY di seluruh dunia langsung mengikuti dengan melakukan crowdfunding yang berhasil mengumpulkan 1 juta dolar juga dalam waktu 24 jam dalam gerakan #MatchAMillion. WOW!!
Again, hal ini mengonfirmasi teori Gallup yang mengatakan bahwa engagement yang tinggi bersumber dari hubungan kuat dan asik di antara pegawai. Mengacu Change Model milik Kotter yang dimana langkah ke-4 adalah “Enlist a Volunteer Army”: Yes, this solid BTS ARMY is definitely a strong force for change!
3) BTS menjaga hubungan baik dengan ARMY
Tidak hanya solid sesama member, member BTS mempunyai hubungan baik dengan ARMY, salah satunya dengan rutin membuat konten sosial media agar terus connect dengan ARMY. Kalau member BTS kita analogikan sebagai Pimpinan tertinggi di organisasi, Pimpinan perlu secara reguler berinteraksi dengan para pegawai dengan cara yang efektif agar terus dirasakan kehadirannya, semangatnya, serta aspirasi pegawai tersampaikan (misal: blusukan, townhall meeting, BoD letter, dan sebagainya). Bagi Pimpinan di level tengah atau atasan langsung, hubungan yang baik dengan anak buah meningkatkan trust yang berdampak kepada kualitas dan kecepatan pekerjaan dan tentunya menciptakan suasana kerja yang nyaman (Forbes). Cara BTS berkomunikasi dengan ARMY mengonfirmasi teori Dale Carnegie dalam bukunya “How to Win Friends & Influence People” bahwa skill berinteraksi dengan orang lain menjadi ‘koentjie’ dalam meng-influence orang lain.
All in all, despite “the chaos” publicized during BTS Meal launching, I saw the positives. Dan saya pun ter-influenced! Di perjalanan pulang kantor tanggal 9 Juni itu, saking penasaran, saya ikut membeli BTS Meal via drive-thru di store McDonald’s dekat rumah yang kebetulan tidak ramai. Sambil menulis artikel ini pun, lagu-lagu BTS terdengar di telinga saya.
Sekian. Salam sehat. Dan BORAHAE!
Working Mom
“Mother is the heartbeat in the home; and without her, there seems to be no heartthrob.” —Leroy Brownlow. Siapa yang setuju dan familiar dengan quotes diatas? Saya sebagai ‘newbie mom’ ingin mengacungkan jari setinggi-tingginya. Ibu menjadi pemeran utama bagi keluarganya dirumah. Mungkin bagi ibu-ibu diluar sana yang sudah mengemban tugas mulia menjadi seorang ibu akan paham betul maknanya.
Menjadi seorang ibu memiliki tanggung jawab, perjuangan, dan tantangan yang tak mudah dilalui dalam mendidik dan membesarkan anaknya, terlebih jika merangkap menjadi working mom atau ibu pekerja. Berbagai kewajiban dirumah yang harus dilakukan yang seolah tak ada habisnya dan tugas-tugas kantor yang juga menyita waktu dan emosi setiap harinya membuat ibu harus dapat membagi peran sebaik-baiknya. Dilema seringkali dirasakan bagi para working mom. Saat dikantor kepikiran anak dirumah, saat dirumah kepikiran deadline pekerjaan. Seakan ingin membelah diri berada di dua tempat secara bersamaan.
The International Labor Organization menyebutkan bahwa 70% wanita-wanita di negara maju telah terlibat dalam ekonomi global dan begitu pun di negara berkembang dilaporkan bahwa 60% wanita yang telah menikah dan memiliki anak mengambil bagian dalam perekonomian keluarga. Sedangkan di Indonesia, laporan dari BPS tercatat sebesar 35% partisipasi angkatan kerja wanita dan ibu pekerja menggunakan waktu mereka selama 40 jam per minggu selama lima hari dengan fasilitas dan kompensasi yang memadai.
Dari data-data diatas terlihat bahwa jumlah working mom cukup mendominasi hampir di seluruh dunia. Memilih menjadi seorang working mom bukanlah merupakan pilihan yang mudah. Memilih bukan berarti salah atau benar, melainkan adanya konsekuensi yang akan dihadapai baik bagi dirinya, anak, dan keluarga. Yuk yang pertama kita bahas, apa saja ya konsekuensi atau dampak dari working mom untuk anak-anaknya?
Working mom telah menghabiskan banyak waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas dari tempat kerja. Para working mom berusaha untuk melaksanakan kedua-dua peran (sebagai ibu dan pekerja) dalam satu interaksi keseimbangan peran agar dapat menghasilkan kesejahteraan (Nomaguchi et al, 2005). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, working mom memiliki pengaruh yang baik kepada anak-anak usia sekolah dengan membekali dirinya dengan sikap otonomi (kemandirian) dan kualitas merawat anak-anaknya dengan lebih baik. Selain itu, working mom juga akan memberikan pengaruh kesehatan mental yang lebih baik dan dapat memberikan keuntungan bagi anak-anak khususnya remaja karena adanya penghasilan tambahan dan stimulasi sosial dan kognitif sehingga mewujudkan interaksi yang lebih positif dan menjaga kualitas attachment dengan keluarga (Kalil& Siol-Guest, 2004).
Penelitian lain yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Development menunjukan bahwa anak dari working mom memiliki pencapaian akademis yang lebih tinggi, karier yang lebih sukses, serta menghasilkan skor kognitif yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan working mom memiliki kestabilan finansial yang lebih baik sehingga dapat memberikan fasilitas yang memadai untuk anak. Waktu yang terbatas dan tuntutan pekerjaan juga membuat working mom berusaha lebih efisien dalam mendampingi tumbuh kembang anak sehingga menajdi lebih sensitif dengan kebutuhannya. Working mom yang bisa menjadikan waktu keluarga sebagai prioritas dan berkomitmen untuk perkembangan anak mereka mampu membangun ikatan yang sehat dengan anak layaknya ibu yang tidak bekerja.
Begitu pula American Psychological Association, menganalisis dan menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari working mom tidak memiliki masalah perilaku, sosial, atau kesulitan belajar yang signifikan. Prestasi di sekolah pun tidak tertinggal. Para working mom tidak hanya membantu keluarga secara ekonomi, tetapi juga membantu diri sendiri secara profesional dan emosional jika melakukan pekerjaan yang disukai, serta membantu anak.
Namun dibalik adanya dampak positif working mom bagi anaknya, ada juga konsekuensi yang dirasakan oleh ibu sebagai individu. Working mom akan lebih rentan untuk merasa lelah dan tertekan karena adanya tuntutan untuk menyeimbangkan peran sebagai karyawan, ibu, dan istri. Dimana perasan stress ini dapat mempengaruhi hubungan dengan anak dan tingkah laku anak ke depannya. Rasa bahagia dengan peran sebagai working mom akan membantu ibu untuk bersikap positif dengan anak dan menghabiskan waktu yang berkualitas dengan mereka, tanpa terganggu dengan stres keseharian. Hal ini didukung oleh studi Milkie, et al. (2015), dimana ditemukan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan oleh orangtua dengan anaknya, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan emosi dan kognitif mereka. Waktu yang berkualitas lebih dibutuhkan, dibandingkan kuantitasnya.
Jadi apapun peran yang seorang ibu pilih tidak ada yang lebih baik satu dari yang lainnya, tetap ada konsekuensi masing-masing. Hal yang lebih penting adalah dukungan yang diberikan oleh lingkungan di sekitarnya agar ibu merasa bahagia dan berdaya dengan posisi yang mereka pilih. Dan bagi semua working mom diluar sana, pentingnya lingkungan kerja yang kondusif bagi wanita serta sejalan dengan peraturan pemerintah tentang perlindungan pekerja wanita di tempat kerja, agar hak-haknya dapat terpenuhi serta dapat efektif dan efisien membagi waktu yang baik dengan keluarga karena ibu yang bahagia adalah kunci kebahagiaan keluarga.
Vulnerability (Kerapuhan)
“Kau tak tahu betapa rapuhnya aku”
“Bagai lapisan tipis air yang beku”
“Sentuhan lembut kan hancurkan aku”
Diatas adalah sepenggal lirik dari lagu “Rapuh” yang dipopulerkan oleh Joeniar Arif di awal tahun 2000-an. Ada yang masih ingat atau pernah dengar? Hehe… Lucu juga ya, lagu rapuh tapi dibawakan oleh penyanyi pria maskulin yang tampak sangar. Namun bukan rapuh emosional yang akan kita bahas kali ini. Tapi berkaitan tentang membuat sebuah tim yang hebat dengan modal rapuh (vulnerable). Lho kok bisa? Ya memang bisa, apa yang tidak bisa di jaman sekarang yang serba cepat berubah. Malah sebuah artikel hangat dari Harvard Business Review oktober tahun lalu melansir bahwa pemimpin di era saat ini membutuhkan vulnerability, bukan bravado (sikap sok pahlawan).
Pasca puncak pandemi Covid-19, tatanan dunia baru sudah menuju new normal, bukan tatanan sunda empire ya, beda kalo itu. New normal yang dimaksud disini yaitu cara-cara baru dalam menjalankan aktivitas manusia sehari-hari. Yang paling kentara, orang-orang menjadi lebih perhatian dengan aspek kesehatan. Orang yang biasa kerja ke kantor, sekarang sudah terbiasa kerja dari rumah. Orang yang sering ke pasar, sekarang rajin belanja online. Orang yang biasanya ke ATM, mulai biasa internet banking, dan lain sebagainya. Transformasi digital di berbagai bidang pun menjadi lebih cepat akibat pandemi. Lambat laun, organisasi yang tidak responsif akan tertinggal dari kompetitor.
Kita semua paham bahwa kemajuan peradaban manusia adalah hasil dari implementasi collective knowledge multi generasi, bukan individual effort. Steve Jobs dan Dennis Ritchie meninggal di bulan dan tahun yang sama (Oktober 2011). Namun hanya sedikit orang yang tahu tentang Dennis Ritchie. Tanpa Steve Jobs (pendiri Apple), mungkin tak akan ada ipad, ipod, iphone, macbook, dan produk overpriced Apple. Tapi tanpa Dennis Ritchie (penemu C & UNIX), takkan ada windows, atau bahasa dasar programming, dan kita semua hanya akan melihat angka binary (1 dan 0) di layar monitor seperti film The Matrix.
Begitu pula Albert Einstein yang di gadang sebagai manusia tercerdas dengan menemukan kesetaraan massa dan energi E=MC2 sehingga menjadi dasar pembuatan bom atom. Namun hanya sedikit yang kenal dengan Marie Curie yang sebenarnya juga sangat krusial dengan penemuan riset mengenai radioaktivitas sehingga dia lazim disebut “The woman behind the bomb”. Intinya, kemajuan peradaban manusia adalah hasil collective effort, meskipun ada beberapa figur yang lebih terekspose di mata publik.
Dalam sebuah organisasi yang agile dan adaptif terhadap perubahan, sudah pasti terdapat tim yang hebat di dalamnya. Sedangkan tim yang hebat, terdiri dari anggota tim yang mampu bekerja sama dengan baik. Lalu bagaimana sih bekerjasama dalam tim yang baik? Daripada ribet dengan konsep dan definisi abstrak, yuk kita coba ke jaman batu kala manusia masih primitif:
Bayangkan kita berada dalam sebuah suku (tribe) nomaden di hutan belantara. Saat waktunya berburu, biasanya ada yang memimpin, kadang kepala sukunya langsung, atau ksatria tangguh dengan kepemimpinan yang baik.
Untuk sukses mendapat buruan, tim pemburu ini harus bekerjasama satu sama lain. Ada tim pengintai (scout), tabib (physician/shaman), pemanah (archer), dan juga tentunya seorang ketua tim (chief). Untuk mengambil keputusan mau kemana, dia butuh pendapat tim pengintai/scout, untuk mendapat informasi kondisi anggotanya, dia butuh tabib, dan untuk mengeksekusi binatang buruan, dia butuh pemanah.
Situasi di dalam hutan tidak dapat diprediksi, kadang ada hewan buas, perubahan cuaca, atau bertemu musuh dari suku lain. Ketua tim hanya punya sepasang mata, dia tidak bisa mengamati keadaan di sekeliling timya dengan sempurna. Dia butuh seluruh anggota untuk berbicara pada saat ada ancaman datang, atau hal lain yang membuat tim efektivitas tim menjadi rapuh (vulnerable).
Seorang pemanah yang vulnerable karena tergigit ular, harus bilang ke tabib untuk diobati. Seorang scout yang vulnerable karena kesulitan memanjat pohon untuk melihat situasi dari ketinggian, harus bilang ke anggota lain untuk membantunya memanjat. Seorang tabib tua yang vulnerable karena terlalu lelah berjalan, harus bilang ke ketua tim untuk beristirahat sejenak. Seorang ketua tim yang vulnerable karena ragu membuat keputusan, harus minta pendapat/informasi dari anggota tim lain. Dengan begitu, seluruh komponen tim akan menutupi kekurangan masing-masing dan berburu dengan efektif dan efisien dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi.
Logikanya sama saja pada sebuah tim pada suatu organisasi. Setiap orang dalam tim tersebut harus mampu mengutarakan vulnerability mereka dalam bekerja, sehingga anggota tim yang lain akan dapat membantu mereka. Ketua tim juga tidak terkecuali, karena pada dasarnya menjalankan organisasi bukan one man show, tapi band of brothers. Namun Sebelum itu, kita tahu bahwa tidak semua orang nyaman mengutarakan vulnerability-nya. Ada yang takut di bully, atau dipandang inkompeten. Nah, kita harus aware kapan kita aman mengutarakan vulnerability sehingga kita dapat memperbaiki kekurangan kira dalam bekerja. Ada 3 syaratnya:
Pertama, pastikan pemimpin Anda terbiasa dan nyaman mengutarakan vulnerability-nya, sehingga kita tahu bahwa dia toleran terhadap kekurangan anggota tim dan bersedia membantu Anda dengan pengalaman, pengetahuan, maupun kebijaksanaannya. Akan susah bila Anda mendapati pemimpin yang merasa dirinya superman dan paham akan segala hal serta tidak mentolerir kesalahan. Bila Anda punya pemimpin jenis ini, sebaiknya Anda jangan menunjukkan vulnerability Anda.
Kedua, pastikan suasana kerja Anda embrace vulnerability, misalnya ada kolega yang baik dan dengan senang hati membantu Anda. Ada diskusi/chat di saat break atau weekend yang tidak melulu soal kerjaan, dan ada aktivitas bersama yang dilakukan untuk membangun kekompakan tim, seperti sering makan siang bersama, karaoke selepas jam kantor, pulang bareng, sepedahan bareng di akhir pekan, dan lain sebagainya. Intinya, segala aktivitas yang menumbuhkan trust di dalam tim.
Ketiga, pastikan Anda memiliki batasan dalam pikiran Anda sejauh mana kebutuhan mengutarakan vulnerability, jangan over-expose sampai ke permasalahan pribadi yang sebenarnya bisa Anda handle sendiri tanpa bantuan orang lain, atau terlalu fokus terhadap satu kolega saja, sehingga menganggap Anda sebagai beban/burden organisasi.
Jadi, vulnerability is good or not, tergantung dimana dan pada siapa Anda bekerja. Show trust to the right people, and it will amaze you how they will trust you back.
Menghadapi Rasa Malas
Siapa yang tidak kenal rasa malas? Rasanya hampir semua orang pernah merasakannya. Bahkan orang yang terlihat rajin sekalipun, pasti terkadang merasakan rasa malas. Dari setiap kegiatan kita sehari-hari, selalu ada hal-hal yang membuat kita malas sehingga membuat keseharian kita menjadi kurang produktif.
Meskipun begitu, rasa malas merupakan hal yang sangat sulit untuk dihilangkan. Di saat rasa malas menghantui, seringkali kita selalu mengatakan pada diri sendiri “Sudah dong malas-malasannya, yuk berhenti bermalas-malasan”. Padahal, menghilangkan rasa malas tidak sesederhana itu. Ibaratnya, menghilangkan rasa malas sesungguhnya sesulit memberitahu orang yang kelebihan berat badan untuk mengurangi berat badannya, pecandu narkoba untuk berhenti mengonsumsi narkoba secara instan, dan orang yang depresi untuk menjadi ceria dan semangat.
Stephanie Lee, penulis F*ck Yes! Saturday (FY!S), menyatakan bahwa kemalasan adalah hal alami yang dimiliki manusia dan seringkali disebut dengan “easy mode” dari kehidupan sehari-hari kita. Ketika seseorang menghadapi permasalahan atau harus memutuskan melakukan sesuatu, bisa jadi jalan yang dipilih adalah “easy mode” ini karena tidak melakukan sesuatu (do nothing) atau merasa aman (being really safe) untuk tidak melakukan sesuatu adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan. Jadi, kemalasan adalah hal yang datang dari diri kita sendiri yang bisa terjadi dikarenakan misalnya, karena kita terlalu banyak pilihan, terlalu banyak informasi sehingga membuat kita bimbang dan memikirkan segala hal, atau kita tidak tahu arah mana yang kita tuju, hingga karena memang kita ingin menghindari pekerjaan yang berat.
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghadapi rasa malas. Rata-rata kita menghadapi rasa malas dengan mengerjakannya dengan cepat. Misalnya, ketika diminta untuk mencuci piring dan kita dalam situasi yang sangat malas melakukannya. Yang mendorong diri kita untuk pada akhirnya mencuci piring biasanya adalah pikiran seperti “Saya akan mencucinya dengan cepat agar pekerjaan ini segera berakhir dan saya akan kembali ke kegiatan saya sebelumnya”. Padahal, solusi tersebut bukanlah hal yang baik, karena mengerjakan sesuatu dengan cepat hanya akan berakhir pada rasa malas yang terus berkelanjutan.
Agar dapat menghadapi rasa malas, kuncinya adalah mengelola ekspektasi. Ekpektasi kitalah yang seringkali membuat “tembok tebal” dalam diri kita yang akhirnya menimbulkan rasa malas. Sebagai contoh ketika saya memiliki cita-cita untuk menjadi kaya dengan ekpektasi mendapatkan uang dengan cara cepat dalam kurun waktu satu tahun agar orang lain melihat saya sebagai orang yang sukses. Saya memiliki beberapa cara dan sudah memahami bagaimana saya melakukannya. Namun pada akhirnya karena ekspektasi yang saya set sedemikian rupa, saya tidak melakukan apa-apa karena terhalangi bayang-bayang kegagalan, terlalu banyak hal yang harus dilakukan hingga cemas dan khawatir ketika akan menjalankannya. Karena hal-hal itulah, pada akhirnya kita akan memasuki “easy mode” dalam diri kita atau bermalas-malasan sehingga tujuan tidak tercapai. Nah, untuk mengelola ekspektasi dan mengurangi rasa malas, ada lima hal yang dapat dilakukan sebagai permulaan, yaitu :
- Keluarkan tujuan/goal yang diharapkan dari pikiranmu dan kalau bisa ditulis dengan menggunakan tulisan nyata.
- Cari tahu hal-hal yang bisa dilakukan saat ini, dimulai dari hal yang terkecil.
- Berkomitmen untuk melakukan hal atau kegiatan yang sedikit-sedikit.
- Terapkanlah pola pikir “harus” untuk menyemangati pikiran kita dalam menyelesaikan setiap pekerjaan.
- Temukan seseorang yang perhatian atau menemani kita di saat kita melakukan kesalahan atau kegagalan.
Tentang Loyalitas
Apa sih loyalitas? Kita sering mendengar tapi juga sering gagal paham artinya apa, maksudnya gimana, dan sebenarnya penting atau tidak buat kita. Umumnya, kata loyalitas sering bersanding dengan diksi kesetiaan, kepercayaan, kejujuran, dedikasi, dan sebagainya. Itu semua benar, karena memang dimensi loyalitas luas sekali. Mulai dari hubungan di antara dua orang manusia, sampai ke urusan loyalitas konsumen, ataupun antara pegawai dan organisasi kerja.
Dari lingkup kecil, jika anda setia dan berdedikasi pada seseorang atau sesuatu, maka anda adalah orang yang loyal. Orang yang loyal akan dapat diandalkan dan senantiasa jujur, kadang kejujurannya seperti pil pahit, namun kita tahu bahwa banyak obat bentuknya pil pahit, layaknya kritik tidak pernah ada yang enak didengar, meskipun datang dari orang yang paling loyal terhadap kita. Namun sebenarnya kita tahu bahwa kita butuh kritik membangun dari sudut pandang orang lain.
Loyalitas membutuhkan asas resiprokal untuk mempertahankan sebuah hubungan, artinya kita tidak bisa berharap pihak lain loyal sementara kita tidak loyal, vice versa. Kalaupun bertahan, hubungan itu hanya sementara dan dapat dengan mudah berakhir, layaknya unstable equilibrium dalam persamaan matematika, atau kelereng di ujung tanduk. Saat fakta disloyalitas diketahui pihak yang loyal, relasi akan berakhir dan kadang dengan ending yang dramatis.
Di sisi lain, loyalitas yang resiprokal ibarat stable equilibrium, atau seperti kelereng ditengah bejana lengkung (mangkok), meskipun kelereng terguncang naik dan turun, tapi akan tetap kembali ke titik tengahnya. Analoginya dalam sebuah hubungan, akan ada naik turun karena saling mengkritik dan mengutarakan ekspektasi, tapi kita tahu bahwa itu dilakukan dengan tujuan positif agar masing-masing pihak menjadi lebih baik. Loyalitas yang kuat akan mampu bertahan di tengah berbagai ujian, ujian yang paling sering ditemukan biasanya di kala salah satu pihak sedang dalam keadaan buruk. Pihak yang lain dituntut tetap di sisinya untuk membantu dan mendukungnya. Ibarat seorang sahabat yang tidak akan meninggalkan anda ketika anda terpuruk secara fisik ataupun psikis. Bila pihak itu justru memanfaatkan anda atau justru berbuat jahat, maka anda sebenarnya loyal dengan orang yang salah.
Lalu apa yang harus kita lakukan bila menghadapi sebuah relasi dengan loyalty mismatch. Hanya ada 2 solusi, pertama anda bisa mencoba mengubah loyalitas orang/pihak lain yang berbeda dengan anda, tentunya dengan keyakinan bahwa hal tersebut baik untuk orang/pihak tersebut, patut dicoba namun jangan kecewa dengan risiko diserang balik. Solusi kedua, anda sebaiknya menjauh (distancing) dari relasi tersebut. Tidak ada gunanya mempertahankan relasi dengan pihak yang memiliki values dan prinsip yang berbeda. Energi anda akan habis. Ujung-ujungnya anda akan rugi waktu dan tenaga yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membangun loyalitas dengan yang lain. Anda bisa saja berpura-pura baik dan memiliki values yang sama dengan orang/pihak tersebut untuk kepentingan pribadi jangka pendek, namun itu menjadikan anda lesser human being, karena tidak loyal terhadap values anda sendiri.
Analogi serupa juga sama untuk scope lebih luas, yaitu hubungan antara pegawai dengan organisasi tempat bekerja. Untuk memiliki pegawai yang loyal, organisasi juga harus loyal terhadap pegawainya. Ukurannya tidak hanya uang/salary, kalau hanya uang ya apa bedanya dengan bisnis prostitusi, tidak ada kekuatan hubungan, hanya sekedar transaksi and that’s it. Pegawai merupakan bagian dari organisasi dan ada kebutuhan untuk dilihat, didengar, dan dikembangkan, sehingga kualitas mereka meningkat sebagai manusia. Pegawai yang disloyal hampir selalu disebabkan oleh 2 hal: (1) Pegawai yang diperlakukan berbeda atau tidak adil, bisa dari kesalahan sistem organisasi, atau kesalahan manajemen (boss dan manajer), dan yang kedua karena (2) Bad cultural fit yang disebabkan perbedaan values antara pegawai dan organisasi.
Pegawai yang disloyal ciri-cirinya umumnya mudah diidentifikasi, mereka terlihat demotivasi, disengaged, tidak excited terhadap pekerjaan, suka komplain, suka bekerja sendiri, sulit fokus, dan suka mencari kesibukan atau kesempatan diluar. Lalu apa yang harus dilakukan organisasi menghadapi masalah loyalitas pegawai.
Pertama, organisasi harus memastikan bahwa seluruh sistem dan kebijakan internal organisasi dilakukan dengan intensi memberikan yang terbaik terhadap pegawai dan mengutamakan asas adil dan transparan, sehingga setiap pegawai mendapat opportunity dan perlakuan yang sama, tidak diskriminatif, apalagi atas dasar yang tidak jelas.
Kedua, organisasi harus menghilangkan toxic boss dan toxic manager yang memicu ketidakadilan di dalam sebuah tim. Toxic boss dan toxic manajer bukan cuma dongeng, penyakit ini hampir selalu ada di setiap organisasi. Yang jadi masalah bila toxic boss dan toxic manajer jumlahnya sangat banyak dan sangat powerful sehingga menjadi mata rantai culture organisasi itu sendiri.
Ketiga, organisasi harus membantu pegawai yang disloyal dengan masalah bad cultural fit, bekerja di tempat lain dengan values yang lebih cocok untuknya, bagaimanapun organisasi memiliki andil kesalahan ketika meng-hire pegawai tersebut dan seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama untuk memperbaikinya, tentunya dengan intensi yang baik ke pegawai tersebut, bukan hanya sekedar melepas/mengeluarkan pegawai begitu saja. Kadang dengan perlakuan yang baik, pegawai tersebut bisa saja sukses di tempat lain, dan kemudian dapat mendukung organisasi kita dari luar bukan.
“Loyalty is a decision. A resolution of the soul” – Pascal Mercier –
The Jar of Life
Tidak seperti biasanya, Profesor kami hari ini membawa benda-benda yang tidak biasa ke dalam kelas. Beliau meletakkan seluruh benda tersebut di atas meja: sebuah wadah kaca yang cukup besar, beberapa batu, kerikil, pasir, dan segelas kopi.
“Mahasiswa semuanya, tolong perhatikan saya ya!” ucap Profesor dengan tersenyum cerah kepada mahasiswanya. Profesor memulai dengan memasukkan seluruh batu ke dalam wadah kaca dan kemudian bertanya kepada kami: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”. Seluruh kelas menjawab dengan kompak: “Sudaaah!”.
“Kalian yakin??” balas Profesor. Beliau kemudian lanjut memasukkan kerikil ke dalam wadah kaca dan menggoyang-goyangkan wadah tersebut sehingga kerikil bisa masuk ke dalam wadah kaca, berada di antara batu-batu. Profesor kemudian bertanya lagi: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”.
Sekarang kelas terbagi menjadi dua: Ada yang menjawab lantang sudah penuh, tetapi ada juga yang bilang belum. Profesor kemudian memasukkan pasir ke dalam wadah kaca. Sekarang dapat terlihat jelas bahwa wadah kaca penuh dengan batu, kerikil, dan pasir. Namun, Profesor tetap bertanya kepada kami: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”.
Profesor melihat muka kami yang mulai kebingungan. Beliau kemudian menuangkan kopi ke dalam wadah kaca, sedangkan kami menahan nafas apakah kopi tersebut masih bisa masuk ke dalam wadah kaca yang sudah terlihat sangat penuh itu. Dan kopi tersebut masih dapat masuk ke dalam wadah kaca!
Hampir seluruh dari kami bertepuk tangan dengan aksi Profesor hari ini.
“Ok, ok, cukup tepuk tangannya. Mari kita tarik pelajaran dari demonstrasi saya barusan.”
“Anggap wadah kaca ini adalah hidup kita.
Batu-batu besar ini adalah hal TERPENTING dalam hidup kita: keluarga, pasangan hidup, anak, kesehatan, passion, pencapaian goals, atau apapun itu yang kita akan appreciate di akhir hidup kita. Ketika semua hilang dan tinggal tersisa batu besar ini, hidup kita tetap berarti.
Kerikil adalah hal-hal lain yang berarti dalam hidup seperti pekerjaan, rumah, mobil.
Sedangkan pasir adalah hal-hal kecil yang mengisi waktu kita yang bisa kita anggap tidak terlalu penting.”
“Nah, kalau kita mengisi wadah kaca dengan pasir terlebih dahulu, batu-batu besar dan kerikil ini tidak dapat masuk ke dalam wadah kaca. Analogi ini sama dengan hidup kita.”
“Kalau kita menghabiskan waktu dan energi untuk hal kecil yang kurang penting seperti pasir itu, kita tidak akan pernah mempunyai cukup waktu dan energi untuk hal terpenting dan paling berarti dalam hidup kita. Ingat, waktu kita di dunia ini mungkin tidak lama.”
“Cari tahu hal terpenting dan hal yang paling berarti bagi hidup kita – “batu besar” kita. Menghabiskan quality-time bersama keluarga, menengok orang tua, mengejar passion atau impian yang membuat kita excited, berolahraga secara rutin, dan sebagainya. Tentukan “batu besar” kita di dalam hidup ini.”
“Then put right things first. Tentukan prioritas. “Batu besar” kita menjadi prioritas utama. Sisanya dapat kita anggap sebagai kerikil dan pasir.”
Kemudian teman kami yang berbaju biru dengan semangat mengangkat tangannya bertanya, “Prof, saya lihat semua batu dan kerikil berhasil masuk ke wadah, sedangkan pasir tidak. Masih ada sisa pasir di meja Prof.”
“It doesn’t matter, Mas Baju Biru. Mereka hanyalah “pasir” – hal-hal yang dapat kita anggap tidak terlalu penting dalam hidup kita. Kita tidak perlu memaksakan seluruhnya masuk ke dalam wadah kaca kita.” Mas Baju Biru mengangguk setuju.
Sebelum kelas break, salah satu dari kami yang masih excited dengan pelajaran hari ini, kemudian menyeletuk, “Prof, terus kopi maksudnya apa? Tadi Prof belum menjelaskan.”
“Hahaa… Ya, kamu betul. Saya belum jelaskan kopi itu maksudnya apa.”
“Maksudnya… Sesibuk apapun kita dalam hidup, masih bisa lah kita ngopi-ngopi sama temen kita. Ya ga?” Kemudian satu kelas tertawa.
Think Positive
Seorang pria bernama Eric sedang berjalan-jalan di batas kota bersama anjingnya yang bernama Nova. Nova melihat seekor kelinci dan semangat mengejarnya hingga tali kekangnya lepas dari Eric. Nova berlari semakin jauh dan Eric tidak bisa mengejarnya lagi. Eric sudah berusaha mencari Nova, bahkan selama beberapa hari, namun Nova tidak lagi ditemukan. Eric begitu sedih karena dia sangat sayang dengan anjingnya. Setelah beberapa hari, seorang wanita cantik bernama Vanessa mengetuk pintu rumah Eric dan membawa Nova yang dia temukan dekat rumahnya. Berawal dari sini, Eric dan Vanessa kemudian bercengkerama, berkencan, jatuh cinta, dan kemudian akhirnya menjadi pasangan suami istri.
Di suatu hari pada saat mengemudi untuk menjemput Vanessa, Eric mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Dokter melakukan tindakan medis yang diperlukan dan CT scan bagian kepala Eric untuk mengecek trauma di kepala. Dokter memberi kabar ke Eric bahwa dia tidak mengalami cedera berat akibat kecelakaan itu, tetapi mereka menemukan tumor kecil di otaknya. Tumor itu berada pada tahap perkembangan sangat dini dan dapat dengan mudah diangkat. Eric merenung, di satu sisi dia mendapat berbagai kesulitan hidup, namun di sisi lain, kesulitan tersebut membawanya ke sesuatu yang lebih baik. Bila Nova tidak pernah hilang, mungkin dia tidak pernah bertemu wanita yang sekarang menjadi istrinya, bila Eric tidak mengalami kecelakaan, mungkin tumor di otaknya tidak akan ditemukan. Ini adalah kisah singkat “The Nova Effect” dari The Pursuit of Wonder.
Cerita ini mirip dengan kisah “The Chinese Farmer” oleh Alan Watts yang menceritakan tentang seorang petani Tionghoa yang suatu ketika kudanya kabur saat sedang menggembala. Semua tetangga yang tahu kabar tersebut datang untuk bersimpati. Mereka berkata, “Kami turut bersedih mendengar kudamu melarikan diri. Ini hal yang sangat disayangkan dan merugikan.” Petani itu membalas, “Mungkin.” Keesokan harinya kuda itu kembali dengan membawa tujuh ekor kuda liar ke sang petani, dan semua orang yang tahu kembali berkata ke petani, “Wah, demikian beruntung ya, sekarang kamu memiliki delapan kuda! ” Petani itu kembali berkata, “Mungkin.”
Beberapa hari kemudian, putra dari sang petani mengalami kecelakaan jatuh saat menunggangi kuda, dia terlempar dan kakinya patah. Para tetangga berkata, “Ya ampun, kami turut bersedih, itu kejadian yang sangat buruk” dan petani itu menjawab, “Mungkin.” Keesokan harinya petugas wajib militer datang ke rumah sang petani untuk mengambil para pemuda yang sehat agar menjadi tentara membela negaranya di medan perang, dan mereka menolak putra sang petani karena dia mengalami patah kaki. Semua tetangga pun datang dan berkata, “Ini berita bagus, putramu tidak jadi ikut perang dan bisa terus bersamamu” Sekali lagi, sang petani menjawab, “Mungkin.”
Dua cerita fabel diatas hanya beberapa contoh kecil dari berbagai fenomena yang dialami setiap orang, setiap hari. Dalam suatu masa, kita kadang mengalami berbagai hal yang diluar ekspektasi. Kita sering mengeluh bahwa ini adalah hal buruk, namun kita juga sering overjoyed dengan hal-hal yang menurut kita baik, padahal bisa saja itu adalah awal sebuah petaka.
Seluruh fase dan dinamika kehidupan adalah proses terintegrasi dengan kompleksitas yang sangat tinggi, dan sangat tidak mungkin untuk mengatakan apakah sesuatu yang terjadi itu baik atau buruk – karena kita tidak pernah tahu apa yang akan menjadi konsekuensi dari sebuah kemalangan. Begitu juga kita tidak pernah tahu apa konsekuensi dari sebuah keberuntungan. Respon yang optimal adalah, kita harus memilki awareness yang tinggi akan eksistensi diri. Melihat diri sendiri dari sudut pandang orang ketiga yang menarasikan cerita hidup kita, kadang kita mesti keluar dari bingkai rutinitas terkini, dan membaca timeline kehidupan personal dari masa lalu, saat ini, dan proyeksi masa depan. Harapannya, kita akan selalu postif menghadapi hal-hal terburuk dalam hidup, tidak patah asa, dan juga tidak berlebihan menikmati kesenangan hingga lupa diri akan tujuan yang lebih besar. Sayangnya menjadi aware terhadap eksistensi diri sendiri adalah hal yang esoterik, tidak semua orang mampu, dan tidak semua orang bisa konsisten melakukannya. Namun, langkah kecil yang mungkin mudah dilakukan adalah kita harus selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur bahwa kita “ada” di dunia ini untuk menikmati setiap momen bersama orang-orang tercinta yang peduli dengan kita. Jadi, yuk berpikir positif setiap waktu!
Mengapa Berubah?
Dulu waktu orang bilang kesehatan itu mahal, kita nggak begitu mengerti maksudnya. Tapi pandemi yang kita alami sekarang mengajarkan makna “mahal” tersebut. Pertama, mahal dalam arti bisa fatal karena lalai menjaga kesehatan nyawa bisa menjadi taruhannya. Beruntungnya vaksinasi sudah mulai dilakukan, namun sambil menunggu giliran sebaiknya protokol kesehatan adalah yang terbaik untuk menghindari virus. Makna mahal yang kedua adalah terkait dengan biaya. Ketika kita terpaksa banyak interaksi dengan orang dan ingin memastikan kondisi kesehatan kita akan terus menerus melakukan tes baik swab atau rapid, tentu biayanya tidak murah.
Kejadian pandemi ini kemudian “memaksa” orang untuk mengubah perilakunya. Yang dulu sering kumpul-kumpul alias gaul, sekarang terpaksa banyak diam di rumah. Yang dulu kalau makan seenaknya saja, sekarang mulai mikir soal menu sehat dan jumlah kalori. Yang dulu nggak pernah olah raga, menjadi rajin rutin berolah raga. Mengapa mau berubah? Karena ingin lebih sehat dan lebih imun terhadap virus. Semua ingin hidup, nggak ada yang mau meninggal. Persis seperti yang Darwin sampaikan, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change”.
Lalu sebenarnya apa saja yang membuat seseorang bisa berubah perilakunya dan bagaimana kita bisa mengubah perilaku seseorang?
Selalu berangkat dari pertanyaan dasar “what’s in it for me?” dalam suatu proses perubahan. Seseorang mau berubah bila mengetahui ada manfaatnya. Adalah absurd mengharapkan seseorang berubah tetapi tidak bisa menggambarkan mengapa mereka harus berubah. Ini yang dikatakan John P. Kotter dalam 8 steps of leading change, tahap pertamanya yaitu creating sense of urgency. Ada urgensi sehingga seseorang atau organisasi mau berubah. Bahkan saking pentingnya urgensi dalam suatu proses perubahan, Kotter kemudian menulis satu buku khusus membahas mengenai topik tersebut. Jika sudah paham mengapa harus berubah, berarti sudah separuh perjalanan proses perubahan.hanya tinggal bagaimana melakukan perubahan. Misalnya ingin imunitas lebih tinggi? Upayanya minum suplemen, olah raga teratur, tidur yang cukup dan menjaga pola makan. Yang umumnyalebih sulit justru menemukan urgensi pada seseorang atau organisasi, sehingga kalau kalau sudah ada maka selanjutnya akan lebih mudah.
Jadi mengapa seseorang mau berubah? LifeHack menjelaskan ada tiga hal yang menyebabkan seseorang berubah: sudah lebih paham, sudah cukup lama menderita, dan sudah lelah akan hal yang sama. Orang sudah lebih paham mengenai manfaat dari kesehatan, sehingga mereka akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat. Orang sudah cukup menderita dengan penyakitnya, sehingga akan secara drastis mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat sehingga lepas dari penyakit yang dideritanya. Seseorang keluar dari pekerjaannya karena situasinya sudah unbearable, dia ingin lebih sehat secara batin sehingga lebih less pressure. Ketiga hal utama tersebut yang bisa mendorong seseorang untuk berubah.
Namun demikian, ada juga orang yang cenderung tidak mau berubah. Mengapa demikian? Henry Edberg menjelaskan faktor penyebab orang tidak mau berubah. Pertama, tidak berani berubah. Mereka takut akan resiko kegagalan. Namun seseorang harus berani mengambil resiko, dan terkadang meskipun hasilnya memang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun orang tersebut akan merasakan sensasi luar biasa karena sudah berani melangkah keluar dari comfort zone yang ada. Kedua adalah lingkungan yang kurang mendukung. Orang sungkan untuk memutus hubungan dengan lingkungan dengan lingkungan meskipun tidak mendukung. Namun berubah bukan berarti kemudian kita harus keluar dari lingkungan tersebut, cukup minimalisir interaksi dalam lingkungan tersebut. Ketiga adalah cepat menyerah setelah gagal. Biasanya setelah melakukan perubahan dan tidak langsung berhasil, seseornag dalam keraguan. Kawatir kalau gagal akan dicemooh sama orang lain. Pada saat itu sebenarnya kita sedang diuji keteguhan hati, sampai seberapa besar keinginan kita untuk berubah. Keempat adalah kita belum merasakan penderitaan yang sangat. Hal ini menyebabkan kita menyepelekan urgensi perubahan. Padahal kalau kita mau duduk sejenak melakukan refleksi serta mengambil pelajaran dari orang lain, urgensi tersebut akan terlihat. Terakhir adalah mau berubah tapi nggak tauk gimana caranya. Yang perlu dilakukan adalah cari orang yang sudah pengalaman. Ajak diskusi untuk menggali informasi. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Dunia sekarang sudah serba digital, semua informasi mudah diperoleh di dunia maya. Banyak buku atau artikel serta menonton video yang bisa memberikan informasi.
Jadi gimana? Mau duduk sejenak melakukan refleksi dan memikirkan urgensi perubahan nggak? Yuk lakukan sesering mungkin agar bisa menjadi manusia yang lebih baik di masa mendatang. Salam.
“Our greatest glory is not in never failing, but in rising everytime we fall” (confucius)
Membangun Kepercayaan melalui Komunikasi yang Efektif
Pernahkah Anda memikirkan, kenapa perbuatan yang kita sangka benar namun orang lain dapat berpikir sebaliknya? Bagaimanakah suatu ucapan atau perbuatan bisa kita anggap sebagai sesuatu yang benar ataupun salah? Ternyata, benar atau salahnya segala sesuatu bisa berdasarkan pada kepercayaan yang kita miliki atas sebuah gagasan, pandangan, nilai, norma hingga perbuatan orang yang kita kagumi. Sebuah kepercayaan juga tidak terbentuk begitu saja, dibutuhkan proses dan waktu agar sebuah kepercayaan terhadap sesuatu dapat terwujud.
Kepercayaan merupakan hal yang esensial dalam kehidupan sosial setiap manusia. Manusia memerlukan kepercayaan terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, dirasakan hingga dialami di hampir setiap aspek kehidupan, seperti kepercayaan dalam agama, hubungan antar sesama, politik, kesehatan, gaya hidup dan lain sebagainya. Sebagai contoh, jika seseorang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter terhadap penyakitnya, maka orang tersebut tidak akan mendapatkan manfaat yang maksimal atas rekomendasi yang disampaikan dokternya. Contoh lainnya adalah dalam dunia pekerjaan, apabila para karyawan tidak memercayai pimpinannya maka pencapaian tujuan dalam bekerja akan semakin sulit hingga bisa tidak tercapai. Dengan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, seseorang dapat memaknai dan melakukan aktivitasnya dengan lebih optimis dan memberikan hasil yang maksimal.
Untuk memahami konsep dari kepercayaan, ada baiknya untuk kita memahami terlebih dahulu mengenai apa itu kepercayaan dan bagaimana suatu kepercayaan dapat memberikan dampak yang besar bagi seseorang.
Menurut Paul Richard Thagard yang merupakan seorang filsuf Kanada yang mengkhususkan diri dalam ilmu kognitif, filsafat pikiran, dan filsafat ilmu pengetahuan dan kedokteran, menyampaikan bahwa kepercayaan merupakan kumpulan perilaku yang bergantung terhadap sesuatu yang dapat memengaruhi seseorang dalam beraktivitas. Kepercayaan juga merupakan sebuah perasaan kepercayaan diri dan suatu konsep keamanan diri yang dapat menjadi pedoman hidup bagi seseorang. Dengan memiliki kepercayaan akan sesuatu, manusia secara tidak langsung akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang terkandung dari kepercayaan yang dia miliki.
Membangun sebuah kepercayaan dapat terwujud melalui komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan membangun kepercayaan sangat bergantung tentang bagaimana seseorang membangun hubungan dengan lingkungannya. Banyak dari Key Opinion Leaders (KOL) seperti publik figur, pemuka agama, politikus hingga pimpinan perusahaan memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh dan percaya terhadap apa yang dilakukan dan disampaikan oleh KOL. Berikut ini adalah cara-cara yang tepat untuk membangun kepercayaan melalui komunikasi yang efektif.
Menurut akademisi Dr Katalin Illes dan Dr Martin Mathews, terdapat sepuluh cara untuk membangun kepercayaan melalui cara komunikasi yang efektif. Mendengarkan keinginan, pendapat dan suara dari lingkungannya merupakan cara yang pertama. Dengan mendengarkan dengan hati terbuka, Anda dapat mendapatkan peluang dan masukan yang tepat tentang bagaimana harus berucap, bertindak dan memutuskan sesuatu kepada para orang di sekitar, pengikut maupun bawahannya. Kedua, seseorang harus dapat mengatakan dan menunjukan secara jelas nilai atau kebiasaan yang genuine dan tulus dari dalam dirinya. Kedisiplinan dan komitmen dalam berkata dan berbuat sesuatu sangatlah penting untuk membangun kepercayaan. Ketiga, sampaikan sesuatu dengan transparan dan jujur hingga membentuk suatu budaya. Kepercayaan ditemukan dari nilai-nilai yang berasal dari hati yang berlandaskan kejujuran. Keempat, percayai orang yang menyampaikan kritik dan saran kepada Anda. Berdiskusi dan membentuk tim kompeten yang dapat membantu menyampaikan informasi yang diinginkan kepada orang di sekitar, pengikut maupun bawahan Anda.
Kehadiran merupakan hal penting yang diperlukan untuk membangun kepercayaan. Kepercayaan adalah hal yang personal dan komunikasi tatap muka adalah kunci penting untuk membangun interaksi sehingga kepercayaan pun lama kelamaan akan muncul. Seseorang juga harus fokus menyampaikan komunikasi secara terus menerus untuk membantu orang lain berada dalam kebiasaan yang diinginkan. Cara selanjutnya adalah mencintai orang di sekitar, pengikut atau bawahan Anda. Dengan mencintai mereka hingga mendapat respon yang positif, Anda akan dapat mudah masuk ke dalam suatu hubungan dan meyakinkan mereka hingga membangun kepercayaan dengan mereka.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, membangun sebuah kepercayaan membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar. Membangun keterikatan dan hubungan atas dasar kepercayaan memerlukan komitmen dan disiplin diri. Oleh karena itu, jangan mengharapkan hasil yang instan untuk membangun sebuah kepercayaan dengan orang lain yang kekal!
Mengapa Sedikit Wanita di Pucuk Pimpinan?
Dari 270 juta penduduk Indonesia dengan perbandingan jumlah pria wanita yang seimbang alias 1:1, berapa banyak wanita yang menduduki posisi pucuk pimpinan? Mari kita lihat Kabinet Indonesia Maju. Dari total 38 menteri/setingkat, hanya ada 7 wanita dalam kabinet Presiden Jokowi tersebut. 18% saja. Berapa banyak wanita Indonesia yang kamu ingat menduduki posisi pucuk pimpinan perusahaan/organisasi di negara kita ini? Atau pucuk pimpinan di tempat kamu bekerja? Sepertinya proporsi wanitanya belum banyak ya.
Skala global pun tidak kalah sedikitnya. Penduduk dunia sebanyak 7,6 miliar orang dengan perbandingan 1:1 antara pria dengan wanita, hanya 21 negara yang dipimpin oleh wanita dari total 193 negara (11% saja). Di Amerika, wanita menjadi penyumbang 47% tenaga kerja negeri Paman Sam tetapi proporsi CEO wanita hanya sekitar 5% pada perusahan Standard & Poor’s 500.
Apa karena wanita kalah secara kompetensi dibandingkan pria?
Berdasarkan artikel Harvard Business Review berjudul “Research: Women Score Higher Than Men in Most Leadership Skills”, wanita mengalahkan pria di hampir seluruh aspek kemampuan leadership. Kemampuan leadership wanita yang outstanding antara lain pengambilan inisiatif, orientasi pada hasil, serta integritas dan kejujuran yang tinggi.
Grameen Bank (The Bank for the Poor) berhasil membantu masyarakat Bangladesh keluar dari jurang kemiskinan dengan memberikan microloan kepada Ibu dari keluarga, bukan kepada Ayah. Mengapa? Karena pinjaman tersebut terbukti lebih efektif dan membawa lebih banyak kebaikan kepada keluarga ketika dipinjamkan kepada Ibu. Total peminjam Grameen Bank 97% wanita.
Berdasarkan riset McKinsey & Co dan Credit Suisse, perusahaan dengan lebih banyak wanita di posisi pimpinan mempunyai performa keuangan yang lebih baik. Bahkan ada selentingan di masa krisis finansial 2008 yaitu ”If Lehman Brothers had been Lehman Sisters, the financial crisis might have been averted.” Penanganan pemimpin negara wanita dalam krisis pandemi COVID-19 saat ini dirasa lebih baik dibanding dengan male counterpart-nya.
Nah, dengan kemampuan wanita yang ga kalah dengan pria, mengapa wanita masih mendapat porsi minim dalam posisi kepemimpinan? Banyak faktor yang mempengaruhi tetapi jika ditarik garis besar, terdapat 2 faktor yang sekiranya mempengaruhi: workplace (tempat bekerja) dan society (masyarakat).
Workplace & Society VERSUS Women
Di tempat kerja maupun di masyarakat, terdapat kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari merugikan wanita dalam mencapai posisi pucuk pimpinan.
Sebagai contoh: wanita dicap lebih memrioritaskan keluarga dibandingkan dengan pria sehingga diberikan kesempatan berbeda dengan pria di tempat bekerja. Hasil meta-analisa yang disampaikan dalam Harvard Business Review berjudul “What Most People Get Wrong About Men and Women?”, pria dan wanita memiliki prioritas yang sama terhadap keluarga. Selain itu, hasil meta-analisa juga menyatakan bahwa pria dan wanita sebenarnya memiliki ambisi, sikap, dan kemampuan yang setara dalam berkarir.
Atau ketika seorang wanita mendapatkan mentorship dari mentor pria karena populasi pimpinan pria lebih banyak dibanding wanita. Hubungan mentorship antara wanita dengan mentornya yang kebetulan seorang pria dapat disangka “aneh-aneh”. Hal ini membuat wanita merasa tidak nyaman. The same goes ketika mentor seorang wanita mempunyai mentee seorang pria.
Di bawah ini segelintir contoh kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari dapat mempengaruhi proporsi wanita menempati jajaran pimpinan:
- Ketika Wanita Melakukan Kesalahan Dalam Pekerjaan
Ketika wanita melakukan kesalahan dalam pekerjaan, wanita akan dinilai lebih kurang kompeten dan lebih rendah statusnya dibandingkan jika pria melakukan kesalahan yang sama. Sebuah riset di firma akunting besar menduga bahwa sedikitnya wanita di pucuk pimpinan disebabkan oleh wanita memilih untuk memrioritaskan keluarga, tetapi hasilnya menyatakan hal yang berbeda. Ketika pimpinan pria dan wanita di firma tersebut sama-sama mengatakan bahwa mereka akan menerima jabatan pimpinan apabila ditawarkan, pimpinan wanita memiliki kekhawatiran apabila mereka dinilai gagal dalam menjalankan tugas kepemimpinan tersebut, hal tersebut akan membahayakan karir mereka dan karir mereka akan sulit recover.
- Performance Appraisal
Dalam sebuah artikel Harvard Business Review diceritakan seorang Managing Director melakukan investigasi mengapa banyak wanita di perusahaannya memilih berhenti bekerja setelah melahirkan anak. Setelah ditelusuri penyebabnya adalah performance appraisal. Saat Pimpinan terpaksa menentukan performance rating anak buahnya dengan distribusi normal, wanita yang meninggalkan kantor untuk maternity leave mendapat nilai yang lebih rendah dibanding dengan peers-nya dengan alasan mereka bekerja tidak penuh selama setahun. Padahal ketika wanita tersebut bekerja, performance mereka sama baiknya atau bahkan lebih baik dari peers-nya yang mendapatkan performance appraisal lebih tinggi. Hal ini tentunya memperkecil kesempatan wanita untuk promosi dan menurunkan moral wanita dengan memberikan kesan bahwa menjadi seorang wanita tidak dalam posisi on-track untuk menempati pucuk pimpinan di tempat bekerja.
- Social Pressure
Society pressure is real on working women. Menurut Forbes, wanita bekerja harus berhadapan dengan cibiran ketika menyempatkan dirinya mengunjungi sekolah anaknya seperti: “Baru kelihatan ya selama ini”. Berbeda dengan pria yang bahkan akan dipuji ketika berkunjung ke sekolah anaknya. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa bersalah pada wanita bekerja karena dianggap tidak menjadi Ibu yang baik. Wanita bekerja tersebut melakukan additional effort (di luar tantangan pekerjaannya) untuk berhadapan dengan rasa bersalahnya and make peace with it.
Tidak sedikit hasil riset dan bukti nyata yang memperlihatkan bahwa keberadaan lebih banyak wanita pada jajaran pimpinan membawa lebih banyak manfaat, seperti performa keuangan yang lebih baik, membawa cara pandang yang segar di tengah-tengah pemimpin pria, dan sebagainya. Apabila organisasi serius untuk meningkatkan proporsi wanita dalam posisi pimpinan, kepercayaan, stereotyping, dan perlakuan yang ada di organisasi perlu dilihat kembali dengan hati-hati untuk melihat apakah merugikan wanita untuk mencapai posisi pucuk pimpinan. Wanita juga perlu diberi kesempatan yang sama dengan pria di tempat kerja. Kalau kesempatan saja tidak diberikan, bagaimana bisa membuktikan?
Selain itu, masyarakat tentu harus mendukung dengan cara sedikit demi sedikit mengubah cara pandang bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab seorang wanita/Ibu saja, tetapi tanggung jawab yang setara antara kedua orang tua.
Kunci Bahagia
Sekitar 80% anak muda millennial berkata bahwa menjadi KAYA RAYA adalah hal terpenting yang harus diraih dalam hidup, 50% dari komunitas tersebut juga berpendapat bahwa menjadi TERKENAL merupakan hal yang sangat penting agar bisa bahagia, setidaknya itulah hasil sebuah survei dari Higher Education Research Institute. Bagaimana menurut Anda sendiri? Mampukah Anda memprediksi hal-hal apa yang harus dilakukan di HARI INI bila Anda ingin bahagia di hari tua, meskipun badai kehidupan menerpa?
Sebelum ke inti sari, yuk merenung sejenak bahwa setiap manusia memiliki 2 variabel untuk dihabiskan selama hidupnya, yaitu WAKTU dan TENAGA. Lalu 2 variabel ini sebaiknya kita gunakan seperti apa agar bisa bahagia. Ada yang mengatakan untuk dihabiskan dengan bekerja keras siang malam sampai kaya raya dan terkenal, ada juga yang mengatakan untuk dihabiskan beribadah agar mendapat kedamaian spiritual. Jawabannya tidak ada yang salah, karena memang setiap orang memiliki standar bahagia berbeda-beda. Anda pun pasti punya standar bahagia sendiri bukan?
Nah, sekarang coba yuk kita lihat dari sisi bukti empiris yang ada, dan belajar dari masa lalu. Sebuah riset dilakukan oleh Harvard University dengan mengamati sampel sebanyak 724 orang sejak tahun 1938 sampai dengan tahun 2000-an. Ini adalah riset sosial terlama dan terpanjang di dunia untuk sekedar mencari jawaban “what makes people happy”. Berbagai macam eksperimen dan pengumpulan data dilakukan dalam riset ini, antara lain wawancara, memberi kuesioner, memeriksa rekam medis, mengambil sampel darah, scan otak, dan lain sebagainya. Ilmuwan secara estafet mengamati kondisi 724 orang (sampel) dari masa remaja, dewasa produktif, hingga usia 90-an. Saat ini ada sekitar 60-an orang dari sampel tersebut yang masih hidup.
Salah satu hal yang menarik, riset menunjukkan bahwa pada saat kebutuhan finansial dasar terpenuhi, maka faktor kekayaan (wealth) tidak begitu berpengaruh pada level kebahagiaan hakiki seseorang, malah kadang kontraproduktif, ada yang makin kaya namun gaya hidupnya tidak sehat. Kita pun tidak pernah menemui orang yang dipenghujung hayatnya menyesali hidupnya karena dulu kurang sering masuk kantor mencari uang lembur ekstra. Begitu pula dengan ketenaran. Kebahagian yang semula didapat dari perhatian, lama-kelamaan bisa menjadi momok menakutkan akibat media intrusion dan kurangnya privasi.
Kesimpulan dari riset ini hanya satu, kunci kebahagian adalah HUBUNGAN BAIK, termasuk hubungan keluarga (pernikahan), hubungan pertemanan, maupun komunitas. Orang yang memiliki hubungan sosial yang baik terbukti LEBIH SEHAT, LEBIH BAHAGIA, DAN LEBIH PANJANG UMUR. Manusia by nature adalah makhluk sosial. Hubungan dan kerjasama sosial membuat manusia menjadi spesies tunggal yang menguasai dunia.
Di sisi lain, orang yang bermasalah dengan hubungan sosial atau “kesepian” cenderung mengalami penurunan fungsi otak, gampang lupa, rentan penyakitan, dan tidak bahagia di penghujung hidupnya. Saya yakin pasti diantara kita ada yang kadang merasa kesepian ditengah kerumunan, atau bahkan bisa “kesepian” dalam hubungan pernikahan. Mungkin masalahnya bukan pada jumlah teman yang kita punya, tapi kualitas pertemanan. Punya banyak teman, ya sekedar teman, tapi bukan sahabat. Atau bisa saja Anda terjebak dalam pernikahan, karena Anda belum membuka diri dan percaya sepenuhnya pada pasangan Anda untuk menceritakan kerapuhan & insecurity terbesar dalam hidup Anda. Bila tidak mampu ke tahap ini, kadang perceraian menjadi solusi yang lebih baik.
Dimensi masalah hubungan antar manusia bisa banyak sekali, namun solusinya hanya satu: Berikan WAKTU dan TENAGA yang Anda miliki untuk membangun hubungan yang baik, dengan siapapun yang Anda anggap orang paling berharga dalam hidup Anda.
Ngomong saja memang selalu mudah daripada melakukan. Menjaga hubungan baik itu sulit, bullshit kalo ada yang mengatakan sebaliknya. Menjaga hubungan baik butuh kesabaran, kemampuan mendengar yang baik, serta konsistensi sampai akhir hidup Anda. Kadang Anda harus rutin berkunjung ke rumah sahabat, mengalah demi kebahagiaan pasangan, mendengarkan keluhan & celotehan orang, memberi bantuan, meminjamkan uang ke seseorang yang butuh, atau sekedar bertanya “Apa kabar” pada teman lama yang sudah 15 tahun tidak pernah bertemu. Bukan perkara yang mudah bukan? Kita kadang lebih memilih asik sendiri dengan gadget, image media sosial, atau video games di handphone.
Hubungan yang baik bukan berarti tidak pernah berantem, perbedaan pendapat dan pertikaian pasti ada. Namun dalam hubungan yang baik, orang-orang yang berada dalam lingkaran terdalam kita, without a shadow of a doubt, akan selalu ada disamping kita dalam suka dan duka, dan bisa bergantung satu sama lain pada saat tekanan kehidupan datang silih berganti. Orang dengan hubungan sosial yang baik, meskipun mendapat penyakit berat di akhir masa hidupnya, mood-nya akan tetap happy dan lebih tenang secara emosional. Pada kasus tertentu, emosional yang sehat justru membantu kondisi fisiknya tetap fit. Sedangkan orang dengan hubungan sosial yang buruk, akan makin menderita secara emosional pada saat terkena penyakit berat di usia senja.
Orang yang paling bahagia di masa pensiun, adalah orang yang berhasil mengubah teman kerja menjadi teman main. Jadi, yuk mulai menyambung silaturahmi dan membangun hubungan baik dengan pasangan, keluarga, orang-orang di sekitar kita!
Universal Basic Income: Masa Depan Kita?
Teman, pernah nonton film animasi Wall-E yang rilis 2008 lalu? Menonton film tersebut sedikit banyak memberi gambaran tentang masa depan, dimana teknologi semakin canggih sehingga hampir seluruh kegiatan pendukung kehidupan manusia dilakukan oleh robot. Mulai dari proses produksi makanan, sampai dengan urusan bersih-bersih. Kebayang nggak bila misalnya dalam 10 tahun lagi kegiatan produksi barang-barang sudah minim menggunakan tenaga manusia dan digantikan oleh komputer dan robot? Dari labor-intensive ke capital-intensive. Gejalanya sebenarnya sudah mulai ada; pom bensin self-service, gerbang tol otomatis, rumah 3D-printed, mobil self-driving, masuknya teknologi robot di pabrik-pabrik produksi, dan sebagainya. Manusia yang sebelumnya menjadi kelas pekerja, dituntut untuk mengambil peran yang lebih strategis dalam strata sosial yang tidak dapat digantikan oleh perangkat berbasis teknologi, misalnya pengacara, guru, dokter, dan yang lainnya.
Lalu apa hubungannya dengan konsep Universal Basic Income (UBI). Saya yakin kemajuan teknologi suatu saat akan banyak menggantikan peran manusia, dan lapangan kerja formal akan semakin sedikit dalam beberapa dekade ke depan. UBI menjadi salah satu solusi untuk setiap orang menikmati kemajuan teknologi tersebut dan sejahtera. Gimana caranya? Sederhana. Setiap orang akan menikmati pendapatan bulanan (unconditional transfer) yang mendukung standar hidup minimalnya, terlepas apakah dia seorang pengangguran ataupun memiliki pekerjaan. Misalnya teman-teman menerima Rp5 juta setiap bulan bila sudah berusia 23 tahun keatas, atau lulus kuliah. Konsep yang sontoloyo kedengarannya, tapi apa iya ada negara yang pernah mencoba konsep ini? Jawabannya ada, meskipun skalanya kecil dan bersifat penelitian. Saat ini hanya ada 2 negara yang melakukan eksperimen UBI berskala nasional dan masih berjalan hingga saat ini, yaitu Kenya dan Iran. Konsep UBI sebenarnya sudah lama hadir dengar nama program beragam di setiap negara. Namun dalam 5 tahun terakhir ini populer lagi.
Di Jerman, ada program crowdfunded UBI Mein Grundeinkommen (My Basic Income) pada 2014-2019 sebanyak $1100/bulan, program private-funded UBI oleh Sanktionsfrei pada 2019 sebanyak $466/bulan, dan program UBI dimasa pandemi Covid19 yang dilakukan oleh The German Institute for Economic Research sebanyak $1430/bulan. Di Spanyol, ada program “B-MINCOME” pada 2017. Brazil, Finlandia, Iran, China, India, Jepang, merupakan beberapa negara yang pernah melakukan riset UBI ini. Hampir seluruhnya menggunakan metode yang sama, yaitu Randomized Controled Trial, dimana peneliti memberi treatment berbeda pada 2 kelompok. Satu kelompok di beri UBI, satu kelompok lagi tidak diberi fasilitas tersebut. Setelah periode riset berlalu, peneliti kemudian melihat berbedaan karakteristik pada masing-masing kelompok.
Apa saja key findings dari berbagai eksperimen UBI ini? Kita lihat dari sisi positif dulu ya: (1) Penerima dana UBI semakin sehat dan jarang berkunjung ke klinik/rumah sakit; (2) Penerima dana memiliki indeks kebahagiaan (happiness index) yang tinggi dan tingkat stress yang rendah; (3) Penurunan angka kriminalitas; (4) Menurunkan angka putus sekolah; (5) Menstimulus kegiatan ekonomi terutama sektor informal dan mendukung pengentasan kemiskinan; (6) Penurunan angka perceraian; (7) Peningkatan indeks kepercayaan terhadap institusi pemerintah; dan lain sebagainya.
Namun bila ditilik dari sisi negatif, beberapa contohnya yaitu: (1) UBI membutuhkan dana yang sangat besar sehingga dapat menciptakan disinsentive ekonomi dari kenaikan pajak; (2) Penerima dana UBI tidak termotivasi bekerja dan mudah puas; (3) Program UBI sangat mahal (costly) dan dapat mengganggu stabilitas fiskal sebuah negara bila belum siap; (4) Ketidaksetaraan (inequality), apakah semua orang berhak mendapatkan jumlah yang sama (si kaya tidak terlalu butuh dan si miskin sangat butuh); dan lain sebagainya. Penolakan akan konsep UBI ini sebagian besar disebabkan oleh kenaikan pajak pendapatan personal terhadap orang dengan kekayaan melimpah, dan juga dari pajak korporasi yang juga akan ikut naik bila konsep ini terealisasi.
Beberapa teori mengusulkan bahwa cara terbaik agar UBI menjadi program yang sukses di era kemajuan teknologi adalah mengimplementasikan pajak terhadap penggunaan teknologi dan komputer terutama pada proses produksi dan pekerjaan yang menggantikan peran manusia. Misalnya pabrik gula, yang normalnya menggunakan 100 orang pekerja, kemudian beralih menggunakan robot, sehingga total pegawainya hanya 10 orang. Maka perusahaan tersebut harus membayar pajak ekstra dari implementasi teknologinya di pabriknya. Namun tantangan yang tidak kalah sulit, yaitu bagaimana memetakan tingkat penggunaan teknologi pada sebuah unit usaha dan mengukur jumlah pajaknya. Konsep ini belum pernah dibuat atau diujicoba, meskipun sebenarnya feasible. Bagaimana dengan teman-teman? Suka atau tidak dengan konsep ini di masa depan?
Communication Gap
Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Kemampuan pegawai dalam berkomunikasi sangatlah dibutuhkan, khususnya dalam menyampaikan dan menerima pesan atau informasi secara jelas. Pegawai yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam berkomunikasi, memiliki kecenderungan untuk bekerja lebih efisien karena dapat menerima arahan dan bekerja sesuai dengan tujuan dan obyektif dari perusahaan. Namun, pada kenyataannya masih banyak orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga dapat menyebabkan permasalahan yang besar. Salah satu hal yang menyebabkan proses komunikasi menjadi terhambat adalah karena adanya communication gap.
Communication gap merupakan istilah yang digunakan ketika terdapat perbedaan pemahaman arti pesan antara pengirim dan penerima pesan. Keith Davis, salah satu pencetus teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses interaksi yang terjadi saat pengirim pesan (sender) menyampaikan informasi dan penerima pesan (receiver) dapat menerima dan memahami informasi yang disampaikan. Communication gap dapat terjadi karena adanya gangguan (noise), perbedaan dan adanya ‘penghalang’ ketika proses penyampaian pesan atau informasi berlangsung.
“10% of conflict is due to difference in opinion and 90% is due to delivery and tone of voice”
Faktor gangguan yang dapat mengganggu proses komunikasi berupa suasana, ambiens, suara dan hal-hal eksternal lainnya yang terdapat disekeliling sender dan receiver. Selain meminimalisir gangguan melalui penentuan lokasi dan suasana komunikasi yang tepat, seseorang dapat melatih kemampuannya untuk dapat berkomunikasi dengan lebih rileks, fokus dan melatih konsentrasi untuk meningkatkan kemampuan yang disebut dengan inner silence. Di saat kita berbicara dengan orang lain, upayakan untuk selalu dalam kondisi rileks dan tidak tegang. Kurangi fokus terhadap permasalahan dan hal negatif dari pembicaraan, sehingga fokus dapat digunakan untuk mencari solusi atas permasalahan dan hal positif lainnya. Dalam posisi rileks dan fokus kepada pembicara, lama kelamaan diri kita akan terbiasa untuk membangun inner silence, yaitu kondisi dimana pikiran dan jiwa kita berada dalam situasi yang tenang dan dapat mengurangi gangguan komunikasi yang datang dari luar.
Selain faktor gangguan, proses komunikasi dapat terjadi dikarenakan adanya perbedaan antara sender dan receiver. Contoh konkritnya adalah saat seorang pimpinan perusahaan berkomunikasi dengan pegawainya yang terpaut jenjang usia yang cukup jauh. Tentunya terdapat tantangan dalam menyampaikan pesan dan arahan dikarenakan terdapat perbedaan-perbedaan, seperti cara pandang, pengalaman, umur, gaya bahasa, pemikiran dan nilai internal pimpinan tersebut dalam menyampaikan pesannya kepada pegawainya sehingga dapat mengakibatkan perbedaan pemahaman yang diterima oleh pegawai. Apabila kita tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam memahami hal-hal tersebut, maka kita akan sulit untuk memahami informasi dan menjawab ekspektasi yang disampaikan oleh lawan bicara. Kita dapat membiasakan diri untuk melatih kemampuan mengobservasi bahasa non-verbal dan deep listening dari lawan bicara kita.
“The biggest communication problem is we do not listen to understand, we listen to reply”
Dalam berkomunikasi, kita tidak hanya memahami pesan yang disampaikan melalui verbal, namun juga bahasa non-verbal yang biasanya dikeluarkan dalam bentuk bahasa tubuh. Mimik muka, gerak bibir, mata dan anggota tubuh lainnya adalah bahasa yang paling jujur dan dapat menunjukkan maksud dan tujuan asli lawan bicara di saat berkomunikasi. Tidak hanya komunikasi non-verbal, seseorang harus dapat melatih kemampuan mendengarkan secara mendalam (deep listening). Ya, komunikasi bukan hanya soal berbicara, tapi juga bagaimana kita bisa mendengarkan lawan bicara dengan baik dengan mendengarkan setiap kata-kata yang disampaikan. Hal ini dikarenakan di setiap kata yang diucapkan lawan bicara, seringkali terdapat makna tersirat yang memerlukan pemahaman dan pendengaran yang mendalam agar mengerti arti sebenarnya.
Communication gap juga terbentuk karena adanya ‘penghalang’ yang menghalangi proses pengiriman pesan. Dalam dunia perkantoran biasanya faktor penghalang yang menjadi masalah adalah penghalang fisik, persepsi, emosi, bahasa, budaya dan hubungan interpersonal. Penghalang fisik seperti dinding, pintu yang tertutup, jarak antar pegawai dapat menyulitkan para pegawai untuk berkomunikasi dengan lebih santai dan baik. Selain penghalang fisik, setiap pegawai memiliki persepsi yang berbeda-beda sesuai dengan yang pernah dialaminya. Persepsi antar pegawai yang berbeda dapat disatukan melalui proses komunikasi yang rutin, seperti mengadakan rapat atau pertemuan secara reguler untuk menyamakan persepi. Selain itu, pegawai yang takut, tidak bahagia, tegang dan tidak percaya dapat membentuk adanya penghalang emosi dan berdampak pada tertutupnya lajur komunikasi yang jelas dari dalam dirinya. Penghalang lainnya tercipta dari bagaimana seseorang tumbuh dan berkembang, yaitu faktor bahasa, budaya dan interpersonal seseorang. Cara yang paling tepat untuk mengurangi halangan ini adalah dengan memahami latar belakang dari lawan bicara kita, termasuk bahasa, budaya dan nilai-nilai yang dipegang oleh lawan bicara kita.
Banyak yang mengartikan kemampuan komunikasi sama dengan kemampuan berbicara dan berinteraksi dengan sesama. Banyak pula yang memandang bahwa berkomunikasi itu mudah karena kita sebagai manusia sudah diajarkan berkomunikasi sejak kecil. Tetapi nyatanya, masih banyak hal yang perlu dilatih agar kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dan mengurangi communication gap yang terjadi.
Welcome Gen Z
Ini bukan Z dalam film Brad Pitt, World of Z, yang artinya Zombie. Ini penggolongan generasi yang dibuat oleh para sosiolog berdasarkan esai Mannheim, “The Problem of Generation” yang membagi generasi menjadi generasi era depresi, generasi perang dunia II, generasi paska perang dunia II, generasi baby boomer, generasi X, generasi Y (biasa disebut milenial), generasi Z yang lahir antara tahun 1995 sampai dengan 2010, dan terakhir adalah generasi Alpha yang lahir di tahun 2011 sampai dengan 2025. Jika kita melihat angka tahun kelahiran, berarti saat ini usia tertua generasi Z adalah 25 tahun. Usia tersebut sudah masanya memasuki dunia kerja, dan mungkin mereka sudah berada di sekitar kita sekarang.
Menggunakan data tahun 2010, bahwa saat itu jumlah Gen Z di seluruh dunia sudah mencapai 2.5 miliar orang, sementara di Indonesia jumlahnya mencapai 68 juta orang. Jumlah ini bahkan sudah mencapai hampir dua kali lipat generasi X yang merupakan orang tuanya. Generasi hidup dimana internet sudah ditemukan dan kemudian mereka tumbuh ditemani berbagai macam gadget yang memberikan akses ke internet, utamanya media sosial dan youtube. Lima tahun terakhir mereka juga sudah ditemani dengan berbagai macam program film blockbuster melalui Netflix, HBO, Showtime dan lainnya. Mereka juga melewati masa resesi ekonomi dunia pada tahun 2007, social justice dan sekarang covid-19. Mereka juga sudah terbiasa dengan segala macam e-commerce, online shopping dan transportation. Sementara generasi sebelum mereka masih relatif lebih aktif beraktivitas dan bersosialisasi secara langsung temu muka, mereka lebih banyak beraktivitas indoor dan berhubungan melalui media pada gadget mereka.
Dikutip dari business insider generasi ini memiliki sifat yang amat berbeda dengan orang tuanya. Independen, bebas, keras kepala, pragmatis, dan terburu-buru adalah ciri umum dari generasi ini. Pola pikir dan bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari banyak dipengaruhi tontonan mereka. Cara berpakaian, berbicara, berinteraksi banyak dipengaruhi budaya asing dari film dan youtube. Karena menganggap youtube menjadi sumber informasi utama, mereka kemudian banyak yang bercita-cita menjadi youtuber. Dengan teknologi yang semakin canggih dan tidak berbatas jarak, mereka lebih asyik berinteraksi secara virtual. Belajar kelompok yang dulu dilaksanakan di rumah atau tempat tertentu, sekarang mereka lakukan secara virtual dan bisa dimana saja. Dengan akses yang semakin mudah, mereka juga tidak ragu untuk berkomunikasi dengan orang di negeri lain, baik berkenalan maupun menghubungi bintang idola mereka. Bahasa Inggris sebagai dasar berkomunikasi sudah tidak menjadi kendala karena mereka sudah terbiasa dengan seluruh tayangan dalam bahasa Inggris. Bahkan sekarang dengan maraknya K-Pop dan Drakor, banyak juga dari mereka yang fasih berkomunikasi dalam bahasa Korea.
Generasi ini lebih mengutamakan self-learning melalui media yang dimiliki meskipun tetap ikut pola konvensional yang ditetapkan pemerintah. Pandemi yang sedang terjadi sekarang tidak menganggu proses belajar mereka. Aplikasi Skype, Zoom, Google Meeting dan lainnya menjadi sarana mereka menjalani proses belajar dan berinteraksi dengan guru mereka. Banyak juga aplikasi di gadget yang memberikan referensi sumber pengetahuan bagi mereka misalnya youtube, wikipedia, blinkist dan lainnya. Mereka memiliki perpustakaan yang luar biasa besar dan luas yakni dunia internet. Setiap ada hal yang tidak dimengerti, mereka ketik di gadget dan langsung mendapat jawaban. Acara televisi konvensional juga tidak digemari oleh mereka. Mereka lebih memilih untuk mengontrol apa yang akan ditonton, daripada menunggu waktu dan acara yang akan ditayang di televisi. Menonton di gadget atau browsing internet lebih menjadi pilihan mereka.
Keseluruhan kondisi dan lingkungan yang berbeda juga membuat sebagian besar dari mereka, sekitar 50-70%, memilih daripada bekerja secara birokrasi di kantor lebih baik memiliki startup usaha sendiri. Mereka meyakini bahwa kekuatan networking akan menjamin kesuksesan bisnis mereka. Kalapun bekerja di kantor, pilihannya bukan semata-mata yang memberikan penghasilan terbesar. Dalam sebuah survei di Perancis, 25% generasi Z lebih memilih bekerja di perusahaan yang “menyenangkan”, 22% di perusahaan yang “inovatif” dan mengejutkan adalah 21% dari mereka ingin bekerja yang menjalankan etika bisnis. Informasi yang tanpa batas menjadikan mereka lebih sensitif dengan isu ketidakadilan rasial, perusakan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Mereka tidak khawatir untuk berganti tempat bekerja ketika mereka melihat ada isu mengenai hal tersebut di tempat bekerja.
Demikian sekilas mengenai Gen Z. Karakteristik yang disampaikan di atas tentunya adalah secara umum, namun cukup membuat kita paham bagaimana harus berinteraksi dengan mereka. Dalam waktu singkat ke depan, mereka akan menjadi mayoritas komposi karyawan di lingkungan kita. Penting bagi kita untuk menyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan cara mereka, bukan cara generasi sebelumnya karena komunikasi yang terjadi tidak akan efektif. Selamat datang Gen Z di dunia kerja.