Planned Obsolescene

Sekitar seabad yang lalu, sekelompok pengusaha internasional terkemuka berkumpul di Jenewa, Swiss, untuk mengadakan konspirasi kartel yang tenar dengan nama “Phoebus”. Pesertanya adalah perwakilan tertinggi dari semua produsen bola lampu terbesar, diantaranya Osram dari Jerman, Philips dari Belanda, Compagnie des Lampes dari Prancis, dan General Electric dari Amerika Serikat. Kartel Phoebus merupakan organisasi/badan pengawas yang mengatur kebijakan pasar bola lampu pijar di seluruh dunia dan merupakan kartel pertama dalam sejarah yang memiliki jangkauan global.

Perusahaan-perusahaan ini ternyata berkolusi untuk merekayasa bola lampu pijar dengan masa pakai yang berkurang secara dramatis. Lampu yang biasanya mampu menyala sekitar 1500-2000 jam dibuat hanya bertahan hanya seribu jam, sehingga memungkinkan setiap perusahaan di dunia untuk menjual lebih banyak bohlam dan menaikkan harga. Praktek ini disebut juga PLANNED OBSOLESCENCE (Keusangan yang direncanakan), yaitu pengurangan umur produk secara sengaja untuk mempercepat renewal produk, agar konsumen lebih banyak repeat order/purchase. Prancis adalah negara pertama di dunia yang melarang praktik ini pada tahun 2015, dengan ancaman hukuman 2 tahun penjara dan denda mulai €300.000 hingga 5% omset tahunan.

Praktek Planned Obsolescence pun banyak terjadi di sekitar kita. Tidak perlu jauh-jauh, gadget yang kamu gunakan untuk membaca artikel ini (handphone/tablet/PC/Laptop) sudah pasti didesain oleh produsen untuk memiliki masa pakai maksimum. Bukan hanya itu, bagi kamu pengguna produk Apple, bila gadget kamu outdated, lalu kamu mengupgrade iOS, hampir pasti gadget kamu menjadi lebih lelet atau seringkali bermasalah, bahkan tidak jarang Apple mengancam penghentian support aplikasi pengguna gadget lama. Familiar bukan dengan kejadian seperti ini?

Bentuk planned obsolescence pun bermacam-macam, ada rekayasa fungsi, durabilitas, marketing, software, estetik, persepsi, serta mempersulit perbaikan produk. Bagi kamu pengguna mobil, kamu pasti paham bahwa hampir setiap tahun produsen mobil melakukan facelift dengan menambahkan fitur-fitur tertentu, dan terkadang melabeli dengan kalimat “All New”. Praktek ini pun disinyalir menjadi strategi planned obsolescence, membuat persepsi konsumen mobil lama berubah, merasa produknya ketinggalan jaman dan undesirable, padahal fungsi mobilnya masih bagus dan tidak ada masalah. Industri lain juga masih banyak lagi, contohnya edisi buku yang diupgrade setiap tahun, mode fashion yang berubah dengan melibatkan public figure, tinta printer yang sangat mahal bahkan kadang semahal printernya, dan lain sebagainya. Praktik planned obsolescence ini juga dianggap mengancam sustainability lingkungan karena mendorong overconsumption, dan mengakselerasi penumpukan limbah manufaktur/elektronik yang berbahaya.

Peraturan perlindungan konsumen di Indonesia mungkin belum sampai berfikir kesana, padahal di negara lain, perusahaan seperti Apple, Samsung, Microsoft, pun sudah kena denda jutaan dolar karena praktek planned obsolescence yang telah terbukti di pengadilan merugikan konsumen. Yah, di Indonesia jangankan sampai kesini, bahkan untuk kebijakan return policy konsumen saja belum selevel di luar negeri. Produsen lebih sering lepas tangan saat transaksi selesai. “Barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan”, “Penjual tidak menanggung segala kerusakan produk selain tertulis di garansi”,  familiar bukan dengan frase ini? Klausula eksonerasi seperti kalimat tadi di beberapa negara diilegalkan. Bisa jadi sistem perpolitikan dan perumusan kebijakan di Indonesia masih di dominasi interaksi yang kuat dengan asosiasi cukong/ pengusaha dibanding dengan asosiasi konsumen. Tapi itu mungkin bahasan bacapikir episode lain.

Nah, kembali ke Planned Obsolescence, apa sih solusinya agar praktik semacam ini bisa diminimalisir efeknya, baik ke konsumen maupun produsen. Produsen suka dengan praktik ini karena meningkatkan profit, efisiensi, dan menjaga going concern perusahaan dalam jangka panjang. Sedangkan konsumen tidak suka dengan praktik ini karena menurunkan value produk yang dibeli dan menurunkan daya beli.

Opsi solusi pertama: Regulatory Approach

  • Mengadopsi best practice standar minimum yang harus dipenuhi produsen, layaknya bidang penerbangan (alat pesawat) dan kedokteran (peralatan medis, obat-obatan), yang memiliki standar minimum kualitas, pengerjaan, material, redundansi, yang relatif ketat dan termonitor.
  • Memperkuat layanan purna jual sampai dengan jangka waktu usia pakai maksimal dari produk-produk tertentu, termasuk pengkinian software bagi produk elektronik.
  • Memberikan hak konsumen untuk memperbaiki/mengupgrade sendiri produk yang dibelinya dan mempermudah akses informasi tentang detail produk (manual produk, atau diagram skematik utk produk elektronik), yang selama ini banyak tidak transparan.
  • Memberikan insentif bagi produsen pada saat mendukung inisiatif-inisiatif yang ramah lingkungan, ramah konsumen. Insentif dapat berupa insentif perpajakan, permodalan, inovasi, dan kemudahan lainnya.

Opsi solusi kedua: Paradigm Shift

  • Mendorong perubahan mindset dan culture masyarakat untuk tidak mudah beralih/ mengupgrade produk selama produk masih berfungsi dengan baik.
  • Memperkuat dan mempopulerkan second hand market agar masyarakat terbiasa menggunakan produk tangan kedua.
  • Edukasi dan diseminasi informasi melalui berbagai media tentang cara upgrade/perbaikan produk dengan self-service.

Solusi untuk planned obsolescence memang tidak sesimpel yang dibayangkan meskipun praktik ini sudah awam dilakukan puluhan tahun, karena bentuk dan strategi perusahaan untuk mengeksploitasi pasar akan terus berubah sesuai perkembangan jaman, yang juga menuntut solusi permasalahan yang berbeda pula. Dari lingkaran yang lebih kecil, kita sebagai konsumen harus lebih aware dan jangan terbawa oleh arus corporate greed ya.

Source: appleinsider.com, bbvaopenmind.com, durabilitymatters.com, entrepreneur.com, euroconsumers.org, theparisreview.org, stopobsolescence.org, 9to5mac.com

Psychological Safety

Pernah ngerasa enggak berani ngasih pendapat di depan bos karena takut pendapat kita berbeda dengan pendapat bos? Atau ga asing sama inside jokes “nanti mutasi ke Papua lho!” Lalu jadi was-was, ngelakuin apa aja jadi takut. Dalam bekerja memang benar kita harus berhati-hati sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku, tapi kalau ketakutannya menjadikan gangguan secara psikologis, enggak enak juga ya.

Jadi apa sih yang dimaksud psychological safety di tempat kerja? Mengutip dari website ccl.org, psychological safety adalah It’s a shared belief held by members of a team that others on the team will not embarrass, reject, or punish you for speaking up. Keadaan dimana setiap orang di organisasi tersebut mempunyai kesamaan nilai untuk tidak saling menjatuhkan, saling support, tidak menyalahkan, dan membuat setiap orangnya berani mengungkapkan pendapatnya. Keadaan seperti ini tentu saja tidak lepas dari peran pimpinan untuk menciptakan lingkungan bekerja yang aman untuk setiap anggota timnya.

Studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa keamanan psikologis memberikan beragam manfaat. Tim yang berisikan berbagai orang dengan sudut pandang dan keahlian berbeda akan menciptakan perspektif yang beragam. Perspektif ini dapat menimbulkan inovasi dan kreativitas. Namun, bila lingkungan kerja kurang aman untuk mengakomodir hal tersebut, misalnya anggota tim merasa bila idenya kurang sesuai, dapat menimbulkan potensi “berbahaya”, tentu saja iklim berani mengeluarkan pendapat, tidak akan terbentuk.

Dalam setiap organisasi, tentunya bentuk psychological safety yang ingin diciptakan beragam. Namun, terdapat tiga besaran yang dirangkum dari berbagai sumber.

  • Aman menjadi diri sendiri

Pemimpin dapat menciptakan keamanan psikologis agar anggota timnya terbuka dan berani menjadi dirinya sendiri tapi harus mencoba menjadi orang dan menutupi identitasnya, dan mencoba untuk fit in. Berpura-pura menjadi orang lain, tentunya dapat melelahkan secara emosional. Aman untuk mengungkap pendapat. Dengan menjadi diri sendiri dengan tetap menjadi profesionalitas dan bekerja di lingkungan yang supportive, menciptakan rasa inklusif, tanpa membedakan. Pemimpin dan semua anggota tim dapat terus sama-sama menciptakan sinyal positif, proaktif, dan komunikasi terbuka.

  • Aman untuk berbicara mengungkapkan pendapat

Keamanan psikologis juga dapat membantu pegawai lebih banyak dan berani berbicara mengungkap pendapatnya di tempat kerja. Ketika diperlukan untuk saling memberikan tantangan yang membangun untuk pengambilan keputusan. Banyak pegawai yang takut untuk berbicara tentang fakta yang terjadi karena takut dengan potensi efek yang akan terjadi setelahnya. Misalnya jadi kurang disukai atau merasa terancam.

  • Aman untuk mengambil risiko dan terjadi kesalahan

Keamanan psikologis menjadikan pegawai melihat tantangan sebagai peluang, berani mencoba hal baru. Dalam organisasi yang memiliki growth mindset culture, mengambil risiko didorong karena merupakan bagian pembelajaran dan berinovasi. Untuk menumbuhkan growth mindset, pimpinan seharusnya bukan hanya mempraktikkan growth mindset behavior, seperti membuka ruang kesalahan terjadi dan fokus pada progress, tetapi juga menjadi role model kepada anggota timnya untuk mendorong perilaku timnya secara luas untuk saling terbuka.

Apakah kamu sudah merasa aman secara psikologis di tempat bekerja?

Work From Anywhere

Work From Home (WFH) sih udah biasa ya, kalo Work From Anywhere (WFA) apa ya? Lebih keren lagi nih kayaknya. Kuy bahas biar bisa sotoy dikit-dikit depan mertua atau temen. Seperti makna bahasa inggrisnya, WFA artinya kita bisa bekerja dimanapun: di kafe, mall, restoran, gym, pantai, kebun binatang, atau ditengah hutan sekalipun, selama ada koneksi internet yang stabil. Asik kan, tidak terikat lagi oleh tempat (kantor) yang harus di datangi pagi-pagi, macet-macetan, absen, duduk, ngopi-ngopi, menatap kubikel, dsb.

Ceritanya gimana sih bisa muncul WFA. Jadi begini… Pandemi Covid-19 menyisakan duka mendalam untuk sanak saudara yang telah berpulang. Namun ternyata dibalik musibah selalu ada hikmah. Kehidupan masyarakat (terutama perkotaan) berubah bentuk menjadi lebih “digital”. Layanan online shopping, online food delivery, online teaching, work from home, menjadi rutinitas dan kebiasaan sehari-hari. Adaptasi dunia kerja di tahun pertama pandemi terasa amat berat karena seluruh generasi angkatan kerja, baik itu gen Z sampai dengan gen Baby Boomer “dipaksa” melek metode kerja masa kini, yaitu Work From Home (WFH).

Keharusan untuk WFH mengharuskan perusahaan meminimalisir biaya operasional yang tak lagi digunakan, seperti sewa ruangan kerja, kubikel, meeting room, listrik, membership parkiran, cleaning service, pajak, dll. WFH memberi prospek efisiensi yang masif dan feasible, dimana perusahaan dipaksa keluar dari zona nyaman dan mengakselerasi technological progress. Saat pandemi dianggap selesai, orang tidak lagi diwajibkan pemerintah untuk tinggal dirumah dan meminimalkan interaksi dan mobilitas. Namun perusahaan tidak bisa serta merta menyuruh seluruh pegawainya untuk masuk kantor serentak karena sudah terlanjur melakukan cut loss akibat covid-19. Pegawai yang sudah tidak betah berlama-lama di rumah akhirnya cukup nyaman bepergian kesana kemari, asalkan pekerjaan tetap diselesaikan dengan baik. Inilah awal mula ide WFA, bahwa kerja dimanapun sebenarnya tidak menjadi masalah asalkan bidang pekerjaan sesuai dan performa kerja tetap terjaga.

Dari sisi kinerja, sebuah studi dari Nicholas Bloom (Stanford University) menemukan bahwa ketika pegawai memilih kebijakan WFH, produktivitas mereka meningkat sebesar 13%. Ketika pekerja yang sama diberi pilihan antara tetap di rumah dan kembali ke kantor, mereka yang memilih dirumah mengalami peningkatan performa kerja lebih jauh: 22% lebih produktif daripada sebelum eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang mungkin harus menentukan sendiri situasi kerja yang cocok untuk karakter diri mereka, untuk beberapa orang, lokasi kerja tertentu bisa menjadi mood-booster yang ampuh dalam menyelesaikan tugas-tugas kantor. Setuju?

Selaksa data dan penelitian yang lain pun menyimpulkan bahwa praktik WFA membawa banyak benefit, beberapa diantaranya:

  • Meningkatkan produktivitas dan mood kerja pegawai
  • Menghemat biaya tempat tinggal, transportasi (commuting), dan makanan pegawai
  • Meningkatkan employee retention & engagement pegawai (Faktanya, 74% pegawai dari survei Owllabs mengatakan bahwa opsi WFA akan membuat mereka cenderung tidak ingin resign)
  • Mengurangi kegiatan rapat yang tidak penting
  • Mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota, dsb.

Di sisi lain, layaknya sebuah inovasi dengan berbagai risikonya, WFA juga dianggap memiliki efek negatif yang patut dipertimbangkan, beberapa diantaranya:

  • WFA mungkin tidak cocok untuk semua orang, pasti ada kelompok pegawai lain yang lebih suka ke kantor secara fisik
  • Mengurangi rasa kebersamaan, kolaborasi, dan kekompakan tim akibat minimnya sosialisasi antar pegawai
  • Risiko bocornya keamanan data pegawai dan data perusahaan
  • Kesulitan dalam penilaian kinerja, terutama menilai interpersonal skill dan leadership
  • Sulit menjalankan fungsi mentoring dari atasan ke bawahan
  • Kekhawatiran keberlangsungan karir bila pegawai jarang berinteraksi langsung dengan atasan, dll.

Melihat plus-minus penerapan WFA di tempat kerja, ada beberapa langkah dan kebijakan yang mungkin bisa dilakukan untuk mengadopsi (atau tidak) metode kerja WFA, yaitu:

  1. Mengidentifikasi karateristik organisasi beserta unit-unitnya, apakah WFA cocok atau tidak. Bisa saja pada organisasi/unit/fungsi tertentu dapat dilakukan WFA, sedangkan yang lain tidak. Selain itu diperlukan penghitungan nilai biaya dan menfaatWFA terhadap organisasi.
  2. Melakukan kebijakan transisi. WFA adalah sebuah keputusan besar yang menyangkut seluruh aspek operasional organisasi. Bilapun dilakukan, ada baiknya organisasi melakukannya secara bertahap, misalnya 2 hari dalam seminggu WFA, dan 3 hari tetap ke kantor, semakin lama frekuensi ke kantor dikurangi sembari dimonitor kinerja dan produktivitas pegawai.
  3. Membuat peraturan, panduan, atau SOP yang jelas mengenai remote working, bila perlu disertai enforcement yang kuat terhadap pelanggaran kedisipinan WFA, seperti pegawai yang menghilang (ghosting), bocornya data pegawai/perusahaan, ketepatan waktu hadir online, kebijakan perjalanan (travelling), dsb.

Kebijakan WFA memang menggiurkan saat ini. Namun jangan lupa, manusia adalah makhluk sosial, ada kebutuhan jiwa untuk terhubung dengan jiwa yang lain. Meskipun WFA diadopsi, regular meeting tetap wajib dilakukan secara rutin untuk membangun kolaborasi dan hubungan personal yang baik antar pegawai. Nah, siapkah tempat kerja kamu dengan WFA?

Affinity Bias

Kita mungkin cukup familiar dengan frase “nggih”, sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti “iya”. Atau “naon“ yang berarti “apa“ dalam bahasa Sunda. Di berbagai tempat kerja kita juga sering menemui karyawan/pegawai satu suku yang masih memakainya. Sebenarnya sah-sah saja dan tidak ada yang salah, jika memang untuk urusan personal dan bisa mempermudah komunikasi.

Namun yang cukup menggelitik, kebiasaan ngomong bahasa daerah asal menjadi habit di komunikasi resmi, bahkan ke jenjang pimpinan di Ibukota Jakarta yang notabene berlatar betawi. Ada kecenderungan seorang bawahan asal Jawa untuk menggunakan bahasa Jawa ke bos nya yang juga Jawa, begitu pula seorang bos yang berasal dari suku Padang, cenderung sering memakai bahasa Padang ke bawahannya yang orang Padang. Padahal dalam meeting, banyak karyawan disekitarnya yang bukan orang Jawa/Padang yang mungkin saja akan bengong sendiri, mati gaya, atau malah merasa bukan bagian dari tim.

Dalam situasi lain yang lebih krusial, misalnya dalam proses seleksi karyawan. Kita pasti sering menemui pewawancara yang memberi nilai lebih tinggi ke kandidat yang punya latar belakang sama dengan si pewawancara, bisa dari suku, agama, ras, atau interest yang sama, padahal bukan itu key criteria yang dicari oleh perusahaan. Alih-alih mencari kandidat terbaik untuk organisasi, interviewer malah terjebak memilih kandidat yang suboptimal hanya karena atribut personal yang tidak relevan bagi objektif perusahaan. Pewawancara seharusnya menggali informasi calon karyawannya apakah sesuai dengan kompetensi/pengalaman yang dibutuhkan, dan juga menggali kesesuaian dengan values perusahaan, sehingga tidak ada masalah cultural fit di tempat kerja.

Dua contoh kecil diatas merupakan fenomena yang disebut affinity bias, yaitu kecenderungan seseorang terhubung dengan orang lain yang memiliki latar belakang, kepercayaan, dan minat yang sama. Dan banyak contoh lainnya yang sering kita jumpai. Kita akan lebih cenderung berteman, mempekerjakan, atau bekerja bersama dengan orang-orang yang mirip dengan kita. Sekali lagi tidak ada yang salah dengan preferensi pribadi ke seseorang. Malah kita semua memiliki kecenderungan alami untuk berada di sekitar orang-orang yang dapat “connect” dengan kita sehingga membuat kita merasa nyaman. Dan jujur ​​​​saja, tidak ada seorang pun yang ingin dikelilingi oleh orang-orang yang membuat kita tidak nyaman bukan?

Namun demikian, affinity bias dapat menjadi sumber berbagai macam masalah bila kita tidak sadar telah melakukannya di situasi dan posisi yang tidak tepat. Affinity bias seringkali menjadi sumber diskriminasi dan ketidakadilan di tempat kerja. Affinity bias yang kronis dapat menutupi objektivitas kita dalam menilai seseorang sehingga kita akan sering berprasangka buruk dan stereotyping terhadap orang lain. Yang lebih parah, affinity bias juga sering menjadi pemicu terbentuknya “geng” di tempat kerja. Geng Jawa, geng Batak, geng Kristen, geng Islam, geng UI, geng UGM, dan lain sebagainya. Bukankah hal tersebut kita sadari sering menjadi sumber perpecahan yang tidak produktif bagi organisasi.

Dalam hal lain, affinity bias dapat membuat seseorang kesulitan untuk “connect” dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya, cenderung narrow-minded dan sulit menerima masukan positif dari orang yang berlatar belakang berbeda. Rasanya kita juga sepakat bahwa ide-ide cemerlang lebih sering datang dari tim yang diverse atau heterogen daripadatim yang homogen. Menghasilkan ide dan gagasan yang brilian adalah hal penting untuk survivability perusahaan dalam jangka panjang, apalagi perusahaan teknologi dan start-up masa kini yang amat tergantung dari inovasi. Oleh karena itu, kita akan sering menemui perusahaan teknologi dan start-up yang lebih inklusif dan diverse. Nah, bila inklusivitas merupakan salah satu values perusahaan Anda, maka meminimalisir efek affinity bias di lingkungan kerja merupakan salah satu prioritas yang harus dicermati.

Lalu bagaimana mengatasi atau paling tidak mengurangi affinity bias. Sejujurnya kita tidak akan bisa lepas dari affinity bias, namun me-manage sisi emosional dapat menjadi faktor kunci kapan affinity bias diperlukan atau tidak. Pertama, terbiasalah melatih diri dalam suasana dan lingkungan yang berbeda, Anda bisa jalan-jalan ke tempat/negara berbeda, berdialog dengan orang yang berbeda, berteman dengan bermacam-macam orang dengan latar belakang berbeda, dan lain sebagainya. Dengan membawa diversity ke inner circle, otak kita akan ter-hard-wired terbiasa menilai orang sesuai personality dan capacity yang dimiliki, bukan karena latar belakang dan informasi yang belum lengkap. Sehingga kita mampu sampai pada beberapa kesimpulan sederhana dalam hidup ini, bahwa tidak semua bule berbahasa inggris itu pintar, tidak semua orang kulit hitam itu bau, tidak semua orang Padang itu pelit, tidak semua orang Cina mata duitan, tidak semua orang Makassar itu kasar, tidak semua orang Jawa itu lembut, tidak semua orang baik itu harus sama seperti kita, dan berjuta contoh lainnya.

Pada lingkup organisasi, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi affinity bias sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap objektif perusahaan. Pertama, perusahaan bisa mengukur seberapa kuat affinity bias yang terjadi pada karyawan di tempat kerja. Alat ukur psikologisnya sudah ada dan tidak sulit untuk dilakukan. Dari sana, kita bisa melakukan tindakan preventif dan kuratif. Tindakan preventif dapat berupa pelatihan diversity rutin terhadap karyawan, baik pada level eksekutif, manajerial, maupun operasional. Sehingga awareness, understanding, acceptance, dan commitment terhadap keberagamandapat terbentuk. Sedangkan tindakan kuratif dapat berupa perbaikan SOP, sistem kerja, peraturan internal, serta mekanisme stick and carrot, guna mempromosikan inklusifitaspadasetiap divisi/tim.

Bagaimana dengan tempat kerja Anda, sudahkah inklusif dan jauh dari affinity bias?

Menghadapi Rasa Malas

Siapa yang tidak kenal rasa malas? Rasanya hampir semua orang pernah merasakannya. Bahkan orang yang terlihat rajin sekalipun, pasti terkadang merasakan rasa malas. Dari setiap kegiatan kita sehari-hari, selalu ada hal-hal yang membuat kita malas sehingga membuat keseharian kita menjadi kurang produktif.

Meskipun begitu, rasa malas merupakan hal yang sangat sulit untuk dihilangkan. Di saat rasa malas menghantui, seringkali kita selalu mengatakan pada diri sendiri “Sudah dong malas-malasannya,  yuk berhenti bermalas-malasan”. Padahal, menghilangkan rasa malas tidak sesederhana itu. Ibaratnya, menghilangkan rasa malas sesungguhnya sesulit memberitahu orang yang kelebihan berat badan untuk mengurangi berat badannya, pecandu narkoba untuk berhenti mengonsumsi narkoba secara instan, dan orang yang depresi untuk menjadi ceria dan semangat.

Stephanie Lee, penulis F*ck Yes! Saturday (FY!S), menyatakan bahwa kemalasan adalah hal alami yang dimiliki manusia dan seringkali disebut dengan “easy mode” dari kehidupan sehari-hari kita. Ketika seseorang menghadapi permasalahan atau harus memutuskan melakukan sesuatu, bisa jadi jalan yang dipilih adalah “easy mode” ini karena tidak melakukan sesuatu (do nothing) atau merasa aman (being really safe) untuk tidak melakukan sesuatu adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan. Jadi, kemalasan adalah hal yang datang dari diri kita sendiri yang bisa terjadi dikarenakan misalnya, karena kita terlalu banyak pilihan, terlalu banyak informasi sehingga membuat kita bimbang dan memikirkan segala hal, atau kita tidak tahu arah mana yang kita tuju, hingga  karena memang kita ingin menghindari pekerjaan yang berat.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghadapi rasa malas. Rata-rata kita menghadapi rasa malas dengan mengerjakannya dengan cepat. Misalnya, ketika diminta untuk mencuci piring dan kita dalam situasi yang sangat malas melakukannya. Yang mendorong diri kita untuk pada akhirnya mencuci piring biasanya adalah pikiran seperti “Saya akan mencucinya dengan cepat agar pekerjaan ini segera berakhir dan saya akan kembali ke kegiatan saya sebelumnya”. Padahal, solusi tersebut bukanlah hal yang baik, karena mengerjakan sesuatu dengan cepat hanya akan berakhir pada rasa malas yang terus berkelanjutan.

Agar dapat menghadapi rasa malas, kuncinya adalah mengelola ekspektasi. Ekpektasi kitalah yang seringkali membuat “tembok tebal” dalam diri kita yang akhirnya menimbulkan rasa malas. Sebagai contoh ketika saya memiliki cita-cita untuk menjadi kaya dengan ekpektasi mendapatkan uang dengan cara cepat dalam kurun waktu satu tahun agar orang lain melihat saya sebagai orang yang sukses. Saya memiliki beberapa cara dan sudah memahami bagaimana saya melakukannya. Namun pada akhirnya karena ekspektasi yang saya set sedemikian rupa, saya tidak melakukan apa-apa karena terhalangi bayang-bayang kegagalan, terlalu banyak hal yang harus dilakukan hingga cemas dan khawatir ketika akan menjalankannya. Karena hal-hal itulah, pada akhirnya kita akan memasuki “easy mode” dalam diri kita atau bermalas-malasan sehingga tujuan tidak tercapai. Nah, untuk mengelola ekspektasi dan mengurangi rasa malas, ada lima hal yang dapat dilakukan sebagai permulaan, yaitu :

  1. Keluarkan tujuan/goal yang diharapkan dari pikiranmu dan kalau bisa ditulis dengan menggunakan tulisan nyata.
  2. Cari tahu hal-hal yang bisa dilakukan saat ini, dimulai dari hal yang terkecil.
  3. Berkomitmen untuk melakukan hal atau kegiatan yang sedikit-sedikit.
  4. Terapkanlah pola pikir “harus” untuk menyemangati pikiran kita dalam menyelesaikan setiap pekerjaan.
  5. Temukan seseorang yang perhatian atau menemani kita di saat kita melakukan kesalahan atau kegagalan.

Toxic Positivity

 “When positivity is used to silence the human experience, it becomes toxic. – Jamie Long, Samara Quintero (Author “Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes”)

Beberapa waktu lalu, salah satu teman saya tiba-tiba mencak-mencak di telepon kepada saya:

“Ini gimana sih? Setiap kali cerita ke circle gw klo gw kesel dan mau resign karena udah ga tahan sama lingkungan kantor yang toxic, jawabannya selalu “Udah sabar aja”, “Kurang bersyukur lu. Masih bersyukur punya kerjaan” atau “Positive thinking aja”. Ya itu ga salah si… Tapi bukan berarti gw ga bersyukur loh. Dan sekarang gw malah makin tambah kesel!!”

Nah, ini adalah contoh konkrit “toxic positivity” di kehidupan kita.

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah sikap positif berlebihan yang menekan atau menghindari perasaan negatif yang sebenarnya dirasakan, baik dilakukan oleh orang lain ke diri kita, ataupun kita ke diri kita sendiri. Toxic positivity itu berarti di setiap saat, apapun yang kita hadapi – mau terjadi tragedi sekalipun, kita harus selalu positif. Padahal hidup kita ini ga selalu semulus kulit artis Korea, kawans.

Berarti positive thinking itu jelek donk? Ga begitu juga. Positive thinking pasti ada baiknnya, tetapi segala sesuatu yang berlebihan, tentunya tidak baik.

Perasaan yang kita rasakan adalah respon natural dari seorang manusia yang tentunya otentik dan valid. Dan perasaan yang muncul adalah “teriakan” dari value yang kita yakini, atau cerminan dari hal yang kita anggap penting. Ga mungkin kita marah-marah kalau hal tersebut ga melanggar value yang kita pegang. Ga mungkin kita sedih kalau hal tersebut bukan hal yang penting. Kalau dikembalikan ke cerita teman saya, dia merasa penting untuk berada di lingkungan kerja yang baik.

Menurut Dr Susan David – pencetus konsep Emotional Agility dan founder dari Institute of Coaching at McLean Hospital of Harvard Medical School, perasaan negatif yang muncul dalam diri seseorang dapat dianggap sebagai data. Data dapat dipelajari untuk diketahui penyebab mengapa perasaan yang kurang enak itu timbul dan selanjutnya menentukan langkah konkrit untuk mengatasinya.

Dampak buruk dari Toxic Positivity

Dampak buruk dari toxic positivity bisa bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:

  1. Tidak sehat, berdampak buruk pada kesehatan mental
    Dengan mengenyampingkan respon otentik dan valid manusia dan berpura-pura bersikap positif atau berpura-pura kuat padahal sebenarnya di dalam diri sudah hancur lebur, ini sudah pasti tidak sehat. Apalagi dengan adanya tekanan dari lingkungan sekitar untuk selalu positif, sehingga ketika seseorang sedang merasa tidak positif – sedih, burn-out, marah, stress berat, dan lain-lain, muncul rasa bersalah dan gagal dalam diri seseorang karena tidak bisa memenuhi ekspektasi lingkungan. Hal ini dapat berujung kepada kecemasan bahkan depresi.
  1. Emosi negatif semakin kuat, masalah tidak selesai
    Ketika sesuatu yang otentik ditekan terus-menurus, lama-lama meledak. Masalah pun tidak selesai. Daripada ditekan, emosi negatif harus diterima dan direspon dengan tepat. Di masa pandemi COVID-19 ini, bahkan semakin mudah untuk merasakan emosi yang kurang baik. Menurut survey yang dilakukan oleh Campbell dan Gavett pada 1,500 orang di 46 negara “What COVID-19 Has Done to Our Well-Being”, 85% responden merasa general well-being telah menurun sejak pandemi – dengan penyebab utama di antaranya penurunan kesehatan mental, meningkatnya tuntutan pekerjaan, dan perasaan terisolasi.
  1. Less resilient
    Toxic positivity akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menghadapi kondisi di dunia ini sebagaimana adanya. Seseorang akan menjadi kurang resilient padahal resiliency adalah salah satu kualitas yang dibutuhkan oleh seseorang, khususnya seorang Leader/Pimpinan untuk menghadapi dunia yang semakin tidak menentu.

Bagaimana cara menghadapi Toxic Positivity?

Dalam sesi singkat TED, Dr Susan David menceritakan beberapa tips dalam menghadapi emosi yang kurang mengenakkan yang timbul dalam diri kita:

  1. Beri nama pada emosi negatif dengan jelas
    Kebanyakan dari kita kalau sedang merasakan emosi negatif, biasanya mengungkapkan dengan istilah umum semacam “Gw bete nih”. Emosi tersebut dapat diberi nama dengan jelas sehingga kita dapat mengidentifikasi penyebabnya dan mengaktifkan “readiness potential” – kemampuan dalam diri manusia untuk membuat perubahan yang konkrit untuk mengatasi itu.
  1. Beri jarak antara kita dengan emosi negatif
    Misal ketika sedang merasa burn-out, hindari mengucapkan “Saya burn-out”. Tetapi ganti dengan “Saya notice kalau saat ini saya sedang merasakan burn-out”. Menurut Dr Susan, hal ini memberi jarak antara kita dengan emosi kita – “We own our emotions. They don’t own us”. Hal ini membuat bagian dari diri kita untuk muncul, maju ke depan mengatasi emosi itu.
  1. Curahkan dalam tulisan
    Ketika tidak bisa bercerita ke orang lain, kita dapat mencurahkan perasaan negatif tersebut dalam tulisan. Kita berbicara jujur apa yang kita rasakan melalui tulisan.

Last but not least, masyarakat dan lingkungan juga memiliki peran penting dalam menghadapi toxic positivity karena sepertinya sudah menjadi norma di masyarakat untuk terus positif. We are human-being – yang sangat normal memberikan respon negatif ketika sesuatu yang kurang baik terjadi.

Kembali kepada cerita teman saya di awal, daripada memaksa dia untuk bersikap positif padahal sudah jelas dia sedang dalam kondisi kesal, bingung, dan sebagainya, respon lebih baik yang dapat dilakukan oleh circle-nya adalah mengakui bahwa apa yang sedang dirasakan dia adalah valid atau berusaha membantu. Misal “I’m listening” atau “Sepertinya ada yang salah dengan kantor kamu. Apa yang bisa aku bantu?”.

Pada akhirnya, masalah sebenernya bukan pada apakah seseorang memiliki emosi negatif. Tidak ada yang salah dengan seseorang yang merasa sedih atau burn-out. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang terjebak oleh emosi negatif tersebut dan berakibat buruk pada hidupnya dan lingkungan sekitarnya – keluarga, pertemanan, bahkan pekerjaan.

It’s Okay to Not Be Okay.

Tagged : /

Tentang Loyalitas

Apa sih loyalitas? Kita sering mendengar tapi juga sering gagal paham artinya apa, maksudnya gimana, dan sebenarnya penting atau tidak buat kita. Umumnya, kata loyalitas sering bersanding dengan diksi kesetiaan, kepercayaan, kejujuran, dedikasi, dan sebagainya. Itu semua benar, karena memang dimensi loyalitas luas sekali. Mulai dari hubungan di antara dua orang manusia, sampai ke urusan loyalitas konsumen, ataupun antara pegawai dan organisasi kerja.

Dari lingkup kecil, jika anda setia dan berdedikasi pada seseorang atau sesuatu, maka anda adalah orang yang loyal. Orang yang loyal akan dapat diandalkan dan senantiasa jujur, kadang kejujurannya seperti pil pahit, namun kita tahu bahwa banyak obat bentuknya pil pahit, layaknya kritik tidak pernah ada yang enak didengar, meskipun datang dari orang yang paling loyal terhadap kita. Namun sebenarnya kita tahu bahwa kita butuh kritik membangun dari sudut pandang orang lain.

Loyalitas membutuhkan asas resiprokal untuk mempertahankan sebuah hubungan, artinya kita tidak bisa berharap pihak lain loyal sementara kita tidak loyal, vice versa. Kalaupun bertahan, hubungan itu hanya sementara dan dapat dengan mudah berakhir, layaknya unstable equilibrium dalam persamaan matematika, atau kelereng di ujung tanduk. Saat fakta disloyalitas diketahui pihak yang loyal, relasi akan berakhir dan kadang dengan ending yang dramatis.

Di sisi lain, loyalitas yang resiprokal ibarat stable equilibrium, atau seperti kelereng ditengah bejana lengkung (mangkok), meskipun kelereng terguncang naik dan turun, tapi akan tetap kembali ke titik tengahnya. Analoginya dalam sebuah hubungan, akan ada naik turun karena saling mengkritik dan mengutarakan ekspektasi, tapi kita tahu bahwa itu dilakukan dengan tujuan positif agar masing-masing pihak menjadi lebih baik. Loyalitas yang kuat akan mampu bertahan di tengah berbagai ujian, ujian yang paling sering ditemukan biasanya di kala salah satu pihak sedang dalam keadaan buruk. Pihak yang lain dituntut tetap di sisinya untuk membantu dan mendukungnya. Ibarat seorang sahabat yang tidak akan meninggalkan anda ketika anda terpuruk secara fisik ataupun psikis. Bila pihak itu justru memanfaatkan anda atau justru berbuat jahat, maka anda sebenarnya loyal dengan orang yang salah.

Lalu apa yang harus kita lakukan bila menghadapi sebuah relasi dengan loyalty mismatch. Hanya ada 2 solusi, pertama anda bisa mencoba mengubah loyalitas orang/pihak lain yang berbeda dengan anda, tentunya dengan keyakinan bahwa hal tersebut baik untuk orang/pihak tersebut, patut dicoba namun jangan kecewa dengan risiko diserang balik. Solusi kedua, anda sebaiknya menjauh (distancing) dari relasi tersebut. Tidak ada gunanya mempertahankan relasi dengan pihak yang memiliki values dan prinsip yang berbeda. Energi anda akan habis. Ujung-ujungnya anda akan rugi waktu dan tenaga yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membangun loyalitas dengan yang lain. Anda bisa saja berpura-pura baik dan memiliki values yang sama dengan orang/pihak tersebut untuk kepentingan pribadi jangka pendek, namun itu menjadikan anda lesser human being, karena tidak loyal terhadap values anda sendiri.

Analogi serupa juga sama untuk scope lebih luas, yaitu hubungan antara pegawai dengan organisasi tempat bekerja. Untuk memiliki pegawai yang loyal, organisasi juga harus loyal terhadap pegawainya. Ukurannya tidak hanya uang/salary, kalau hanya uang ya apa bedanya dengan bisnis prostitusi, tidak ada kekuatan hubungan, hanya sekedar transaksi and that’s it. Pegawai merupakan bagian dari organisasi dan ada kebutuhan untuk dilihat, didengar, dan dikembangkan, sehingga kualitas mereka meningkat sebagai manusia. Pegawai yang disloyal hampir selalu disebabkan oleh 2 hal: (1) Pegawai yang diperlakukan berbeda atau tidak adil, bisa dari kesalahan sistem organisasi, atau kesalahan manajemen (boss dan manajer), dan yang kedua karena (2) Bad cultural fit yang disebabkan perbedaan values antara pegawai dan organisasi.

Pegawai yang disloyal ciri-cirinya umumnya mudah diidentifikasi, mereka terlihat demotivasi, disengaged, tidak excited terhadap pekerjaan, suka komplain, suka bekerja sendiri, sulit fokus, dan suka mencari kesibukan atau kesempatan diluar. Lalu apa yang harus dilakukan organisasi menghadapi masalah loyalitas pegawai.

Pertama, organisasi harus memastikan bahwa seluruh sistem dan kebijakan internal organisasi dilakukan dengan intensi memberikan yang terbaik terhadap pegawai dan mengutamakan asas adil dan transparan, sehingga setiap pegawai mendapat opportunity dan perlakuan yang sama, tidak diskriminatif, apalagi atas dasar yang tidak jelas.

Kedua, organisasi harus menghilangkan toxic boss dan toxic manager yang memicu ketidakadilan di dalam sebuah tim. Toxic boss dan toxic manajer bukan cuma dongeng, penyakit ini hampir selalu ada di setiap organisasi. Yang jadi masalah bila toxic boss dan toxic manajer jumlahnya sangat banyak dan sangat powerful sehingga menjadi mata rantai culture organisasi itu sendiri.

Ketiga, organisasi harus membantu pegawai yang disloyal dengan masalah bad cultural fit, bekerja di tempat lain dengan values yang lebih cocok untuknya, bagaimanapun organisasi memiliki andil kesalahan ketika meng-hire pegawai tersebut dan seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama untuk memperbaikinya, tentunya dengan intensi yang baik ke pegawai tersebut, bukan hanya sekedar melepas/mengeluarkan pegawai begitu saja. Kadang dengan perlakuan yang baik, pegawai tersebut bisa saja sukses di tempat lain, dan kemudian dapat mendukung organisasi kita dari luar bukan.

“Loyalty is a decision. A resolution of the soul” – Pascal Mercier –

The Jar of Life

Tidak seperti biasanya, Profesor kami hari ini membawa benda-benda yang tidak biasa ke dalam kelas. Beliau meletakkan seluruh benda tersebut di atas meja: sebuah wadah kaca yang cukup besar, beberapa batu, kerikil, pasir, dan segelas kopi.

“Mahasiswa semuanya, tolong perhatikan saya ya!” ucap Profesor dengan tersenyum cerah kepada mahasiswanya. Profesor memulai dengan memasukkan seluruh batu ke dalam wadah kaca dan kemudian bertanya kepada kami: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”. Seluruh kelas menjawab dengan kompak: “Sudaaah!”.

“Kalian yakin??” balas Profesor. Beliau kemudian lanjut memasukkan kerikil ke dalam wadah kaca dan menggoyang-goyangkan wadah tersebut sehingga kerikil bisa masuk ke dalam wadah kaca, berada di antara batu-batu. Profesor kemudian bertanya lagi: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”.

Sekarang kelas terbagi menjadi dua: Ada yang menjawab lantang sudah penuh, tetapi ada juga yang bilang belum. Profesor kemudian memasukkan pasir ke dalam wadah kaca. Sekarang dapat terlihat jelas bahwa wadah kaca penuh dengan batu, kerikil, dan pasir. Namun, Profesor tetap bertanya kepada kami: “Apakah wadah kaca ini sudah penuh?”.

Profesor melihat muka kami yang mulai kebingungan. Beliau kemudian menuangkan kopi ke dalam wadah kaca, sedangkan kami menahan nafas apakah kopi tersebut masih bisa masuk ke dalam wadah kaca yang sudah terlihat sangat penuh itu. Dan kopi tersebut masih dapat masuk ke dalam wadah kaca!

Hampir seluruh dari kami bertepuk tangan dengan aksi Profesor hari ini.

“Ok, ok, cukup tepuk tangannya. Mari kita tarik pelajaran dari demonstrasi saya barusan.”

“Anggap wadah kaca ini adalah hidup kita.

Batu-batu besar ini adalah hal TERPENTING dalam hidup kita: keluarga, pasangan hidup, anak, kesehatan, passion, pencapaian goals, atau apapun itu yang kita akan appreciate di akhir hidup kita. Ketika semua hilang dan tinggal tersisa batu besar ini, hidup kita tetap berarti.

Kerikil adalah hal-hal lain yang berarti dalam hidup seperti pekerjaan, rumah, mobil.

Sedangkan pasir adalah hal-hal kecil yang mengisi waktu kita yang bisa kita anggap tidak terlalu penting.”

“Nah, kalau kita mengisi wadah kaca dengan pasir terlebih dahulu, batu-batu besar dan kerikil ini tidak dapat masuk ke dalam wadah kaca. Analogi ini sama dengan hidup kita.”

“Kalau kita menghabiskan waktu dan energi untuk hal kecil yang kurang penting seperti pasir itu, kita tidak akan pernah mempunyai cukup waktu dan energi untuk hal terpenting dan paling berarti dalam hidup kita. Ingat, waktu kita di dunia ini mungkin tidak lama.”

“Cari tahu hal terpenting dan hal yang paling berarti bagi hidup kita – “batu besar” kita. Menghabiskan quality-time bersama keluarga, menengok orang tua, mengejar passion atau impian yang membuat kita excited, berolahraga secara rutin, dan sebagainya. Tentukan “batu besar” kita di dalam hidup ini.”

Then put right things first. Tentukan prioritas. “Batu besar” kita menjadi prioritas utama. Sisanya dapat kita anggap sebagai kerikil dan pasir.”

Kemudian teman kami yang berbaju biru dengan semangat mengangkat tangannya bertanya, “Prof, saya lihat semua batu dan kerikil berhasil masuk ke wadah, sedangkan pasir tidak. Masih ada sisa pasir di meja Prof.”

It doesn’t matter, Mas Baju Biru. Mereka hanyalah “pasir” – hal-hal yang dapat kita anggap tidak terlalu penting dalam hidup kita. Kita tidak perlu memaksakan seluruhnya masuk ke dalam wadah kaca kita.” Mas Baju Biru mengangguk setuju.

Sebelum kelas break, salah satu dari kami yang masih excited dengan pelajaran hari ini, kemudian menyeletuk, “Prof, terus kopi maksudnya apa? Tadi Prof belum menjelaskan.”

“Hahaa… Ya, kamu betul. Saya belum jelaskan kopi itu maksudnya apa.”

“Maksudnya… Sesibuk apapun kita dalam hidup, masih bisa lah kita ngopi-ngopi sama temen kita. Ya ga?” Kemudian satu kelas tertawa.

Think Positive

Seorang pria bernama Eric sedang berjalan-jalan di batas kota bersama anjingnya yang bernama Nova. Nova melihat seekor kelinci dan semangat mengejarnya hingga tali kekangnya lepas dari Eric. Nova berlari semakin jauh dan Eric tidak bisa mengejarnya lagi. Eric sudah berusaha mencari Nova, bahkan selama beberapa hari, namun Nova tidak lagi ditemukan. Eric begitu sedih karena dia sangat sayang dengan anjingnya. Setelah beberapa hari, seorang wanita cantik bernama Vanessa mengetuk pintu rumah Eric dan membawa Nova yang dia temukan dekat rumahnya. Berawal dari sini, Eric dan Vanessa kemudian bercengkerama, berkencan, jatuh cinta, dan kemudian akhirnya menjadi pasangan suami istri.

Di suatu hari pada saat mengemudi untuk menjemput Vanessa, Eric mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Dokter melakukan tindakan medis yang diperlukan dan CT scan bagian kepala Eric untuk mengecek trauma di kepala. Dokter memberi kabar ke Eric bahwa dia tidak mengalami cedera berat akibat kecelakaan itu, tetapi mereka menemukan tumor kecil di otaknya. Tumor itu berada pada tahap perkembangan sangat dini dan dapat dengan mudah diangkat. Eric merenung, di satu sisi dia mendapat berbagai kesulitan hidup, namun di sisi lain, kesulitan tersebut membawanya ke sesuatu yang lebih baik. Bila Nova tidak pernah hilang, mungkin dia tidak pernah bertemu wanita yang sekarang menjadi istrinya, bila Eric tidak mengalami kecelakaan, mungkin tumor di otaknya tidak akan ditemukan. Ini adalah kisah singkat “The Nova Effect” dari The Pursuit of Wonder.

Cerita ini mirip dengan kisah “The Chinese Farmer” oleh Alan Watts yang menceritakan tentang seorang petani Tionghoa yang suatu ketika kudanya kabur saat sedang menggembala. Semua tetangga yang tahu kabar tersebut datang untuk bersimpati. Mereka berkata, “Kami turut bersedih mendengar kudamu melarikan diri. Ini hal yang sangat disayangkan dan merugikan.” Petani itu membalas, “Mungkin.” Keesokan harinya kuda itu kembali dengan membawa tujuh ekor kuda liar ke sang petani, dan semua orang yang tahu kembali berkata ke petani, “Wah, demikian beruntung ya, sekarang kamu memiliki delapan kuda! ” Petani itu kembali berkata, “Mungkin.”

Beberapa hari kemudian, putra dari sang petani mengalami kecelakaan jatuh saat menunggangi kuda, dia terlempar dan kakinya patah. Para tetangga berkata, “Ya ampun, kami turut bersedih, itu kejadian yang sangat buruk” dan petani itu menjawab, “Mungkin.” Keesokan harinya petugas wajib militer datang ke rumah sang petani untuk mengambil para pemuda yang sehat agar menjadi tentara membela negaranya di medan perang, dan mereka menolak putra sang petani karena dia mengalami patah kaki. Semua tetangga pun datang dan berkata, “Ini berita bagus, putramu tidak jadi ikut perang dan bisa terus bersamamu” Sekali lagi, sang petani menjawab, “Mungkin.”

Dua cerita fabel diatas hanya beberapa contoh kecil dari berbagai fenomena yang dialami setiap orang, setiap hari. Dalam suatu masa, kita kadang mengalami berbagai hal yang diluar ekspektasi. Kita sering mengeluh bahwa ini adalah hal buruk, namun kita juga sering overjoyed dengan hal-hal yang menurut kita baik, padahal bisa saja itu adalah awal sebuah petaka.

Seluruh fase dan dinamika kehidupan adalah proses terintegrasi dengan kompleksitas yang sangat tinggi, dan sangat tidak mungkin untuk mengatakan apakah sesuatu yang terjadi itu baik atau buruk – karena kita tidak pernah tahu apa yang akan menjadi konsekuensi dari sebuah kemalangan. Begitu juga kita tidak pernah tahu apa konsekuensi dari sebuah keberuntungan. Respon yang optimal adalah, kita harus memilki awareness yang tinggi akan eksistensi diri. Melihat diri sendiri dari sudut pandang orang ketiga yang menarasikan cerita hidup kita, kadang kita mesti keluar dari bingkai rutinitas terkini, dan membaca timeline kehidupan personal dari masa lalu, saat ini, dan proyeksi masa depan. Harapannya, kita akan selalu postif menghadapi hal-hal terburuk dalam hidup, tidak patah asa, dan juga tidak berlebihan menikmati kesenangan hingga lupa diri akan tujuan yang lebih besar. Sayangnya menjadi aware terhadap eksistensi diri sendiri adalah hal yang esoterik, tidak semua orang mampu, dan tidak semua orang bisa konsisten melakukannya. Namun, langkah kecil yang mungkin mudah dilakukan adalah kita harus selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur bahwa kita “ada” di dunia ini untuk menikmati setiap momen bersama orang-orang tercinta yang peduli dengan kita. Jadi, yuk berpikir positif setiap waktu!

Mengapa Sedikit Wanita di Pucuk Pimpinan?

Dari 270 juta penduduk Indonesia dengan perbandingan jumlah pria wanita yang seimbang alias 1:1, berapa banyak wanita yang menduduki posisi pucuk pimpinan? Mari kita lihat Kabinet Indonesia Maju. Dari total 38 menteri/setingkat, hanya ada 7 wanita dalam kabinet Presiden Jokowi tersebut. 18% saja. Berapa banyak wanita Indonesia yang kamu ingat menduduki posisi pucuk pimpinan perusahaan/organisasi di negara kita ini? Atau pucuk pimpinan di tempat kamu bekerja?  Sepertinya proporsi wanitanya belum banyak ya.

Skala global pun tidak kalah sedikitnya. Penduduk dunia sebanyak 7,6 miliar orang dengan perbandingan 1:1 antara pria dengan wanita, hanya 21 negara yang dipimpin oleh wanita dari total 193 negara (11% saja). Di Amerika, wanita menjadi penyumbang 47% tenaga kerja negeri Paman Sam tetapi proporsi CEO wanita hanya sekitar 5% pada perusahan Standard & Poor’s 500.

Apa karena wanita kalah secara kompetensi dibandingkan pria?

Berdasarkan artikel Harvard Business Review berjudul “Research: Women Score Higher Than Men in Most Leadership Skills”, wanita mengalahkan pria di hampir seluruh aspek kemampuan leadership. Kemampuan leadership wanita yang outstanding antara lain pengambilan inisiatif, orientasi pada hasil, serta integritas dan kejujuran yang tinggi.

Grameen Bank (The Bank for the Poor) berhasil membantu masyarakat Bangladesh keluar dari jurang kemiskinan dengan memberikan microloan kepada Ibu dari keluarga, bukan kepada Ayah. Mengapa? Karena pinjaman tersebut terbukti lebih efektif dan membawa lebih banyak kebaikan kepada keluarga ketika dipinjamkan kepada Ibu. Total peminjam Grameen Bank 97% wanita.

Berdasarkan riset McKinsey & Co dan Credit Suisse, perusahaan dengan lebih banyak wanita di posisi pimpinan mempunyai performa keuangan yang lebih baik. Bahkan ada selentingan di masa krisis finansial 2008 yaitu ”If Lehman Brothers had been Lehman Sisters, the financial crisis might have been averted.” Penanganan pemimpin negara wanita dalam krisis pandemi COVID-19 saat ini dirasa lebih baik dibanding dengan male counterpart-nya.

Nah, dengan kemampuan wanita yang ga kalah dengan pria, mengapa wanita masih mendapat porsi minim dalam posisi kepemimpinan? Banyak faktor yang mempengaruhi tetapi jika ditarik garis besar, terdapat 2 faktor yang sekiranya mempengaruhi: workplace (tempat bekerja) dan society (masyarakat).

Workplace & Society VERSUS Women

Di tempat kerja maupun di masyarakat, terdapat kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari merugikan wanita dalam mencapai posisi pucuk pimpinan.

Sebagai contoh: wanita dicap lebih memrioritaskan keluarga dibandingkan dengan pria sehingga diberikan kesempatan berbeda dengan pria di tempat bekerja. Hasil meta-analisa yang disampaikan dalam Harvard Business Review berjudul “What Most People Get Wrong About Men and Women?”, pria dan wanita memiliki prioritas yang sama terhadap keluarga. Selain itu, hasil meta-analisa juga menyatakan bahwa pria dan wanita sebenarnya memiliki ambisi, sikap, dan kemampuan yang setara dalam berkarir.

Atau ketika seorang wanita mendapatkan mentorship dari mentor pria karena populasi pimpinan pria lebih banyak dibanding wanita. Hubungan mentorship antara wanita dengan mentornya yang kebetulan seorang pria dapat disangka “aneh-aneh”. Hal ini membuat wanita merasa tidak nyaman. The same goes ketika mentor seorang wanita mempunyai mentee seorang pria.

Di bawah ini segelintir contoh kepercayaan, stereotyping, atau perlakuan terhadap wanita yang secara tidak disadari dapat mempengaruhi proporsi wanita menempati jajaran pimpinan:

  1. Ketika Wanita Melakukan Kesalahan Dalam Pekerjaan

Ketika wanita melakukan kesalahan dalam pekerjaan, wanita akan dinilai lebih kurang kompeten dan lebih rendah statusnya dibandingkan jika pria melakukan kesalahan yang sama. Sebuah riset di firma akunting besar menduga bahwa sedikitnya wanita di pucuk pimpinan disebabkan oleh wanita memilih untuk memrioritaskan keluarga, tetapi hasilnya menyatakan hal yang berbeda. Ketika pimpinan pria dan wanita di firma tersebut sama-sama mengatakan bahwa mereka akan menerima jabatan pimpinan apabila ditawarkan, pimpinan wanita memiliki kekhawatiran apabila mereka dinilai gagal dalam menjalankan tugas kepemimpinan tersebut, hal tersebut akan membahayakan karir mereka dan karir mereka akan sulit recover.

  1. Performance Appraisal

Dalam sebuah artikel Harvard Business Review diceritakan seorang Managing Director melakukan investigasi mengapa banyak wanita di perusahaannya memilih berhenti bekerja setelah melahirkan anak. Setelah ditelusuri penyebabnya adalah performance appraisal. Saat Pimpinan terpaksa menentukan performance rating anak buahnya dengan distribusi normal, wanita yang meninggalkan kantor untuk maternity leave mendapat nilai yang lebih rendah dibanding dengan peers-nya dengan alasan mereka bekerja tidak penuh selama setahun. Padahal ketika wanita tersebut bekerja, performance mereka sama baiknya atau bahkan lebih baik dari peers-nya yang mendapatkan performance appraisal lebih tinggi. Hal ini tentunya memperkecil kesempatan wanita untuk promosi dan menurunkan moral wanita dengan memberikan kesan bahwa menjadi seorang wanita tidak dalam posisi on-track untuk menempati pucuk pimpinan di tempat bekerja.

  1. Social Pressure

Society pressure is real on working women. Menurut Forbes, wanita bekerja harus berhadapan dengan cibiran ketika menyempatkan dirinya mengunjungi sekolah anaknya seperti: “Baru kelihatan ya selama ini”. Berbeda dengan pria yang bahkan akan dipuji ketika berkunjung ke sekolah anaknya. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa bersalah pada wanita bekerja karena dianggap tidak menjadi Ibu yang baik. Wanita bekerja tersebut melakukan additional effort (di luar tantangan pekerjaannya) untuk berhadapan dengan rasa bersalahnya and make peace with it.

Tidak sedikit hasil riset dan bukti nyata yang memperlihatkan bahwa keberadaan lebih banyak wanita pada jajaran pimpinan membawa lebih banyak manfaat, seperti performa keuangan yang lebih baik, membawa cara pandang yang segar di tengah-tengah pemimpin pria, dan sebagainya. Apabila organisasi serius untuk meningkatkan proporsi wanita dalam posisi pimpinan, kepercayaan, stereotyping, dan perlakuan yang ada di organisasi perlu dilihat kembali dengan hati-hati untuk melihat apakah merugikan wanita untuk mencapai posisi pucuk pimpinan. Wanita juga perlu diberi kesempatan yang sama dengan pria di tempat kerja. Kalau kesempatan saja tidak diberikan, bagaimana bisa membuktikan?

Selain itu, masyarakat tentu harus mendukung dengan cara sedikit demi sedikit mengubah cara pandang bahwa tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab seorang wanita/Ibu saja, tetapi tanggung jawab yang setara antara kedua orang tua.

Welcome Gen Z

Ini bukan Z dalam film Brad Pitt, World of Z, yang artinya Zombie. Ini penggolongan generasi yang dibuat oleh para sosiolog berdasarkan esai Mannheim, “The Problem of Generation” yang membagi generasi menjadi generasi era depresi, generasi perang dunia II, generasi paska perang dunia II, generasi baby boomer, generasi X, generasi Y (biasa disebut milenial), generasi Z yang lahir antara tahun 1995 sampai dengan 2010, dan terakhir adalah generasi Alpha yang lahir di tahun 2011 sampai dengan 2025. Jika kita melihat angka tahun kelahiran, berarti saat ini usia tertua generasi Z adalah 25 tahun. Usia tersebut sudah masanya memasuki dunia kerja, dan mungkin mereka sudah berada di sekitar kita sekarang.

Menggunakan data tahun 2010, bahwa saat itu jumlah Gen Z di seluruh dunia sudah mencapai 2.5 miliar orang, sementara di Indonesia jumlahnya mencapai 68 juta orang. Jumlah ini bahkan sudah mencapai hampir dua kali lipat generasi X yang merupakan orang tuanya. Generasi hidup dimana internet sudah ditemukan dan kemudian mereka tumbuh ditemani berbagai macam gadget yang memberikan akses ke internet, utamanya media sosial dan youtube. Lima tahun terakhir mereka juga sudah ditemani dengan berbagai macam program film blockbuster melalui Netflix, HBO, Showtime dan lainnya. Mereka juga melewati masa resesi ekonomi dunia pada tahun 2007, social justice dan sekarang covid-19. Mereka juga sudah terbiasa dengan segala macam e-commerce, online shopping dan transportation. Sementara generasi sebelum mereka masih relatif lebih aktif beraktivitas dan bersosialisasi secara langsung temu muka, mereka lebih banyak beraktivitas indoor dan  berhubungan melalui media pada gadget mereka.

Dikutip dari business insider generasi ini memiliki sifat yang amat berbeda dengan orang tuanya. Independen, bebas, keras kepala, pragmatis, dan terburu-buru adalah ciri umum dari generasi ini. Pola pikir dan bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari banyak dipengaruhi tontonan mereka. Cara berpakaian, berbicara, berinteraksi banyak dipengaruhi budaya asing dari film dan youtube. Karena menganggap youtube menjadi sumber informasi utama, mereka kemudian banyak yang bercita-cita menjadi youtuber. Dengan teknologi yang semakin canggih dan tidak berbatas jarak, mereka lebih asyik berinteraksi secara virtual. Belajar kelompok yang dulu dilaksanakan di rumah atau tempat tertentu, sekarang mereka lakukan secara virtual dan bisa dimana saja. Dengan akses yang semakin mudah, mereka juga tidak ragu untuk berkomunikasi dengan orang di negeri lain, baik berkenalan maupun menghubungi bintang idola mereka. Bahasa Inggris sebagai dasar berkomunikasi sudah tidak menjadi kendala karena mereka sudah terbiasa dengan seluruh tayangan dalam bahasa Inggris. Bahkan sekarang dengan maraknya K-Pop dan Drakor, banyak juga dari mereka yang fasih berkomunikasi dalam bahasa Korea.

Generasi ini lebih mengutamakan self-learning melalui media yang dimiliki meskipun tetap ikut pola konvensional yang ditetapkan pemerintah. Pandemi yang sedang terjadi sekarang tidak menganggu proses belajar mereka. Aplikasi Skype, Zoom, Google Meeting dan lainnya menjadi sarana mereka menjalani proses belajar dan berinteraksi dengan guru mereka. Banyak juga aplikasi di gadget yang memberikan referensi sumber pengetahuan bagi mereka misalnya youtube, wikipedia, blinkist dan lainnya. Mereka memiliki perpustakaan yang luar biasa besar dan luas yakni dunia internet. Setiap ada hal yang tidak dimengerti, mereka ketik di gadget dan langsung mendapat jawaban. Acara televisi konvensional juga tidak digemari oleh mereka. Mereka lebih memilih untuk mengontrol apa yang akan ditonton, daripada menunggu waktu dan acara yang akan ditayang di televisi. Menonton di gadget atau browsing internet lebih menjadi pilihan mereka.

Keseluruhan kondisi dan lingkungan yang berbeda juga membuat sebagian besar dari mereka, sekitar 50-70%, memilih daripada bekerja secara birokrasi di kantor lebih baik memiliki startup usaha sendiri. Mereka meyakini bahwa kekuatan networking akan menjamin kesuksesan bisnis mereka. Kalapun bekerja di kantor, pilihannya bukan semata-mata yang memberikan penghasilan terbesar. Dalam sebuah survei di Perancis, 25% generasi Z lebih memilih bekerja di perusahaan yang “menyenangkan”, 22% di perusahaan yang “inovatif” dan mengejutkan adalah 21% dari mereka ingin bekerja yang menjalankan etika bisnis. Informasi yang tanpa batas menjadikan mereka lebih sensitif dengan isu ketidakadilan rasial, perusakan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Mereka tidak khawatir untuk berganti tempat bekerja ketika mereka melihat ada isu mengenai hal tersebut di tempat bekerja.

Demikian sekilas mengenai Gen Z. Karakteristik yang disampaikan di atas tentunya adalah secara umum, namun cukup membuat kita paham bagaimana harus berinteraksi dengan mereka. Dalam waktu singkat ke depan, mereka akan menjadi mayoritas komposi karyawan di lingkungan kita. Penting bagi kita untuk menyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan cara mereka, bukan cara generasi sebelumnya karena komunikasi yang terjadi tidak akan efektif. Selamat datang Gen Z di dunia kerja.