Komunikasi Efektif dengan Teknik Mirroring

Bagaimana rasanya berkomunikasi dengan orang yang sudah lama mengenal kita? Lebih nyaman bukan? Biasanya karena kita sudah mengenal satu sama lain, perasaan nyaman ketika berkomunikasi itu pasti akan didapatkan. Hal seperti itu tidak akan mudah tercipta ketika kita berkomunikasi dengan orang yang baru ditemui atau baru kenal. Tapi ternyata, ada sebuah teknik dalam berkomunikasi yang dapat membuat lawan bicara merasa nyaman dengan kita bahkan di awal pertemuan. Teknik itu dinamakan mirroring. Yuk, kenal lebih jauh tentang teknik ini!

Dalam kehidupan kita sering menemukan situasi dimana kita berkomunikasi secara nyaman dengan orang lain. Tidak hanya kita yang merasa nyaman, tapi lawan bicara kita pun merasa nyaman. Hal ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Kenyamanan dalam berkomunikasi dengan orang lain didapatkan ketika kita dan lawan bicara saling merasakan hal, pemikiran, ide atau kesukaan yang sama dengan kita. Semakin banyak hal yang berkaitan dengan diri kita, maka gap yang menghalangi proses komunikasi kita akan lebih kecil dan orang lain akan merasa nyaman dengan kita. Hal inilah yang kemudian membuat para ahli komunikasi kemudian menyimpulkan bahwa agar seseorang dapat memperkecil gap yang ada dengan lawan bicaranya, orang tersebut harus dapat memiliki “kesamaan” dengan lawan bicaranya. “Kesamaan” yang paling mudah terlihat bahkan di awal pembicaraan adalah kesamaan dalam hal gestur, pola berbicara, dan tingkah laku.

Berdasarkan buku yang ditulis T. L. Chartrand dan J. A. Bardgh tahun 1999 berjudul “The Chameleon Effect : The perception-behavior link and social interaction”, teknik itulah yang kemudian disebut dengan teknik mirroring atau teknik yang mengimitasi hal-hal nonverbal dari lawan bicara sehingga seseorang dapat bergestur, pola berbicara dan bertingkah laku yang mirip dengan lawan bicaranya. Seperti halnya Chameleon atau bunglon yang berubah warna menyesuaikan dengan lingkungannya, seseorang dengan teknik ini pun melakukan hal yang serupa.

Sebenarnya teknik ini seringkali kita rasakan secara tidak sengaja atau tidak sadar. Pernahkah bertemu orang asing yang tersenyum ketika melihat kita dan kita membalasnya dengan senyuman? Atau, ketika orang terlihat bingung, maka kita juga secara tidak sadar akan berekspresi kebingungan? Ada lagi saat kita sedang berbicara dengan seseorang yang banyak menggunakan gerakan di tubuhnya, kita secara tidak sengaja melakukan hal serupa. Ya, mirroring ini merupakan teknik yang memanfaatkan psikologis secara tidak sadar dari seorang manusia.

Ketika berkomunikasi, kita dapat melakukan teknik ini untuk menimbulkan bahwa kita berada pada banyak kesamaan dengan lawan bicara. Salah satu tokoh yang seringkali merlakukan teknik mirroring adalah mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Di setiap kesempatannya pada pertemuan dengan kepala negara yang lain, Barrack Obama seringkali melakukan teknik mirroring. Jika penasaran bagaimana Barrack Obama melakukan teknik mirroring, kita dapat menemukannya pada halaman YouTube dengan melakukan pencarian dengan kata “Barrack Obama Mirroring”.

Lalu, bagaimana agar kita menguasai teknik ini? Pertama, di setiap percakapan dengan orang-orang yang dekat dengan kita, perhatikan bagaimana mereka mencerminkan diri kita dan bagaimana kita mencerminkan mereka. Ini akan memberi kita panduan dasar yang dibutuhkan untuk memahami cara terbaik untuk mencerminkan orang lain. Kedua, untuk orang yang kita harap dapat menjalin hubungan baik, amati apa yang mereka lakukan dalam percakapan mereka dengan orang lain. Hal-hal macam apa yang mereka cerminkan kembali kepada orang-orang yang mereka ajak bicara? Tingkah laku, gerak tubuh, atau pilihan kata apa yang mereka tunjukkan yang dapat kita tiru secara otentik? Terakhir, latihan. Bicaralah dengan orang yang kita temui di depan umum, acara jejaring, lingkaran sosial, dll. Berlatihlah meniru dengan cara yang halus dan perhatikan apa yang terjadi saat kita melakukannya.

Tagged : /

Membangun Vocal Image

Selama ini mungkin sebagian orang berpikir bahwa penampilan adalah suatu hal yang penting untuk membangun personal branding. Orang-orang berlomba untuk berpenampilan rapi, mencolok, trendi serta melatih postur dan gestur untuk mendapatkan first impression yang baik dari lawan bicara atau orang lain yang ditemuinya dan menciptakan suatu personal branding yang diinginkan. Faktanya, memang manusia adalah makhluk visual. Sehingga, penampilan akan sangat penting bagi kita untuk menilai seseorang. Tapi ternyata, ada elemen lain yang harus menjadi perhatian kita juga ketika kita sedang membangun personal branding kita, yaitu cara kita berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain yang dapat menimbulkan persepsi terhadap diri kita. Hal inilah yang biasa disebut dengan Vocal Image. Sebelum menyelam lebih jauh untuk dapat memahami Vocal Image, mari kita memahami apa itu personal branding dan pentingnya membangun personal branding di kehidupan kita.

Menurut Farco Siswiyanto Raharjo dalam buku “The Master Book of Personal Branding” (2019), personal branding merupakan cara seseorang untuk mengambil kendali penilaian orang lain atas diri individu tersebut. Selain itu, membangun personal branding dapat diartikan juga sebagai proses pembentukan persepsi orang lain atau publik terhadap aspek yang dimiliki seseorang. Aspek ini meliputi kepribadian, kemampuan, nilai, serta persepsi positif yang ditimbulkan atau ada dalam diri individu. Pembentukan Personal branding dipengaruhi beberapa hal, yakni penampilan, tindakan, postur, gestur, dan yang tidak kalah penting adalah vokal dan cara berkomunikasi seseorang.

Vokal dan cara komunikasi kita ternyata sangat penting dalam menunjang pembentukan personal branding kita. Vinh Giang, salah satu guru dan ahli komunikasi di Amerika menyampaikan bahwa orang lain akan mulai membuat asumsi tentang kita dari momen kita mulai berbicara. Ia menyampaikan juga bahwa cara kita berbicara menunjukan kepribadian kita. Pernahkah kita melihat seseorang yang berbicara dengan cepat dan terburu-buru? Kita dapat berasumsi bahwa orang ini adalah orang yang seringkali tergesa-gesa dan serba cepat dalam melakukan sesuatu. Atau, pernahkah berbicara dengan orang yang berbicara dengan volume yang kecil? Kita dapat berasumsi bahwa orang ini adalah orang yang pemalu dan kurang percaya diri. Sedangkan orang yang berbicara dengan pelan, volume yang pas, terstruktur tegas dan tahu cara mengontrol jeda dalam berbicara, dapat kita asumsikan sebagai orang yang bijaksana dan pintar. Bukankah begitu?

Vokal kita memang dikaruniai oleh Tuhan yang tidak bisa kita tentukan atau tolak. Tapi kita bisa melatih vokal dan cara komunikasi kita sehingga kita bisa memiliki vocal image yang kuat dan kita inginkan. Salah satu caranya adalah dengan rutin melakukan reviu dari  vocal image kita secara terus menerus. Rekamlah kita berbicara selama lima menit tentang topik tertentu. Setelah rekamannya selesai, fokuskan diri kita untuk mendengarkan rekamannya. Persepsi yang kita dapat dari mendengarkan di rekaman itu adalah vocal image kita. Lakukan reviu dan perbaikan secara kontinyu. Tanyakan apakah volumenya cukup? Intonasinya sudah baik? Bagaimana dengan jeda berbicara? Apakah kita berbicara di nada atau pitch level yang enak didengar? Apakah masih banyak “em..” “aa..” “umm..” ketika kita sedang berbicara? Semua hal itulah yang harus terus diperbaiki sehingga kita memiliki vocal image yang diinginkan.

Memiliki vocal image yang kuat dan identik sangat baik untuk menunjang impression yang ingin kita ciptakan terhadap lawan bicara. Untuk menciptakan vocal image yang diinginkan, pertanyaan dasar yang harus ditanyakan adalah “Aku ingin dilihat seperti orang yang seperti apa oleh orang lain?” Jangan hanya memerhatikan penampilan, tapu latihlah terus vokal dan cara komunikasi kita, supaya personal branding yang kita inginkan dapat terbentuk.

Tagged : /

Feedback Sandwich: Yay or Nay?

Coaching dan memberikan feedback mungkin bukan hal yang asing dilakukan di lingkungan kantor. Di Baca Pikir juga sudah pernah membahas mengenai banyaknya manfaat dari coaching yang dilakukan dalam pekerjaan. Ternyata penyampaian feedback memiliki beberapa metode yang dapat diterapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 

Apakah sudah pernah dengar mengenai metode sandwich? Ada beberapa pakar yang menganggap ini metode kontroversial yang kurang tepat untuk dilakukan. Tapi ya pastinya suatu hal ada pro dan kontranya. Daripada penasaran, yuk kita bahas dulu, apa itu feedback sandwich ya! Tentunya tidak bikin lapar kok!

Feedback sandwich dipopulerkan pada 1980-an oleh Mary Kay Ash, pendiri Mary Kay Cosmetics, yang menyarankan para pimpinan untuk memberikan komentar kritis di antara lapisan pujian. Seperti namanya, sandwich alias roti lapis, feedback yang kita berikan dilakukan dengan berurutan. Layaknya roti atas, isian daging, dan roti bawah. Feedback sandwich-pun demikian; roti atas ibarat feedback yang positif sebagai pembuka, isian daging itu isi “sesungguhnya” bisa berbentuk kritik yang membangun untuk saran perbaikan dan roti bawah berisikan feedback positif kembali sebagai penutup. 

Sangat penting untuk memahami cara memberikan feedback sandwich agar menjadi yang paling efektif. Kita selalu ingin memulainya dengan setidaknya satu pernyataan positif tentang apa yang dilakukan dengan baik anggota tim. Kemudian, kita akan menyatakan umpan balik yang konstruktif, mengenai bagaimana mereka dapat meningkatkan kinerja anggota tim. Kemudian diakhiri dengan pernyataan penyemangat terakhir dan mengakhiri interaksi dengan nada positif.

Kelebihan metode ini adalah melembutkan dampak kritik bagi yang menerimanya, memungkinkan sesi coaching berakhir dengan nada dan suasana yang positif, dan membantu anggota meningkatkan penerimaan mereka terhadap kritik. Wah sepertinya ini cocok dengan budaya timur khususnya di Indonesia yang masih agak sungkan untuk memberikan kritik yang pedas dan tajam ya. 

Namun, seperti yang dilansir dalam Forbes.com tentu juga ada kekurangan dari penggunaan metode ini seperti inti utama feedback menjadi kurang jelas karena tidak to the point, feedback ini dirancang untuk membuat pemberi umpan balik merasa lebih nyaman daripada mencerahkan penerima umpan balik. Selain itu, tujuan pemberian feedback adalah untuk perkembangan anggota tim. Ketika kita tujuannya sudah jelas, sebaiknya menyampaikan feedback secara konstruktif daripada hanya sekedar “tidak enakan”. 

Terlepas dari apakah menggunakan feedback sandwich atau tidak, ada beberapa tips yang dapat dilakukan, yaitu: selalu spesifik dan langsung dengan cara seseorang dapat berkembang, sambil tetap tulus tentang pujian dan afirmasi positif. Saat memberikan kritik yang membangun bersama dengan pujian, lakukan dengan singkat, jelas, dan lugas. Tujuan saat memberikan feedback bukan untuk menyakiti perasaan atau membuat anggota tim merasa buruk tentang kinerja mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa ada cara untuk meningkatkan atau melakukan yang lebih baik. Apapun metode yang digunakan.

Sumber:

  1. Forbes.com
  2. Medium.com
  3. Fellow.app

Speak up!

“Speak your mind even if your voice shakes.” -Maggie Kuhn

Sekarang saya baru paham kenapa Partner di tempat dulu saya bekerja selalu memaksa anak buahnya untuk bertanya atau berpendapat di setiap sesi apapun itu.

He said “There is no stupid question. The only stupid question is the one who has not been asked.” “Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Pertanyaan bodoh adalah pertanyaan yang tidak ditanyakan.” Kita sebagai orang timur kebanyakan tidak dibesarkan dalam lingkungan yang menyemangati untuk mengutarakan pendapat. Padahal manfaatnya banyak!

Hal yang kurang lebih sama dikatakan bekas Atasan saya sebelum saya berangkat kuliah ke Amerika. Beliau menasehati saya untuk berani speak-up di kelas. Orang bule yang belum tentu bener atau belum tentu bisa kerja aja berani buat speak-up.

Hasil observasi saya selama tinggal di negeri Paman Sam, apa yang dikatakan Atasan saya dahulu benar adanya. Orang di sini biasa untuk “ngomong” – mau salah, mau bener; mau receh, mau penting; mau panjang, mau pendek – yang penting “ngomong”. Padahal belum tentu orang yang “ngomong” itu beneran “jago” atau bisa kerja. Segitu pentingnya untuk “bersuara” di kelas, hal tersebut jadi salah satu komponen IPK di setiap mata kuliah (sekitar 10%).

Meanwhile, orang Indonesia yang sebenernya ga kalah dari sisi kualitas kerja, skill, dan lain-lain, ga berani-berani amat untuk speak-up. Kadang untuk speak-up aja perlu mikir ribuan kali: malu, takut salah, “receh ga ya pertanyaan gw?”, dan sebagainya. Kalian ngerasain hal yang sama?

Temans, let’s start to speak-up atau mulai menciptakan lingkungan yang kondusif buat speak-up!

Di dalam kelas, mengutarakan pendapat atau bertanya melatih kita untuk mengartikulasikan apa yang kita pahami – untuk mengecek apakah kita beneran paham akan sesuatu hal, apakah hal yang mau kita sampaikan beneran sampai dengan tepat kepada audience kita. Terdengar sepele ya? Tapi ini adalah dasar dari komunikasi yang baik.

Di lingkungan pekerjaan, punya anak buah atau kolega yang berpartisipasi aktif dalam memberikan pendapat dalam pembahasan pekerjaan akan meningkatkan kualitas deliverables pekerjaan. It drives innovation dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif. Selain itu, sebagai atasan, hal tersebut dapat menjadi indikator adanya trust di lingkungan yang Anda pimpin dan apakah anak buah Anda engage dan memiliki ownership atas pekerjaan yang dilakukan.

Kemampuan berbicara juga menjadi salah satu skill penting seorang leader. Leader memiliki banyak kesempatan untuk tampil  berbicara di depan umum. Kemampuan untuk berbicara penting bagi leader selain untuk membangun citra tetapi untuk meng-influence orang banyak ke arah yang lebih baik.

Kemudian, bagaimana cara kita berkontribusi?

First thing first, mulai dari lingkungan terdekat Anda. Kalau Anda sudah berkeluarga dan memiliki anak, encourage anak Anda untuk bercerita, mengutarakan pendapatnya akan sesuatu hal. Bahkan dalam situasi berdebat dengan anak pun, anak harus mendapat pesan bahwa mengutarakan pendapat dan berbeda pendapat adalah hal yang wajar. Jangan “shut-down” anak yang akan membuat trauma untuk speak-up. Kalau Anda seorang guru, semangati anak murid Anda untuk menyuarakan pendapatnya. Kalau Anda sudah jadi bos di kantor, ciptakan lingkungan yang sama. Semangati anak buah untuk berbicara – seremeh temeh apapun itu! Jangan permalukan mereka atau membiarkan koleganya untuk mempermalukan mereka.

Last but not least: do active listening. Ini yang susah. Karena orang biasanya maunya didengarkan tapi belum tentu mau mendengarkan. Ketika lawan bicara tahu kalau kita attentive dalam mendengarkan, hal itu akan membuat lingkungan atau lawan bicara lebih nyaman untuk speak-up.

Program Return-to-Work

Saat ini dunia sedang mengalami krisis talenta.

ManpowerGroup melaporkan di tahun 2021 secara global 69% perusahaan mengalami “talent shortage” dan kesusahan dalam merekrut talenta – tertinggi dalam 15 tahun terakhir. The National Association of Business Economics juga melaporkan bahwa di akhir tahun 2021, setengah dari respondennya mengakui kekurangan “skilled workers”. Di regional Asia Pasifik, menurut Korn Ferry, fenomena kekurangan talenta bahkan diprediksi berpengaruh ke pertumbuhan pasar di regional tersebut sebesar $4.238 triliun (unrealized annual revenue).

Ada salah satu opsi solusi untuk menghadapi permasalahan tersebut. Perusahaan-perusahaan mulai membuka pintu bagi mereka yang berhenti bekerja untuk kembali masuk ke dunia kerja.

Mengapa?

Mengapa tidak.

Mereka memiliki pengalaman kerja yang cukup, skill yang dibutuhkan, pengalaman bekerja dalam tim atau memimpin tim, dan sebagainya. Cocok bukan? Bahkan biasanya mereka memiliki motivasi yang tinggi karena ingin kembali ke dunia kerja yang dimana kesempatan seperti itu terbilang sangat jarang karena masih dianggap aib apabila memiliki gap dalam pengalaman kerja.

Perusahaan menamakan program “return-to-work” ini dengan namanya masing-masing. Sebagai contoh, Goldman Sachs yang merupakan salah satu pionir dalam program “return-to-work” memberi nama “Returnship”. Credit Suisse dengan nama “Real Returns”.

Perusahaan yang merangkul orang-orang tersebut menganggap gap year yang terjadi bukan aib karena faktanya seseorang memilih berhenti kerja karena alasan yang kuat: ingin lebih fokus mengurus keluarga, mengurus anggota keluarga yang sakit, merasa terlalu jenuh dengan rutinitas kerja, butuh istirahat sejenak untuk kesehatan mental, dan sebagainya.

Sejarah

Program “return-to-work” pertama kali diinisiasi hampir 20 tahun lalu.

Di awal tahun 2000, Wall Street kekurangan populasi pekerja wanita karena banyak dari mereka memilih berhenti bekerja di tengah karirnya untuk lebih fokus mengurus keluarga. Hal ini sangat disayangkan karena mereka adalah valued-workers dengan pengalaman dan skill yang mumpuni. Di pertengahan tahun 2000, Lehman Brothers dan UBS memulai inovasi dengan merekrut kembali pekerja yang berminat untuk kembali bekerja dengan mereka. Diikuti oleh Goldmans Sachs dan Sara Lee di tahun 2008. Hingga akhirnya saat ini program “return-to-work” menjadi populer di Amerika.  

Program “return-to-work” ini berdurasi dari 3-6 bulan dengan peserta mendapatkan gaji. Tidak cuma wanita yang bisa ikutan, pria pun juga bisa. Di era pandemic Covid-19, beberapa perusahaan khusus membuka untuk mereka yang terdampak Covid-19 seperti Goldman Sachs. Program ini tentu memiliki syarat umum sebagai berikut:

  1. Pengalaman kerja minimal 3 tahun
    Walaupun terkadang ada yang membutuhkan 5-7 pengalaman kerja
  2. Telah berhenti bekerja minimal 2 tahun
    Bahkan di program “Return to Work” Morgan Stanley, ada yang sudah break berhenti kerja selama 12 tahun.

Selain persyaratan umum, kadang terdapat pula persyaratan khusus seperti peserta harus berasal dari kampus tertentu, misal Ivy League.

Di akhir program, peserta program “return-to-work” dapat ditawarkan posisi pegawai tetap. Menurut Harvard Business Review, rata-rata 80% peserta program “return-to-work” menjadi pegawai tetap. Program ini semakin relevan dengan populasi pekerja milenial yang mendominasi dunia kerja karena menurut survey ManpowerGroup, diprediksi 57% pekerja pria dan 74% pekerja wanita milenial akan melakukan career break untuk mengurus anak, mengurus orang tuanya, dan sebagainya.

Karena yang direkrut dalam program “return-to-work” bukan fresh graduate melainkan mid-career profesional ke atas, program ini berbeda dengan onboarding pegawai baru. Kurikulumnya didesain untuk mengembalikan kepercayaan diri dan membantu transisi dan ke dunia kerja, adanya mentor atau buddy yang menjadi tandem peserta, refreshment professional dan technical skills, on-the-job training, dan sebagainya.

Program ini selain menjadi talent pool perusahaan untuk mendapatkan pekerja yang mumpuni, tapi mendukung keberagaman dan inklusi (diversity dan inclusion) karena bisa mendapatkan pekerja yang beragam yang dipercaya mendorong terlahirnya lebih banyak inovasi.

Tips Sukses

Menurut Cohen dalam artikelnya “Return-to-Work Programs Come for Age”, kunci sukses dari program “return-to-work” antara lain adalah:

  • Tunjuk champion dengan level eksekutif
    Champion dengan level jabatan yang tinggi untuk mendapatkan buy-in saat program ini diluncurkan dan membantu keberlangsungan dari program.
  • Tunjuk Program Manager
    Program Manager adalah seseorang yang ditunjuk untuk memastikan kesuksesan dari program.
  • Jangan labeli peserta dengan sebutan “anak magang”
    Peserta adalah mid-career professional yang sudah memiliki jam terbang tinggi dan skill yang mumpuni. Sebutan tersebut akan menyinggung mereka.
  • Gunakan konsep cohort
    Peserta tidak direkrut satu per satu, tapi secara berkelompok (cohort). Hal ini agar mereka dapat saling bantu dalam angkatannya.
  • Buat nama dan website
    Pilih nama yang menarik untuk program “return-to-work” karena akan menjadi “trademark” perusahaan. Buat website untuk menjadi sumber informasi yang reliable bagi mereka yang memiliki kepentingan dalam program ini.
  • Miliki database pekerja yang resign yang baik
    Sumber talent tentunya adalah pekerja yang telah resign. Mereka adalah kandidat program yang baik karena sudah familiar dengan perusahaan dan memiliki kemungkinan besar untuk menerima tawaran pekerjaan dari kantor lamanya
  • Rekrut melalui employee referral
    Sumber lain dalam merekrut talent adalah dengan seseorang yang kita kenal karena cenderung tahu bagaimana kemampuan mereka dalam bekerja.
  • Highlight cerita sukses
    Cerita sukses harus diangkat untuk menginspirasi perusahaan lain dan menjangkau talent yang ternyata tersembunyi di ujung dunia sana.

Bagaimana dengan perusahaan kamu? Apakah sudah memiliki program serupa? Sharing yuk di kolom komentar.

Sisi Lain dari Kegagalan

Berapa kali kita mendengar kata “gagal” selama hidup? Atau bahkan, bukan hanya mendengar tapi kita mengalami kegagalan. Tidak hanya sekali, mungkin beberapa kali. Biasanya, kegagalan selalu dikaitkan dengan konotasi negatif yang membuat kita merasa sedih, terpuruk atau ketidakmampuan diri kita terhadap suatu hal yang kita inginkan atau peroleh. Kegagalan merupakan sesuatu yang banyak orang “hindari” dan mungkin tidak diinginkan untuk terjadi dalam hidup. Di sisi lain, ada juga yang seringkali mengatakan bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Tapi, bagaimana cara kita mengelola dan mengolah suatu kegagalan menjadi dampak yang positif terhadap hidup kita? Mari kita bahas pada artikel kali ini!

Kebanyakan orang takut gagal

Takut akan kegagalan mungkin merupakan hal yang umum. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Linkagoal, sebuah perusahaan jejaring sosial, menyatakan hasil surveinya terhadap 1083 responden dewasa bahwa 31% ternyata takut akan kegagalan dalam hidupnya, sedangkan 30% lainnya takut kepada serangga khususnya laba-laba, 15% aktivitas atau pengalaman horor atau abnormal, dan 9% takut apabila di rumah sendirian. Dari studi juga ditemukan bahwa ternyata ketakutan akan kegagalan merupakan alasan nomor satu mengapa seseorang tidak memiliki goals atau mengapa seseorang enggan untuk mencoba hal yang baru.

Ketakutan akan kegagalan ternyata berpengaruh pada psikis seseorang. Seseorang yang takut akan kegagalan yang besar, akan menahan seseorang itu untuk berada pada zona nyamannya. “Saya sudah enak begini, mengapa saya harus mengambil Langkah yang berisiko tinggi untuk gagal?”, mungkin ini pemikiran yang sering sekali terdapat dalam pikiran seseorang hingga ketakutan itu terus menggulung pikiran dan membuatnya untuk tetap berada di kenyamanannya.

Melihat Sisi Lain dari Kegagalan

Semua orang ingin sukses. Siapa yang ingin gagal dalam menjalani hidup? Tentunya tidak ada yang menginginkan hal seperti itu. Dari kecil mungkin sebagian besar orang tua mengajarkan bagaimana anaknya untuk sukses. Akan tetapi, ternyata ada juga orang tua yang mengajarkan anaknya untuk mengalami kegagalan.

Dalam sebuah interview di program Steve Harvey, saat itu ada seorang wanita yang menceritakan bagaimana ia dapat melihat sisi lain dari kegagalan dan memiliki pola pikir yang berbeda akan konsep “kegagalan”. Wanita itu menceritakan bahwa dulu ketika kecil, ayahnya adalah seseorang yang mengajarkan anak-anaknya untuk merasakan kegagalan. Di setiap akhir jumat, Ayah wanita itu selalu bertanya pada anak-anaknya, “kegagalan apa yang kamu lakukan di sekolah dalam seminggu ini?” Ketika anak-anak itu tidak dapat menceritakan kisah kegagalannya, justru ayahnya akan kecewa. Alasan Ayahnya kecewa adalah apabila si anak tidak gagal akan sesuatu, berarti anaknya tidak mencoba atau melakukan hal yang baru, apabila si anak tidak memiliki kisah gagal berarti anak itu hanya menjalani hidup di zona nyamannya, apabila anak tidak mengalami kegagalan, berarti si anak tidak menemukan hal yang dapat membuat anaknya lebih mengerti dan berkembang ke depannya. Bagi keluarga si wanita itu, kegagalan-kegagalan yang dialami di masa kecilnya telah membawa kepada kesuksesan karena kegagalan itu merupakan guru terbaik dalam hidup keluarganya.

Failure is a wonderful teacher

Kegagalan adalah guru yang terbaik agar seseorang dapat menjadi sukses dan berhasil. Kegagalan merupakan proses yang dilalui untuk mendapatkan kesuksesan. Sangat sedikit kesuksesan yang didapat dengan mudah dan instan. Mungkin ada, tapi bisa jadi kesuksesannya tidak akan bertahan lama.

Jumlah kesuksesan mungkin tidak akan sebanding dengan kegagalan. Justru mungkin bisa lebih banyak kegagalan daripada kesuksesan. Michael Jordan, pemain basket professional terbaik pada masanya adalah contoh bagaimana beberapa kegagalan yang dia lakukan membawanya kepada kesuksesan. Pada saat masih menjadi pemain basket di SMA-nya, ia memiliki 946 kali kesempatan lemparan untuk membawa timnya pada kemenangan di tangannya. Tapi hanya 146 kali lemparan yang membawanya kepada kemenangan. Dia gagal lebih dari 700 lemparan kemenangan, tapi dia berhasil membawa timnya pada kemenangan sebanyak 146 kali.

Jika kita gagal, gagal dan gagal terus, yang kita harus lakukan hanya mempelajari kesalahan yang membuat kegagalan, mencoba terus dan cukup membuat satu kesuksesan dan semua akan berubah. Jangan mudah menyerah dalam menjalankan sesuatu apalagi ketika kita mengalami kegagalan. Yang harus dilakukan adalah terus mencoba dan kesuksesan akan datang pada waktu yang tepat.

Kepemimpinan ala Angsa

Mungkin ada yang pernah melihat ketika rombongan angsa terbang bersama? Mereka akan membentuk formasi seperti huruf V. Tentu ada alasannya mengapa demikian dan ternyata ada banyak pelajaran kepimimpinan dan kerja sama tim lho dalam formasi terbang tersebut. Eh gimana? Kok bisa? Penasaran? Yuk, kita terbang lebih lanjut.

Gerombolan angsa terbang bersama dengan formasi V tersebut akan menambah momentum 71% lebih besar dibandingkan dengan jika terbang sendirian. Inilah kekuatan dari kerja sama tim dan persatuan jika tim bekerja bersama-sama menuju tujuan organisasi. Semua akan berusaha, saling menyemangati, dan mendukung maju bersama. Tim yang hebat adalah tim yang dapat mengenali dan menggali kekuatan dan kelemahaan tiap anggota dan dapat memanfaatkan kekuatan yang ada dan membantu kelemahan yang lain. Bekerja sendiri mungkin akan lebih cepat, tetapi bekerja sama akan menghasilkan lebih banyak.

Jika ada salah satu anggota angsa yang “keluar” dari garis formasi, secepatnya angsa itu akan merasakan hambatan karena terbang sendirian dan akan segera kembali ke formasi untuk tetap menjaga keseimbangan dan flow terbang tim. Setiap kerja sama tim tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Banyak kepala, banyak ide. Jika ada satu anggota tim sedang tidak di dalam lingkaran kerja sama, tentu saja akan muncul risiko dan produktivitas akan terganggu. Hal yang harus dilakukan leader dan anggota tim yang lain adalah, cepat lakukan dialog kolaboratif atau coaching untuk mendiskusikan hal yang dialami anggota tersebut. Temukan solusi dan jelaskan bagaimana mereka dapat berkontribusi dan peran nyata dalam kemajuan tim.

Ketika pimpinan angsa merasa lelah, dia akan terbang di posisi belakang, dan salah satu angsa lainnya akan menggantikan posisi menjadi pimpinan terbang yang baru. Hal ini membangun trust dan kepercayaan diri semua anggota untuk secara bergilir melakukan tugas strategis, memimpin, dan mengambil keputusan. Sebagai seorang pimpinan, juga seharusnya trust kepada anggota timnya dalam melaksanakan tugas, dan melakukan persiapan regenerasi kepimpinan. Setiap anggota tim mempuinyai keterampilan, kemampuan, dan bakat unik masing-masing. Dengan pempimpinan yang percaya kepada semua anggota tim dengan berbagi tanggung jawab dan akuntabilitas, maka akan terbentuk tim yang lebih kuat dan saling mendukung.

Angsa terbang dalam formasi dan mengeluarkan suara seperti klakson untuk saling memberikan semangat, yel-yel, dukungan dan mendorong angsa di bagian depan untuk menjaga kecepatannya. “Klakson” ini artinya adalah pengakuan, pujian, feedback membangun untuk sesame anggota tim agar tetap saling semangat, menjaga phase kerja, komunikasi yang sehat, dan menciptakan suasana kerja yang kondusif karena komunikasi berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Ketika ada seekor angsa yang sakit atau kelelahan, dua angsa akan keluar dari formasi dan membantu angsa sakit tersebut keluar formasi dan istirahat. Dua angsa tersebut akan menemani, mendukung, membantu, dan menjaga angsa sakit tersebut. Mereka akan tinggal bersama angsa sakit sampai angsa itu sembuh dapat terbang kembali atau bahkan mati. Lalu mereka akan kembali terbang mengejar kawanan lama mereka. Tim hebat akan berdiri bersama dan saling mendukung bila menghadapi masalah. Saling membantu dan menjaga sesame anggota tim untuk tetap menjaga kekompakkan, kerja sama tim dan kesejahteraan satu sama lain.

Banyak hal yang dapat kita pelajari di sekitar kita. Hal yang dibutuhkan adalah perhatian dan lebih memahami situasi yang terjadi. Sebagai pemimpin atau calon pemimpin di masa depan, apakah teman-teman sudah lebih memerhatikan keadaan disekitarnya? Tetap belajar hal baru setiap hari ya tentunya agar kita semua bisa terbang lebih tinggi bersama-sama!

Sumber:

  1. Power Resource Center
  2. Leader Shift Project

CHROs make great CEOs

Sebuah firma di Swiss yang ahli dalam merekrut C-Suite menemukan hal yang menarik dalam 2 dekade terakhir. CHRO yang dulu biasanya “diremehkan” dalam C-Suite, melapor ke CFO atau COO, sekarang memiliki posisi yang lebih strategis. Mereka menemukan kebanyakan CHRO saat ini melapor langsung ke CEO, memainkan peran sebagai penasihat utama CEO, dan lebih sering memberikan presentasi kepada BoD.

Firma tersebut juga mengatakan perusahaan saat ini mencari CHRO yang memiliki kemampuan kepemimpinan higher-level dan skill strategy implementation. Peran CHRO dirasa semakin penting dan strategis – a game changer, orang yang memiliki peran kunci dalam menyukseskan strategi bisnis – bukan sekedar peran support atau administrasi SDM.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang peran CHRO di dalam C-Suite, senior partner di firma tersebut bekerja sama dengan Dave Ulrich. Mereka membandingkan ribuan C-suite di dalam BoD – CEO, COO, CFO, CMO, CIO, dan CHRO, dan menemukan fakta menarik.

Dari sudut pandang kompensasi – tidak heran kalau CEO dan COO menempati posisi teratas. Tapi yang menduduki tempat ketiga adalah CHRO dengan kompensasi 33% lebih tinggi dari CMO yang menduduki posisi paling buncit. Ulrich mengatakan “Great CHROs are very highly paid because they’re very hard to find.”

Selain kompensasi, firma Swiss dan Ulrich mempelajari hasil assessment kepemimpinan yang dipakai firma Swiss dalam merekrut C-Suite. Mereka melihat 14 aspek kepemimpinan yang dibagi ke dalam 3 kategori – leadership style, thinking style, dan emotional competency, dan membandingkan aspek kepemimpinan tersebut di antara C-Suite. Hasilnya adalah, selain COO yang role dan responsibilities banyak beririsan dengan CEO, C-Suite yang memiliki aspek kepemimpinan mendekati CEO adalah CHRO.

Ulrich dan firma Swiss tersebut membuat kesimpulan “menarik” : Perusahaan harus melihat CHROnya terlebih dahulu untuk mengisi posisi CEO yang kosong.

Di ekonomi modern sekarang ini, menarik talenta terbaik ke dalam perusahaan, membuat struktur organisasi yang benar, dan menciptakan budaya organisasi yang tepat — penting untuk mencapai dan mendorong strategi perusahaan. Dan pengalaman sebagai CHRO tentunya memudahkan leader dalam pengerjaan tugas tersebut. Ulrich menambahkan tantangan bagi CHRO adalah memperkuat skill teknis dan finansial yang diperlukan untuk menduduki posisi CEO.

Beberapa CEO juga berpendapat bahwa saat ini, leader tidak hanya harus kuat di skill teknis, tapi juga memiliki people-skill untuk membawa sukses bagi perusahaannya.

(tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel Harvard Business Review edisi Desember 2014 dengan judul “Why Chief Human Resources Officers Make Great CEOs”)

Sumber gambar: FreePik

Tempat Kerja Rasa Keluarga: Yes or No?

Sebagai pekerja kantoran mungkin tidak heran jika kita menghabiskan sebagian waktu kita di tempat kerja. Hubungan dengan atasan dan rekan kerja menjadi mempunyai banyak bentuk dan fungsi, seperti membantu pekerjaan kita, mengembangkan karir, memberikan dukungan emosional, dan tidak sedikit juga yang menjalin hubungan persahabatan. Jadi cukup masuk akal jika hubungan yang terbangun di tempat kerja dapat mencerminkan hubungan ditemukan dalam hubungan keluarga. Namun, keadaan ini juga tergantung bagaimana budaya organisasi yang tercipta.

Organisasi pastinya menginginkan pegawainya menghasilkan pekerjaan yang baik, dengan menambahkan budaya “keluarga” dan rasa memiliki mungkin tidak terdengar “jahat” pada awalnya, tetapi ketika digunakan untuk membina hubungan dengan harapan semua pegawai untuk bekerja sebaiknya-baiknya, maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Pimpinan harus paham bahwa “keluarga” memiliki makna yang bagi setiap pegawai. Tidak semua pegawai ingin memiliki hubungan yang lebih dalam dengan rekan kerja mereka, apalagi menciptakan ketergantungan pada organisasi. Dalam konteks profesional, seorang pegawai akan ingin menyimpan pribadi kehidupan pribadi mereka di luar pekerjaan. Berdasarkan artikel di Harvard Business Review,  ketika sebuah organisasi menggunakan istilah keluarga, hal ini menciptakan budaya yang positif, memotivasi dan meningkatkan moral, di mana pegawai tidak melihat rekan kerja hanya sebatas hubungan professional, namun sebagai saudara. Hal ini menyebabkan pegawai dekat secara emosional dengan organisasi. Meskipun hal itu dapat mengurangi konflik dan perselisihan di dalam organisasi, rasa takut menyebabkan ketegangan dalam hubungan dengan pimpinan mereka, yang dianggap sebagai “orangtua”, dapat membuat pegawai merasa bahwa mereka harus membagikan informasi apa pun yang diminta dari mereka.

Hal ini bisa menjadi lebih menantang di lingkungan virtual atau hybrid. Penelitian menunjukkan ketika pimpinan tidak dapat “melihat” bawahan langsung mereka, mereka sulit untuk percaya bahwa pegawai mereka benar-benar bekerja. Hal ini mungkin mendorong pimpinan untuk melakukan micromanagement.

Rasa loyalitas yang berlebihan menjadi berbahaya

Ketika seorang anggota keluarga membutuhkan atau membutuhkan komitmen lebih, pastinya kita selalu bersedia. Ya, namanya juga keluarga, kan? Blood is thicker than water kalau kata orang-orang di dunia barat. Kadang loyalitas pegawai dapat disalahartikan pimpinan sebagai bentuk ekspektasi dan melewati batas untuk melakukan apa saja untuk menyelesaikan pekerjaan. Menurut buku Rob Goffee dan Gareth Jones, The Character of a Corporation, dalam budaya keluargaan, pegawai bersedia membantu sesama rekan kerjanya ketika dibutuhkan, atau bahkan secara sukarela “membantu sebelum mereka diminta” dengan cara yang paling tidak mementingkan diri sendiri, merupakan istilah yang dikenal dengan tata krama.

Banyak contoh dan penelitian menunjukkan bahwa orang yang terlalu setia lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam tindakan tidak etis untuk mempertahankan pekerjaan mereka dan juga lebih mungkin untuk dieksploitasi oleh pimpinan mereka. Pimpinan menjadi semena-mena untuk mendelegasikan tugas kepada “pegawai loyal.” Ketika pegawai bekerja di bawah mentalitas ini, hanya masalah waktu sampai kinerja dan produktivitas turun karena kelelahan. Jika terus dibiarkan, hal ini dianggap “biasa dan normal” dan pada akhirnya berdampak menurunnya produktivitas pegawai.

Masalah lain muncul ketika harus memberikan feedback atau coaching untuk pegawai. Dalam budaya “keluarga”, akan ada kecenderungan terasa lebih kepada aspek pribadi. Jika pegawai tidak melanggar kode etik organisasi dan mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya, apakah pimpinan akan tega melakukan “pemecatan”? Studi menunjukkan bahwa “budaya keluarga” sering gagal untuk melaporkan kesalahan apa pun ketika mereka merasa lebih dekat dengan pelaku. Perasaan takut akan kerusakan yang mungkin menyebabkan pelaku membuat sesama karyawan diam dan terlibat. Contoh lain mungkin tidak seekstrim “you got fire!”, hubungan antara pegawai dan organisasi bersifat sementara, dan pada titik tertentu, harus berakhir, misalnya pegawai resign karena mendapat tawaran pekerjaan di tempat baru. Apakah pimpinan akan rela melepaskan “anaknya” begitu saja?

Hal yang penting adalah saling menerima dan paham akan hubungan sementara dan profesional dari pekerjaan ini.  Kita harus realistis bahwa hubungan yang dibangun pegawai dengan pimpinan mereka di tempat bekerja adalah hubungan pekerjaan secara profesional. Sebagian besar tidak akan tinggal di perusahaan yang sama sepanjang karier mereka dan itu bukan masalah. Pindah kantor bagaikan “bajing loncat” sepertinya adalah hal yang lumrah bagi Milennial dan Gen Z. Pimpinan tidak bisa “menahan” dan memperlakukan pegawainya semena-mena. Bersikaplah jujur, terbuka, dan jelas mengenai harapan dan ekspektasi yang pegawai harus capai. Jika pegawai telah memutuskan untuk keluar dari organisasi, jangan tersinggung, marah, apalagi menahan-nahan. Akui kontribusi mereka, apresiasi, dan bantu mereka resign dengan hormat. Jika tidak membutuhkan keahlian mereka lagi, bantu pegawai menemukan posisi yang lebih cocok di departemen lain atau mungkin di organisasi lain. Budaya “keluarga” di organisasi dapat menimbulkan hubungan yang mengikat, apapun yang mengikat tidak ideal untuk pertumbuhan yang lebih baik . Jadi, masih ingin menjadikan kantor sebagai rumah keduamu?

Sumber:

  1. Harvard Business Review
  2. New York Times

Lateral Move

Pergerakan karir itu ga selamanya ke atas. Ke samping juga bisa loh gaes. Namanya “lateral move”.

Tidak seperti promosi yang dimana pegawai naik level di tangga karir, dalam lateral move pegawai berganti pekerjaan dengan level dan gaji yang kurang lebih sama, baik di dalam atau di luar organisasinya, untuk mempertajam skill dan kemaampuan dan menambah pengetahuan.

Lateral move merupakan salah satu strategi organisasi dalam pengembangan pegawainya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Lateral move sejalan dengan konsep pembelajaran 70-20-10 yang dimana seseorang dapat belajar secara lebih maksimal melalui on-the-job (70%) dibandingkan dengan belajar di kelas (10%).

Pegawai dapat melakukan pekerjaan yang sama tetapi di departemen/divisi yang berbeda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pegawai untuk mempertajam skill yang dimiliki dengan menerapkannya di dalam kondisi dan tantangan kerja yang berbeda. Pegawai juga dapat pindah ke departemen/divisi yang benar-benar berbeda dari pekerjaan sebelumnya. Selain ini merupakan kesempatan untuk mempelajari  hal yang baru di dalam organisasinya, ini juga melatih kemampuan beradaptasi dan leadership. Sebagai contoh, enjiner yang biasa merakit mobil melakukan lateral move ke bagian desain mobil. Atau diplomat dengan keahlian di bidang politik berpindah tugas ke kantor Kairo setelah 3 tahun bertugas di kantor New York.

Organisasi jelas mendapatkan keuntungan dari lateral move. Sebuah studi menyebutkan bahwa lateral  move dapat meningkatkan retensi pegawai sampai dengan 62%. Sampai saat ini, isu retensi pegawai masih menjadi momok organisasi terlebih lagi di era Great Resignation yang dimana tingkat turnover pegawai meningkat secara tajam. Menggantikan pegawai resign pun sebuah proses yang mahal secara waktu dan biaya yang dapat menghabiskan biaya sampai dengan 2x gaji tahunan pegawai dan 42 hari untuk mengisi posisi yang kosong. Lateral move selain meningkatkan retensi dan engagement pegawai, juga memberikan keuntungan secara finansial lho! Sebuah riset membuktikan bahwa 81% organisasi yang berkomitmen tinggi kepada lateral move berhasil mencapai atau melebihi target pertumbuhan revenue.

Tidak hanya organisasi, pegawai yang melakukan lateral move pasti banyak dapat manfaat. Lateral move memberikan kesempatan pegawai untuk berkembang, mendapatkan kepuasaan dari professional challenge, menemukan career path baru, memperluas network, serta mempersiapkan pegawai untuk mengisi posisi kepemimpinan di masa depan.

Dengan segitu banyak manfaatnya, implementasi lateral move masih banyak tantangannya. Masih ada persepsi kalau lateral move adalah untuk “menghukum” pegawai dengan performa kurang baik. Tantangan lainnya adalah “talent hoarding”. Atasan langsung tidak mengizinkan anak buahnya untuk keluar dari departemen/divisinya untuk melakukan lateral move – khususnya pegawai yang memilliki performa tinggi – karena takut akan menurunkan performa departemen/divisinya. Kalau pegawai dikekep atau tidak diberikan kesempatan berkembang, pasti mereka akan mencari kesempatan di tempat lain. Hasilnya “talent loss”: organisasi akan kehilangan pegawai terbaiknya karena keluar dari organisasi. Hal ini semakin menantang karena milenial merajai komposisi pegawai hingga di angka 70-an persen dan mereka sangat mengapresiasi professional growth dan kesempatan pengembangan diri.

Kalau organisasi serius dalam pelaksanaan lateral move, harus didukung dengan resource yang ada di organisasi serta tantangan yang ada harus diminimalisir. Atasan langsung diberikan KPI pengembangan anak buahnya sehingga mengurangi mereka yang menghambat anak buahnya untuk berkembang melalui lateral move. Kinerja dan reward Atasan langsung tersebut didasarkan kepada performanya dalam pengembangan anak buahnya, salah satunya dengan mengikhlaskan anak buahnya mengikuti lateral move. Selain itu, lateral move juga dapat dikaitkan dengan promosi atau succession planning. Jadi, syarat pegawai promosi ke jenjang karir selanjutnya atau ke posisi kepemimpinan tertentu adalah dengan mengikuti lateral move misal sebanyak 2x. Terakhir, kalau promosi dirayakan, lateral move juga harus dirayakan, disebarluaskan ke seluruh organisasi, serta mendapatkan apresiasi khususnya dari level pimpinan untuk menghilangkan imej negatif dari lateral move dan yang terpenting untuk mendukung terciptanya budaya internal mobility di dalam organisasi.

Employee Value Proposition

Gaes, paham kan kalau Google punya salah satu kantor yang bikin mupeng semua orang? Desain gedungnya keceh, ada gym, salon, free-flow snack and food, ada dedicated space buat istirahat main game, ping pong, atau bahkan untuk bobo siang! Ada juga kantor yang bikin ngiri karena ngasih fleksibilitas ke pegawainya untuk kerja remote dari mana aja dalam beberapa hari dalam seminggu, dapet 15x gaji bonus tahunan, punya lingkungan kerja dan mekanisme tokcer yang dukung pegawainya buat tambah pinter (cek feed BacaPikir yang “Learning Wallet”, gaes), atau kantor yang ngasih kesempatan pegawainya untuk rotasi di berbagai cabang atau negara dimana perusahaannya beroperasi.

Contoh-contoh barusan itu bisa kita sebut Employee Value Proposition (EVP). EVP adalah janji yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya, hal-hal apa saja yang didapat pegawainya jika bekerja di perusahaan mereka. Di dunia jaman sekarang yang dimana perusahaan berebut untuk mendapatkan talenta terbaik di luar sana untuk masuk ke perusahaan mereka atau mempertahankan pegawai terbaik di dalam organisasi mereka supaya ga loncat ke organisasi lain, EVP bisa jadi salah satu faktor penting. EVP bisa banget menjadi faktor yang membuat suatu organisasi stand-out, membedakan perusahaan dengan kompetitornya atau dengan organisasi lain yang sejenis.

Jadi EVP itu penting ya, gaes. Kalau pakai data untuk menjelaskan seberapa penting EVP, perusahaan yang mengelola EVP dengan baik memiliki penurunan tingkat turnover pegawai sebesar hampir 70%. Kemampuan pegawai untuk menarik talenta potensial yang ternyata kebanyakan pasif bertambah sebesar 50%. EVP yang well-managed juga turut meningkatkan komitmen pegawai baru sebesar 29%.

Kalau lihat contoh EVP di atas, bentuk EVP bisa bermacam-macam. Namun CEB memiliki framework EVP dengan membaginya menjadi 5 bagian besar: rewards, opportunity, organization, people, dan work.

Menurut kamu, EVP yang tepat itu seperti apa? Menurut SHRM (Society for Human Resources Management), EVP harus disusun berdasarkan apa yang pegawai value, selaras dengan value dan tujuan organisasi. Perusahaan dapat melakukan survey internal untuk mengetahui keinginan pegawai dan melakukan benchmarking ke luar membandingkan EVP milik sendiri dengan perusahaan lain. Intinya, EVP jadi ga nyasar alias tepat sasaran. Jangan sampai pegawainya butuhnya A tetapi perusahaan kasihnya B. Jadi ga nyambung, ga efektif, dan bisa jadi buang uang. Last but not least, EVP harus dikaji secara berkala (misal: 1 tahun sekali) untuk mengetahui apakah EVP yang ada masih relevan dengan pegawai dan organisasi, plus masih kompetitif ga dibandingkan dengan organisasi lain. Menurut survey Gartner, top 3 yang diinginkan pegawai di EVP adalah compensation, work-life balance, dan stability.

Kalau di kantor kamu,  EVP-nya seperti apa? Share ya! =)

Keberagaman di Tempat Kerja

Ketika datang di kota New York bulan lalu, saya terkesima dengan betapa diverse atau beragamnya kota megapolitan ini. Rasanya seperti semua orang dari seluruh dunia berkumpul di sini. Dari mereka yang berkulit putih pucat sampai dengan mereka dengan warna kulit mendekati RGB #000000. Berbagai macam bangsa dari berbagai benua, bahasa dan cara bicara, bentuk tubuh, gaya dan warna rambut, style pakaian, usia, agama, tinggi badan, orientasi gender, difabilitas, dan masih banyak variasi lainnya…

Tidak hanya tampilan luar, diversity dan keberagaman juga ada “di dalam”. Orang yang saya temui memiliki cara pandang yang beragam, memiliki cerita masing-masing mengapa mereka berada di kota New York, pengalaman hidup dan tujuan hidup yang berbeda-beda, dan sebagainya.

Keberagaman ini membuat kota New York hidup, berwarna, dan seperti memiliki segalanya.

Sama seperti kota New York, apabila keberagaman atau diversity dapat diterapkan di organisasi, organisasi akan mendapatkan manfaat. Contohnya keberagaman dalam organisasi antara lain: keberagaman skill, latar belakang, dan pengalaman dalam satu tim, keberagaman gender di C-suite, dan sebagainya. Manfaatnya apa saja? Cekidot ya!

1) Meningkatkan performa organisasi
McKinsey melaporkan organisasi dengan management yang diverse memiliki 35% financial return yang lebih tinggi dari rata-rata organisasi lainnya. Selain itu, analisa McKinsey menyatakan keberagaman gender di level eksekutif (komposisi pria dan wanita) akan membuat perusahaan mencetak keuntungan yang lebih besar. BCG pun memliki hasil analisa yang sama.

Dengan anggota tim yang beragam, setiap orang akan membawa perspektif dan kontribusi yang berbeda dalam pekerjaan sehingga menghasilkan deliverable dan keputusan yang lebih baik. Riset menunjukkan tim yang diverse memilliki kemampuan pengambilan keputusan 60% lebih baik.

2) Mendorong kreativitas dan inovasi
Keberagaman di tempat kerja tentunya mendorong inovasi. Kalau tim terdiri dari orang-orang yang kurang lebih sama, cara menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan akan begitu-begitu saja. Tapi ketika tim terdiri dari orang dengan pengalaman, skill, usia yang berbeda, input yang didapatkan akan lebih kaya dan dapat menghasilkan hasil yang kreatif dan inovatif.

3) Meningkatkan reputasi dan menjadi employer of choice
Buat anak jaman now, cari kerja bukan hanya melulu masalah gaji. Anak jaman now mencari perusahaan yang dimana mereka akan merasa diterima – bagaimanapun macam pegawainya. Berdasarkan hasil study Glassdoor, 76% pencari kerja mengatakan diversity dalam tempat kerja menjadi salah satu faktor penting dalam memilih tempat kerja atau tawaran pekerjaan.

Contoh lain, organisasi yang menerima teman-teman difabel sebagai pegawai dapat memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat. Sebagai imbal balik, masyarakat pun akan semakin “sayang” dengan organisasi tersebut.

Sekian tulisan singkat saya. Keberagaman menurut saya harus dirayakan, diembrace – bukan ditekan. Menurut kalian, kalau tempat kerja kalian memiliki pegawai yang lebih beragam, kira-kira akan seperti apa ya?

Yuk komen di kolom komentar.