Kepuasan Kerja, Work-Life Balance dan Produktivitas Kinerja

Di dunia bisnis pada era globalisasi seperti saat ini, para perusahaan berlomba-lomba dalam persaiangan usaha yang ketat dengan menggunakan segala sumber daya atau resources yang dimiliki perusahaan. Persaingan usaha menjadi sesuatu yang sangat menjadi perhatian setiap perusahaan ditambah dengan kondisi dimana perusahaan harus bertahan dengan kondisi pandemi global yang sangat berdampak terhadap operasional dan performa perusahaan. Jangankan bersaing, banyak dari perusahaan yang kini harus menjalankan bisnisnya dengan memaksimalkan sumber daya yang terbatas namun harus tetap menghidupkan perusahaannya dengan baik. Di antara semua sumber daya yang menopang perusahaan, sumber daya manusia, dalam hal ini karyawan, memiliki peranan dan kontribusi yang sangat penting dan dominan.

Karyawan merupakan sebuah aset bagi perusahaan. Selain memiliki peran yang sangat penting, karyawan merupakan sumber daya yang dominan demi mencapai tujuan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Akan sangat sulit bagi perusahaan untuk beroperasi dengan lancar dan mencapai tujuannya apabila karyawannya tidak mampu mengeksekusi tugas dan fungsinya dengan baik. Terlebih lagi, masih banyak perusahaan yang menuntut karyawan dengan tekanan pekerjaan tanpa memerhatikan kepuasan kerja karyawannya. Padahal, banyak pendapat dan survei menyatakan bahwa untuk mempertahankan kinerja karyawan agar tetap produktif, perusahaan harus memerhatikan kepuasan kerja karyawannya yang tidak lepas dari beberapa faktor yang salah satunya adalah work-life balance.

Work-life balance merupakan sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendefinisikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti bernama Lockwood dalam risetnya berjudul “Work/Life Balance: Challenges and Solutions”, menyatakan bahwa keadaan seimbang pada dua tuntutan di mana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan menurut penulis jurnal lainnya, Greenhaus menyatakan bahwa work-life balance adalah sejauh mana suatu individu terikat secara bersama di dalam pekerjaan dan keluarga, dan sama-sama puas dengan peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarganya. Work-life balance menjadi hal yang sangat penting karena dapat berpengaruh kepada kepuasan kerja seorang karyawan dan bagaimana produktivitas seorang karyawan bekerja pada suatu perusahaan.

Seringkali karyawan dihadapkan pada porsi pekerjaan yang menuntut dirinya untuk bekerja melebihi jam regular tempat dirinya bekerja. Deadline tugas yang diberikan terkadang menuntut karyawan untuk menggunakan jam lembur (overtime) untuk menyelesaikannya. Rapat kerja yang diadakan hingga larut malam, serta perjalanan bisnis atau dinas ke luar kota yang akhirnya membuat kebutuhan dengan keluarga dan lingkungan terdekatnya hingga kebutuhan pribadi jadi terganggu juga turut menyertai tekanan perusahaan pada karyawannya. Karyawan dituntut untuk melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal namun seringkali perusahaan mengesampingkan keseimbangan kehidupan karyawannya. Tidak sedikit perusahaan yang memberikan jumlah tugas atau pekerjaan yang berlebihan yang mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja karyawan hingga kepuasan kinerja karyawan. Padahal, ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.

Di Singapura, pemerintahnya mendukung permintaan masyarakatnya yang menginginkan work-life balance dalam kehidupan bekerja. Hingga saat ini, sistem work-life balance mulai diterapkan di beberapa lembaga pemerintahan seperti waktu bekerja sesuai dengan porsi yang telah ditentukan. Setelah beberapa waktu kebijakan work-life balance ini diterapkan, hasilnya menunjukkan hal yang positif, seperti produktivitas kerja meningkat, pengeluaran berkurang dikarenakan angka keluar-masuk karyawan berkurang, angka ketidakhadiran atau absen semakin menurun dan komitmen karyawan kepada perusahaan pun semakin tinggi. Hasil ini kemudian menjadi catatan bagi jajaran perusahaan bahwa jika menerapkan work-life balance kepada karyawannya di tempat kerja maka perusahaan tersebut akan menjadi lebih menyenangkan, efisien, dan produktif.

Berbeda dengan di Indonesia. Berdasarkan salah satu survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia terhadap pengangguran yang ada di Indonesia, jumlah penganguran di negeri ini berkisar di angka 9 juta. Adapun sebesar 85% responden dari survei mengaku kalau mereka tidak memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh akademisi bernama Uki Yonda Asepta, belum banyak perusahaan yang melihat work-life balance sebagai isu. Namun dengan perkembangan jaman dan teknologi yang cukup pesat, Generasi Milenial (Gen Y) sudah mulai sadar akan isu ini. Kepentingan dan kebutuhan personal hingga keluarga seringkali memberikan dampak kepada bagaiman karyawan mengelola pekerjaan dan profesionalitasnya. Alhasil banyak karyawan yang mengalami kondisi burn-out dan tingkat turnover menjadi sangat tinggi. Bagi perusahaan, isu ini menjadi penting karena dapat menyebabkan turunnya produktivitas dan efisiensi kerja karyawan.

Melihat itu semua, perusahaan dan jajaran manajemen SDM perusahaan harus mulai memerhatikan work-life balance ini baik untuk karyawan maupun keberlanjutan bisnis yang dijalankan. Komitmen menjalankan work-life balance perlu dimulai dari dua belah pihak, baik jajaran manajemen perusahaan maupun karyawannya. Manajemen perusahaan bisa memulai dengan mendorong perkembangan budaya yang mengutamakan aspek kepercayaan dan respect dalam perusahaan. Perusahaan juga memiliki peran untuk mengetahui kebutuhan karyawan yang berbeda-beda dan mengadopsi pendekatan yang bisa mendorong work-life balance karaywan dalam perusahaan. Sebagai karyawan, kita juga harus aktif memberikan suara dan pendapat terkait dengan hal-hal yang sekiranya dapat memberikan kepuasan kerja terhadap karyawan dan dampak positifnya terhadap perusahaan.

Tagged : / /

Communication Gap

Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Kemampuan pegawai dalam berkomunikasi sangatlah dibutuhkan, khususnya dalam menyampaikan dan menerima pesan atau informasi secara jelas. Pegawai yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam berkomunikasi, memiliki kecenderungan untuk bekerja lebih efisien karena dapat menerima arahan dan bekerja sesuai dengan tujuan dan obyektif dari perusahaan. Namun, pada kenyataannya masih banyak orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga dapat menyebabkan permasalahan yang besar. Salah satu hal yang menyebabkan proses komunikasi menjadi terhambat adalah karena adanya communication gap.

Communication gap merupakan istilah yang digunakan ketika terdapat perbedaan pemahaman arti pesan antara pengirim dan penerima pesan. Keith Davis, salah satu pencetus teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses interaksi yang terjadi saat pengirim pesan (sender) menyampaikan informasi dan penerima pesan (receiver) dapat menerima dan memahami informasi yang disampaikan. Communication gap dapat terjadi karena adanya gangguan (noise), perbedaan dan adanya ‘penghalang’ ketika proses penyampaian pesan atau informasi berlangsung.

“10% of conflict is due to difference in opinion and 90% is due to delivery and tone of voice”

Faktor gangguan yang dapat mengganggu proses komunikasi berupa suasana, ambiens, suara dan hal-hal eksternal lainnya yang terdapat disekeliling sender dan receiver. Selain meminimalisir gangguan melalui penentuan lokasi dan suasana komunikasi yang tepat, seseorang dapat melatih kemampuannya untuk dapat berkomunikasi dengan lebih rileks, fokus dan melatih konsentrasi untuk meningkatkan kemampuan yang disebut dengan inner silence. Di saat kita berbicara dengan orang lain, upayakan untuk selalu dalam kondisi rileks dan tidak tegang. Kurangi fokus terhadap permasalahan dan hal negatif dari pembicaraan, sehingga fokus dapat digunakan untuk mencari solusi atas permasalahan dan hal positif lainnya. Dalam posisi rileks dan fokus kepada pembicara, lama kelamaan diri kita akan terbiasa untuk membangun inner silence, yaitu kondisi dimana pikiran dan jiwa kita berada dalam situasi yang tenang dan dapat mengurangi gangguan komunikasi yang datang dari luar.

Selain faktor gangguan, proses komunikasi dapat terjadi dikarenakan adanya perbedaan antara sender dan receiver. Contoh konkritnya adalah saat seorang pimpinan perusahaan berkomunikasi dengan pegawainya yang terpaut jenjang usia yang cukup jauh. Tentunya terdapat tantangan dalam menyampaikan pesan dan arahan dikarenakan terdapat perbedaan-perbedaan, seperti cara pandang, pengalaman, umur, gaya bahasa, pemikiran dan nilai internal pimpinan tersebut dalam menyampaikan pesannya kepada pegawainya sehingga dapat mengakibatkan perbedaan pemahaman yang diterima oleh pegawai. Apabila kita tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam memahami hal-hal tersebut, maka kita akan sulit untuk memahami informasi dan menjawab ekspektasi yang disampaikan oleh lawan bicara. Kita dapat membiasakan diri untuk melatih kemampuan mengobservasi bahasa non-verbal dan deep listening dari lawan bicara kita.

The biggest communication problem is we do not listen to understand, we listen to reply”

Dalam berkomunikasi, kita tidak hanya memahami pesan yang disampaikan melalui verbal, namun juga bahasa non-verbal yang biasanya dikeluarkan dalam bentuk bahasa tubuh. Mimik muka, gerak bibir, mata dan anggota tubuh lainnya adalah bahasa yang paling jujur dan dapat menunjukkan maksud dan tujuan asli lawan bicara di saat berkomunikasi. Tidak hanya komunikasi non-verbal, seseorang harus dapat melatih kemampuan mendengarkan secara mendalam (deep listening). Ya, komunikasi bukan hanya soal berbicara, tapi juga bagaimana kita bisa mendengarkan lawan bicara dengan baik dengan mendengarkan setiap kata-kata yang disampaikan. Hal ini dikarenakan di setiap kata yang diucapkan lawan bicara, seringkali terdapat makna tersirat yang memerlukan pemahaman dan pendengaran yang mendalam agar mengerti arti sebenarnya.

Communication gap juga terbentuk karena adanya ‘penghalang’ yang menghalangi proses pengiriman pesan. Dalam dunia perkantoran biasanya faktor penghalang yang menjadi masalah adalah penghalang fisik, persepsi, emosi, bahasa, budaya dan hubungan interpersonal. Penghalang fisik seperti dinding, pintu yang tertutup, jarak antar pegawai dapat menyulitkan para pegawai untuk berkomunikasi dengan lebih santai dan baik. Selain penghalang fisik, setiap pegawai memiliki persepsi yang berbeda-beda sesuai dengan yang pernah dialaminya. Persepsi antar pegawai yang berbeda dapat disatukan melalui proses komunikasi yang rutin, seperti mengadakan rapat atau pertemuan secara reguler untuk menyamakan persepi. Selain itu, pegawai yang takut, tidak bahagia, tegang dan tidak percaya dapat membentuk adanya penghalang emosi dan berdampak pada tertutupnya lajur komunikasi yang jelas dari dalam dirinya. Penghalang lainnya tercipta dari bagaimana seseorang tumbuh dan berkembang, yaitu faktor bahasa, budaya dan interpersonal seseorang. Cara yang paling tepat untuk mengurangi halangan ini adalah dengan memahami latar belakang dari lawan bicara kita, termasuk bahasa, budaya dan nilai-nilai yang dipegang oleh lawan bicara kita.

Banyak yang mengartikan kemampuan komunikasi sama dengan kemampuan berbicara dan berinteraksi dengan sesama. Banyak pula yang memandang bahwa berkomunikasi itu mudah karena kita sebagai manusia sudah diajarkan berkomunikasi sejak kecil. Tetapi nyatanya, masih banyak hal yang perlu dilatih agar kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dan mengurangi communication gap yang terjadi.

Tagged : / /