Setiap hari kita membuat ribuan keputusan terhadap hidup kita baik yang memengaruhi hidup diri kita sendiri maupun hidup orang lain. Dari mulai membuat keputusan sederhana dari pertanyaan seperti, “apakah saya pagi ini membuat secangkir kopi atau teh?”, hingga dihadapkan dengan keputusan yang lebih kompleks dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan, seperti “apakah saya harus resign dari kantor?”. Banyak orang merasa kesulitan untuk membuat keputusan. Apalagi jika keputusan yang harus dibuat akan sangat berpengaruh terhadap masa depan dan perubahan besar dari kehidupannya saat ini. Banyak orang juga takut untuk memilih hal yang baru dan berbeda dari orang lain. Sehingga banyak orang yang cenderung memilih untuk membuat keputusan atas hal-hal yang dapat diketahui dampaknya daripada hal-hal yang belum pernah diketahuinya.
Di saat kita dihadapkan dengan suatu pilihan keputusan, otak akan memberikan beberapa faktor psikologis penting yang akan memengaruhi keputusan kita. Cindy Dietrich, seorang educational pshycologist dalam tulisannya mengemukakan bahwa faktor penting yang memengaruhi otak manusia dalam membuat keputusan, yaitu pengalaman di masa lalu, berbagai cognitive bias (kecenderungan pemikiran yang kita buat tanpa disadari), adanya komitmen dan kegagalan yang pernah dialami, perbedaan masing-masing individu dalam hal usia, status sosial ekonomi dan kepercayaan yang dimilikinya. Semua faktor tersebut biasanya muncul sebagai landasan berpikir kita ketika kita akan membuat keputusan.
Selain faktor-faktor penting di atas, terdapat satu istilah yang juga sangat memengaruhi keputusan kita terutama pada keputusan yang sangat penting dan berdampak terhadap kehidupan, yaitu status quo bias. Pernahkah kita berpikir untuk mengganti pekerjaan ketika sudah merasakan bahwa pekerjaan kita tidak memberikan kebahagiaan dan kenyamanan lagi? Apabila jawabannya tidak, faktor penghalang dari keputusan seperti inilah yang dinamakan dengan status quo bias. Kita cenderung untuk memilih sesuatu yang kita ketahui daripada sesuatu yang baru dan berbeda. Kita melihat pilihan lain sebagai suatu risiko atau bahkan permasalahan baru meskipun bisa saja pilihan itu lebih baik. Tanpa disadari, kita akan memilih untuk enggan berganti kepada hal lain.
Lantas, bagaimanakah agar kita dapat membuat keputusan untuk hal yang baru dan berbeda? Paul Arden dalam bukunya, “Whatever You Think, Think the Opposite” mengemukakan beberapa tips agar kita dapat membuat keputusan di luar kebiasaan. Yang pertama, mintalah “tamparan” dari orang lain. Jika kita memperlihatkan karya kita kepada orang lain dan berkata, “bagimana pendapatmu?” mungkin orang lain akan merespon dengan hal positif seperti, “bagus!” karena mereka tidak mau menyinggung perasaan kita. Lain kali, kita bisa meminta pendapat dengan cara menanyakan “apa yang salah?”. Hal ini akan membuka jalan kita untuk mendengar kritik yang jujur dari orang lain.
Jika kita menginginkan suatu keputusan yang berbeda dari orang lain, latihlah cara berpikir di luar kebiasaan (outside the box). Terkadang kita hanya memutuskan sesuatu karena orang lain juga memutuskan hal yang sama, kita tidak pernah berpikir bahwa ada pemikiran lain yang bisa menjadi dasar keputusan kalau kita sejenak melupakan pilihan kebanyakan orang. Prinsipnya, jika kita selalu memilih keputusan yang banyak orang pilih dan merupakan keputusan yang “safe”, jangan berharap keputusan itu akan memberikan dampak yang berbeda terhadap apa yang kita harapkan.
Banyak orang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membuat keputusan yang sempurna dan menyenangkan bagi orang lain tapi hingga akhir tidak menjalankan keputusan itu. Daripada menunggu kesempurnaan sebuah keputusan, lebih baik jalani dengan faktor pendukung yang ada dan perbaiki dari waktu ke waktu.
Ingat dalam mengambil keputusan, apapun keputusan yang Anda ambil pada akhirnya, itulah satu-satunya keputusan yang dapat diambil. Jika tidak diambil, Anda akan mengambil keputusan yang lain. Apapun yang kita lakukan, kitalah yang memilih. Jadi apa yang harus disesali?
You are the person you chose to be.