Working Mom

“Mother is the heartbeat in the home; and without her, there seems to be no heartthrob.” —Leroy Brownlow. Siapa yang setuju dan familiar dengan quotes diatas? Saya sebagai ‘newbie mom’ ingin mengacungkan jari setinggi-tingginya. Ibu menjadi pemeran utama bagi keluarganya dirumah. Mungkin bagi ibu-ibu diluar sana yang sudah mengemban tugas mulia menjadi seorang ibu akan paham betul maknanya.

Menjadi seorang ibu memiliki tanggung jawab, perjuangan, dan tantangan yang tak mudah dilalui dalam mendidik dan membesarkan anaknya, terlebih jika merangkap menjadi working mom atau ibu pekerja. Berbagai kewajiban dirumah yang harus dilakukan yang seolah tak ada habisnya dan tugas-tugas kantor yang juga menyita waktu dan emosi setiap harinya membuat ibu harus dapat membagi peran sebaik-baiknya. Dilema seringkali dirasakan bagi para working mom. Saat dikantor kepikiran anak dirumah, saat dirumah kepikiran deadline pekerjaan. Seakan ingin membelah diri berada di dua tempat secara bersamaan.

The International Labor Organization menyebutkan bahwa 70% wanita-wanita di negara maju telah terlibat dalam ekonomi global dan begitu pun di negara berkembang dilaporkan bahwa 60% wanita yang telah menikah dan memiliki anak mengambil bagian dalam perekonomian keluarga. Sedangkan di Indonesia, laporan dari BPS tercatat sebesar 35% partisipasi angkatan kerja wanita dan ibu pekerja menggunakan waktu mereka selama 40 jam per minggu selama lima hari dengan fasilitas dan kompensasi yang memadai.

Dari data-data diatas terlihat bahwa jumlah working mom cukup mendominasi hampir di seluruh dunia. Memilih menjadi seorang working mom bukanlah merupakan pilihan yang mudah. Memilih bukan berarti salah atau benar, melainkan adanya konsekuensi yang akan dihadapai baik bagi dirinya, anak, dan keluarga. Yuk yang pertama kita bahas, apa saja ya konsekuensi atau dampak dari working mom untuk anak-anaknya?

Working mom telah menghabiskan banyak waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas dari tempat kerja. Para working mom berusaha untuk melaksanakan kedua-dua peran (sebagai ibu dan pekerja) dalam satu interaksi keseimbangan peran agar dapat menghasilkan kesejahteraan (Nomaguchi et al, 2005). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, working mom memiliki pengaruh yang baik kepada anak-anak usia sekolah dengan membekali dirinya dengan sikap otonomi (kemandirian) dan kualitas merawat anak-anaknya dengan lebih baik. Selain itu, working mom juga akan memberikan pengaruh kesehatan mental yang lebih baik dan dapat memberikan keuntungan bagi anak-anak khususnya remaja karena adanya penghasilan tambahan dan stimulasi sosial dan kognitif sehingga mewujudkan interaksi yang lebih positif dan menjaga kualitas attachment dengan keluarga (Kalil& Siol-Guest, 2004).

Penelitian lain yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Development menunjukan bahwa anak dari working mom memiliki pencapaian akademis yang lebih tinggi, karier yang lebih sukses, serta menghasilkan skor kognitif yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan working mom memiliki kestabilan finansial yang lebih baik sehingga dapat memberikan fasilitas yang memadai untuk anak. Waktu yang terbatas dan tuntutan pekerjaan juga membuat working mom berusaha lebih efisien dalam mendampingi tumbuh kembang anak sehingga menajdi lebih sensitif dengan kebutuhannya. Working mom yang bisa menjadikan waktu keluarga sebagai prioritas dan berkomitmen untuk perkembangan anak mereka mampu membangun ikatan yang sehat dengan anak layaknya ibu yang tidak bekerja.

Begitu pula American Psychological Association, menganalisis dan menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari working mom tidak memiliki masalah perilaku, sosial, atau kesulitan belajar yang signifikan. Prestasi di sekolah pun tidak tertinggal. Para working mom tidak hanya membantu keluarga secara ekonomi, tetapi juga membantu diri sendiri secara profesional dan emosional jika melakukan pekerjaan yang disukai, serta membantu anak.

Namun dibalik adanya dampak positif working mom bagi anaknya, ada juga konsekuensi yang dirasakan oleh ibu sebagai individu. Working mom akan lebih rentan untuk merasa lelah dan tertekan karena adanya tuntutan untuk menyeimbangkan peran sebagai karyawan, ibu, dan istri. Dimana perasan stress ini dapat mempengaruhi hubungan dengan anak dan tingkah laku anak ke depannya. Rasa bahagia dengan peran sebagai working mom akan membantu ibu untuk bersikap positif dengan anak dan menghabiskan waktu yang berkualitas dengan mereka, tanpa terganggu dengan stres keseharian. Hal ini didukung oleh studi Milkie, et al. (2015), dimana ditemukan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan oleh orangtua dengan anaknya, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan emosi dan kognitif mereka. Waktu yang berkualitas lebih dibutuhkan, dibandingkan kuantitasnya.

Jadi apapun peran yang seorang ibu pilih tidak ada yang lebih baik satu dari yang lainnya, tetap ada konsekuensi masing-masing. Hal yang lebih penting adalah dukungan yang diberikan oleh lingkungan di sekitarnya agar ibu merasa bahagia dan berdaya dengan posisi yang mereka pilih. Dan bagi semua working mom diluar sana, pentingnya lingkungan kerja yang kondusif bagi wanita serta sejalan dengan peraturan pemerintah tentang perlindungan pekerja wanita di tempat kerja, agar hak-haknya dapat terpenuhi serta dapat efektif dan efisien membagi waktu yang baik dengan keluarga karena ibu yang bahagia adalah kunci kebahagiaan keluarga.

Tagged : /

Communication Gap

Komunikasi merupakan kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Kemampuan pegawai dalam berkomunikasi sangatlah dibutuhkan, khususnya dalam menyampaikan dan menerima pesan atau informasi secara jelas. Pegawai yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam berkomunikasi, memiliki kecenderungan untuk bekerja lebih efisien karena dapat menerima arahan dan bekerja sesuai dengan tujuan dan obyektif dari perusahaan. Namun, pada kenyataannya masih banyak orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga dapat menyebabkan permasalahan yang besar. Salah satu hal yang menyebabkan proses komunikasi menjadi terhambat adalah karena adanya communication gap.

Communication gap merupakan istilah yang digunakan ketika terdapat perbedaan pemahaman arti pesan antara pengirim dan penerima pesan. Keith Davis, salah satu pencetus teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses interaksi yang terjadi saat pengirim pesan (sender) menyampaikan informasi dan penerima pesan (receiver) dapat menerima dan memahami informasi yang disampaikan. Communication gap dapat terjadi karena adanya gangguan (noise), perbedaan dan adanya ‘penghalang’ ketika proses penyampaian pesan atau informasi berlangsung.

“10% of conflict is due to difference in opinion and 90% is due to delivery and tone of voice”

Faktor gangguan yang dapat mengganggu proses komunikasi berupa suasana, ambiens, suara dan hal-hal eksternal lainnya yang terdapat disekeliling sender dan receiver. Selain meminimalisir gangguan melalui penentuan lokasi dan suasana komunikasi yang tepat, seseorang dapat melatih kemampuannya untuk dapat berkomunikasi dengan lebih rileks, fokus dan melatih konsentrasi untuk meningkatkan kemampuan yang disebut dengan inner silence. Di saat kita berbicara dengan orang lain, upayakan untuk selalu dalam kondisi rileks dan tidak tegang. Kurangi fokus terhadap permasalahan dan hal negatif dari pembicaraan, sehingga fokus dapat digunakan untuk mencari solusi atas permasalahan dan hal positif lainnya. Dalam posisi rileks dan fokus kepada pembicara, lama kelamaan diri kita akan terbiasa untuk membangun inner silence, yaitu kondisi dimana pikiran dan jiwa kita berada dalam situasi yang tenang dan dapat mengurangi gangguan komunikasi yang datang dari luar.

Selain faktor gangguan, proses komunikasi dapat terjadi dikarenakan adanya perbedaan antara sender dan receiver. Contoh konkritnya adalah saat seorang pimpinan perusahaan berkomunikasi dengan pegawainya yang terpaut jenjang usia yang cukup jauh. Tentunya terdapat tantangan dalam menyampaikan pesan dan arahan dikarenakan terdapat perbedaan-perbedaan, seperti cara pandang, pengalaman, umur, gaya bahasa, pemikiran dan nilai internal pimpinan tersebut dalam menyampaikan pesannya kepada pegawainya sehingga dapat mengakibatkan perbedaan pemahaman yang diterima oleh pegawai. Apabila kita tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam memahami hal-hal tersebut, maka kita akan sulit untuk memahami informasi dan menjawab ekspektasi yang disampaikan oleh lawan bicara. Kita dapat membiasakan diri untuk melatih kemampuan mengobservasi bahasa non-verbal dan deep listening dari lawan bicara kita.

The biggest communication problem is we do not listen to understand, we listen to reply”

Dalam berkomunikasi, kita tidak hanya memahami pesan yang disampaikan melalui verbal, namun juga bahasa non-verbal yang biasanya dikeluarkan dalam bentuk bahasa tubuh. Mimik muka, gerak bibir, mata dan anggota tubuh lainnya adalah bahasa yang paling jujur dan dapat menunjukkan maksud dan tujuan asli lawan bicara di saat berkomunikasi. Tidak hanya komunikasi non-verbal, seseorang harus dapat melatih kemampuan mendengarkan secara mendalam (deep listening). Ya, komunikasi bukan hanya soal berbicara, tapi juga bagaimana kita bisa mendengarkan lawan bicara dengan baik dengan mendengarkan setiap kata-kata yang disampaikan. Hal ini dikarenakan di setiap kata yang diucapkan lawan bicara, seringkali terdapat makna tersirat yang memerlukan pemahaman dan pendengaran yang mendalam agar mengerti arti sebenarnya.

Communication gap juga terbentuk karena adanya ‘penghalang’ yang menghalangi proses pengiriman pesan. Dalam dunia perkantoran biasanya faktor penghalang yang menjadi masalah adalah penghalang fisik, persepsi, emosi, bahasa, budaya dan hubungan interpersonal. Penghalang fisik seperti dinding, pintu yang tertutup, jarak antar pegawai dapat menyulitkan para pegawai untuk berkomunikasi dengan lebih santai dan baik. Selain penghalang fisik, setiap pegawai memiliki persepsi yang berbeda-beda sesuai dengan yang pernah dialaminya. Persepsi antar pegawai yang berbeda dapat disatukan melalui proses komunikasi yang rutin, seperti mengadakan rapat atau pertemuan secara reguler untuk menyamakan persepi. Selain itu, pegawai yang takut, tidak bahagia, tegang dan tidak percaya dapat membentuk adanya penghalang emosi dan berdampak pada tertutupnya lajur komunikasi yang jelas dari dalam dirinya. Penghalang lainnya tercipta dari bagaimana seseorang tumbuh dan berkembang, yaitu faktor bahasa, budaya dan interpersonal seseorang. Cara yang paling tepat untuk mengurangi halangan ini adalah dengan memahami latar belakang dari lawan bicara kita, termasuk bahasa, budaya dan nilai-nilai yang dipegang oleh lawan bicara kita.

Banyak yang mengartikan kemampuan komunikasi sama dengan kemampuan berbicara dan berinteraksi dengan sesama. Banyak pula yang memandang bahwa berkomunikasi itu mudah karena kita sebagai manusia sudah diajarkan berkomunikasi sejak kecil. Tetapi nyatanya, masih banyak hal yang perlu dilatih agar kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dan mengurangi communication gap yang terjadi.

Tagged : / /